Rabu, 19 Juni 2019

KONSEP DASAR IPS (KEBUDAYAAN BETAWI)


BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang heterogen. Bangsa Indonesia memiliki keanekaragaman suku, budaya, agama, ras, dan lain-lain. Dari mulai Sabang hingga Merauke banyak perbedaan-perbedaan yang akan kita jumpai. Namun walaupun begitu bangsa Inhdonesia tetap satu, sebagaimana semboyan negara kita yang terdapat di dalam kitab Sutasoma yakni Bhineka Tunggal Ika dengan arti berbeda-beda suku namun tetap satu jua.
Setiap daerah di Indonesia memiliki kebudayaan masing-masing dan tentunya memiliki ciri khas tersendiri yang membedakan satu daerah dengan daerah yang lainnya. Salah satu daerah yang akan yang akan dibahas mengenai kebudayaannya dalam makalah ini adalah DKI Jakarta.
DKI Jakarta adalah ibu kota Republik Indonesia sekaligus sebagai salah satu provinsi yang ada di Jawa Barat. DKI  Jakarta memiliki suku  dengan nama Betawi yang mana tersebut diambil dari bahasa kuno kota Jakarta yakni Batavia.
Dalam makalah ini, penulis akan membahas mengenai sejarah munculnya kebudayaan Betawi, juga aspek-aspek yang terdapat di dalam budaya Betawi baik dari segi bahasa, social, religius, dan ciri khas daerah tersebut.

  1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, muncul berbagai permasalahan yang akan dibahas, diantaranya sebagai berikut:
1.      Bagaimana sejarah munculnya budaya Betawi?
2.      Apakah bahasa yang digunakan oleh masyarakat Betawi?
3.      Bagaimana aspek religius masyarakat Betawi?
4.      Bagaimana aspek social masyarakat Betawi?
5.      Apa saja yang menjadi ciri khas dari kebudayaan Betawi?

  1. Tujuan Penulisan
Secara umum tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Konsep Dasar IPS.
Adapun secara khusus tujuan penulis menulis makalah ini adalah ingin mengetahui:
1.      Sejarah kebudayaan Betawi
2.      Bahasa yang digunakan masyarakat Betawi
3.      Aspek religius masyarakat Betawi
4.      Aspek social masyarakat Betawi
5.      Ciri khas kebudayaan Betawi

  1. Pembatasan Masalah
Mengingat keterbatasan ilmu pengetahuan dan buku sumber  yang dimiliki penulis, maka dalam penyusunan makalah ini penulis membatasinya dengan membahas tentang kebudayaan Betawi secara umum.

  1. Metode Penulisan
Dalam mengumpulkan bahan data untuk menyusun makalah ini, agar lebih akurat  dan efektif, maka penulis menuliskan metode sebagai berikut:
1.      Tinjauan Pustaka
      Dalam penulisan makalah ini, penulis mencari dari berbagai sumber yang berkaitan dengan kebudayaan khususnya budaya Betawi.
2.   Metode Observasi
Dalam hal ini penulis melakukan observasi dan mengadakan wawancara kepada narasumber.



  1. Sistematika Penulisan
Dalam menulis makalah ini, penulis ,menguraiakan sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab I berisi pendahuluan yang menguraikan tentang latar belakang penulisan, rumusan masalah, tujuan penulisan, pembatasan masalah, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
Bab II berisi pembahasan yang menguraikan tentang sejarah munculnya kebudayaan Betawi, bahasa yang digunakan suku Betawi, aspek religius dan social masyarakat Betawi, dan ciri khas dari kebudayaan Betawi.
Bab III berisi penutup yang menguraikan tentang kesimpulan dan saran.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Letak Geografis
Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta) adalah sebuah provinsi sekaligus ibu kota Negara Republik Indonesia. Jakarta terletak di bagian barat laut Pulau Jawa. Dengan titik koordinatnya adalah 6°11′ LS 106°50′ BT. DKI Jakarta dibagi menjadi lima bagian, diantaranya Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, dan  Jakarta Pusat. Selain itu, DKI Jakarta memiliki batas-batas, antara lain sebelah Utara dibatasi oleh laut Jawa, sebelah Timur dibatasi oleh kota Bekasi, sebelah Selatan dibatasi oleh kota Depok, dan sebelah Barat dibatasi provinsi Banten. Pada tahun 2004, luasnya adalah sekitar 740 km² dan penduduknya berjumlah 8.792.000 jiwa.

B.     Sejarah Suku Betawi
Nama Jakarta adalah kependekan dari kata Jayakarta. Nama ini diberikan oleh orang-orang Demak dan Cirebon di bawah pimpinan Fatahillah (Faletehan) setelah merebut pelabuhan Sunda Kelapa dari Kerajaan Sunda pada tanggal 22 Juni 1527. Nama ini diterjemahkan sebagai kota kemenangan atau kota kejayaan, namun sejatinya artinya ialah "kemenangan yang diraih oleh sebuah perbuatan atau usaha" dari bahasa Sansekerta jayakarta. Nama lain atau sinonim "Jayakarta" pada awal adalah "Surakarta".
Jakarta pertama kali dikenal sebagai salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda yang berlokasi di muara Sungai Ciliwung. Ibukota Kerajaan Sunda yang dikenal sebagai Dayeuh Pakuan Pajajaran atau Pajajaran (sekarang Bogor) dapat ditempuh dari pelabuhan Sunda Kalapa selama dua hari perjalanan. Menurut sumber dari Portugis, Sunda Kalapa merupakan salah satu pelabuhan yang dimiliki Kerajaan Sunda selain pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tamgara dan Cimanuk. Sunda Kalapa yang dalam teks ini disebut Kalapa dianggap pelabuhan yang terpenting karena dapat ditempuh dari ibu kota kerajaan yang disebut dengan nama Dayo (dalam bahasa Sunda modern: dayeuh yang berarti ibu kota) dalam tempo dua hari. Kerajaan Sunda sendiri merupakan kelanjutan dari Kerajaan Tarumanagara pada abad ke-5 sehingga pelabuhan ini diperkirakan telah ada sejak abad ke-5 dan diperkirakan merupakan ibukota Tarumanagara yang disebut Sundapura.
Pada abad ke-12 banyak kapal-kapal asing yang berasal dari Tiongkok, Jepang, India Selatan, dan Timur Tengah berlabuh di pelabuhan ini membawa barang-barang seperti porselen, kopi, sutra, kain, wangi-wangian, kuda, anggur, dan zat warna untuk ditukar dengan rempah-rempah yang menjadi komoditas dagang saat itu.
Orang Eropa pertama yang datang ke Jakarta adalah orang Portugis. Pada abad ke-16, Surawisesa, raja Sunda meminta bantuan Portugis yang ada di Malaka untuk mendirikan benteng di Sunda Kelapa sebagai perlindungan dari kemungkinan serangan Cirebon yang akan memisahkan diri dari Kerajaan Sunda. Upaya permintaan bantuan Surawisesa kepada Portugis di Malaka tersebut diabadikan oleh orang Sunda dalam cerita pantun seloka Mundinglaya Dikusumah di mana Surawisesa diselokakan dengan nama gelarnya yaitu Mundinglaya. Namun sebelum pendirian benteng tersebut terlaksana, Cirebon yang dibantu Demak lebih dahulu menyerang pelabuhan tersebut. Orang Sunda menyebut peristiwa ini tragedi karena penyerangan tersebut membungihanguskan kota pelabuhan tersebut dan membunuh banyak rakyat Sunda disana termasuk sahbandar pelabuhan. Penetapan hari jadi Jakarta tanggal 22 Juni adalah berdasarkan tragedi penaklukan pelabuhan Sunda Kalapa oleh Fatahillah pada tahun 1527 dan mengganti nama kota tersebut menjadi Jayakarta yang berarti "kemenangan".
 Orang Belanda datang ke Jayakarta sekitar akhir abad ke-16 dan pada 1619, VOC dipimpin oleh Jan Pieterszoon Coen menaklukan Jayakarta dan kemudian mengubah namanya menjadi Batavia. Dalam masa Belanda, Batavia berkembang menjadi kota yang besar dan penting.
Penjajahan oleh Jepang dimulai pada tahun 1942 dan mengganti nama Batavia menjadi Jakarta untuk menarik hati penduduk pada Perang Dunia II. Kota ini juga merupakan tempat dilangsungkannya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan diduduki Belanda sampai pengakuan kedaulatan tahun 1949. Jadi, asal kata nama Betawi bukanlah nama yang sesungguhnya di berikan kepada suku ini, nama Betawi merupakan turunan kata/ penyesuaian lidah dari Batavia. Nama Batavia pun ada di Negara Bagian New York. Bahkan kota Batavia pernah menjadi role model bagi Belanda untuk membangun New Amsterdam sebuah kota di pinggir sungai Hudson, setelah ditaklukkan Inggris kota itu berubah nama menjadi New York.
Suku Betawi berasal dari hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu. Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang didatangkan oleh Belanda ke Batavia. Yang disebut dengan suku Betawi sebenarnya terhitung sebagai pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Arab, Bali, Sumbawa, Ambon, Melayu dan Tionghoa.
Kata Betawi digunakan untuk menyatakan suku asli yang menghuni Jakarta dan bahasa Melayu Kreol yang digunakannya, dan juga kebudayaan Melayunya. Kata Betawi sebenarnya berasal dari kata "Batavia," yaitu nama kuno Jakarta yang diberikan oleh Belanda.
Diperkirakan, etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893. Perkiraan ini didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance Castle. Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, yang dibuat berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi.
Pada tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori baru dalam data sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu.
Awalnya kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong.
Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.

C.    Bahasa Betawi
Bahasa Betawi atau Melayu dialek Jakarta atau Melayu Batavia (bew) adalah sebuah bahasa yang merupakan anak bahasa dari Melayu. Mereka yang menggunakan bahasa ini dinamakan orang Betawi. Bahasa ini hampir seusia dengan nama daerah tempat bahasa ini dikembangkan, yaitu Jakarta.
Bahasa Betawi adalah bahasa kreol (Siregar, 2005) yang didasarkan pada bahasa Melayu Pasar ditambah dengan unsur-unsur bahasa Sunda, bahasa Bali, bahasa Jawa, bahasa dari Cina Selatan (terutama bahasa Hokkian), bahasa Arab, serta bahasa dari Eropa, terutama bahasa Belanda dan bahasa Portugis. Bahasa ini pada awalnya dipakai oleh kalangan masyarakat menengah ke bawah pada masa-masa awal perkembangan Jakarta. Komunitas budak serta pedagang yang paling sering menggunakannya. Karena berkembang secara alami, tidak ada struktur baku yang jelas dari bahasa ini yang membedakannya dari bahasa Melayu, meskipun ada beberapa unsur linguistik penciri yang dapat dipakai, misalnya dari peluruhan awalan me-, penggunaan akhiran -in (pengaruh bahasa Bali), serta peralihan bunyi /a/ terbuka di akhir kata menjadi /e/ atau /ɛ/ pada beberapa dialek lokal.
Di bawah ini adalah beberapa kata dalam Bahasa Betawi dan artinya dalam bahasa Indonesia:
1.       siape                     = siapa
2.       ape                         = apa
3.       ade                         = ada
4.       aye                         = saya
5.       aje                           = saja
6.       Jakarte                   = Jakarta
7.       pastinye                 = pastinya
8.       katanye                  = katanya
9.       gile                         = gila
10.    ke mane                  = ke mana
11.    di mane                  = di mana

D.    Aspek Sosial Betawi
Banyak orang yang berasumsi mengenai  masyarakat Betawi bahwa dari  mereka jarang ada yang berhasil, baik dalam segi ekonomi, pendidikan, dan teknologi. Asumsi tersebut ternyata salah karena tidak sedikit orang Betawi yang berhasil. Beberapa dari mereka diantaranya adalah Muhammad Husni Thamrin, Benyamin Sueb, dan Fauzi Bowo yang menjadi Gubernur Jakarta saat ini .
1.  Perilaku dan Sifat
Terdapat  beberapa hal yang positif dari kehidupan social masyarakat  Betawi, antara lain jiwa sosial mereka yang  sangat tinggi, ini terbukti ketika salah satu warga Betawi yang sedang mengalami kesusahan mereka senantiasa saling membantu walaupun kadang-kadang dalam beberapa hal tertentu  terlalu berlebih dan cenderung tendensius. Selain itu  orang Betawi juga senantiasa  sangat menjaga nilai-nilai agama yang tercermin dari ajaran orangtua (terutama yang beragama Islam), kepada anak-anaknya. Masyarakat Betawi sangat menghargai pluralisme. Hal ini terlihat dengan hubungan yang baik antara masyarakat Betawi dan pendatang dari luar Jakarta. Mereka senantiasa ramah dan tidak membeda-bedakan antara pendatang dengan penduduk asli.
Orang Betawi sangat menghormati budaya yang mereka warisi. Terbukti dari perilaku kebanyakan warga yang mesih memainkan lakon atau kebudayaan yang diwariskan dari masa ke masa seperti lenong, ondel-ondel, gambang kromong, dan lain-lain.
2. Sistem kekerabatan
Dalam kaitannya dengan sistem kekerabatan, misalnya dalam penarikan garis keturunan, mereka mengikuti prinsip bilineal, artinya menarik garis keturunan kepada pihak ayah dan pihak ibu. Adat menetap nikah sangat tergantung kepada perjanjian kedua pihak sebelum perpisahan berlangsung. Ada pengantin baru yang sesudah menikah menetap di sekitar kediaman kerabat suami (patrilokal) dan ada pula yang menetap di sekitar lingkungan kerabat isteri (matrilokal). Pada masa lalu, setiap orang tua selalu bercita-cita membuat rumah (ngerumahin) bagi anaknya yang telah menikah. Yang membuat rumah itu mungkin orang tua pihak laki-laki atau orang tua pihak perempuan. Pada saat sudah dibuatkan rumah itulah, pasangan ini berdiri sendiri atau lepas dari tanggung jawab orang tua. Di pihak lain orang tua pada umumnya cenderung menyandarkan hidup di hari tuanya pada anak perempuan. Mereka merasa anak perempuan sendiri akan lebih terampil mengurus orang tua daripada menantu perempuan, meskipun mereka tidak membedakan anak laki-laki dan anak perempuan.
3.  Profesi
Dalam segi keprofesian khususnya  sebelum era pembangunan orde baru, masyarakat Betawi terbagi atas beberapa profesi menurut lingkup wilayah (kampung) mereka masing-masing. Contohnya di kampung Kemanggisan dan sekitar Rawabelong banyak dijumpai para petani kembang (anggrek, kemboja jepang, dan lain-lain). Dan secara umum kebanyakan dari mereka  menjadi guru, pengajar, dan pendidik seperti K.H. Djunaedi, K.H. Suit, dll. Profesi pedagang dan pembatik juga banyak dilakoni oleh kaum betawi. Petani dan pekebun pun umum dilakoni oleh warga Kemanggisan.
Kampung yang sekarang lebih dikenal dengan Kuningan adalah tempat para peternak sapi perah. Sedangkan di  Kampung Kemandoran banyak dijumpai jagoan silat seperti Ji'ih yang merupakan teman seperjuangan Pitung dari Rawabelong. Juga di kampung Paseban warganya banyak yang menjadi kaum pekerja kantoran sejak zaman Belanda dahulu, meskipun dalam  kemampuan pencak silat mereka juga tidak diragukan.
 Orang betawi yang berdiam di wilayah Klender yang dahulu termasuk wilayah pinggiran, ini hampir dapat dikatakan di tengah kota. Orang betawi Klender ini secara turun-temurun hidup dari pembuatan barang-barang meubel dan kini menjadi salah satu pusat industri terkenal di Jakarta. Orang Betawi yang berada di daerah pinggiran hidup sebagai petani sawah, buah-buahan, pedagang kecil, memelihara ikan, dan sekarang di antara mereka banyak yang menjadi buruh pebrik, pegawai, dan lain-lain. Areal pertanian yang dulunya masih luas, kini semakin sempit dan berubah menjadi daerah peerumahan, kawasan industri, pemukiman baru, dan lain-lain. Kawasan Condet di Jakarta Timur dahulu secara dominan dihuni oleh petani betawi yang terkenal dengan tanaman buah-buahannya. Karena itu pemerintah DKI pernah memutuskan menjadikan daerah ini menjadi kawasan cagar budaya dengan maksud melestarikan budaya betawi dengan mempertahankan ekosistemnya. Namun, perkembangan kota, perkembangan masyarakat betawi dan masyarakat Jakarta pada umumnya menyebabkan gagasaan cagar budaya itu sepertinya hanya akan berahir menjadi sebuah impian.

E.     Aspek Religius Masyarakat Betawi
Sebagian besar Orang Betawi menganut agama Islam, tetapi yang menganut agama Kristen, Protestan, dan Katolik juga ada walaupun hanya sedikit sekali. Masyarakat Betawi dikenal memiliki keyakinan yang kuat mengenai kepercayaan yang mereka anut. Mereka senantiasa menjaga nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari. Juga menjaga ajaran agama yang diajarkan oleh orangtuanya. Terutama yang berkeyakinan agama Islam, menurut H. Mahbub Djunaidi kebudayaan betawi sebagai suatu subkultur hampir tidak bisa dipisahkan dengan agama Islam. Agama Islam sangat mengakar dalam kebudayaan Betawi terlihat dalam berbagai kegiatan masyarakat betawi dalam menjalani kehidupan. Pengaruh agama Islam juga sampai dalam bidang pendidikan, bagi orang betawi tempo dulu orang yang tidak bisa membaca huruf arab dianggap buta huruf sehingga mereka cenderung mengesampingkan pendidikan formal.

F.     Ciri Khas Kebudayaan Betawi
            Kebudayaan Betawi memiliki ciri khas tersendiri yang dapat membedakannya dengan suku lain. Selain itu juga dapat menjadi identitas dari suku tersebut. Ciri tersebut pada umumnya ditonjolkan dalam bidang kesenian, upacara adat, rumah adat, pakaian adat, senjata tradidonal, cerita rakyatnya, dan yang lebih sering dikenal adalah mengenai kuliner khasnya.
1.   Kesenian
                        Kesenian Betawi banyak dipengaruhi oleh budaya etnis luar. Hal ini dikarenakan suku Betawi itu sendiri yang merupakan pencampuran dari berbagai etnis. Kesenian tersebut mencakup seni musik, tarian, ondel-ondel, dan lenong.
a. Seni Musik
1)      Gambang Kromong
Gambang keromong (sering pula ditulis gambang kromong) adalah sejenis orkes yang memadukan gamelan dengan alat musik umum. Sebutan gambang keromong diambil dari nama dua buah alat perkusi, yaitu gambang dan keromong. Awal mula terbentuknya orkes gambang keromong tidak lepas dari seorang pimpinan golongan Tionghoa yang bernama Nie Hu-kong.
Bilahan gambang yang berjumlah 18 buah, biasa terbuat dari kayu suangking, huru batu atau kayu jenis lain yang empuk bunyinya bila dipukul. Keromong biasanya dibuat dari perunggu atau besi, berjumlah 10 buah (sepuluh pencon). Tangga nada yang digunakan dalam gambang keromong adalah tangga nada pentatonik Cina. Instrumen pada gambang keromong terdiri atas gong, gendang, suling, bonang, kecrek, dan rebab atau biola sebagai pembawa melodi.
Orkes gambang keromong merupakan perpaduan yang serasi antara unsur-unsur pribumi dengan unsur Tionghoa. Secara fisik unsur Tionghoa tampak pada alat-alat musik gesek yaitu Tehyan, Kongahyan dan Sukong. Perpaduan kedua unsur kebudayaan tersebut tampak pula pada perbendarahaan lagu-lagunya. Di samping lagu-lagu yang menunjukan sifat pribumi seperti Jali-jali, Surilang, Persi, Balo-balo, Lenggang-lenggang Kangkung, Onde-onde, Gelatik Ngunguk dan sebagainya, terdapat pula lagu-lagu yang jelas bercorak Tionghoa, baik nama lagu, alur melodi maupun liriknya seperti Kong Jilok, Sipatmo, Phe Pantaw, Citnosa, Macuntay, Gutaypan, dan sebagainya.
Lagu-lagu yang dibawakan pada musik gambang keromong adalah lagu-lagu yang isinya bersifat humor, penuh gembira, dan kadangkala bersifat ejekan atau sindiran. Pembawaan lagunya dinyanyikan secara bergilir antara laki-laki dan perempuan sebagai lawannya.
Gambang keromong merupakan musik Betawi yang paling merata penyebarannya di wilayah budaya Betawi, baik di wilayah DKI Jakarta sendiri maupun di daerah sekitarnya. Jika lebih banyak penduduk Tionghoa dalam masyarakat Betawi setempat, lebih banyak pula terdapat grup-grup orkes gambang keromong. Di Jakarta Utara dan Jakarta Barat misalnya, lebih banyak jumlah grup gambang keromong dibandingkan di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur.
Dewasa ini juga terdapat istilah "gambang keromong kombinasi". Gambang keromong kombinasi adalah orkes gambang keromong yang alat-alatnya ditambah atau dikombinasikan dengan alat-alat musik Barat modern seperti gitar melodis, bas, gitar, organ, saksofon, drum dan sebagainya, yang mengakibatkan terjadinya perubahan dari laras pentatonik menjadi diatonik tanpa terasa mengganggu. Hal tersebut tidak mengurangi kekhasan suara gambang keromong sendiri, dan lagu-lagu yang dimainkan berlangsung secara wajar dan tidak dipaksakan.
  
2)      Tanjidor
Orkes Tanjidor sudah tumbuh sejak abad ke 19, berkembang di daerah pinggiran. Menurut beberapa keterangan, orkes itu berasal dari orkes yang semula dibina dalarn lingkungan tuan-tuan tanah, seperti tuan tanah.
Pada umumnya alat-alat musik pada orkes Tanjidor terdiri dari alat musik tiup seperti piston (cornet a piston), trombon, tenor, klarinet, bas, dilengkapi dengan alat musik pukul membran yang biasa disebut tambur atau genderang. Dengan peralatan tersebut cukup untuk mengiringi pawai atau mengarak pengantin.
Untuk pergelaran terutama yang ditempat dan tidak bergerak alat-alatnya sering kali ditambah dengan alat gesek seperti tehyan, dan beberapa membranfon seperti rebana, bedug dan gendang, ditambah pula dengan beberapa alat perkusi seperti kecrek, kempul dan gong.
Lagu-lagu yang biasa dibawakan orkes tanjidor, menurut istilah setempat adalah “Batalion”, “Kramton” “Bananas”, “Delsi”, “Was Tak-tak”, “Cakranegara”, dan “Welmes”. Pada perkembangan kemudian lebih banyak membawakan lagu-lagu rakyat Betawi seperti Surilang, Jali-jali, dan sebagainya, serta lagu-lagu yang menurut istilah setempat dikenal dengan lagu-lagu Sunda gunung, seperti “Kangaji”, “Oncomlele” dan sebagainya.
Grup-grup Tanjidor yang berada di wilayah DKI Jakarta antara lain dari Cijantung pimpinan Nyaat, Kalisari pimpinan Nawin, Pondokranggon pimpinan Maun, Ceger pimpinan Gejen.
Daerah penyebaran Tanjidor, kecuali di daerah pinggiran kota Jakarta, adalah di sekitar Depok, Cibinong, Citeureup, Cileungsi, Jonggol, Parung dalam wilayah Kabupaten Bogor, di beberapa tempat di wilayah Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Tangerang.
Sebagai kesenian rakyat, pendukung orkes Tanjidor terutama para petani di daerah pinggiran. Pada umumnya seniman Tanjidor tidak dapat rnengandalkan nafkahnya dari hasil yang diperoleh dari bidang seninya. Kebanyakan dari mereka berprofesi dengan bercocok tanam, atau berdagang kecil-kecilan.
Oleh masyarakat pendukungnya Tanjidor biasa digunakan untuk memeriahkan hajatan seperti pernikahan, khitanan dan sebagainya, atau pesta-pesta umum seperti untuk merayakan ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan. Sampai tahun lima puluhan rombongan-rombongan Tanjidor biasa mengadakan pertunjukan keliling. Pertunjukan keliling demikian itu terutama dilakukan pada waktu pesta Tahun Baru, baik Masehi maupun Imlek.
Perlu dikemukakan, bahwa sesuai dengan perkembangan jaman dan selera masyarakat pendukungnya, Tanjidor dengan biasa pula membawakan lagu-lagu dangdut. Ada pula yang secara khusus membawakan lagu-lagu Sunda Pop yang dikenal dengan sebutan “Winingan tanji”.
  
3)      Orkes Samrah
Orkes Samrah adalah kesenian Betawi dalam bentuk orkes yang mendapat pengaruh suku Melayu. Alat musik yang membentuk orkes Samrah adalah harmonium, biola, gitar, dan tamborin. Kadang-kadang dilengkapi dengan rebana bahkan gendang. Mengenai alat musik bernama harmonium ini memang sudah langka.
Orkes Samrah biasa digunakan untuk mengiringi nyanyian dan tarian. Beberapa lagu Melayu; Burung Putih, Pulau Angsa Dua, Cik Minah Sayang, Sirih Kuning, Masmura, dan sebagainya. Disamping itu biasa pula dibawakan banyaknya lagu yang merupakan khas Betawi, seperti: Kicir-Kicir, Jali-Jali, Lenggang Kangkung dan sebagainya.
Kostum yang dipakai pemain musik Samrah ada dua macam yakni: peci, jas dan kain pelekat atau peci, baju sadariah dan celana batik. Sekarang ditambah lagi dengan model baru yang sebenarnya model lama yang disebut Jung Serong (ujungnya serong) yang terdiri dari tutup kepala yang disebut liskol, jas kerah tutup dengan pentolan satu warna dan sepotong kain batik yang dililitkan dibawah jas, dilipat menyerong, ujungnya menyempul kebawah.
Lokasi penyebaran Musik Samrah, dapat ditemukan di daerah tengah dari wilayah budaya Betawi, yaitu di Tanah Abang, Cikini, Paseban, Tanah Tinggi, Kemayoran, Sawah Besar dan Petojo.
Masyarakat pendukungnya umumnya golongan menengah, baik sosial maupun ekonomi. Popularitasnya tampak makin menurun, sehingga dewasa ini jarang tampak menyelenggarakan pergelaran.

4)      Orkes Rebana
Orkes rebana merupakan kesenian yang mendapat pengaruh Timur Tengah dan bernafaskan agama Islam. Berdasarkan alatnya, sumber syair yang dibawakannya dan latar belakang sosial pendukungnya rebana Betawi terdiri dari bermacam-macam jenis dan nama, seperti rebana ketimpring, rebana ngarak, rebana dor dan rebana biang. Sebutan rebana ketimpring karena adanya tiga pasang kerincingan yakni semacam kecrek yang dipasang pada badannya yang terbuat dari kayu. Sedangkan rebana Ketimpring digunakan untuk memeriahkan arak-arakan, misalnya mengarak pengantin pria menuju rumah mempelainya biasanya disebut rebana ngarak, disamping ada yang menggunakan rebana khusus untuk itu, yang ukurannya lebih kecil. Syair-syair yang dinyanyikan selama arak-arakan antara lain diambil dari kitab Diba atau Diwan Hadroh.
Rebana ketimpring yang digunakan untuk mengiringi perayaan-perayaan keluarga seperti kelahiran, khitanan, perkawinan dan sebagainya, disebut rebana maulid. Telah menjadi kebiasaan di kalangan orang Betawi yang taat kepada agamanya untuk membacakan syair yang menuturkan riwayat Nabi Besar Muhammad SAW. sebagai acara utamanya yang sering kali diiringi rebana maulid. Syair-syair pujian yang biasa disebut Barjanji, karena diambil dari kitab Syaraful Anam karya Syeikh Barzanji.
Rebana dor biasa digunakan mengiringi lagu lagu atau yalil seperti Shikah, Resdu, Yaman Huzas dan sebagainya.
Rebana kasidah (qosidah) seperti keadaannya dewasa ini merupakan perkembangan lebih lanjut dari rebana dor. Lirik lirik lagu yang dinyanyikannya tidak terbatas pada lirik-lirik berbahasa Arab, melainkan banyak pula yang berbahasa Indonesia. Berlainan dengan jenis jenis rebana lainnya, pada rebana qasidah dewasa ini sudah lazim kaum wanita berperan aktif, baik sebagai penabuh maupun sebagai pembawa vokal. Dengan dernikian rebana kasidah lebih menarik dan sangat populer.

5)      Keroncong Tugu
 Kroncong tugu berasal dari Eropa Selatan. Sejak abad ke 18 musik ini berkembang di kalangan Masyarakat Tugu, yaitu sekelompok masyarakat keturunan golongan apa yang disebut Mardijkers, bekas anggota tentara Portugis yang dibebaskan dari tawanan Belanda. Setelah beralih dari Katolik menjadi Protestan, mereka ditempatkan di Kampung Tugu,yang saat ini termasuk wilayah Kecamatan Koja, Jakarta Utara, dengan jemaat dan gereja tersendiri yang dibangun pertama kali pada tahun 1661. Pada masa-masa yang lalu keroncong ini dibawakan sambil berbiduk-biduk di sungai di bawah sinar bulan, disamping untuk pertunjukan, bahkan untuk mengiringi lagu-lagu gereja. Alat-alat musik keroncong tugu masih tetap seperti tiga abad yang lalu, terdiri dari keroncong, biola, ukulele, banyo, gitar, rebana, kernpul, dan selo.

6)      Orkes Gambus
Orkes gambus adalah musik Betawi yang berasal dari Timur Tengah. Pada kesempatan-kesempatan tertentu, misalnya untuk memeriahkan pesta perkawinan, orkes gambus digunakan untuk mengiringi tari zafin, yakni tari pergaulan yang lazimnya hanya dilakukan oleh kaum pria saja. Tetapi sekarang ini sudah mulai ada yang mengembangkannya menjadi tari pertunjukan dengan mengikutsertakan penari wanita.

b. Tarian
Seni tari di Jakarta merupakan perpaduan antara unsur-unsur budaya masyarakat yang ada di dalamnya. Pada awalnya, seni tari di Jakarta memiliki pengaruh Sunda dan Tionghoa seperti tariannya yang memiliki corak tari Jaipong dengan kostum penari khas pemain Opera Beijing. Namun Jakarta dapat dinamakan daerah yang paling dinamis. Selain seni tari lama juga muncul seni tari dengan gaya dan koreografi yang dinamis.
Dewasa ini orkes gambang kromong biasa digunakan untuk mengiringi tari pertunjukan kreasi baru, pertunjukan kreasi baru, seperti tari Sembah Nyai, Sirih Kuning dan sebagainya, disamping sebagai pengiring tari pergaulan yang disebut tari cokek. Sebagai pembukaan pada tari cokek ialah wawayangan. Penari cokek berjejer memanjang sambil melangkah maju mundur mengikuti irarna garnbang kromong. Rentangan tangannya setinggi bahu meningkah gerakan kaki. Setelah itu mereka untuk menari bersama,dengan mengalungkan selendang pertama-tama kepada tamu yang dianggap paling terhormat. Bila yang diserahi selendang itu bersedia ikut menari maka mulailah mereka ngibing, menari berpasang-pasangan. Tiap pasang berhadapan pada jarak yang dekat tetapi tidak saling bersentuhan. Ada kalanya pula pasangan-pasangan itu saling membelakangi. Kalau tempatnya cukup leluasa biasa pula ada gerakan memutar dalam lingkaran yang cukup luas. Pakaian penari cokek biasanya terdiri atas baju kurung dan celana panjang dari bahan semacam sutera berwarna.
Ada yang berwarna merah menyala, hijau, ungu, kuning dan sebagainya, polos dan menyolok. Di ujung sebelah bawah celana biasa diberi hiasan dengan kain berwarna yang serasi. Selembar selendang panjang terikat pada pinggang dengan kedua ujungnya terurai ke bawah. Rambutnya tersisir rapih licin ke belakang. Ada pula yang dikepang kemudian disanggulkan yang bentuknya tidak begitu besar, dihias dengan tusuk ronde bergoyang-goyang. Orkes gambang kromong biasa pula mengiringi teater lenong. Teater rakyat Betawi ini dalam beberapa segi tata pentasnya mengikuti pola opera Barat, dilengkapi dekor dan properti lainnya, sebagai pengaruh komedi stambul, komedi ala Barat berbahasa Melayu, yang berkernbang pada awal abad ke- duapuluh.
Tari Betawi yang sepenuhnya merupakan aneka gerak pencak silat disebut tari silat. Tari ini ada yang diiringi tabuhan khusus yang disebut gendang pencak. Iringan lainnya yang juga bisa digunakan ialah garnbang kromong, gamelan topeng dan lain-lain. Di kalangan masyarakat Betawi terdapat berbagai aliran silat seperti aliran Kwitang, aliran Tanah Abang, aliran Kemayoran dan sebagainya. Gaya-gaya tari silat yang terkenal antara lain gaya seray, gaya pecut, gaya rompas dan gaya bandul. Tari silat Betawi menunjukkan aliran atau gaya yang diikuti penarinya masing-masing.
Beberapa penata tari kreatif telah berhasil mengubah beberapa tari kreasi baru dengan mengacu pada ragam gerak berbagai tari tradisi Betawi, terutama rumpun Tari Topeng. Tari kreasi baru itu antara lain adalah Tari Ngarojeng, Tari Ronggeng Belantek.

c. Ondel-ondel
Salah satu bentuk pertunjukan rakyat Betawi yang sering ditampilkan dalam pesta-pesta rakyat adalah ondel-ondel. Nampaknya ondel-ondel memerankan leluhur atau nenek moyang yang senantiasa menjaga anak cucunya atau penduduk suatu desa.
Ondel-ondel yang berupa boneka besar itu tingginya sekitar ± 2,5 m dengan garis tengah ± 80 cm, dibuat dari anyaman bambu yang disiapkan begitu rupa sehingga mudah dipikul dari dalamnya. Bagian wajah berupa topeng atau kedok, dengan rambut kepala dibuat dari ijuk. Wajah ondel-ondel laki-laki di cat dengan warna merah, sedang yang perempuan dicat dengan warna putih Bentuk pertunjukan ini banyak persamaannya dengan yang terdapat di beberapa daerah lain. Di Pasundan dikenal dengan sebutan Badawang, di Jawa Tengah disebut Barongan Buncis, di Bali barong landung. Menurut perkiraan jenis pertunjukan itu sudah ada sejak sebelum tersebarnya agama Islam di Pulau Jawa. Semula ondel-ondel berfungsi sebagai penolak bala atau gangguan roh halus yang gentayangan. Dewasa ini ondel-ondel biasanya digunakan untuk menambah semarak pesta- pesta rakyat atau untuk penyambutan tamu terhormat, misainya pada peresmian gedung yang baru selesai dibangun. Betapapun derasnya arus modernisasi, ondel-ondel ternyata masih tetap bertahan dan menjadi penghias wajah kota metropolitan Jakarta.

d. Lenong
Lenong adalah teater tradisional Betawi. Kesenian tradisional ini diiringi musik gambang kromong dengan alat-alat musik seperti gambang kromong, gong, kendang, kempor, suling, dan kecrekan, serta alat musik unsur Tionghoa sepertitehyan, kongahyang, dan sukong. Lakon atau skenario lenong umumnya mengandung pesan moral, yaitu menolong yang lemah, membenci kerakusan dan perbuatan tercela. Bahasa yang digunakan dalam lenong adalah bahasa Melayu (atau kini bahasa Indonesia) dialek Betawi.
Lenong berkembang sejak akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20. Kesenian teatrikal tersebut mungkin merupakan adaptasi oleh masyarakat Betawi atas kesenian serupa seperti "komedi bangsawan" dan "teater stambul" yang sudah ada saat itu. Selain itu, Firman Muntaco, seniman Betawi, menyebutkan bahwa lenong berkembang dari proses teaterisasi musik gambang kromong dan sebagai tontonan sudah dikenal sejak tahun 1920-an.
Lakon-lakon lenong berkembang dari lawakan-lawakan tanpa plot cerita yang dirangkai-rangkai hingga menjadi pertunjukan semalam suntuk dengan lakon panjang dan utuh. Pada mulanya kesenian ini dipertunjukkan dengan mengamen dari kampung ke
kampung. Pertunjukan diadakan di udara terbuka tanpa panggung. Ketika pertunjukan berlangsung, salah seorang aktor atau aktris mengitari penonton sambil meminta sumbangan secara sukarela. Selanjutnya, lenong mulai dipertunjukkan atas permintaan pelanggan dalam acara-acara di panggung hajatan seperti resepsi pernikahan. Baru di awal kemerdekaan, teater rakyat ini murni menjadi tontonan panggung.
Terdapat dua jenis lenong yaitu lenong denes dan lenong preman. Dalam lenong denes (dari kata denes dalam dialek Betawi yang berarti "dinas" atau "resmi"), aktor dan aktrisnya umumnya mengenakan busana formal dan kisahnya ber-seting kerajaan atau lingkungan kaum bangsawan, sedangkan dalam lenong preman busana yang dikenakan tidak ditentukan oleh sutradara dan umumnya berkisah tentang kehidupan sehari-hari. Lenong denes dapat dianggap sebagai pekembangan dari beberapa bentuk teater rakyat Betawi yang dewasa ini telah punah, yaitu wayang sumedar, senggol, dan wayang dermuluk. Sedang lenong preman adalah perkembangan dari wayang sironda. Selain itu, kedua jenis lenong ini juga dibedakan dari bahasa yang digunakan; lenong denes umumnya menggunakan bahasa yang halus (bahasa Melayu tinggi), sedangkan lenong preman menggunakan bahasa percakapan sehari-hari, sehingga sangat akrab dan komunikatif dengan para penontonya. Kisah yang dilakonkan dalam lenong preman misalnya adalah kisah rakyat yang ditindas oleh tuan tanah dengan pemungutan pajak dan munculnya tokoh pendekar taat beribadah yang membela rakyat dan melawan si tuan tanah jahat. Sementara itu, contoh kisah lenong denes adalah kisah-kisah 1001 malam.
2.      Upacara-upacara Adat
Suku Betawi memiliki upacara-upacara adat khasnya tersendiri, diantaranya upacara perkawinan, nuju bulanan, kerik tangan, dan sunatan.
a.   Upacara Perkawinan
Upacara perkawinan adat Betawi ditandai dengan serangkaian prosesi. Didahului masa perkenalan melalui Mak Comblang. Kemudian dilanjutkan dengan lamaran, pingitan, upacara siraman, prosesi potong cantung atau ngerik bulu kalong dengan uang logam yang diapit lalu digunting, dan malam pacar yakni mempelai memerahkan kuku kaki dan kuku tangannya dengan pacar. Serta puncak prosesi adat Betawi adalah Akad nikah. Saat akad nikah, mempelai wanita memakai baju kurung dengan teratai dan selendang sarung songket. Kepala mempelai wanita dihias sanggul sawi asing serta kembang goyang sebanyak 5 buah, serta hiasan sepasang burung Hong. Dahi mempelai wanita diberi tanda merah berupa bulan sabit menandakan masih gadis saat menikah. Sedangkan mempelai pria memakai jas Rebet, kain sarung plakat, hem, jas, serta kopiah. Ditambah baju gamis berupa jubah Arab yang dipakai saat resepsi dimulai. Jubah, baju gamis, dan selendang yang memanjang dari kiri ke kanan serta topi model Alpie menandai agar rumah tangga selalu rukun dan damai.
Pada saat prosesi akad nikah, mempelai pria dan keluarganya datang naik andong atau delman hias dengan disambut petasan. Syarat mempelai pria diperbolehkan masuk menemui orang tua mempelai wanita adalah prosesi ‘Buka Palang Pintu’. Yakni, dialog antara jagoan pria dan jagoan wanita, kemudian ditandai pertandingan silat serta dilantunkan tembang Zike atau lantunan ayat-ayat Al Quran. Pada akad nikah, rombongan mempelai pria membawa hantaran berupa: sirih, gambir, pala, kapur dan pinang. Artinya segala pahit, getir,dan manisnya kehidupan rumah tangga harus dijalani bersama antara suami istri. Lalu Maket Masjid ditujukan agar tidak lupa pada agama dan harus menjalani ibadah shalat serta mengaji. Kekudang, berupa barang kesukaan mempelai wanita misalnya salak condet, jamblang, dan sebagainya. Mahar atau mas kawin pesalinan berupa pakaian wanita seperti kebaya encim, kain batik, lasem, kosmetik, dan sepasang roti buaya.
Masyarakat Betawi menganalogikan roti buaya ini sebagai symbol kesetiaan, karena buaya merupakan pasangan yang abadi dan tidak berpoligami serta selalu mencari makan bersama-sama. Selain itu petisie yang berisi sayur mayur atau bahan mentah untuk pesta, misalnya wortel, kentang, telur asin, bihun, buncis dan sebagainya.
Akad nikah dilakukan di depan penghulu. Setelah akad nikah selesai, dibunyikanlah petasan, sebagai tanda pada masyarakat bahwa kedua mempelai telah sah menjadi suami istri.
Setelah itu ada beberapa rangkaian acara, diantaranya:
1)         Mempelai pria membuka cadar pengantin wanita untuk memastikan pengantin tersebut adalah dambaan hatinya.
2)       Mempelai wanita mencium tangan mempelai pria.
3)         Kedua mempelai duduk bersanding di pelaminan.
4)         Kedua mempelai  dihibur dengan tarian Kembang Jakarta
5)         Pembacaan doa berisi wejangan untuk kedua mempelai dan keluarga kedua belah pihak yang tengah berbahagia.

b.   Upacara Nuju Bulanan
Upacara nuju bulanan merupakan selamatan ketika usia kandungan mencapai tujuh bulan yang hanya diselenggarakan pada kehamilan pertama. Tujuan upacara ini adalah mensyukuri nikmat Tuhan, memohon keselamatan, berisi harapan agar anak yang akan lahir itu menjadi anak yang soleh, berbudi luhur dan patuh pada orang tua. Itulah sebabnya dalam upacara ini dibaca kitab suci Al-Qur’an, khusunya surat Yusuf. Isi surat ini menggambarkan ketampanan nabi Yusuf, keluhuran akhlaknya, dan kepatuhannya terhadap orang tua. Lalu terselip harapan semoga anak yang lahir mendekati sifat nabi Yusuf AS.

c.    Upacara Kerik Tangan
Upacara kerik tangan berupa serah terima tugas perawatan bayi dari dukun bayi kepada keluarga si bayi. Intinya berupa ungkapan terima kasih dari keluarga kepada sang dukun atas keikhlasannya.

d.      Upacara Sunatan
Orang Betawi melaksanakan khitanan yang disebut Sunatan atau Pengantin Sunat, untuk memenuhi ketentuan agama dan kesehatan. Anak laki-laki yang disunat berusia 5 sampai 10 tahun. Rangkaian acara sunat itu terdiri dari acara mengarak, menyunat, dan selamatan. Anak yang disunat mengenakan “pakaian pengantin” dan diarak keliling kampung. Kadang-kadang anak yang disunat naik kuda dan disertai bunyi- bunyian seperti rebana. Bunyi-bunyian tersebut untuk menarik perhatian masyarakat sekitarnya terutama anak-anak untuk memperpanjang arak-arakan itu. Hal ini menyebabkan anak yang akan disunat menjadi gembira. Acara sunatan sendiri dilaksanakan keesokan harinya. Setelah anak itu disunat, dibunyikan petasan sebagai tanda pemberitahuan bahwa anak itu telah disunat. Setelah itu diadakanlah selamatan. Bagi yang mampu dilanjutkan dengan hiburan seperti lenong dan topeng.

3.      Rumah Adat
Pada masa sekarang ini, rumah-rumah adat tradisional khas Betawi yang benar-benar asli Jakarta swudah sangat langka. Namun, di beberapa tempat seperti Marunda, Condet maupun daerah-daerah pinggiran lain masih dapat ditemukan. Ada empat tipe rumah tradisional khas Betawi, yaitu tipe Gudang, tipe Bapang, tipe Kebava, dan tipe Joglo.
Rumah tipe Gudang dan Bapang memiliki bentuk segi empat yang polos dan sangat sederhana.
Sedangkan rumah tipe Kebava memiliki beberapa bagian diantaranya:
a.       Langkan yaitu bagian rumah yang berpagar rendah dan berfungsi sebagai serambi rumah, dibuat dari kayu atau bamboo.
b.      Ruang depan, biasanya terbuka setiap saat tanpa ada pintu yang menghalangi seseorang untuk masuk. Hal ini melambangkan sifat orang Betawi yang terbukia dan ramah.
c.       Balai-balai dari bambu, yang merupakan perlengkapan utama dan terdapat di ruang depan. Ini difungsikan untuk menerima tamu.
d.      Atap dan wuwungan. Jika dilihat dari depan akan tampak berbentuk segitiga sama kaki dengan tambahan pet sebagai penahanan hujan atau panas, sedangkan dari samping akan tampak berbentuk trapezium. Bagian atap pada pertemuan sisi kaki segitiga sama kaki trapezium disebut jurai. Jurai adalah genting yang dipasangkan atau dipaku pada ander sebagai penghubung sisi segitiga dengan kaki trapezium untuk menahan air agar tidak masuk ke dalam rumah.
e.       Jendela bulat yang biasanya terdapat di samping kiri atau kanan ruang depan ada yang ditutup dengan daun jendela, seringkali ditutup dengan jeruji besi. Jendela bulat yang dikenal oleh orang Betawi sama sekali tidak menggunakan daun jendela ataupun jeruji yang disebut melompang.
f.       Jendela intip, yakni dua buah jendela yang terdapat di kiri dan kanan pintu masuk ke ruang dalam. Bentuknya berupa jendela berjeruji kayu berukir dan tidak berdaun jendela. Berfungsi untuk mengintip tamu yang datang.
g.      Lantai rumah, baik lantai tanah maupun lantai rumah panggung biasanya lebih tinggi dari halaman rumah. Hal ini dimaksudkan masuknya air ke dalam rumah. Sedangkan rumah panggung juga berfungsi untuk menghindari gangguan binatang gangguan tamu-tamu di malam hari yang bermaksud tidak baik.
Sedangkan rumah tipe Joglo memiliki beberapa bagian, diantaranya:
a.       Ruang depan, merupakan ruang terbuka dengan kayu jati terukir sebagai langkannya dan berfungsi sebagai tempat menerima tamu.
b.      Ruang tamu perempuan, ruang tamu khusus untuk tamu wanita.
c.       Ruang tidur atau pangkeng
d.      Pendaringan yang berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan tempayan berisi beras dan balai-balai kecil untuk meletakan barang.
e.       Tapang, ruangan kecil dengan balai-balai yang berfungsi serbaguna, dimana tersedia kendi dan peralatan minum lainnya.
f.       Dapur, dimana terdapat tungku tradisional dengan tiga lubang biasanya dari tanah liat.
g.      Kamar mandi, biasanya dilengkapi dengan padasan dan sumur beserta senggotnya.
h.      Halaman rumah orang Betawi pada umumnya ditanami dengan berbagai macam tumbuhan. Apabila luas halaman rumah mencukupi maka beberapa jenis pohon yang biasa ditanam diantaranya rambutan, nangka, kecapi, petai, jengkol, jamblang, duku, salak, tangkil, dan sebagainya. Di sekitar rumah biasanya ditanami pula jenis tanaman yang berfungsi sebagai apotek hidup, antara lain jahe, kunyit, lengkuas, kencur, temulawak, beluntas, dan lain-lain.
4.      Pakaian Adat
Pada pakaian pengantin, terlihat hasil proses asimilasi dari berbagai kelompok etnis pembentuk masyarakat Betawi. Busana yang dikenakan berupa jubah terbuka, yang agak longgar dan besar. Bagian jubah ini, biasanya dihiasi dengan emas dan manik-manik bermotif burung hong, bunga-bungaan, kubah mesjid dan lain sebagainya. Sebelum mengenakan jubah, biasanya seorang pengantin laki-laki memakai gamis (baju dalam) polos berwarna muda yang panjangnya kira-kira sampai mata kaki dan tidak boleh melebihinya. Gamis lebih panjang sekitar 10 cm dari jubah. Sebuah selempang berhiaskan mute sebagai tanda kebesaran pun dikenakan boleh di dalam maupun di luar jubah.
Pengantin laki-laki dengan dandanan cara haji, biasanya menggunakan tutup kepala yang disebut alpia atau alpie. Topi pengantin laki-laki yang berasal dari tanah suci Mekah ini tingginya 15 - 20 cm dan dililit dengan sorban kain, warna putih, gading atau kadang-kadang kuning. Rontje atau untaian bunga melati yang ujung bawahnya ditutup bunga cempaka dan ujung atasnya diberi sekuntum mawar merah, diletakkan sebanyak 3 (tiga) untai di pinggir kiri alpia. Terkadang di bagian atas disematkan sepasang kembang goyang. Mengenai tata rias wajah, tidak ada yang khusus. Hanya sedikit bedak yang ditaburkan di wajah agar terkesan rapi. Biasanya kumis dan cabang juga dirapihkan agar tampak bersih.
 Sedangkan pada pakaian pengantin wanita yang menggunakan syangko (penutup muka), baju model encim dan rok panjang memperlihatkan adanya pengaruh kebudayaan Cina. Uniknya, terompah (alas kaki) orang Betawi pada umumnya mengenal beberapa macam pakaian. Namun yang lazim dikenakan adalah pakaian adat berupa tutup kepala (destar) dengan baju jas yang menutup leher (jas tutup) yang digunakan sebagai stelan celana panjang. Melengkapi pakaian adat pria Betawi ini, selembar kain batik dilingkari pada bagian pinggang dan sebilah belati diselipkan di depan perut. Para wanita biasanya memakai baju kebaya, selendang panjang yang menutup kepala serta kain batik. yang dikenakan oleh pengantin pria dan wanita dipengaruhi oleh kebudayaan Arab. 
5.      Senjata Tradisional
Senjata tradisional khas Jakarta adalah bendo atau golok yang bersarungkan terbuat dari kayu. Hal ini dapat dilihat dari para jagoan-jagoan Betawi pada jaman yang selalu tidak lepas dengan goloknya di pinggang. 
6.      Cerita Rakyat
Cerita rakyat yang berkembang di daerah Jakarta selain cerita rakyat yang sudah dikenal seperti Si Pitung juga dikenal cerita rakyat lain seperti serial Jagoan Tulen yang mengisahkan jawara-jawara Betawi baik dalam perjuangan maupun kehidupannya yang dikenal "keras". Selain mengisahkan jawara atau pendekar dunia persilatan, juga dikenal cerita Nyai Dasima yang menggambarkan kehidupan zaman kolonial.

7.      Kuliner khas Betawi
Setiap daerah tentunya memiliki makanan khas tersendiri yang merupakan produk budaya daerah tersebut. Makanan tersebut  diantaranya:
a.      Nasi Uduk Betawi
Cara penyajiannya unik. Nasi dibungkus dengan daun pisang, sehingga aroma bumbu dan rempah-rempah tetap menyatu pada nasi. Ada taburan daun bawang goreng dan ditambah lagi dengan ayam goreng bumbu kuning, yang sudah sangat terkenal. Sajian ini diramu dari 15 macam bumbu dapur yang diolah secara tradisional. Rasa dan aroma dari ayam goreng bumbu kuning ini sangat khas. Bumbunya sangat meresap sampai ke tulang dan sangat empuk serta gurih rasanya. Ditambah dengan sambal yang khas juga sambal kacangnya. Apalagi dipadu dengan lalapan ketimun, rebusan kol, serta daun kemangi, yang pasti akan menambah selera makan jadi enak. 
b.      Kerak Telor
Makanan ini terbuat dari telor yang dicampur dengan beras ketan dan dimakan bersama kelapa gongseng. Bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat kerak telor yaitu beras ketan, telur ayam atau bebek, udang yang digoreng kering, bawang merah goreng, kelapa sangrai, cabai merah, kencur, jahe, merica, garam, dan gula pasir. Rasa gurih yang berasal dari campuran udang, bawang merah, dan kelapa sangrai menambah cita rasa semakin nikmat. 
c.       Gado-gado
Makanan ini merupakan salad versi betawi, tetapi sayurannya direbus. Bumbunya adalah bumbu kacang. Ditambah dengan telur rebus dan tahu goreng semakin menambah cita rasanya. 
d.      Dodol betawi
Dodol betawi ini biasanya dihidangkan pada saat lebaran dan juga pada acara pernikahan. Terbuat dari tepung ketan dan santan. Cara pembuatannya sama seperti dodol-dodol yang lainnya. 
e.       Tape uli
Tape uli terbuat dari ketan yang difermentasikan dengan ragi. Kemudian bahan yang lainnya terbuat dari ketan juga yang dikukus lalu ditumbuk dan dibuat uli. Cara memakannya adalah uli dicelupkan ke dalam tape tadi. Penganan ini biasa dihidangkan ketika lebaran ataupun pada acara pernikahan. 
f.       Soto Betawi
Soto Betawi ini dibuat dengan menggunakan daging sapi, santan, daun salam, sereh, lengkuas, daun jeruk, bawang merah, bawang putih, kemiri, kunyit, garam dan merica. Yang membedakan soto Betawi dengan soto daerah yang lainnya adalah pemakaian santannya dan ditambah dengan emping goreng. 
g.      Bir Pletok
Bir pletok asli dari Betawi dan dijamin kehalalanya. Cocok untuk diminum saat cuaca dingin. Konon dibuat karena orang Betawi tidak mau kalah dengan sinyo & noni Belanda yang sering berpesta meminum bir. Bisa jadi minuman ini sebenarnya sudah lama dikenal masyarakat Betawi, hanya namanya saja yang diubah untuk menyindir kebiasaan minum- minum kaum penjajah.
Minuman dari jahe dan tanpa fermentasi apapun ini dijamin lebih lezat, lebih wangi, dan lebih menyehatkan daripada wedang jahe/bandrek. Seorang herbalis menyatakan, secara umum, gabungan beberapa komponen menghasilkan khasiat yang lebih tinggi dan efek samping yang lebih rendah daripada satu komponen saja. Dan semua bahan yang digunakan mengandung zat berkhasiat. Dampak dari meminum ini secara teratur membuat badan lebih fit, bobot sedikit berkurang, dan memperlancar buang air besar.
Bir pletok terbuat dari jahe, gula pasir, sereh, daun pandan, daun jeruk purut, kayu manis, cengkeh, pala, kayu secang, dan air. Diberi nama pletok karena pada jaman dulu dibuatnya dalam tempurung kelapa yang dikocok-kocok dan berbunyi pletak-pletok. 
h.      Kembang Goyang
Makanan ini terbuat dari tepung beras, gula, telu, dan santan. Bahan-bahan tersebut kemudian dicampurkan dan sebuah cetakan kembang goyang dicelupkan ke dalamnya kemudian dicelupkan ke dalam minyak panas lalu digoyang-goyang hingga lepas adonan tersebut. Di daerah Sunda pun ada yang hampir mirip dengan penganan ini yang dinamakan kue saroja.
i.        Roti Buaya
Terbuat dari bahan-bahan roti seperti biasa, seperti terigu, gula pasir, margarine, garam, ragi, susu bubuk, dan pewarna makanan. Hanya bentuknya saja yang menyerupai hewan buaya. Biasanya selalu ada di acara perkawinan  sebagai symbol kesetiaan pasangan mempelai.
j.        Kue Rangi
 Kue rangi atau biasa disebut sagu rangi terbuat dari tepung kanji dicampur dengan kelapa yang diparut kasar. Dahulu, orang memanggang kue rangi dengan memanfaatkan api yang berasal dari kayu bakar atau arang. Bahan-bahannya adalah kelapa setengah tua, ampas kelapa, tepung sagu aren, garam, dan gula merah. Cara membuatnya, campur kelapa parut, ampas kelapa, tepung sagu, dan garam. Aduk hingga rata. Panaskan wajan, taruh 1-2 sendok makan adonan. Ratakan hingga tipis. Lalu masak sampai kering dan matang. Setelah itu, taburi permukaannya dengan gula merah, lipat dua, dan angkat jika sudah garing. 
k.      Laksa
Penganan satu ini terbuat dari tauge, oncom, dan bihun yang dimasukkan ke dalam kuah kuning. Laksa adalah makanan berjenis mi yang ditaruh bumbu dengan kebudayaan Peranakan, yang digabung dengan elemen Tionghoa dan Melayu.
                         
BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
1.      Kota Jakarta merupakan ibu kota Republik Indonesia sekaligus sebagai salah satu provinsi yang ada di Pulau Jawa yang letaknya paling Utara dan bersebelahan dengan provinsi Banten. DKI Jakarta memiliki suku yang bernama Betawi dimana nama Betawi ini diambil dari nama kuno kota Jakarta yakni Batavia.
2.      Bahasa yang digunakan masyarakat Betawi adalah bahasa Melayu dialek Jakarta.
3.      Aspek social yang paling menonjol dalam kehidupan sehari-hari adalah jiwa sosialnya yang tinggi dan kegotongroyongannya.
4.      Masyarakat Betawi pada umumnya menganut agama Islam.
5.      Suku Betawi memiliki produk budaya yang dapat membedakannya dengan suku yang lainnya. Hal ini dapat dilihat dari keseniannya, upacara adat, rumah adat, senjata tradisional, pakaian adat, cerita rakyat, dan kuliner khas asli Betawi.

B.   Saran
Para pembaca diharapkan dapat mengetahui kekayaan budaya khas Indonesia dan salah satunya adalah kebudayaaan Betawi. Banyak aspek positif yang dapat diambil dari kebudayaan Betawi. Namun diharapkan pula dengan banyaknya ragam kebudayaan di Indonesia ini tidak menjadi saling membedakan satu dengan yang lainnya justru kekayaan ini hendaknya dijadikan sebagai kekayaan negeri Indonesia. Hal ini sebagaimana yang terkandung dalam kitab Sutasoma karya Empu Tantular yakni Bhineka Tunggal Ika yang artinya walaupun berbeda-beda suku bangsa namun tetap satu jua.

DAFTAR PUSTAKA

Kodiran.1989.Kebudayaan Betawi dalam Manusia dan Kebudayaan di Indonesia.Jakarta:Djambatan.
Malalatoa, M. Yunus.1989.Pesan Budaya dalam Kesenian.Jakarta: Fakultas Sastra UI.
Suryatna, Drs Ayat.1996. Penuntun Belajar Antropologi Berdasarkan Kurikulum SMU 1994.Bandung: Ganeca Exact Bandung
www.google.com












Tidak ada komentar:

Posting Komentar