Kamis, 20 Juni 2019

PELETAK DASAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN TEORI SOSIOLOGI YANG MENGANALISIS PENDIDIKAN, PERKEMBANGAN KONSEP PENDIDIKAN, KLASIFIKASI PENDIDIKAN (FORMAL, INFORMAL, NONFORMAL)


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang interaksi yang terjadi diantara setiap masyarakat. Merumuskan apa itu sosiologi bukanlah perkara yang cukup mudah, maka dari itu banyak para ahli yang mencoba menterjemahkan apa itu sosiologi, diantara pengertian sosiologi yang dikemukan oleh para ahli, yaitu: Marx Weber memandang sosiologi sebagai studi tentang tindakan sosial antar hubungan sosial. Sebagai ilmu yang berusaha untuk menafsirkan dan memahami (interpretative understanding) tindakan sosial serta hubungan sosial untuk sampai pada penjelasan kausal. Sementara itu, William F. Ogburn and Meyer F. Nimkoff mengartikan sosialogi sebagai penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya yaitu organisasi sosial.
Masih banyak para ahli yang mengartikan apa itu sosiologi. Terlepas dari itu terdapat pula sosiologi pendidikan yang kemudian diartikan oleh sebagai studi mengenai bagaimana institusi publik dan pengalaman individu memengaruhi pendidikan dan hasilnya. Studi ini lebih mempelajari sistem sekolah umum di masyarakat industri modern, termasuk perluasan pendidikan tinggi, lanjut, dewasa, dan berkelanjutan. Pendidikan sosiologi ini memuat konsep, ruang lingkup, tujuan dan manfaat sosiologi. Peletak dasar dari sosiologi pendidikan ini diantaranya adalah teori yang menganalisis tentang apa itu pendidikan, perkembangan pendidikan serta mengklasifikasikan pendidikan yang mana dibagi kedalam pendidikan formal, informal dan nonformal. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai ruang lingkup peletak dasar sosiologi pendidikan. Dengan dibuatnya makalah ini penulis berharap pembaca dapat lebih memahami mengenai peletak dasar sosiologi pendidikan.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa saja teori sosiologi yang menganalisis pendidikan?
2.      Bagaimana perkambangan konsep pendidikan?
3.      Apa saja klasifikasi pendidikan?
C.    Tujuan
1.      Mengetahui teori sosiologi yang menganalisis pendidikan
2.      Mengetahui perkembangan konsep pendidikan
3.      Mengetahui klasifikasi pendidikan

D.    Sistematika Penulisan
Makalah ini disusun dengan menggunakan metode kepustakaan. Metode ini tidak hanya berarti pergi ke perpustakaan. Tapi dapat pula dilakukan dengan mencari materi dengan menggunakan akses internet. Penulis menggunakan metode ini karena jauh lebih praktis, efektif, efisien serta sangat mudah untuk mencari bahan dan data-data tentang topik ataupun materi yang penulis gunakan untuk makalah ini.
Pada bab I, berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan dan sistematika penulisan. Pada bab II, berisi tentang pengertian bilangan bulat, operasi perkalian bilangan bulat beserta sifat-sifatnya, operasi pembagian bilangan bulat beserta sifat-sifatnya, dan cara unutuk mengajarkan kepada anak sekolah dasar mengenai perkalian dan pembagian bilangan bulat. Pada bab III berisi kesimpulan dan saran untuk makalah ini.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Teori Sosiologi yang Menganalisis Pendidikan
1.      Teori Struktural Fungsional
a.       Konsep teori struktural fungsional
Teori fungsionalisme struktural adalah suatu bangunan teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan fungsional yaitu August Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer. Pemikiran struktural fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu menganggap masyarakat sebagai organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan tersebut merupakan hasil atau konsekuensi agar organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup. Sama halnya dengan pendekatan lainnya pendekatan struktural fungsional ini juga bertujuan untuk mencapai keteraturan sosial.
3
 
Teori struktural fungsional ini awalnya berangkat dari pemikiran Emile Durkheim, dimana pemikiran Durkheim ini dipengaruhi oleh Auguste Comte dan Herbert Spencer. Comte dengan pemikirannya mengenai analogi organismik kemudian dikembangkan lagi oleh Herbert Spencer dengan membandingkan dan mencari kesamaan antara masyarakat dengan organisme, hingga akhirnya berkembang menjadi apa yang disebut dengan requisite functionalism, dimana ini menjadi panduan bagi analisa substantif Spencer dan penggerak analisa fungsional. Dipengaruhi oleh kedua orang ini, studi Durkheim tertanam kuat terminology organismik tersebut. Durkheim mengungkapkan bahwa masyarakat adalah sebuah kesatuan dimana didalamnya terdapat bagian – bagian yang dibedakan.
Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai fungsi masing-masing yang membuat sistem menjadi seimbang. Bagian tersebut saling interdependensi satu sama lain dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak berfungsi maka akan merusak keseimbangan sistem. Pemikiran inilah yang menjadi sumbangsih Durkheim dalam teori Parsons dan Merton mengenai struktural fungsional. Selain itu, antropologis fungsional-Malinowski dan Radcliffe Brown juga membantu membentuk berbagai perspektif fungsional modern. Selain dari Durkheim, teori struktural fungsional ini juga dipengaruhi oleh pemikiran Max Weber. Secara umum, dua aspek dari studi Weber yang mempunyai pengaruh kuat adalah :
1)      Visi substantif mengenai tindakan sosial.
2)      Strateginya dalam menganalisa struktur sosial.
Pemikiran Weber mengenai tindakan sosial ini berguna dalam perkembangan pemikiran Parsons dalam menjelaskan mengenai tindakan aktor dalam menginterpretasikan keadaan.
Adapula asumsi dasar menurut Talcott Parsons. Menurut Parson, ada empat komponen penting dalam teori struktural fungsional, yaitu : Adaptation, Goal Atainment, Integration, dan Latency (AGIL).
1)      Adaptation : sistem sosial (masyarakat) selalu berubah untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi, baik secara internal ataupun eksternal.
2)      Goal Attainment : setiap sistem sosial (masyarakat) selalu ditemui tujuan-tujuan bersama yang ingin dicapai oleh system sosial tersebut.
3)      Integration : setiap system sosial selalu terintegrasi dan cendeung bertahan pada equilibrium (keseimbangan). Kecenderungan ini dipertahankan memalui kemampuan bertahan hidup demi system.
4)      Latency : system sosial selalu berusaha mempertahankan bentuk-bentuk interaksi yang relatif tetap dan setiap perilaku menyimpang selalu di akomodasi melalui kesepakatan-kesepakatan yang diperbaharui terus menerus.
b.      Pendidikan dalam teori struktural fungsional
Sebagaimana telah dijelaskan diawal, bahwa teori struktural fungsional tidak bisa terpisahkan. Stratifikasi yang ada dalam masyarakat mempunyai peran atau fungsi. Ekstrimisme teori ini adalah mendarah dagingnya asumsi bahwa semua even dalam tatanan adalah fungsional bagi suatu masyarakat. Berbicara tentang masyarakat maka hal tersebut tidak bisa dipisahkan dengan “integrasi” (satu kesatuan yang utuh, padu) seperti dikemukakan Parson, yang berarti bahwa struktur dalam masyarakat mempunyai keterkaitan atau hubungan satu dengan yang lain.            Kita tidak bisa pungkiri bahwa terbentuknya stratifikasi dalam masyarakat salah satunya dibentuk oleh pendidikan itu sendiri. Demikian sebaliknya Durkheim(1858-1917) berpendapat bahwa masyarakat secara keseluruhan dan lingkungannya akan menentukan tipe-tipe pendidikan yang diselenggarakan. Demikian pula, pendidikan merupakan alat untuk mengembangkan kesadaran diri sendiri dan kesadaran sosial.
Fungsionalisme Struktural tidak hanya berlandaskan pada asumsi-asumsi tertentu tentang keteraturan masyarakat, tetapi juga memantulkan asumsi-asumsi tertentu tantang hakikat manusia. Didalam fungsionalisme, manusia diperlakukan sebagai abstraksi yang menduduki status dan peranan yang membentuk lembaga-lembaga atau struktur-struktur sosial. Didalam perwujudannya yang ekstrim, fungsionalisme struktural secara implisit memperlakukan manusia sebagai pelaku yang memainkan ketentuan-ketentuan yang telah dirancang sebelumnya, sesuai dengan norma-norma atau aturan-aturan masyarakat. Didalam tradisi pemikiran Durkheim untuk menghindari reduksionisme (fenomena alamiah yang diciutkan dalam suatu hal yang lebih kecil) psikologis, para anggota masyarakat dipandang sebagai hasil yang ditentukan oleh norma-norma dan lembaga-lembaga yang memelihara norma-norma itu.
Parsons melihat masyarakat adalah sistem sosial yang dilihat secara total. Bilamana sistem sosial sebagai sebuah sistem parsial, maka masyarakat itu dapat berupa setiap jumlah dari sekian banyak sistem yang kecil-kecil, misalnya keluarga, sistem pendidikan, dan lembaga-lembaga keagamaan.
Kita dapat menghubungkan individu dengan sistem sosial dan menganalisanya melalui konsep status (struktur) dan peranan (fungsi). Status adalah kedudukan dalam sistem sosial,  seperti guru, ibu , atau presiden, dan peranan adalah perilaku yang diharapkan atau perilaku normatif yang melekat pada status guru, ibu, atau presiden itu. Dengan kata lain dalam sistem sosial, individu menduduki suatu tempat (status), dan bertindak (peranan) sesuai dengan norma atau aturan-aturan yang dibuat oleh sistem. Misalnya, status sebagai seorang suami mengandung peranan normatif yakni mencari nafkah yang baik. Peranan sebagai suami adalah statusnya sebagai suami dari istri.
Ilustrasi diatas mengisyaratkan betapa urgensinya status (struktur) sebagai seorang suami dan peranannya (fungsi) terhadap istri. Dalam status dan perananan tersebut disamping sebagai tanggungjawab suami namun sinyalement pendidikan senantiasa terlihat didalam peranan-peranan tersebut. Bagaimana misalnya fungsi seorang suami mendidik istri dan anak-anaknya selalu membangun integritas (keutuhan) sebuah keluarga dan bagaimana seorang suami menjadi sosok panutan baik secara langsung ataupun tidak langsung dan  menjadi teladan bagi istri dan anak-anaknya.

2.      Teori Struktural Konflik
a.       Konstruksi Teori Struktural Konflik
Teori struktural konflik muncul dalam sosiologi Amerika Serikat pada tahun 1960-an yang merupakan kebangkitan kembali berbagai gagasan yang diungkapkan sebelumnya oleh Karl Marx dan Max Weber. Kedua tokoh ini merupakan teoritis konflik meski satu sama lain mereka berbeda. 
Kedua teoritisi konflik ini, Marx dan Weber menolak tegas terhadap gagasan bahwa masyarakat cenderung kepada beberapa konsensus dasar atau harmoni, dimana struktur masyarakat bekerja untuk kebaikan setiap orang. Kedua teoritisi ini memandang konflik dan pertentangan kepentingan serta concern dari berbagai individu dan kelompok yang saling bertentangan adalah determinan utama dalam pengorganisasian kehidupan social.
1)      Karl Marx
Pada saat itu Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke-19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar.
Pikiran awal Marx amat dipengaruhi oleh munculnya industrialisasi abad ke-19, yang telah melahirkan fenomena yang bertolak belakang antara buruh yang hidup menderita dan sengsara di satu pihak dan pemilik alat-alat produksi yang menikmati surplus yang disumbangkan oleh keringat dan tenaga yang dikeluarkan oleh kaum buruh di lain pihak. Dari latar belakang sejarah kemudian dapat ditelusuri benang merah yang menggambarkan munculnya kondisi yang mempengaruhi aliran Marxis awal, yaitu pertama munculnya tekanan structural yang kuat terhadap individu dan kedua, kondisi industry yang memperburuk hubungan sosial yang membawa ke dalam alienasi, bukan saja alienasi indicidual melainkan alienasi missal sejalan dengan persebaran mode of production yang dikendalikan oleh indutri.
Sejumlah ilmuwan sosial berusaha menjelaskan bahwa, perspektif konflik yang berakar pada pemikiran Karl Marx, betapapun radikal diakui sebagai salah satu jalan keluar sehingga sangat erat dengan revolusi, hal ini tidak dimaksudkan menumpahkan darah. George Ritzer misalnya mengatakan bahwa tidak benar kalau Marxisme dikatakan sebagai ideology radikal yang haus darah (a bloodthirsty radical ideology). Marx adalah seorang humanis. Hatinya terluka melihat penderitaan kaum buruh akibat eksploitasi di bawah sistem yang kapitalistik. Rasa kemanusiaan itu mendorongnya untuk mencetuskan keinginan merubah tatanan kapitalistik dalam sistem yang mapan tetapi dalam praktek mengeksplotasi masyarakat. Oleh karena itu, sistem tersebut harus diubah agar menjadi lebih manusiawi. Tetapi hal itu hanya harus mungkin terjadi dalam sistem sosialis.
Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan masyarakat. Teori konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan antara superordinasi dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan. Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan sosial. Setelah untuk waktu yang lama perspektif konflik diabaikan oleh para sosiolog, baru-baru ini perspektif tersebut telah dibangkitkan kembali oleh C. Wright Mills (1956-1959), Lewis Coser (1956) dan yang lain (Aron, 1957; Dahrendorf, 1959, 1964; Chambliss, 1973; Collins, 1975). Bilamana, para fungsionalis melihat keadaan normal masyarakat sebagai suatu keseimbangan yang mantap, maka para teoritisi konflik melihat masyarakat sebagai berada dalam konflik yang terus-menerus di antara kelompok dan kelas. Sekalipun Marx memusatkan perhatiannya pada pertentangan antar kelas untuk pemilikan atas kekayaan yang produktif, para teoritisi konflik modern berpandangan sedikit lebih sempit. Mereka melihat perjuangan meraih kekuasaan dan penghasilan sebagai suatu proses yang berkesinambungan terkecuali satu hal, di mana orang-orang muncul sebagai penentang kelas, bangsa, kewarganegaraan dan bahkan jenis kelamin. Menurut para teoritisi konflik, para fungsionalis gagal mengajukan pertanyaan “secara fungsional bermanfaat untuk siapa“. Para teoritisi konflik menuduh para fungsionalis berasumsi bahwa “keseimbangan yang serasi” bermanfaat bagi setiap orang sedangkan hal itu menguntungkan beberapa orang dan merugikan sebagian lainnya. Para teoritisi konflik memandang keseimbangan suatu masyarakat yang serasi sebagai suatu khayalan dari mereka yang tidak berhasil mengetahui bagaimana kelompok yang dominan telah membungkam mereka yang dieksploitasi.
Marx dan Weber menerapkan gagasan umum dalam teori sosiologi mereka dengan cara masing-masing yang mereka pandang menguntungkan. Karl Marx (Stephen K. Sanderson, 1993: 12-13) berpendapat bahwa bentuk-bentuk konflik yang terstruktur antara berbagai individu dan kelompok muncul terutama melalui terbentuknya hubungan-hubungan pribadi dalam produksi. Sampai pada titik tertentu dalam evolusi kehidupan social manusia, hubungan pribadi dalam produksi mulai menggantikan pemilihan komunal atas kekuatan-kekuatan produks. Dengan demikian masyarakat terpecah menjadi kelas-kelas social berdasarkan kelompok-kelompok yang memiliki dan mereka yang tidak memiliki kekuatan-kekuatan produksi. Jadilah kelas dominan menjalin hubungan dengan kelas-kelas yang tersub-ordinasi dalam sebuah proses eksploitasi ekonomi. Secara alamiah saja, kelas-kelas yang memberontak dari kelasnya. Dalam situasi ini, hanya negara yang mampu menekan pemberontakan tersebut dengan kekuatan.
Dengan demikian, teori Marx di atas memandang eksistensi hubungan pribadi dalam produksi dan kelas-kelas social sebagai elemen kunci dalam banyak masyarakat. Ia juga berpendapat bahwa pertentangan antara kleas dominan dan kelas yang tersubordinasi memainkan peranan sentral dalam menciptakan bentuk-bentuk penting perubahan social. Sebenarnya sebagaimana yang ia kumandangkan, sejarah dari semua masyarakat yang ada hingga kini adalah sejarah pertentangan-pertentangan kelas. Dalam Hal ini Stephen K Sanderson (1993: 12) menyebutkan bahwa, beberapa strategi konflik marsian-modern adalah sebagai berikut:
a)      Kehidupan social pada dasarnya merupakan arena konflik atau pertentangan di antara dan didalam kelompok-kelompok yang bertentangan.
b)      Sumber-sumber daya ekonomi dan kekuasaan-kekuasaan politik merupakan hal penting, sehingga berbagai kelompok berusaha merebutnya.
c)      Akibat tipikal dari pertentangan ini adalah pembagian masyarakat menjadi kelompok yang determinan secara ekonomi dan kelompok yang tersubordinasi.
d)     Pola-pola social dasar suatu masyarakat sangat ditentukan oleh pengaruh social dari kelompok yang secara ekonomi merupakan kelompok yang determinan.5) Konflik dan pertentangan social didalam dan di antara berbagai masyarakat melahirkan kekuatan-kekuatan yang menggerakkan perubahan social.
e)      Karena konflik dan pertentangan merupakan cirri dasar kehidupan social, maka perubahan social menjadi hal yang umum dan sering terjadi.
Berikutnya Stephen K Sanderson menjelaskan bahwa strategi konflik Marxian secara esensial lebih merupakan strategi materialis ketimbang idelais. Tentu saja tidak mengherankan, karena kenyatan menunjukkan bahwa Marx mengusulkan gagasan bersifat materialistis dan konflik. Para teoritisi konflik Marxian memandang konflik social muncul terutama karena adanya upaya untuk memperoleh akses kepada kondisi-kondisi material yang menopang kehidupan soisal. Para teoritis ini melihat kedua fenomena ini sebagai determinan krusial bagi pola-pola social dasar suatu masyarakat.
2)      Max Weber
Sementara itu menurut R. Collins (Stephen K. Sanderson, 1993: 13), Weber meyakini bahwa konflik terjadi dengan cara yang jauh lebih dari sekedar kondisi-kondisi material. Weber mengakui bahwa konflik dalam memperebutkan sumber daya ekonomi merupakan cirri dasar kehidupan social. Tetapi jangan dilupakan bahwa banyak tipe-tipe konflik lain yang juga terjadi. Di antara berbagai tipe konflik tersebut, Weber menekankan yang sangat penting.
Pertama, yaitu bahwa konflik dalam arena politik sebagai sesuatu yang sangat fundamental. Baginya kehidupan social dalam kadar tertentu merupakan pertentangan untuk memperoleh kekuasaan dan dominasi oleh sebagai individu dan kelompok tertentu yang lain dan dia tidak menganggap pertentangan untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Sebaliknya Weber melihat dalam kadar tertentu sebagai tujuan pertentangan untuk memeperoleh keuntungan ekonomi. Lebih jelasnya Weber melihat dalam kadar tertentu sebagai tujuan pertentangan itu sendiri; ia berpendapat bahwa pertentangan untuk memperoleh kekuasaan tidaklah terbatas hanya pada organisasi-organisasi politik formal, tetapi juga terjadi di dalam setiap tipe kelompok seperti organisasi keagamaan dan pendidikan.
Kedua, adalah tipe konflik dalam hal gagasan dan cita-cita. Ia berpendapat bahwa orang seringkali tertantang untuk memperoleh dominasi dalam hal pandangan dunia mereka, baik itu berupa doktrin keagamaan, filsafat sosial ataupun konsepsi tentang bentuk gaya hidup cultural yang terbaik. Lebih dari itu, gagasan cita-cita tersebut bukan hanya dipertentangkan, tetapi dijadikan senjata atau alat dalam pertentangan lainnya, misalnya pertentangan politik. Jadi orang dapat berkelahi untuk memperoleh kekuasaan dan pada saat yang sama, berusaha saling meyakinkan satu sama lain bahwa kekuasaan itu yang mereka tuju tetapi kemenangan prinsip-prinsip yang secara etis dan filosofis benar.
Dengan demikian jelaslah bahwa Weber bukan seorang materialis ataupun idealis. Ia biasa disebut para sosiolog modern sebagai contoh seseorang pemikir yang mengkombinasikan pola penjelasan materialis dan idealis dalam pendekatan sosiologis yang bersifat menyeluruh. Lebih jauh, Weber berpendapat bahwa gagasan bukanlah semata-mata hasil dari kondisi-kondisi material yang ada, tetapi keduanya seringkali signifikan kausalnya sendiri-sendiri.
3)      Perbedaan Pendapat antara Marx dan Weber:
Marx berpendapat bahwa karena konflik pada dasarnya muncul dalam upaya memperoleh akses terhadap kekuatan-kekuatan produksi. Karenanya begitu kekuatan-kekuatan ini dikembalikan kepada seluruh masyarakat, maka konflik dasar tersebut dapat dihapuskan. Jadi begitu kapitalis digantikan dengan sosialisme, maka kelas-kelas akan terhapuskan dan pertentangan kelas akan berhenti.
Weber memiliki pandangan yang jauh pesimistik. Ia percaya bahwa pertentangan merupakan salah satu prinsip kehidupan sosial yang sangat kukuh dan tak dapat dihilangkan. Dalam suatu tipe masyarakat masa depan, baik kapitalis, sosialis atau tipe lainnya orang-orang akan tetap selalu bertarung memperebutkan berbagai sumber daya. Karena itu Weber menduga bahwa pembagian atau pembelaan sosial adalah ciri pemanen dari semua masyarakat yang sudah kompleks, walaupun tentu saja akan mengambl bentuk-bentuk dan juga tingkat kekerasan yang secara subtansial sangat bervarisai.
b.      Teori Konflik dan Implikasinya Terhadap Pendidikan
Memahami Marx menegani startifikasi sosial tidak lain harus melihat teori klas yaitu “Sejarah peradaban umat manusia dari dahulu sampai sekarang adalah sejarah pertikaian dan konflik antar klas.” Marx selalu melihat bahwa hubungan manusia terjadi dari adanya hubungan posisi masing-masing terhadap sarana produksi. Marx berkeyakinan bahwa posisi dalam struktur sangat mendorong dalam upaya memperbaiki nasib mereka dengan ditunjukkan adanya klas borjuis dan klas buruh.
Dari penjelasan tersebut menurut sosiolog pendidikan beraliran Marxian menawarkan bahwa masalah pertentangan klas menjadi objek kajia (pendidikan). Dari mereka ada poin-poin yang diajukan, pertama bahwa pendidikan difokuskan pada perubahan yang dibangun dan tumbuh tanpa adanya tekanan dari klas dominan atau penguasa, yaitu dengan perubahan akan penyadaran atas klas dominan. Kedua pendidikan diarahkan sebagai arena perjuangan klas, mengajarkan pembebasan, kesadaran klas, dan perlawanan terhadap kaum borjuis.
Teori Konflik dan Implikasinya Terhadap Pendidikan
Masyarakat Pendidikan Prioritas Kebijakan Strategi Perencanaan
1)      Konflik dan eksploitasi
2)      Kekuasaan dan kekuatan untuk memelihara terib social
3)      Perjuanagan terus menerus antara kelompok dominan dan subordinat
4)      Pendidikan sebagai kepanjangan kekuatan kelompok dominan
5)      Pendidikan terciptakan terti social yang hirarkis
6)      Memutuskan hubungan antara organisasi /struktur sekolah dan kekuatan ekonomi
7)      Pengembagan kesadaran dan perlawanan diajarkan di sekolah
8)      Ubah struktur sekolah/ap kerja/ masyarakat
9)      Bebaskan kurikulum dari ideology dominas
10)  Kembangkan pendidikan sebagai pembebasan
Dalam teori konflik ini begitu jelas dominasi kaum Borjuis pemegang kendali dan kebijakan, mereka dengan gampang memperoleh status sosial dalam masyarakat. Sebagai contoh ditahun 90-an ada sebuah penelitian yang menyimpulkan bahwa selama tahun 90-an kebelakang teryata pendidikan ditentukan oleh status ekonomi para orangtua. Sehingga paling tidak fakta bahwa teori konflik berlaku di Indonesia.
Di dalam buku “Sosiologi Pendidikan” juga disebutkan bahwa klas bawah tidak akan sama memperoleh pendidikan di banding dengan klas menengah dan atas, sebagai missal pembelajaran yang pernah dimiliki oleh klas tengah tidak akan pernah dimenegrti oleh klas bawah, karna adaya perbedaan pengalaman yang dia daaptkan. Kedua, dalam realitasnya klas bawah tidak akan semudah memperoleh pendidikan dibading klas menengah yang dengan gampang tanpa alih-alih taggung jawab lain dalam mempeolehnya.
Ketiga, realitas Negara bahwa segala pengetahuan ditentukan oleh penguasa, karenanya klas proletar yang notabenya sebagai objek dari kebijakan mendapatkan keilmuan tidak sesuai dengan fakta yang ada, sekaligus merupakan bukan termasuk bukan bagain dari keinginan siswa dan keahliannya. 

3.      Teori Interaksionisme Simbolis
Beberapa orang ilmuwan punya andil utama sebagai perintis interaksionisme simbolik, diantaranya James Mark Baldwin, William James, Charles H. Cooley, John Dewey, William I.Thomas, dan George Herbert Mead. Akan tetapi Mead-lah yang paling populer sebagai perintis dasar teori tersebut.
Mead mengembangkan teori interaksionisme simbolik pada tahun 1920-an dan 1930-an ketika ia menjadi professor filsafat di Universitas Chicago. Namun gagasan-gagasannya mengenai interaksionisme simbolik berkembang pesat setelah para mahasiswanya menerbitkan catatan dan kuliah-kuliahnya, terutama melalui buku yang menjadi rujukan utama teori interaksi simbolik, yakni : Mind, Self , and Society (1934) yang diterbitkan tak lama setelah Mead meninggal dunia. Penyebaran dan pengembangan teori Mead juga berlangsung melalui interpretasi dan penjabaran lebih lanjut yang dilakukan para mahasiswanya, terutama Herbert Blumer. Justru Blumer-lah yang menciptakan istilah “interaksi simbolik” pada tahun (1937) dan mempopulerkannya di kalangan komunitas akademis (Mulyana, 2001 : 68)
Interaksi simbolik merupakan suatu aktivitas yang merupakan cirri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Blumer menyatukan gagasan-gagasan tentang interaksi simbolik lewat tulisannya, dan juga diperkaya dengan gagasan gagasan dari John Dewey, William I. Thomas, dan Charles H. Cooley (Mulyana, 2001 : 68).
Perspektif interaksi simbolik sebenarnya berada di bawah perspektif yang lebih besar yang sering disebut perspektif fenomenologis atau perspektif interpretif. Maurice Natanson menggunakan istilah fenomenologis sebagai suatu istilah yang merujuk pada semua pandangan ilmu sosial yang menganggap kesadaran manusia dan makna subjektifnya sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial. Menurut Natanson, pandangan fenomenologis atas realitas sosial menganggap dunia intersubjekif terbentuk dalam aktivitas kesadaran yang salah satu hasilnya adalah ilmu alam. Ia mengakui bahwa George Herbet Mead, William I.Thomas, dan Charles H. Cooley, selain mazhaberopa yang dipengaruhi Max Weber adalah representasi perspektif fenomenologis ini. Bogdan dan Taylor mengemukakan bahwa dua pendekatan utama dalam tradisi fenomenologis adalah interaksi simbolik dan etnometodologi (Mulyana, 2001:59).
Selama awal perkembangannya, teori interaksi simbolik seolah-olah tetap tersembunyi di belakang dominasi teori fenomenologisme dari Talcott Parsons. Namun kemunduran fungsionalisme tahun 1950-an dan 1960-an mengakibatkan interaksionisme simbolik muncul kembali ke permukaan dan berkembang pesat hingga saat ini. Selama tahun 1960-an tokoh-tokoh interaksionisme simbolik sperti Howard S.Becker dan Erving Goffman menghasilkan kajian-kajian interpretif yang menarik dan menawarkan pandangan alternatif yang sangat memilkat mengenai sosialisasi dan hubungan antara individu dan masyarakat (Mulyana, 2001:59).
Menurut Meltzer, sementara interaksionisme simbolik dianggap relative homogen, sebenarnya perspektif ini terdiri dari beberapa mahzab berdasarkan akar historis dan intelektual mereka yang berbeda. Aliran-aliran interaksionisme simbolik tersebut adalah mahzab Chicago, Mahzab Iowa, Pendekatan Dramaturgis, dan Etnometodologi. Mazhab Chicago dan Dramaturgis tampaknya memberikan pemahaman lebih lengkap mengenai realitas yang dikaji. Kedua pendekatan itu tidak hanya menganalisis kehadiran manusia di antara sesamanya, tetapi juga motif, sikap, nilai yang mereka anut dalam privasi mereka (Mulyana, 2001:59-60).
Sebagian pakar berpendapat, teori interaksionisme simbolik, khususnya dari George Herbert Mead, seperti teori etnometodologi dari Harold Garfinkel yang juga berpengaruh di Amerika, serta teori fenomenologi dari Alfred Schutz yang berpengaruh di eropa, sebenarnya berada di bawah teori tindakan sosial yang dikemukakan filsuf dan sosiolog Jerman, Max Weber (Mulyana, 2001:59-60).
Sebagaimana diakui Paul Rock, interaksionisme simbolik mewarisi tradisi dan posisi intelektual yang berkembang di eropa abad ke-19, meskipun interaksionisme simbolik tidak punya hak waris atasnya atau dianggap sebagai tadisi ilmiah tersendiri. Dengan kata lain, George Herbert Maead tidaklah secara harfiah mengembangkan teori Weber atau bahwa teori Mead diilhami oleh teori Weber. Hanya memang ada kemiripan dalam pemikiran kedua tokoh tersebut mengenai tindakan manusia. Pemikiran Mead sendiri diilhami beberapa pandangan filsafat, khususnya pragmatisme dan behaviorisme. Ada kemiripan antara pandangan Mead dengan pandangan Schutz. Sejumlah interaksionis memang menekankan dimensi fenomenologis dengan mensintesiskan karya mereka dengan gagasan Alfred Schutz dan para pengikutnya (Mulyana, 2001: 59-60).
Weber mendefinisikan tindakan sosial sebagai semua perilaku manusia ketika dan sejauh individu memberikan suatu makna subjektif terhadap perilaku tersebut. Tindakan disini bisa terbuka atau tersembunyi, bisa merupakan intervensi positif dalam suatu situasi atau sengaja berdiam diri sebagai tanda setuju dalam situasi tersebut. Menurut Weber, tindakan bermakna sosial sejauh berdasarkan makna subjektifnya yang diberikan individu atau individu-individu, tindakan itu mempertimbangkan perilaku orang lain dan karenanya diorientasikan dalam penampilannya (Mulyana, 2001:61).
Sedangkan interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan sosial dinamis manusia. Bagi perspektif ini, individu bersifat aktif, reflektif, dan kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Paham ini menolak gagasan bahwa individu adalah organisme yang pasif yang perilakunya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan atau struktur yang ada diluar dirinya. Oleh karena individu terus berubah maka masyarakat pun berubah melalui interaksi. Jadi interaksi lah yang dianggap sebagai variable penting yang menentukan perilaku manusia bukan struktur masyarakat. Struktur itu sendiri tercipta dan berubah karena interaksi manusia, yakni ketika individu-individu berpikir dan bertindak secara stabil terhadap seperangkat objek yang sama. Senada dengan asumsi di atas, dalam fenomenologi Schutz, pemahaman atas tindakan, ucapan, dan interaksi merupakan prasyarat bagi eksistensi sosial siapa pun. Dalam pandangan Schutz, kategori pengetahuan pertama bersifat pribadi dan unik bagi setiap individu dalam interaksi tatap muka dengan orang lain (Mulyana, 2001:61-62).
Interaksionisme simbolik Mazhab Iowa menggunakan metode saintifik (positivistik) dalam kajian-kajiannya, yakni untuk menemukan hukum-hukum universal mengenai perilaku sosial yang dapat diuju secara empiris, sementara Mazhab Chicaga menggunakan pendekatan humanistik. Dan Mazhab yang populer digunakan adalah Mazhab Chicago (Mulyana, 2001:69).
Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orag lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek dan bahkan diri mereka sendirilah yang menentukan perilaku mereka. Perilaku mereka tidak dapat digolongkan sebagai kebutuhan, dorongan impuls, tuntutan budaya atau tuntutan peran. Manusia bertindak hanyalah berdasarkan definisi atau penafsiran mereka atas objek-objek di sekeliling mereka. Tidak mengherankan bila frase-frase “definisi situasi” , “realitas terletak pada mata yang melihat” dan “bila manusia mendefinisikan situasi sebagai riil, situasi tersebut riil dalam konsekuensinya” sering dihubungkan dengan interaksionisme simbolik (Mulyana, 2001:70).
Mead mengembangkan teori interaksionisme simbolik pada tahun 1920-an ketika beliau menjadi profesor filsafat di Universitas Chicago. Namun gagasangagasannya mengenai interaksionisme simbolik berkembang pesat setelah para mahasiswanya menerbitkan catatan dan kuliah-kuliahnya, terutama melalui buku yang menjadi rujukan utama teori interaksionisme simbolik, yakni mind, self and society (Mulyana, 2001: 68).
Karya Mead yang paling terkenal ini menggarisbawahi tiga konsep kritis yang dibutuhkan dalam menyusun sebuah diskusi tentang teori interaksionisme simbolik. Tiga konsep ini saling mempengaruhi satu sama lain dalam term interaksionisme simbolik. Dari itu, pikiran manusia (mind) dan interaksi sosial (diri/self dengan yang lain) digunakan untuk menginterpretasikan dan memediasi masyarakat (society) di mana kita hidup. Makna berasal dari interaksi dan tidak dari cara yang lain. Pada saat yang sama “pikiran” dan “diri” timbul dalam konteks sosial masyarakat. Pengaruh timbal balik antara masyarakat, pengalaman individu dan interaksi menjadi bahan bagi penelahaan dalam tradisi interaksionisme simbolik (Elvinaro, 2007: 136).
Perspektif interaksi simbolik sebenarnya berada di bawah payung perspektif yang lebih besar lagi, yakni perspektif fenomenologis atau perspektif interpretif. Secara konseptual, fenomenologi merupakan studi tentang pengetahuan yang berasal dari kesadaran atau cara kita sampai pada pemahaman tentang objek-objek atau kejadian-kejadian yang secara sadar kita alami. Fenomenologi melihat objek-objek dan peristiwa-peristiwa dari perspektif seseorang sebagai perceiver. Sebuah fenomena adalah penampakan sebuah objek, peristiwa atau kondisi dalam persepsi individu (Rahardjo, 2005: 44).
Interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan sosial dinamis manusia. Bagi perspektif ini, individu itu bukanlah sesorang yang bersifat pasif, yang keseluruhan perilakunya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan atau struktur-struktur lain yang ada di luar dirinya, melainkan bersifat aktif, reflektif dan kreatif, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Oleh karena individu akan terus berubah maka masyarakat pun akan berubah melalui interaksi itu. Struktur itu tercipta dan berubah karena interaksi manusia, yakni ketika individu-individu berpikir dan bertindak secara stabil terhadap seperangkat objek yang sama (Mulyana, 2001: 59).
Jadi, pada intinya, bukan struktur masyarakat melainkan interaksi lah yang dianggap sebagai variabel penting dalam menentukan perilaku manusia. Melalui percakapan dengan orang lain, kita lebih dapat memahami diri kita sendiri dan juga pengertian yang lebih baik akan pesan-pesan yang kita dan orang lain kirim dan terima (West, 2008: 93) Interaksi simbolik didasarkan pada ide-ide tentang individu dan interaksinya dengan masyarakat. Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek dan bahkan diri mereka sendiri yang menentukan perilaku manusia. Sebagaimana ditegaskan Blumer, dalam pandangan interaksi simbolik, proses sosial dalam kehidupan kelompok yang menciptakan dan menegakkan aturanaturan, bukan sebaliknya. Dalam konteks ini, makna dikonstruksikan dalam proses interaksi dan proses tersebut bukanlah suatu medium netral yang memungkinkan kekuatan-kekuatan sosial memainkan perannya, melainkan justru merupakan substansi sebenarnya dari organisasi sosial dan kekuatan sosial (Mulyana, 2001: 68-70).
Menurut teoritisi interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Secara ringkas, interaksionisme simbolik didasarkan pada premis-premis berikut: pertama, individu merespon suatu situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan, termasuk objek fisik dan sosial berdasarkan makna yang dikandung komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka. Kedua, makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Ketiga, makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial.
Teori ini berpandangan bahwa kenyataan sosial didasarkan kepada definisi dan penilaian subjektif individu. Struktur sosial merupakan definisi bersama yang dimiliki individu yang berhubungan dengan bentuk-bentuk yang cocok, yang menghubungkannya satu sama lain. Tindakan-tindakan individu dan juga pola interaksinya dibimbing oleh definisi bersama yang sedemikian itu dan dikonstruksikan melalui proses interaksi.

4.      Teori Etnometodologi
Etnometodologi menurut Heritage adalah kumpulan pengetahuan berdasarkan akal sehat dan rangkaian prosedur dan pertimbangan (metode) yang dengannya masyarakat biasa dapat memahami, mencari tahu dan bertindak berdasarkan situasi dimana mereka menemukan dirinya sendiri. Istilah etnometodologi yang berakar pada bahsa Yunani berarti “metode” yang digunakan orang dalam menyelesaikan masalah kehidupan sehari-hari.
Etnometodologi merupakan suatu teori dalam sosiologi yang mempelajari sumber-sumber daya umum, prosedur dan praktek dimana anggota-anggota suatu masyarakat memproduksi dan mengenali objek-objek, peristiwa-peristiwa dan tindakan-tindakan sosial yang dapat diindera. Kajian etnometodologi ini muncul sebagai reaksi atas beberapa perspektif sosiologis, khususnya structural fungsionalisme, yang menganggap bahwa tingkah laku ditentukan secara kausalitas oleh faktor-faktor struktur sosial.
Etnometodologi diciptakan oleh Harold Garfinkel di akhir tahun 1940-an tetapi baru menjadi sistematis setelah diterbitkan karyanya yang berjudul Studies in Ethnomethodologypada tahun 1967. Garfinkel adalah dosen pada UCLA di West Coast. Akan tetapi baru dikenal oleh kalangan luas (oleh profesi-profesi lain) pada akhir 1960-an dan awal 1970-an. Karyanya tersebut telah menarik minat sosiolog diantaranya Blum, Cicourel, Douglas, McHugh, Sacks, Schegloff, Sudnow, Wieder, Wilson dan Zimmerman.
Garfinkel melukiskan sasaran perhatian etnometodologi adalah realitas objektif fakta sosial, fenomena fundamental sosiologi karena merupakan setiap produk masyarakat setempat yang diciptakan dan diorganisir secara almiah, terus menerus, prestasi praktis, selalu, hanya, pasti dan menyeluruh, tanpa henti dan peluang menghindar, menyembunyikan diri, melampaui atau menunda.
Garfinkel mememunculkan etnometodologi sebagai bentuk ketidaksetujuannya terhadap pendekatan-pendekatan sosiologi konvensional selalu dilengkapi asumsi, teori, proposisi, dan kategori yang membuat peneliti tidak bebas didalam memahami kenyataan social menurut situasi dimana kenyataan sosial tersebut berlangsung.
Garfinkel sendiri mendefenisikan etnometodologi sebagai penyelidikan atas ungkapan-ungkapan indeksikal dan tindakan-tindakan praktis lainnya sebagai kesatuan penyelesaian yang sedang dilakukan dari praktek-praktek kehidupan sehari-hari yang terorganisir. Etnometodologi Grafinkel ditujukan untuk meneliti aturan interaksi sosial sehari-hari yang berdasarkan akal sehat. Apa yang dimaksudkan dengan dunia akal sehat adalah sesuatu yang biasanya diterima begitu saja, asumsi-asumsi yang berada di baliknya dan arti yang dimengerti bersama. Inti dari etnometologi Granfikel adalah mengungkapkan dunia akal sehat dari kehidupan sehai-hari.
Ada kesamaan antara metode yang digunakan Garfinkel dengan dengan pemikiran Wittgenstein yang mengatakan bahwa pemahaman umum terdapat dalam percakapan serta transaksi sosial sehari-hari. Etnometodologi di satu sisi meneliti biografi dan maksud yang dikandung oleh aktor-aktor sosial dan di sisi lain menganalisis pemahaman umum (common-sense). Sebagaimana yang diungkapkan dalam karyanya Studies in Ethnometodology dia menunjukkan bahwa:
a.       Perbincangan sehari-hari secara umum memaparkan sesuatu yang lebih memiliki makna daripada langsung kata-kata itu sendiri.
b.      Perbincangan tersebut merupakan praduga konteks makna yang umum.
c.       Pemahaman secara umum yang meyertai atau yang dihasilkan dari perbincangan tersebut mengandung suatu proses penafsiran terus menerus secara intersubjektif.
d.      Transaksi dan  peristiwa sehari-hari memiliki metodologi, terencana dan rasional, sehingga dengan peristiwa tersebut seseorang akan memahami ucapan orang lain melalui pemahaman aturan itu sesuai dengan kaidah-kaidahnya.
Dalam prakteknya, etnometodogi Grafinkel menekankan pada kekuatan pengamatan atau pendengaran dan eksperimen melalui simulasi. Pengamatan atau pendengaran digunakan Grafinkel ketika melakukan penelitian pada sebuah toko. Di sana Grafinkel mengamati setiap pembeli yang keluar dan masuk di toko tersebut serta mendengar apa yang dipercakapkan orang-orang tersebut. Seementata untuk eksperimen (simulasi), Grafinkel melakukan beberapa latihan pada beberapa orang. Latihan ini terdiri dari beberapa sifat, yaitu responsif, provokatif dan subersif. Pada latihan responsif yang ingin diungkap adalah bagaimana seseorang menanggapi apa yang pernah dialaminya. Pada latihan provokatif yang ingin diungkap adalah reaksi orang terhadap suatu situasi atau bahasa. Sementara latihan subersif menekankan pada perubahan status atau peran yang biasa dimainkan oleh seseorang dalam kehidupan sehari-harinya. Pada latihan subersif, seseorang diminta untuk bertindak secara berlainan dari apa yang seharusnya dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Latihan pertama (responsif) adalah meminta orang-orang tersebut menuliskan apa yang pernah mereka dengar dari para familinya lalu membuat tanggapannya. Latihan kedua (provokatif) dilakukan dengan meminta orang-orang bercakap-cakap dengan lawannya dan memperhatikan setiap reaksi yang diberikan oleh lawan mereka tersebut. Sementara latihan ketiga (subersif) adalah menyuruh mahasiswanya untuk tinggal di rumah mereka masing-masing dengan berprilaku sebagai seorang indekos. Lewat latihan-latihan ini orang menjadi sadar akan kejadian sehari-hari yang tidak pernah disadarinya. Latihan ini adalah strategi dari Grafinkel untuk mengungkapkan dunia akan sehat, sebuah dunia yang dihidupi oleh masing-masing orang tanpa pernah mempertanyakan mengapa hal tersebut harus terjadi sedemikian.
Pembahasan realitas common sense Schutz memberi Garfinkel suatu perspektif melaksanakan studi etnometodologi sekaligus sebagai dasar teoritis bagi riset-riset etnometodologi lainnya. Pandangan Schutz tentang dunia sehari-hari sebagai dunia intersubjektif yang dimiliki bersama melalui proses interaksi ini senada dengan interaksionisme-simbolik yang diperkenalkan Herbert Mead. Sementara pengaruh Parsons dalam etnometodologi adalah teori aksi/tindakan yang diperkenalkan oleh Parsons. Dalam teori tindakannya, Parson berpendapat bahwa motivasi yang mendorong suatu tindakan individu selalu berdasarkan pada aturan atau norma yang ada dalam masyarakat di mana seorang individu hidup.
Motivasi aktor tersebut menyatu dengan model-model normatif yang ditetapkan dalam sebuah masyarakat yang ditujukan untuk mempertahankan stabilitas sosial itu sendiri. Asumsi Parson ini senada dengan pendirian etnometodologi, terutama dari Garfinkel dan Douglas yang mengatakan bahwa seseorang di dalam menetapkan sesuatu apakah tindakan/perilaku, bahasa, respon atau reaksi selalu didasarkan pada apa yang sudah diterima sebagai suatu kebenaran bersama dalam masyarakat (common sense). Etnometodologi dalam keseluruhan studi sosiologi sendiri sekalipun dianggap sebagai bentuk kritik terhadap pendekatan-pendekatan sosiologi.
  
B.     Perkembangan Konsep Pendidikan
Pendidikan bukan hanya sekedar mengawetkan budaya dan meneruskannya dari generasi ke generasi, akan tetapi juga diharapkan dapat mengubah dan mengembangkan pengetahuan. Kehidupan Suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh pendidikan. Peekembangan konsep pendidikan ini mengartikan bahwa pendidikan pada intinya adalah mendewasakan anak, memanusiakan manusia muda, memanusiakan menusia secara manusiawi serta pendidikan pada zaman kontemporer ini berada dalam konteks “life long education”, yaitu pendidikan sepanjang hayat, dimanapun, kapanpun dan oleh siapapun.
Pendidikan bukan hanya menyampaikan keterampilan yang sudah dikenal, tetapi harus dapat meramalkan berbagai jenis keterampilan dan kemahiran yang akan datang, dan sekaligus menemukan cara yang tepat dan cepat supaya dapat dikuasai oleh anak didik. Pendidikan juga merupakan faktor penting bagi masyarakat. Maju-mundurnya kualitas peradaban suatu masyarakat atau bangsa sangat bergantung pada bagaimana kualitas pendidikan diselenggarakan oleh masyarakat.
Perkembangan konsep pendidikan dapat ditinjau dari berbagai ilmu pendidikan. Diantaranya ialah ilmu sosiologi-antropologi, yaitu:
a.       Tinjauan Batasan Pendidikan
Secara konseptual, kita menyadari bahwa setiap orang dikehendaki atau tidak selalu menjadi anggota atau berada dalam sebuah lingkungan pendidikan .minimal seseorang berada dan menjadi anggota dalam lingkungan keluarganya masing-masing, atau ia menjadi salah seorang murid dari sebuah lembaga pendidikan formal atau sekolah yang berada dalam sebuah komunitas dan pendidikan di dalam lingkungan masyarakatnya. Dengan kata lain seseorang, langsung tidak langsung,terlibat dalam proses pendidikan.
b.      Pergeseran Pandangan Pendidikan
Konsep pendidikan yang konvensional menggambarkan pendidikan sebagai bantuan pendidikbuntuk membuat subjek didik dewasa. Konsep ini mengandung makna bahwa pendidikan itu berhenti manakal kedewasaan sudah tercapai . kemudian konsep ini di terjemahkan bahwa pendidikan disamakan dengan persekolahan dan serta diartikan dengan cara sebagai memberikan bekal pengetahuan kepada anak didik. Agar ia dapat menggunakanya untuk menghadapi sisa hidupnya. Konsep ini mendorong pendidikan demikian bernafsu utuk memberikan bekal hidup ke anak didik. Implikasinya konsep ini melahirkan pandangan sementara dikalangan pendidik bahwa pendidikan sebagai pendidikan sebagai kegiatanyang berpusat pada pendidik. Anak didik dipandang sebagai wadah kosong yang harus diisi oleh pendidik.
Namun pada zaman modern, teori pendidikan berubah pendekatannya dari mementingkan dan menekankan keterampilan kognitif kepada perkembangan interpersonal dan intrapersonal.{dirjenperti,1993 : 7 ;cropley, 1995 : 19}. Ini berarti bahwa pendidikan itu secara sadar harus diarahkan untuk membantu dan melancarkan pertumbuhan diri serta meningkatkan usaha perumusan diri, kepercayaan diri, pemenuhan diri, pertahanan harga diri, pembebasan diri, pengemansipasian diri, dan perwujudan diri. Konsep ini memandang bahwa pendidikan itu harus merupakan usaha secara sungguh-sungguh untuk mempermudah perkembangan pribadi yang menuju ke arah  apa yang disebut seorang pakar andragogi knowles {1993 : 25}yaitu maturing person.
c.       Pendidikan Sepanjang Hayat
Terdapat konsep pendidikan seumur hidup yang disebut dengan “life long education”, yaitu pendidikan sepanjang hayat, dimanapun kapanpun dan oleh siapapun. Pendidikan bukan hanya menyampaikan keterampilan yang sudah dikenal, tetapi harus dapat meramalkan berbagai jenis keterampilan dan kemahiran yang akan datang, dan sekaligus menemukan cara yang tepat dan cepat supaya dapat dikuasai oleh anak didik. Pendidikan juga merupakan faktor penting bagi masyarakat.
Maju-Mundurnya kualitas peradaban suatu masyarakat atau bangsa sangat bergantung pada bagaimana kualitas pendidikan diselenggarakan oleh masyarakat.
Pendidiakan tidak boleh dipandang sebagai suatu proses yang hanya terikat pada waktu dan ruang tertentu saja. Pendidikan harus dipandang sebagai suatu proses yang berkelanjutan mulai dari usia anak kecil hingga usia dewasa yang melahirkan implikasi bahwa pendidikan hendaknya diberikan dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.
d.      Pendidikan Multikultur
Pendidikan multikultur dimaksudkan untuk memberikan akses kepada kelompok etnik dan minoritas terutama untuk individu, keluarga dan anak-anak dengan pendekatan multietnik, multirasial. Dengan hal tersebut interaksi antara individu dari kelompok dan etnik dengan kelompok dominan. Pendekatan ini terdidri dari :
1)      Pengetahuan tentang budaya keturunan yang dimiliki seseorang dan pemahaman tentang budaya yang ada disekitar.
2)      Pemahaman mengenai budaya yang dimiliki pihak lain.

e.       Pendidikan  Ras Dan Gender
Ras dan gender memiliki tempat khusus dalam kajian antropologi pendidikan. Ras yang menjadi perhatian khusus yaitu pendidikan untuk kelompok terasing, adapun gender lebih dilihat dari sisi diskriminasi dalam memperoleh hak yang sama berkaitan dengan budaya dalam kehidupan. Kekuatan untuk memperoleh hak yang sama untuk memperoleh hak yang sama untuk memperoleh pendidikan diakui dalam dua pertemuan dunia masing-masing di Jomtien Thailand tahun 1990 dan di Dakar tahun 1998.

f.       Perkembangan Pendidikan Dilihat Dari Segi Konsepsi
1.
Era
:
Zaman purba

Konsepsi
:
Pendidikan dikonsepsikan sebagai proses penyiapantiga tipe manusia, dengan tokohnya plato (427-327 BC) yaitu :
a)      Pemikir, sebagai pengatur negara
b)      Ksatria, sebagai pengaman negara
c)      Pengusaha, penjamin kemakmuran dan kesejahteraan.

Karakteristik/implikasi
:
Sejak anak usia 10 tahun diasramakan oleh negara, guna mengikuti pendidikan di gymnasiun=m hingga usia 20 tahun yang diakhir general examination. Lulusan terbaik terus ke seminarium untuk dipersiapkan menjadi pemikir. Lulusan lainnya menjadi ksatria dan pengusaha proses pendidikan berlangsung demokratis.
2.
Era
:
Zaman peradaban romawi

Konsepsi
:
Pendidikan sebagai proses penyiapan manusia terbaik sebagai orator (pemimpin negara dan masyarakat)

Karakteristik/implikasi
:
Artes Liberales (grammar, rhetoric, logic, geometry, astronomy, music, physics, history, civil, law dan philosophy). Pendekatan perbedaan individual (lebih humanistik). Penguasaan bahasa asing menjadi keharusan, elitis aristikartis. Guru diberi julukan sebagai gubernur.
3.
Era
:
Zaman abad pertengahan

Konsepsi

Pendidikan sebagi proses menyiapkan manusia menjadi pengabdi kepada sang pencipta.

Karakteristik/implikasi
:
Bagi umat kristiani substansi peradaban yunani dilarang untuk diajarkan. Pendidikan menjadi wewenang gereja, dan elitis aritokratis. Bagi orang islam substansi yunani diadopsi. Tanggung jawab pendidikan pada orang tua. Proses pendidikan mengandung asas sepanjang hayat. Arah pendidikan kemasa depan.
4.
Era
:
Zaman abad pencerahan (nativisme)

Konsepsi
:
Faham yang dipelopori oleh Rausseau (1712-1778 M), Schopenhaur (1788-1860 M), dengan pendirinya bahwa setiap bayi yang lahir dalam keadaan suci yang diberi potendi insaniah yang dapat dikembangkan.

Karakteristik/implikasi

Pendidikan sekedar proses pemberian kemudahan agar anak berkembang sesuai dengan kodratnya. Sehingga arti pendidikan merupakan proses pemekaran dan pemeliharaan potensi yang telah ada.
5.
Era
:
Zaman abad pencerahan (empirism)

Konsepsi
:
Lock (1632-1704 M) dan J.H. Herbart 91776-1841 M). Fahamnya bahwa manusia lahir hanya membawa bahan dasar yang belum berbentuk apapun.

Karakteristik/implikasi
:
Pendidikan sebagai proses pembentukan dan pengisian pribadi anak kepada arah pola yang dikehendaki lingkungannya.
6.
Era
:
Zaman abad pencerahan (Interaksionisme)


Konsepsi
:
Dengan tokohnya William Stern (1871-1939 M). Ia memiliki faham gabungan dari Locke dan Roussoue.

Karakteristik/implikasi
:
Baik pembawaan dan lingkungan secara bersama-sama merupakan faktor determinan dalam pembentukan pribadi anak.
7.
Era
:
Zaman Modern

Konsepsi
:
Setidaknya berkembang tiga orientasi :
a.       Orientasi pedagogik dengan tokohnya Langeveld (1952), yaitu pendidikan sebagai proses pendewasaan, dalam kaitan kemampuan menunaikan tugas kehidupan secara mandiri.
b.      Orientasi pedagogik pendangannya bahwa pada masa dewasa pun seseorang masih memerlukan bantuan orang lain, terutama dalam alih pekerjaan/pengembangan karir, adaptasi sosial, dsb.
c.       Orientasi konferhensif memiliki cakupan wilayah terapan ontoligik yang sangat luas.

Karakteristik/implikasi
:
Kedewasaan diasumsikan mulai usia 18 tahun.
Maka pada saat itu seseorang harus sudah :
a.       Mampu mencukupi kebutuhan ekonominya sendiri. Memiliki pandangan dan pegangan hidup tertentu dan mampu membuat keputusan normatif secara bertanggung jawab.
b.      Mampu menjadi warga masyarakat yang konstuktif, produktif, serta bertanggung jawab atas kelangsungan hidup masyarakatnya.
c.       Pendidikan esensinya sebuah proses perjumpaan antara dua orang atau lebih dalam upaya saling membantu dalam menemukan dan memantapkan diri masing-masing. Jika peristiwa perjumpaan terencana
           

C.    Klasifikasi Pendidikan
Menurut Carter V. Good dalam ‘Dictionary of Education’, Pendidikan adalah (1) Seni, praktek, atau profesi sebagai pengajar. (2) Ilmu yang sistematik atau pengajaran yang berhubungan dengan prinsip dan metode-metode mengajar, pengawasan dan bimbingan murid.
Menurut Rupert C.Lodge beranggapan bahwa pendidikan adalah kehidupan dan kehidupan adalah pendidikan (Education is Life and Life is Education).
Menurut UU No. 20 tahun 2003 Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.
Pendidikan dapat diklasifikasikan menjadi pendidikan formal, pendidikan informal dan pendidikan nonformal.
a.       Pendidikan Formal
Pendidikan  formal  adalah  kegiatan  yang  sistematis,  bertingkat/berjenjang, dimulai dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi dan yang setaraf dengannya; termasuk kedalamnya    ialah    kegiatan    studi    yang    berorientasi akademis dan umum,  program spesialisasi,  dan  latihan  professional,  yang dilaksanakan dalam waktu yang terus menerus. Fungsi Pendidikan Formal diantaranya :
1)      Melatih Kemampuan Kemampuan Akademis Anak (Agar Pintar)
Dengan melatih serta mengasah kemampuan menghafal, menganalisa, memecahkan masalah, logika, dan lain sebagainya maka diharapkan seseorang akan memiliki kemampuan akademis yang baik. Orang yang tidak sekolah biasanya tidak memiliki kemampuan akademis yang baik sehingga dapat dibedakan dengan orang yang bersekolah. Kehidupan yang ada di masa depan tidaklah semudah dan seindah saat ini karena dibutuhkan perjuangan dan kerja keras serta banyak ilmu pengetahuan.
2)      Menggembleng dan memperkuat mental, fisik dan disiplin
Dengan mengharuskan seorang siswa atau mahasiswa datang dan pulang sesuai dengan aturan yang berlaku maka secara tidak langsung dapat meningkatkan kedisiplinan seseorang. Dengan begitu padatnya jadwal sekolah yang memaksa seorang siswa untuk belajar secara terus-menerus akan menguatkan mental dan fisik seseorang menjadi lebih baik.
3)      Memperkenalkan tnggungjawab
Tanggung jawab seorang anak adalah belajar di mana orangtua atau wali yang memberi nafkah. Seorang anak yang menjalankan tugas dan kewajibannya dengan baik dengan bersekolah yang rajin akan membuat bangga orang tua, guru, saudara, famili, dan lain-lain.
4)      Membangun jiwa sosial dan jaringan pertemanan
Banyaknya teman yang bersekolah bersama akan memperluas hubungan sosial seorang siswa. Tidak menutup kemungkinan di masa depan akan membentuk jaringan bisnis dengan sesama teman di mana di antara sesamanya sudah saling kenal dan percaya. Dengan memiliki teman maka kebutuhan sosial yang merupakan kebutuhan dasar manusia dapat terpenuhi dengan baik.
5)      Sebagai Identitas Diri
Lulus dari sebuah institusi pendidikan biasanya akan menerima suatu sertifikat atau ijazah khusus yang mengakui bahwa kita adalah orang yang terpelajar, memiliki kualitas yang baik dan dapat diandalkan. Jika disandingkan dengan orang yang tidak berpendidikan dalam suatu lowongan pekerjaan kantor, maka rata-rata yang terpelajarlah yang akam mendapatkan pekerjaan tersebut.
6)      Sarana Mengembangkan Diri dan Berkreativitas
Seorang siswa dapat mengikuti berbagai program ekstrakurikuler sebagai pelengkap kegiatan akademis belajar mengajar agar dapat mengembangkan bakat dan minat dalam diri seseorang. Semakin banyak memiliki keahlian dan daya kreativitas maka akan semakin baik pula kualitas seseorang. Sekolah dan kuliah hanyalah sebagai suatu mediator atau perangkat pengembangan diri. Yang mengubah diri seseorang adalah hanyalah orang itu sendiri.

Pendidikan formal dapat coraknya diwujudkan dalam bentuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah (pusat), pemerintah daerah dan masyarakat.
Pendidikan dasar yang merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah berbentuk lembaga sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat, serta sekolah menengah pertama (SMP)  dan madrasah tsanawiyah (Mts) atau bentuk lain yang sederajad.
Sebelum memasuki jenjang pendidikan dasar, bagi anak usia 0-6 tahun diselenggarakan pendidikan anak usia dini, tetapi bukan merupakan prasyarat untuk mengikuti pendidikan dasar. Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur formal (TK, atau Raudatul Athfal), sedangkan dalam nonformal bisa dalam bentuk ( TPQ, kelompok bermain, taman/panti penitipan anak) dan/atau informal (pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.
Sedangkan Pendidikan menengah yang merupakan kelanjutan pendidikan dasar terdiri atas, pendidikan umum dan pendidikan kejuruan yang berbentuk sekolah menengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK) atau bentuk lain yang sederajad.
Yang terakhir adalah pendidikan tinggi yang merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah, pendidikan ini mencakup program pendidikan
a)      Diploma
b)      Sarjana
c)      Magister
d)     Doktor,
Perguruan tinggi memiliki beberapa bentuk
a)      Akademi
b)      Politeknik
c)      Sekolah tinggi
d)     Institut atau universitas
Yang secara umum lembaga-lembaga tinggi ini dibentuk dan diformat untuk menyelenggarakan pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat, serta menyelenggarakan program akademik, profesi dan advokasi.
Semua lembaga formal di atas diberi hak dan wewenang oleh pemerintah untuk memberikan gelar akademik kepada setiap peserta didik yang telah menempuh pendidikan di lembaga tersebut. Khusus bagi perguruan tinggi yang memiliki program profesi sesuai dengan program pendidikan yang diselenggarakan doktor berhak memberikan gelar doktor kehormatan (doktor honoris causa) kepada individu yang layak memperoleh penghargaan berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, kemasyarakatan, keagamaan, kebudayaan, atau seni. 
b.      Pendidikan Informal
Pendidikan informal adalah proses yang berlangsung sepanjang usia sehingga sehingga setiap orang memperoleh nilai, sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang bersumber  dari   pengalaman  hidup  sehari-hari,  pengaruh  lingkungan termasuk di dalamnya adalah pengaruh  kehidupan keluarga, hubungan dengan tetangga, lingkungan pekerjaan dan permainan, pasar, perpustakaan, dan media massa.
Pendidikan informal mempunyai fungsi dan peranan untuk meningkatkan hasil belajar anak dalam suatu keluarga. Pembelajaran bukan hanya tugas dan tanggung jawab sekolah yang mempunyai banyak keterbatasan.
Pendidikan informal sangat erat hubunganya dengan fungsi dan peranan orangtua. Fungsi dan peranan orang tua untuk mewujudkan terciptanya pembelajaran mandiri yang efektif dan bermakna adalah:
1)      Orangtua sebagai pendidik
Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi kompeten (UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003). Mendidik adalah merencanakan sesuatu untuk mengubah tingkah laku anak menjadi sesuatu yang diharapkan  yang bersifat membangun (konstruktif). Mendidik harus selalu menunjukkan sikap, perbuatan atau cara bicara yang baik.
Dalam pendidikan keluarga diperlukan  cara berkomunikasi yang selalu bersifat mendidik, terbuka, jujur, dapat menerima masukan, demokratis, berpandangan luas dan mempunyai sifat ketegasan. Sikap dan penampilan anak dipantau setiap saat. Anak harus ditegor setiap kali melakukan pelanggaran. Kesalahan anak dalam perbuatan atau pembicaraan tidak baik diakumulasi. Pada saat timbul kesalahan langsung diberikan hukuman yang bersifat mendidik.
2)      Orangtua sebagai pembimbing
Membimbing adalah memotivasi, mengarahkan atau mempengaruhi agar anak dapat mengembangkan potensinya. Anak diarahkan, diberikan semangat, motivasi, dengan menyebutkan contoh orang berhasil, atau menyebutkan tujuan yang ingin dicapai sesuai kemampuan anak tersebut. Sehingga anak itu akan merasa mampu untuk mengembangkan potensi yang dimiliki.
Membimbing berarti mengarahkan anak agar dapat menyelesaikan kesulitan yang dihadapinya, sehingga ini akan semakin mematangkan kepribadiannya. Pada proses selanjutnya anak tersebut akan lebih termotivasi dan berupaya menjadi lebih baik.
Jadi peranan orangtua bukan sebagai pengajar, tetapi membimbing anak agar menjadi pembelajar mandiri yang baik demi tercapainya tujuan yang dikehendaki sesuai bakat dan kemampuannya.
3)      Orangtua sebagai teladan
Orangtua adalah menjadi tokoh utama yang akan diteladani oleh anaknya. Sebagai teladan banyak hal yang dilihat anak dari orangtuanya. Menjadi teladan memang suatu hal yang sulit dilakukan. Keteladanan orangtua merupakan suatu cara membentuk minat belajar anak. Salah satu keteladanan orangtua adalah  menyesuaikan perkataan dan perbuatan.
4)      Orangtua sebagai pengontrol.
Mengontrol bukan mengawasi tetapi mengendalikan, yang mengandung konotasi pengarahan secara aktif kesuatu sasaran tertentu, bukan hanya pasif mengawasi. Dengan kata lain esensi dari kata pengendalian adalah tindakan atau langkah koreksi yang perlu, manakala terjadi suatu penyimpangan arah, relatif terhadap arah yang telah ditetapkan.

Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri yang dilakukan secara sadar dan bertanggung jawab. Hasil pendidikan informal diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan. Alasan pemerintah mengagas pendidikan informal adalah bahwa pendidikan dimulai dari keluarga, informal diundangkan juga karena untuk mencapai tujuan pendidikan nasonal dimulai dari keluarga, homeschooling merupakan pendidikan formal tapi dilaksanakan secara informal, dan anak harus dididik dari lahir.

c.       Pendidikan Nonformal
Pendidikan nonformal ialah setiap kegiatan teroganisasi dan sistematis, di luar sistem  persekolahan yang, dilakukan secara mandiri atau merupakan bagian penting dari kegiatan  yang lebih luas, yang sengaja dilakukan untuk melayani peserta didik tertentu di dalam mancapai tujuan belajarnya.
Fungsi pendidikan non formal yaitu mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta mengembangkan sikap dan kepribadian profesional. Dalam kaitan ini, kedudukan pendidikan non formal sekurang-sekurangnya berupaya menjalankan tiga fungsi, yaitu:
1)      Menambah dan memperluas materi pelajaran yang telah diterima di bangku sekolah.
2)      Manambah materi pelajaran baru bagi peserta didika yang tidak lulus dari jenjang pendidikan sekolah.
3)      Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki peserta didik setelah menyelesikan pendidikan dari sekolah.
Menurut Undang Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang dimaksud dengan pengertian pendidikan non formal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Terdapat beberapa jenis lembaga pendidikan yang menyediakan layanan pendidikan non-formal di Indonesia, yaitu:
1)      Balai Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (BP-PLSP) adalah unit pelaksana teknis di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional di bidang pendidikan luar sekolah. BP-PLSP mempunyai tugas melaksanakan pengkajian dan pengembangan program 23 serta fasilitasi pengembangan sumberdaya pendidikan luar sekolah berdasarkan kebijakan Departemen Pendidikan Nasional.
2)      Balai Pengembangan Kegiatan Belajar (BPKB) adalah unit pelaksana teknis di lingkungan Dinas Pendidikan Propinsi di bidang pendidikan luar sekolah. BPKB mempunyai tugas untuk mengembangkan model program pendidikan luar sekolah sesuai dengan kebijakan Dinas Pendidikan Propinsi dan kharakteristik propinsinya.
3)      Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) adalah unit pelaksana teknis Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota di bidang pendidikan luar sekolah (nonformal). SKB secara umum mempunyai tugas membuat percontohan program pendidikan nonformal, mengembangkan bahan belajar muatan lokal sesuai dengan kebijakan dinas pendidikan kabupaten/kota dan potensi lokal setiap daerah.
4)      Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) suatu lembaga milik masyarakat yang pengelolaannya menggunakan azas dari, oleh dan untuk masyarakat. PKBM ini merupakan wahana pembelajaran dan pemberdayaan masyarakat sehingga mereka semakin mampu untuk memenuhi kebutuhan belajarnya sendiri. PKBM merupakan sumber informasi dan penyelenggaraan berbagai kegiatan belajar pendidikan kecakapan hidup sebagai perwujudan pendidikan sepanjang hayat.
5)      Lembaga PNF sejenis adalah lembaga pendidikan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, yang memberikan pelayanan pendidikan nonformal berorientasi life skills/keterampilan dan tidak tergolong ke dalam kategori-katagori di atas, seperti; LPTM, Organisasi Perempuan, LSM dan organisasi kemasyarakatan lainnya.
d.      Perbedaan Pendidikan Formal, Informal dan Nonformal
Pendidikan formal
Pendidikan non-formal
Pendidikan informal
- Tempat pembelajaran di gedung sekolah.
- Ada persyaratan khusus untuk menjadi peserta didik.
- Kurikulumnya jelas.
- Materi pembelajaran bersifat akademis.
- Proses pendidikannya memakan waktu yang lama
- Ada ujian formal
- Penyelenggara pendidikan adalah pemerintah atau swasta.
- Tenaga pengajar memiliki klasifikasi tertentu.
- Diselenggarakan dengan administrasi yang seragam
- Tempat pembelajarannya bisa di luar gedung
- Kadang tidak ada persyaratan khusus.
- Umumnya tidak memiliki jenjang yang jelas.
- Adanya program tertentu yang khusus hendak ditangani.
- Bersifat praktis dan khusus.
- Pendidikannya berlangsung singkat
- Terkadang ada ujian
- Dapat dilakukan oleh pemerintah atau swasta
- Tempat pembelajaran bisa di mana saja.
- Tidak ada persyaratan
- Tidak berjenjang
- Tidak ada program yang direncanakan secara formal
- Tidak ada materi tertentu yang harus tersaji secara formal.
- Tidak ada ujian.
- Tidak ada lembaga sebagai penyelenggara.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Teori sosiologi yang menganalisis pendidikan dibagi menjadi 5 macam teori yaitu teori struktural fungsional, teori struktural konflik, teori interaksionisme simbolis, teori etnometodologi.
Perkembangan konsep pendidikan mengartikan bahwa pendidikan pada intinya adalah mendewasakan anak, memanusiakan manusia muda, memanusiakan menusia secara manusiawi serta pendidikan pada zaman kontemporer ini berada dalam konteks “life long education”, yaitu pendidikan sepanjang hayat, dimanapun, kapanpun dan oleh siapapun.
Pendidikan dapat diklasifikasikan menjadi pendidikan formal, pendidikan informal dan pendidikan nonformal. Pendidikan  formal  adalah  kegiatan  yang  sistematis, dimulai dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi dan yang setaraf dengannya. Pendidikan informal adalah proses yang berlangsung sepanjang usia sehingga setiap orang memperoleh nilai, sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang bersumber  dari  pengalaman  hidup  sehari-hari. Pendidikan nonformal ialah setiap kegiatan teroganisasi dan sistematis, di luar sistem  persekolahan yang dilakukan secara mandiri atau merupakan bagian penting dari kegiatan  yang lebih luas.

B.    
42
 
Saran
Sebagai masyarakat, khususnya kita sebagai calon guru yang bertindak didalam lingkungan pendidikan sudah seharusnya kita mengetahui beberapa teori sosiologi, bagaimana perkembangan konsep pendidikan dan mengetahui klasifikasi pendidikan.agar kita bisa lebih baik dalam melaksanakan pendidikan serta dapat menyumbangsihkan ilmu sosial kepada peserta didik.



DAFTAR PUSTAKA

Achien, Yasina. 2012. Fungsi dan Peran Pendidikan Formal. [Online]. Tersedia: http://yasinaachien.blogspot.com/2012/04/fungsi-dan-peran-pendidikan-formal.html. [06 Februari 2015]
Elfayed. 2011. Sosiologi Pendidikan. [Online]. Tersedia: http://www.slideshare.net/yosefachristina/sosiologi-pendidikan?related=1. [06 Februari 2015]
Gurupai. 2011. Pendidikan dalam Analisis Teori. [Online]. Tersedia: http://gurupai-smadappu.blogspot.com/2011/06/pendidikan-dalam-analisis-teori.html. [06 Februari 2015]
Hernandez, Zackey. 2013. Teori-teori Sosiologi Pendidikan. [Online]. Tersedia: http://zackeyhernandez.blogspot.com/2013/04/teori-teori-sosiologi-pendidikan.html. [06 Februari 2015]
Khairina, Ina. 2012. Peranan Sosiologi dalam Dunia Pendidikan. [Online]. Tersedia: uns.ac.id/data/sp2.pdf. [06 Februari 2015]
Kyujungso, Babycho. 2013. Konsep Dasar Tujuan Sasaran. [Online]. Tersedia : http://babychokyujungsoo.blogspot.com/2013/10/makalah-konsep-dasar-tujuan-sasaran.html. [06 Februari 2015]
Noname. 2013. Pengertian Pendidikan Formal dan Nonformal. [Online]. Tersedia: http://pengertian-definisi-adalah.blogspot.com/2013/08/pengert ian-pendidikan-formal-dan-non.html. [06 Februari 2015]
Penton, Raditya. 2012. Pendidikan Formal Informal dan Nonformal. [Online]. Tersedia: http://radityapenton.blogspot.com/2012/11/pendidikan-formal-informal-dan-nonformal.html. [06 Februari 2015]
Sahabudin. 2010. Tinjauan Umum Tentang Sosiologi. [Online]. Tersedia: http://smpbr.blogspot.com/2010/11/tinjauan-umum-tentang-sosiologi.html. [06 Februari 2015]
Tujung, Ronggo. 2011. Pengertian Tiga Jenis Pendidikan. [Online]. Tersedia: http://imadiklus.com/pengertian-tiga-jenis-pendidikan/. [06 Februari 2015]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar