BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam
menjalani kehidupan, manusia dan pendidikan tidak dapat dipisahkan karena
keduanya saling berkesinambungan dan erat kaitannya satu sama lainnya. Manusia
siapa pun dan kapan pun tentunya membutuhkan pendidikan untuk mengembangkan
segala potensi yang ada pada dirinya dan untuk menjadikannya sebagai manusia
yang manusiawi, berkompetensi, dan sadar akan nilai-nilai dan norma-norma yang
ada di kehidupannya. Dalam konteks yang lebih kompleks lagi, pendidikan
ditujukan untuk membentuk manusia yang seutuhnya dimana selain dari segi
keduniawian saja namun segi keakhiratan juga. Manusia tidak akan pernah luput
dari pendidikan selama ia masih hidup karena pendidikan berlangsung seumur
hidup.
Pada
zaman globalisasi saat ini berbagai problematika muncul ke permukaan, sebagai
contoh masih sulitnya masyarakat menengah ke bawah untuk memperoleh pendidikan
karena kurangnya dukungan ekonomi. Selain itu masih ada anggapan negatif
mengenai pendidikan juga kurangnya dukungan sarana dan prasarana untuk
melakukan proses pendidikan. Hal tersebut menjadi PR bagi pemerintah dan
tenaga-tenaga pendidik dalam memajukan pendidikan guna meningkatkan kualitas
sumber daya manusia di Indonesia. Berbagai upaya dapat ditempuh pemerintah dan
para tenaga pendidik untuk mengentaskan problematika pendidikan di Indonesia
saat ini.
Berdasarkan
hal di atas perlu disusun sebuah makalah yang mampu menjadi wahana untuk
membahas masalah pengentasan masalah pendidikan yang banyak muncul saai ini.
Oleh karena itu penulis menulis makalah yang bertajuk “Pengentasan Problematika
Pendidikan”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, penulis menuliskan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa
yang dimaksud dengan pendidikan?
2. Apa
arti penting pendidikan?
3. Apa
saja problematika pendidikan yang terjadi saat ini?
4. Bagaimana
upaya pengentasan problematika yang terjadi saat ini?
C. Tujuan Penulisan
Secara
umum tujuan penulis menyusun makalah ini adalah untuk memenuhi tugas akhir mata
kuliah Filsafat Pendidikan.
Adapun
secara khusus penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui dan
mendeskripsikan:
1. Pengertian
Pendidikan
2. Arti
penting pendidikan
3. Problematika
pendidikan yang terjadi saat ini
4. Upaya
pengentasan problematika pendidikan yang terjadi saat ini
D. Pembatasan masalah
Mengingat
keterbatasan ilmu pengetahuan dan buku sumber yang dimiliki penulis maka dalam
penyusunan makalah ini, penulis membatasinya yaitu dengan membahas tentang
problematika pendidikan yang terjadi saat ini, factor-faktor yang
mempengaruhinya, dan upaya pengentasan problematika yang terjadi.
E. Metode penulisan
Dalam
mengumpulkan bahan data untuk menyusun makalah ini, agar lebih akurat dan
efektif maka penulis menuliskan metode melalui tinjauan pustaka dengan mencari
dari berbagai sumber yang berkaitan dengan tema yang dibahas.
F. Sistematika Penulisan
Dalam menulis makalah ini, penulis menguraikan
sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab I berisi pendahuluan yang menguraikan tentang
latar belakang, rumusan masalah, tujuan masalah, pembatasan masalah, metode
penulisan, dan sistematika penulisan.
Bab II berisi pembahasan yang menguraikan tentang
pengertian pendidikan, arti penting pendidikan, problematika yang terjadi saat
ini, dan upaya pengentasan problematika yang terjadi saat ini.
Bab III berisi yang menguraikan tentang kesimpulan
dan saran.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Pendidikan
Pendidikan
berasal dari kata “didik” yang berarti pimpin, pelihara, ajar, lalu kata ini
mendapat awalan “me” sehingga menjadi “mendidik”, artinya memelihara dan
memberi latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya
pengajaran tuntutan, dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran( Kamus
Besar Bahasa Indonesia, 1991: 232).
Dalam bahasa
Inggris, education (pendidikan) berasal dari kata educate (mendidik) artinya
memberi peningkatan (to elicit, to give rise to), dan mengembangkan (to evolve,
to develop).
Pendidikan
menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Bab I Pasal 1, adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar secara aktif mengembangkan potensi
dirinya.
Sejalan dengan
itu, menurut para ahli psikologi dan pendidikan diantaranya Chaplin (1971),
Tardif (1987), dan Reber (1988), pendidikan adalah pengembangan potensi atau
kemampuan manusia secara menyeluruh yang pelaksanaannya dilakukan dengan cara
mengajarkan berbagai pengetahuan dan kecakapan yang dibutuhkan oleh manusia itu
sendiri.
Jadi dapat
disimpulkan bahwa pendidikan adalah suatu proses yang dilakukan secara
terencana untuk mengembangkan segenap potensi yang ada pada diri seseorang agar
di kemudian hari ia dapat menjadi seorang manusia seutuhnya.
Selain dari
pengertian di atas, pengertian pendidikan
pun dapat ditinjau dari dua sudut, yakni pendidikan dalam arti sempit dan pendidikan dalam arti
luas.
1.
Pendidikan
dalam Arti Sempit
Menurut Rupert
S. Lordge “In the narrow sense, education becomes, in practice identical with
schooling, i.e. formal instruction under controlled conditions”. (Mohammad
Syam,1984). Pendidikan dalam prakteknya
identik dengan penyekolahan (schooling),
yaitu pengajaran formal di bawah kondisi-kondisi yang terkontrol.
Dalam Dictionary
of Psycology (1972) pendidikan diartikan sebagai …the institutional procedures
which are employed in accomplishing the development of knowledge, habits,
attitudes, etc. Ussualy the term is applied to formal institution. Jadi, pendidikan berarti tahapan kegiatan
yang bersifat kelembagaan (seperti sekolah dan madrasah) yang dipergunakan
untuk menyempurnakan perkembangan individu dalam menguasai pengetahuan,
kebiasaan, sikap, dan sebagainya.
Dalam arti sempit, pendidikan hanya
berlangsung di dalam institusi atau lembaga formal seperti sekolah dan
perguruan tinggi. Pendidikan diciptakan secara sengaja dan berbentuk formal
juga memiliki aturan dalam konteks kurikulum yang terprogram di dalam institusi
tersebut. Pendidikan dalam konteks ini dibatasi oleh waktu, sebagai contoh
lamanya pendidikan di sekolah dasar ditentukan oleh waktu enam tahun, sekolah
menengah pertama dan atas selama tiga tahun atau mungkin kurang dari itu sesuai
dengan kesempatan dan kemampuan biaya yang dimilikinya. Pendidikan memiliki
titik terminal yang dapat diselesaikan dalam waktu tertentu. Tujuan pendidikan
dalam pengertian sempit ditentukan oleh pihak luar yaitu terbatas pada
pengembangan kemampuan-kemampuan tertentu dan tujuan yang hendak dicapai adalah
untuk mempersiapkan peserta didik agar kelak dapat hidup di masyarakat.
2.
Pendidikan
dalam Arti Luas
Pendidikan dalam
arti luas merupakan usaha manusia (belajar) untuk meningkatkan kesejahteraan
hidupnya, yang berlangsung sepanjang hayat.
Henderson (1959:44) mengemukakan:
But
education as a process of growth and development taking place as the result of
the interaction of an individual with his environment, both physical and
social, beginning at birth and lasting as long as life itself a process in
which the social heritage as a part of the social environment becomes a tool to
be used toward the development of the best and most intelligent person
possible, men and women who will promote human welfare, that is to see the educative
process as philosophers and educational reformers conceived it.
Menurut
Henderson, pendidikan merupakan suatu proses pertumbuhan dan perkembangan,
sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungan social dan lingkungan fisik,
berlangsung sepanjang hayat sejak manusia lahir. Warisan social merupakan
lingkungan masyarakat, merupakan alat bagi manusia untuk pengembangan manusia
yang baik dan intelligent, untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
Dalam GBHN Tahun
1973 dikemukakan pengertian pendidikan,
bahwa, “Pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu usaha yang disadari untuk
mengembangkan kepribadian dan kemampuan manusia, yang dilaksanakan di dalam
maupun di luar sekolah, dan berlangsung seumur hidup.”
Dalam pengertian
luas, pendidikan menyangkut hati nurani, nilai-nilai, perasaan, pengetahuan,
dan keterampilan. Dengan pendidikan manusia ingin berusaha untuk meningkatkan
dan mengembangkan serta memperbaiki nilai-nilai, hati nuraninya, perasaannya,
pengetahuannya, dan keterampilannya. Dalam konteks hubungan manusia, pendidikan
bersifat multi dimensi, baik dalam hubungan manusia dengan sesama manusia,
manusia dan budayanya, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhannya. Dalam
hubungan yang bersifat multi dimensi itu pendidikan berlangsung melalui
berbagai bentuk kegiatan, tindakan, dan peristiwa, baik pada pada awalnya
disengaja atau tidak. Selain itu pendidikan berlangsung bagi siapa pun, kapan
pun, dan dimana pun tidak terbatas pada penyekolahan saja karena pendidikan
berlangsung sejak lahir hingga meninggal dunia. Disadari maupun tidak
pendidikan selalu diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu, dalam arti luas
pendidikan tujuan pendidikan terkandung dalam setiap pengalaman belajar. Tujuan
pendidikan adalah pertumbuhan, jumlah tujuan pendidikan tidak terbatas. Tujuan
pendidikan sama dengan tujuan hidup.
Dari pengertian pendidikan di atas didapat beberapa
prinsip dasar tentang pendidikan yang akan dilaksanakan:
Pertama, pendidikan berlangsung seumur hidup. Usaha
pendidikan berlangsung dari mulai manusia lahir sampai ia tutup usia sepanjang
ia mampu menerima pengaruh dan dapat mengembangkan dirinya. Pendidikan akan
berlangsung dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Kedua, bahwa tanggung jawab pendidikan merupakan
tanggung jawab semua manusia. Bersama keluarga dan masyarakat, pemerintah
berusaha semaksimal mungkin agar pendidikan mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
Ketiga, bagi manusia pendidikan itu merupakan suatu
bentuk keharusan, karena agar manusia memiliki kemampuan dan kepribadian yang
berkembang.
3.
Tujuan
Pendidikan
Tujuan
pendidikan memiliki kedudukan yang menentukan dalam proses pendidikan. Terdapat
dua fungsi dalam tujuan pendidikan, yakni memberi arah kepada segenap kegiatan
dan merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh segenap kegiatan pendidikan.
Sebagai contoh orang tua mengajarkan anaknya shalat lima waktu karena supaya
anaknya menjadi anak yang soleh dan memiliki bekal di akhirat.
Tujuan
pendidikan merupakan gambaran dari falsafah hidup manusia baik secara
perseorangan maupun kelompok. Tujuan pendidikan akan menyangkut system nilai dan
norma-norma dalam konteks kebudayaan, baik dalam mitos, kepercayaan, filsafat,
ideology, dan sebagainya. Tujuan pendidikan merupakan hal yang fundamental
karena hal itulah yang akan menentukan ke arah mana anak didik akan dibawa.
Dalam tujuan
pendidikan harus mengandung tiga nilai, diataranya autonomy, equity, dan
survival. Autonomy yaitu memberi kesadaran, pengetahuan, dan kemampuan secara
maksimum kepada individu maupun kelompok untuk dapat hidup mandiri dan hidup
bersama dalam kehidupan yang lebih baik. Equity berarti bahwa tujuan pendidikan
tersebut harus memberi kesempatan kepada seluruh warga masyarakat untuk dapat
berpartisipasi dalam kehidupan berbudaya dan kehidupan ekonomi dengan
memberinya pendidikan dasar yang sama. Sedangkan survival berarti pendidikan
akan menjamin pewarisan kebudayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Dengan ketiga nilai tersebut, pendidikan mengemban tugas untuk menghasilkan
generasi yang lebih baik, manusia-manusia berkebudayaan. Manusia sebagai
individu yang memiliki kepribadian yang lebih baik. Nilai-nilai tersebut
menggambarkan pendidikan dalam konteks yang sangat luas dimana digambarkan
bahwa tujuan pendidikan adalah untuk menciptakan suatu kehidupan yang lebih
baik.
Pancasila
sebagai pandangan hidup bangsa , merupakan dasar dan sekaligus tujuan yang
ingin dicapai dalam melaksanakan pendidikan. Kegiatan pendidikan ditujukan
untuk menghasilkan manusia seutuhnya, manusia yang memiliki kepribadian yang
lebih baik yaitu manusia dimana sikap dan perilakunya dalam hidup bermasyarakat
dan bernegara dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila. Manusia seutuhnya, manusia
yang menghayati dan sekaligus mampu mengamalkan Pancasila. Dalam Undang-Undang
No 2 Tahun 1989 dijelaskan tentang tujuan pendidikan sebagai berikut:
“Pendidikan
Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia
seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa
dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani
dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan.”
B.
Arti
Penting Pendidikan
Manusia adalah
makhluk yang tumbuh dan berkembang. Ia selalu berusaha untuk mencapai suatu
kehidupan yang optimal. Oleh karena itu manusia senantiasa membutuhkan konsep
untuk mencapai tujuan tersebut, yakni melalui pendidikan.
Manusia siapa
pun, sebagai apa pun, dimana pun dan kapan pun berada berhak atas pendidikan.
Manusia sebagai objek pendidikan adalah manusia dalam perwujudannya sebagai
individu yang menjadi bagian intergral dari masyarakatnya. Dua sisi perwujudan
ini dipandang
penting dan perlu untuk proses di dalam
sistem pendidikan agar di kemudian hari manusia dapat menemukan jati dirinya
sebagai manusia. Berulang kali dinyatakan bahwa tanpa pendidikan, manusia tidak
mungkin bisa menjalankan tugas dan kewajibannya di dalam kehidupan, sesuai
dengan hakikat asal mula dan hakikat tujuan hidupnya. Sehubungan dengan itu,
pendidikan secara khusus difungsikan untuk menumbuhkembangkan segala potensi
kodrat (bawaan) yang ada dalam diri manusia.
Pendidikan yang
dijalani oleh manusia berlangsung sepanjang hayat. Selama manusia masih
meningkatkan dan mengembangkan kepribadian serta kemampuan atau
keterampilannya, secara sadar atau tidak sadar selama itulah pendidikan masih
berjalan terus. Menurut konsep pendidikan yang berlangsung sepanjang hayat,
kegiatan-kegiatan pendidikan dianggap sebagai suatu keseluruhan. Seluruh sektor
pendidikan merupakan suatu sistem yang terpadu.
Cipta, rasa, dan
karsa manusia semakin cerdas. Seorang manusia yang eksis dalam kecerdasan
spiritual cenderung berwawasan luas dan mendalam. Wawasan demikian menembusi
tembok batas “positivisme radikal” yang sementara ini membelenggu kehidupan
manusia dalam kepicikan, kebodohan, dan kesombongan. Kecerdasan spiritual
membuka wawasan memasuki dunia trasenden yang tunggal dan bersifat absolute,
yaitu dunia yang berada di luar jangkauan pikiran dan pengalaman manusia.
Selanjutnya, kecerdasan spiritual perlu dijadikan fondasi eksistensi kehidupan
manusia agar berlangsung dalam dinamika perkembangan secara konstan berdasarkan
kesadaran mendalam tentang sifat hakikat asal mula dan tujuan kehidupannya.
Pendidikan yang dialami oleh seorang manusia
berlangsung dalam tiga wilayah antara lain pendidikan internal (keluarga),
formal (sekolah), dan eksternal (masyarakat).
1. Pendidikan dalam keluarga
Keluarga merupakan sekelompok
manusia yang terdiri dari (ayah, ibu) dan anak-anak. Jadi keluarga sebagai
lembaga pendidikan hanya terdiri dari orang tua sebagai pendidik dan
anak-anaknya sebagai peserta didik.
Dalam
hubungannya dengan pendidikan, keluarga merupakan lembaga pendidikan yang
pertama dan utama. Pendidikan dalam keluarga berlangsung secara wajar dan
informal, serta melalui media permainan.
Keluarga
merupakan dunia anak yang pertama, yang memberikan sumbangan mental dan fisik
terhadap hidupnya. Dalam keluarga lambat laun anak membentuk konsepsi tentang
pribadinya baik tepat ataupun tidak tepat.
Orang
tua sebagai pendidik betul-betul merupakan peletak dasar kepribadian anak.
Kepribadian anak sangat ditentukan oleh pendidikan dalam keluarga. Ada istilah buah
jatuh tidak jauh dari pohonnya. Ini menandakan bahwa perilaku seorang anak
tidak akan jauh berbeda dengan tingkah laku yang dibentuk keluarganya. Sistem
kegiatan pendidikan di dalam keluarga sangat tergantung kepada kecenderungan
yang kuat dari orang tua terhadap dunia pendidikan. Dalam hal ini tingkat dan
kualitas pedidikan orang tua menjadi penting dan menentukan kecenderungan kuat
dan kualitas pendidikan orang tua tdak harus tergantung pada tinggi rendahnya
pendidikan formal(sekolah) yang telah draih, tetapi tergantung pada kualitas
motivasinya. Idealnya memang tingkat pendidkan orang tua dapat dilihat pada
orientasi (filosofi) kehidupan keluarga dan bagaimana konsekuensi mereka dalam
menjalankan filosofi itu. Dengan demikian, keluarga bertanggung jawab terhadap
siste kegiatan pndidikan untuk menumbuhkembangkan kecerdasan spiritual berupa
kesadaran tentang asal mula, tujuan, dan eksistensi kehidupan dalam tata
hubungan kaulisatik. Kesadaran demikian akan membuahkan nilai keindahan dan
watak atau kepribadian jujur. Selain itu dalam Islam terdapat suatu pandangan
yang mengemukakan bahwa seorang anak yang lahir dalam keadaan fitrah. Dimana si
anak memiliki potensi untuk berkembang menjadi manusia yang manusiawi dan orang
tualah yang berperan untuk mengembangkan potensi yang dimilliki oleh anak
tersebut.
.
2. Pendidikan
di Sekolah
Pendidikan dalam keluarga saja tidak
cukup untuk membentuk karakter seorang anak. Usaha pendidikan di sekolah
merupakan kelanjutan dari pendidikan dalam keluarga. Sekolah merupakan lembaga
yang diselenggarakan secara formal untuk mengembangkan dan membentuk potensi
intelektual atau pikiran, menjadi cerdas.
Secara
terprogram dan koordinatif, materi pendidikan dipersiapkan untuk dilaksanakan
secara metodis, sistemis,intensif, efektif, dan efisien menurut ruang dan waktu
yang telah ditentukan. Jadi penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan menurut
metode dan sistem yang jelas dan konkrit. Pencerdasan pikiran tersebut
dilakukan dengan meningkatkan pengetahuan mengenai reading (membaca), writing
(menulis), dan arithmatics (perhitungan). Reading sasarannya bukan hanya
mengembangkan kemampuan membaca tulisan, tetapi lebih dari itu, yakni kemampuan
membaca fakta kehiupan yang sedang berjalan. Adapun writing, sasarannya adalah
kemampuan mengungkapkan sesuatu hal yag telah dibaca untuk kemudian disosialisasikan dalam
bentuk tulisan. Sedangkan arithmatics, sasaran pokoknya adalah
kemampuan menghitung dan membuat perhitungan agar setiap langkah kehidupan
dapat menghasilkan kepastian.
Materi
pendidikan tersebut selanjutnya dipelajari dengan target kemampuan konitif,
afektif, dan psikomotorik. Dengan target ini, berarti sistem kegiatan
pendidikan sekolah bertanggung jawab terhadap pertumbuhan dan perkembangan
spirit nilai kebenaran yag dapat difungsikan sebagai dasar pencerdasan
intelektual.
3.
Pendidikan di masyarakat
Dalam
konteks kehidupan masyarakat, komponen kecerdasan asal mula, eksistensi, dan
tujuan menjadi berubah bentuk. Kepentingan masyarakat menjadi tolak ukur. Semua
kegiatan sosial di berbagai bidang dilaksanakan bagi kepentingan bersama di
dalam masyarakat. Masyarakat menjadi asal mula seluruh kegiatan social, di
dalam kehidupan masyarakat pula seluruh kegiatan itu dilakukan dan menurut
tujuan kehidupan masyarakat juga seluruh kegiatan sosial itu dilakukan.
Dari uraian di atas, telah jelas
bahwa manusia itu pada hakikatnya membutuhkan pendidikan selama hidupnya. Peran
pendidikan sangatlah penting karena pendidikan dapat membentuk seorang manusia
menjadi manusia yang
Bila
ditinjau kualitas pendidikan di manusiawi dan
dapat mengembangkan segala potensi yang ada pada dirinya.
C.
Problematika
Pendidikan Saat Ini
Bila kita
tinjau kualitas pendidikan Indonesia saat ini, dapat dikatakan semakin
memburuk. Mengapa
ada anggapan seperti itu? Hal ini terbukti dari masih banyaknya anak-anak yang putus sekolah
sekolah karena kekurangan biaya, kualitas gurunya pun sebagian kurang kompeten
dalam menjalankan misinya sebagai pendidikan, sarana dan prasarana yang kurang memadai, dan pendidikan yang belum merata sampai
ke pelosok serta masih banyak problemmatika pendidikan yang terjadi di Negeri
ini.
1.
Anak-anak
yang Putus Sekolah
Kemiskinan yang
sebagian besar melanda negeri ini
tentunya menghambat proses pendidikan. Karena untuk mendapatkan pendidikan
tentunya memerlukan biaya. Bila ada yang mengatakan bahwa pendidikan itu gratis
itu adalah keliru. Mengapa demikian? Tentunya untuk menjalankan proses
pendidikan membutuhkan berbagai sarana dan prasarana yang seluruhnya
mengeluarkan biaya. Hal ini tentunya berpengaruh bagi para anak yang kekurangan
dari segi ekonominya untuk bersekolah.
Selain itu,
masih ada saja anggapan bahwa pendidikan itu tidak penting. Mereka berpikir
bahwa sekolah itu hanya menghambur-hamburkan biaya saja. Lebih baik bekerja
karena pada nanti ujungnya juga akan bekerja. Lagi pula dengan bekerja dapat
menghasilkan uang. Di era yang telah modern ini masih ada orang tua yang
berpikir seperti itu untuk masa depan anaknya. Hal ini tentu membuat anak
beranggapan sama terhadap pendidikan sehingga mereka lebih mengikuti kehendak
orang tuanya.
Lain halnya di
satu sisi yang menganggap bahwa pendidikan itu penting namun dari segi ekonomi
anak itu kurang mendukung. Banyak kasus seperti ini terjadi akhir-akhir ini. Selain
harus memikirkan biaya untuk hidup mereka pun harus memikirkan biaya untuk
sekolah. Yang umum sering terjadi adalah ketika di sekolah akan menjelang
ujian. Bagi mereka ini adalah hal yang sangat diresahkan. Mengapa? Bukan karena
resah dengan soal-soal yang akan dihadapi nanti, namun mereka resah apabila
nanti tidak akan mendapat kartu ujian sehingga mereka tidak dapat mengikuti
ujian. Bila dilakukan studi kasus ke sekolah-sekolah, sebagian besar banyak
ditemui permasalahan seperti ini. Inilah penyebab dari mereka yang harus putus
sekolah. Dari hati kecil mereka, ada motivasi untuk mengenyam pendidikan di
sekolah. Namun apa daya mereka tidak memiliki modal untuk melaksanakan itu.
Banyak anak-anak
usia sekolah yang harusnya belajar di kelas untuk mengenyam pendidikan, namun
ia harus rela bekerja membanting tulang untuk membantu orang tuanya dalam
mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Sungguh ironis hal ini. Seharusnya ini
menjadi PR bagi pemerintah dan pendidik untuk mengatasinya dan memenuhi hak
mereka yang tercantum dala UUD pasal 31 tentang setiap warga Indonesia berhak
atas pendidikan.
2.
Kualitas
Guru yang Kurang Kompeten
Pendidikan di
Indonesia setiap rentang beberapa tahunnya sering berganti-ganti kurikulum yang
dianggap lebih baik dari tahun sebelumnya. Namun dibalik perubahan kurikulum
tersebut pemerintah tidak memperhatikan apakah guru-guru tersebut mampu
melaksanakan kurikulum baru tersebut. Berdasarkan pengamatan tahun lalu, hanya
60% guru di Indonesia yang lulus standar dalam mengajar. Sisanya 40% masih perlu bimbingan agar lulus
standarisasi. Hal tersebut terjadi karena kurangnya pemahaman guru terhadap
kurikulum yang baru sebagai akibat kurangnya pelatihan skill mengenai hal
tersebut.
Selain itu guru pada era sekarang sudah mulai
diperhatikan. Walaupun perhatian tersebut terasa terlambat, tapi paling tidak
sudah ada perhatian pemerintah untuk meningkatkan kualitas guru. Harapan tentu
dibebankan di pundak guru agar dunia pendidikan kita semakin lama semakin baik.
Salah satu tanda perhatian tersebut adalah dengan adanya program sertifikasi
guru. Sertifikasi bertujuan untuk meningkatkan kualitas guru. Seiring dengan itu,
pemerintah memberikan tambahan insentif kepada guru-guru yang lulus sertifikasi
sebagai tanda balas jasa.
Dalam proses sertifikasi tersebut, guru-guru wajib
membuat portofolio dengan melampirkan berbagai syarat-syarat administrasi
lainnya. Misalnya sudah bekerja sebagai guru minimal 5 tahun, jumlah jam
mengajar, penilaian atasan, perangkat pembelajaran, silabus, piagam pelatihan
yang pernah diikuti, serta SK yang berhubungan dengan kegiatan pendidikan di
luar sekolah, dan persyaratan administrasi lainnya.
Program sertifikasi ini sangat mudah dan murah. Melihat beberapa
persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang guru, mustahil tidak lulus. Apabila
tidak lulus pun dapat disimpulkan bahwa guru tersebut malas, kurang kreatif,
dan pasif. Namun dengan mudahnya persyaratan sertifikasi tersebut belum tentu
dapat dijamin kualitas pendidikan pun dapat dengan mudah ditingkatkan. Bagi
guru-guru yang sudah lulus sertifkasi, tidak ada jaminan bahwa kualitas mereka
dalam menyampaikan ilmu kepada perserta didiknya menjadi semakin baik. Kualitas
guru banyak ditentukan oleh kemampuan guru tersebut dalam menerjemahkan bahan
belajar menjadi sangat aplikatif bagi siswanya dalam mengembangkan fungsi
kognitif, apektif, dan psikomotoriknya. Guru-guru yang hanya memindahkan materi
buku pelajaran ke otak siswa-siswinya tentu belum bisa dikatakan guru
berkualitas. Guru yang baik adalah guru yang motivator, inspirator, serta mampu
menggali potensi yang dimiliki oleh siswanya. Karena itu, selain kualitas
intelektual, seorang guru harus memiliki kesiapan mental dalam mendidik dan
mengajar.
Dengan adanya sertifikasi ini diharapkan kualitas guru
juga semakin meningkat. Tetapi melihat beberapa persyaratan yang harus
dipenuhi, rasanya akan sulit mengharapakan peningkatan kualitas guru.
Persyaratan tersebut sepertinya tidak ada yang berhubungan langsung dengan
peningkatan kualitas. Guru-guru yang mengajar lebih dari 5 tahun belum tentu
lebih bak dari guru yang baru mengajar setahun. Begitu juga guru-guru yang
mengajar lebih dari 20 jam dalam seminggu lebih baik dari yang mengajar 10 jam
seminggu.
3. Kurang Meratanya Penyebaran Guru
Guru
sebagai pilar penunjang terselenggarannya suatu sistem pendidikan, merupakan
salah satu komponen strategis yang juga perlu mendapatkan perhatian oleh negara.
Misalnya dalam hal penempatan guru, bahwa hingga sekarang ini jumlah guru
dirasakan oleh masyarakat maupun pemerintah sendiri masih sangat kurang.
sebagai contoh dalam lingkup Jawa Barat saja menurut Drs. H. Iim Wasliman, M.Pd., M.Si. (Kadisdik Jabar tahun 2002) bahwa kondisi minimnya jumlah guru dibandingkan kebutuhan yang ada sudah sering dilontarkan. Bukan hanya di tingkat daerah, tapi juga telah menjadi persoalan nasional. Kurang meratanya penyebaran guru di Indonesia pun diakibatkan karena guru tersebut yang tidak ingin ditempatkan di daerah-daerah pelosok. Ada diantaranya yang telah diangkat di daerah terpencil namun tidak bertahan lama ia mengajar di tempat tersebut dan kemudian pindah lagi ke kota. Hal ini disebabkan karena kurangnya akses dan sarana prasarana di daerah pelosok sehingga kurang menarik perhatian si guru.
sebagai contoh dalam lingkup Jawa Barat saja menurut Drs. H. Iim Wasliman, M.Pd., M.Si. (Kadisdik Jabar tahun 2002) bahwa kondisi minimnya jumlah guru dibandingkan kebutuhan yang ada sudah sering dilontarkan. Bukan hanya di tingkat daerah, tapi juga telah menjadi persoalan nasional. Kurang meratanya penyebaran guru di Indonesia pun diakibatkan karena guru tersebut yang tidak ingin ditempatkan di daerah-daerah pelosok. Ada diantaranya yang telah diangkat di daerah terpencil namun tidak bertahan lama ia mengajar di tempat tersebut dan kemudian pindah lagi ke kota. Hal ini disebabkan karena kurangnya akses dan sarana prasarana di daerah pelosok sehingga kurang menarik perhatian si guru.
Selain
itu, penyebaran guru-guru yang berkualitas lebih banyak terdapat di
sekolah-sekolah unggulan. Kebanyakan dari mereka berpendapat bahwa mengajar di
sekolah favorit lebih terjamin dibandingkan dengan mengajar di sekolah biasa.
Tunjangan di dalamnya lebih menarik perhatian mereka.
Permasalahan
yang lebih kompleks adalah masih kurangnya tenaga pendidik di Indonesia,
terlebih lagi kurangnya tenaga pendidik di sekolah dasar. Sebagai contoh di
Jawa Barat sendiri masih dibutuhkan sekitar 64 ribu guru guna mengisi
kekurangan di sekolah dasar, 18 ribu guru untuk sekolah menengah pertama, 6
ribu untuk sekolah menengah umum dan sekolah menengah kejuruan. Kekurangan
tersebut merupakan persolan serius karena guru adalah ujung tombak pendidikan.
Kekurangan tersebut membuat beban guru semakin bertumpuk sehingga berpotensi
menurunnya kualitas pendidikan di dalamnya.
4.
Sarana dan
Prasarana yang Kurang Memadai
Sarana dan prasarana pendidikan merupakan
salah satu faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan penyelenggaraan
pendidikan. Dengan adanya kerusakan sarana dan prasarana ruang kelas dalam
jumlah yang banyak, maka proses belajarnya pun tidak efektif. Sebagai contoh
kondisi kelas yang tidak layak pakai karena rusak tentunya suasana belajar yang
dirasakan tidak akan nyaman. Kelas yang suasananya kotor pun sangat tidak
nyaman untuk digunakan proses pembelajaran. Banyak kasus tentang
sekolah-sekolah yang tidak layak pakai bahkan ambruk namun masih dipakai. Hal
ini tentu sangat memprihatinkan. Dimana alokasi dana yang pemerintah canangkan
dari APBD sebanyak 20 % tidak berfungsi. Dalam hati rakyat pasti bertanya-tanya
kemanakah dana tersebut.
Selain
itu kurangnya sarana pendidikan seperti perpustakaan, laboratorium, dan ruang
kelas ikut mempengaruhi kualitas pembelajaran. Masih ada sekolah yang belum
dapat memenuhi kebutuhan akan sarana-sarana tersebut. Untuk sarana
fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya
rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak
lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi
tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki
gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya..
Sarana-sarana tersebut sangat menunjang dalam kegiatan pembelajaran. Sebagai
contoh laboratorium sangat diperlukan untuk melakukan eksperimen dan praktek
pembelajaran. Bila sarana ini tidak terpenuhi maka proses pembelajaran pun akan
terhambat dan kurang efektif karena hanya teori-teori saja yang dipelajari
namun secara praktek tidak.
5. Lebih Memprioritaskan Kuantitas
Jika ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, tentunya juga berbicara mengenai standardisasi
pengajaran yang
diambil. Tentunya setelah melewati proses untuk menentukan standar yang akan
diambil.
Dunia
pendidikan terus beruah
seiring dengan berkembangnya jaman. Kompetensi yang dibutuhkan oleh masyarakat terus-menertus berubah apalagi di
dalam dunia terbuka yaitu di dalam dunia modern dalam era globalisasi.
Kompetensi-kompetensi
yang harus dimiliki oleh seseorang dalam lembaga pendidikan haruslah memenuhi
standar.
Seperti yang dapat dilihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam
pendidikan formal maupun informal terlihat hanya cenderung terhadap standar dan kompetensi.
Kualitas pendidikan diukur oleh standar dan kompetensi di dalam berbagai versi. Demikian pula sehingga dibentuk badan-badan baru untuk
melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi
Nasional Pendidikan (BSNP).
Dengan
terfokusnya pendidikan terhadap standar dan kompetensi saja mennimbulkan adanya
bahaya tersembunyi, yakni kemungkinan adanya pendidikan yang
terkekung oleh standar kompetensi saja sehingga kehilangan makna dan tujuan pendidikan tersebut.
Peserta didik di Indonesia rata-rata terkadang hanya memikirkan bagaimana agar mencapai
standar pendidikan saja, bukan bagaimana agar pendidikan yang diambil efektif
dan dapat digunakan. Mereka
tidak peduli bagaimana cara agar memperoleh hasil atau lebih
spesifiknya nilai yang diperoleh, yang terpenting adalah memenuhi nilai di atas
standar saja. Hal ini
membuat peserta didik cenderung mementingkan hasil daripada proses.
Hal tersebut sangat memprihatinkan karena berarti
pendidikan seperti kehilangan makna saja karena terlalu menuntun standar
kompetensi. Hal itu jelas salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di
Indonesia.
Selain itu, akan lebih baik jika mempertanyakan kembali
apakah standar pendidikan di Indonesia sudah sesuai atau belum. Dalam kasus UAN
yang hampir selalu menjadi kontroversi setiap tahunnya. Bila ditinjau sistem evaluasi
seperti Ujian Akhir Nasional sudah cukup
baik, namun yang disayangkan
adalah evaluasi pendidikan seperti itu yang menentukan lulus tidaknya peserta
didik mengikuti pendidikan, hanya dilaksanakan sekali saja tanpa melihat proses
yang dilalui peserta
didik yang telah menenpuh proses pendidikan selama beberapa tahun. Selain hanya
berlangsung sekali,
evaluasi seperti itu hanya mengevaluasi beberapa bidang studi saja tanpa mengevaluasi
bidang studi lain yang telah didikuti oleh peserta didik.
Yang lebih
memprihatinkan lagi adalah adanya oknum guru, kepala sekolah dan oknum pegawai
dinas yang turut menjadi tim sukses dalam UAN supaya anak didiknya dapat lulus
sehingga citra sekolahnya terangkat. Banyak kecurangan-kecurangan yang terjadi
di berbagai daerah dalam pelaksanaannya sehingga hasil yang diperoleh pun
kurang dapat dikatakan murni. Dalam hal ini pemerintah hanya melihat jumlah
angka yang memenuhi standar bukan kualitas angka yang diperoleh. Karena belum
dapat dipastikan bahwa anak yang lulus dengan passing grade tinggi kualitasnya
pun tinggi juga.
6.
Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul
untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk
mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak
(TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki
pilihan lain kecuali tidak bersekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp
500.000, — sampai Rp 2.000.000.
Bahkan ada yang memungut di atas Rp 2 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1
juta sampai Rp 10 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas
dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS
di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan
mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan
organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih
luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu atas nama, “sesuai
keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak
transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah
adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya
menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi
legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan
pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang
Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik
publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis
amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat
melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan
hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi
Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh
kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada
melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam
sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk
memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen
dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan.
Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi
korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005
hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk
membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana
Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan,
seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan,
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan
RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya,
terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan
pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk
badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari
modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM
Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005)
menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi
komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan
pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk
menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan
mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu.
Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan
berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan
status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir.
Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang
telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui
Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana
memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan
hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini
berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang
berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi hal yang diresahkan. Jika
alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya
berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara
berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya
pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya
pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau
tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang
seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk
menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat
bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya
Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana
tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.
7.
Proses Pembelajaran yang
Konvensional
Dalam
hal pelaksanaan proses pembelajaran, selama ini sekolah-sekolah
menyelenggarakan pendidikan dengan segala keterbatasan yang ada. Hal ini
dipengaruhi oleh ketersediaan sarana-prasarana, ketersediaan dana, serta
kemampuan guru untuk mengembangkan model pembelajaran yang efektif.
Dalam
PP No 19/2005 tentang standar nasional pendidikan disebutkan dalam pasal 19
sampai dengan 22 tentang standar proses pendidikan, bahwa proses pembelajaran
pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif,
menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif,
serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian
sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta
didik. Adanya keteladanan pendidik, adanya perencanaan, pelaksanaan, penilaian,
dan pengawasan yang efektif dan efisien dalam proses pembelajaran.
Berdasarkan standar
yang ditetapkan di atas, maka proses pembelajaran yang dilakukan antara peserta
didik dengan pendidik seharusnya harus meninggalkan cara-cara dan model yang
konvensional sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan
efisien. Kenyataan saat ini, banyak diantara pendidik di kota bandung yang
masih melaksanakan proses pembelajaran secara konvensional bahkan diantaranya
belum menguasai teknologi informasi seperti komputer dan internet. Sebagaimana
di beritakan dalam www.Pikiran Rakyat.com (03/2004) bahwa ternyata di kota
Bandung banyak guru SD yang belum menguasai komputer dan internet. Menurut
Forum Aksi Guru Indonesia (FAGI) Kota Bandung, hanya sebagian kecil guru yang
sudah menguasai teknologi tersebut, padahal menguasai komputer akan mempermudah
tugas guru, misalnya ketika memproses nilai-nilai siswa. Terutama guru-guru
yang sudah lama mengabdi, sedikit sekali menguasai komputer dan mengakses internet.
Apalagi guru-guru SD, sehingga sekarang ini pada umumnya kemampuan dalam
penguasaan teknologi informasi ini kalah oleh para siswanya. Padahal, dengan
penguasaan teknologi informasi tersebut akan mempermudah tugas rutin para guru.
Selama ini, tugas tersebut dilakukan guru secara manual. Kurangnya penguasaan
komputer tersebut bukan karena tidak tersedianya sarana komputer di sekolah,
namun karena kurang kemampuan dan kemauan. Sehingga, komputer tersebut lebih
banyak digunakan oleh bagian tata usaha. Akibatnya, saat seorang guru yang
memerlukan jasa komputer, cenderung untuk minta bantuan tenaga karyawan tata
usaha.
Sudah
selayaknya profesi sebagai seorang pendidik membutuhkan kompetensi yang
terintegrasi baik secara intelektual-akademik, sosial, pedagogis, dan
profesionalitas yang kesemuanya berlandaskan pada sebuah kepribadian yang utuh
pula, sehingga dalam menjalankan fungsinya sebagai pendidik senantiasa dapat
mengembangkan model-model pembelajaran yang efektif, inovatif, dan relevan.
D.
Pengentasan Problematika Pendidikan
Problematika yang terjadi tersebut hendaknya menjadi tugas
bagi pemerintah khususnya Menteri Pendidikan dan tenaga pendidik. Bagi
pemerintah hendaknya membuat kebijakan-kebijakan baru mengenai pendidikan yang
dapat meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Sedangkan bagi tenaga
pendidik hendaknya dapat meningkatkan kualitas pendidikan secara prakteknya di
lapangan.
Penyelesaian
masalah mendasar tentu harus dilakukan secara fundamental. Penyelesaian itu
hanya dapat diwujudkan dengan melakukan perombakan secara menyeluruh yang
diawali dari perubahan paradigma pendidikan sekular menjadi paradigma Islam.
Hal ini sangat penting dan utama. Artinya, setelah masalah mendasar
diselesaikan, barulah berbagai macam masalah cabang pendidikan diselesaikan,
baik itu masalah aksesibilitas pendidikan, relevansi pendidikan, pengelolaan
dan efisiensi, hingga kualitas pendidikan
Solusi masalah mendasar itu adalah dengan melakukan pendekatan sistemik yaitu secara bersamaan melakukan perubahan paradigma dalam penyelenggaraan sistem ekonomi yang kapitalistik menjadi islami, tatanan sosial yang permisif dan hedonis menjadi islami, tatanan politik yang oportunistik menjadi islami, dan ideologi kapitalisme-sekuler menjadi mabda islam, sehingga perubahan sistem pendidikan yang materialistik juga dapat diubah menjadi pendidikan yang dilandasi oleh aqidah dan syariah islam sesuai dengan karakteristiknya. Perbaikan ini pun perlu dilanjutkan dalam perbaikan aspek formalitas, yaitu dengan dibuatnya regulasi tentang pendidikan yang berbasiskan pada konsep syari’ah islam.
Solusi masalah mendasar itu adalah dengan melakukan pendekatan sistemik yaitu secara bersamaan melakukan perubahan paradigma dalam penyelenggaraan sistem ekonomi yang kapitalistik menjadi islami, tatanan sosial yang permisif dan hedonis menjadi islami, tatanan politik yang oportunistik menjadi islami, dan ideologi kapitalisme-sekuler menjadi mabda islam, sehingga perubahan sistem pendidikan yang materialistik juga dapat diubah menjadi pendidikan yang dilandasi oleh aqidah dan syariah islam sesuai dengan karakteristiknya. Perbaikan ini pun perlu dilanjutkan dalam perbaikan aspek formalitas, yaitu dengan dibuatnya regulasi tentang pendidikan yang berbasiskan pada konsep syari’ah islam.
Upaya
perbaikan secara tambal sulam dan parsial, seperti perbaikan kurikulum,
kualitas pengajar, sarana-prasarana dan sebagainya tidak akan dapat berjalan
dengan optimal sepanjang permasalahan mendasarnya belum diperbaiki.
Salah
satu bentuk nyata dari solusi mendasar itu adalah mengubah total UU Sistem
Pendidikan yang ada dengan cara menggantinya dengan UU Sistem Pendidikan
(Syari’ah) Islam. Hal paling mendasar yang wajib diubah tentunya adalah asas
sistem pendidikan. Sebab asas sistem pendidikan itulah yang menentukan hal-hal
paling prinsipil dalam sistem pendidikan, seperti tujuan pendidikan dan
struktur kurikulum. Seperti diuraikan di atas, selain adanya masalah mendasar,
sistem pendidikan di Indonesia juga mengalami masalah-masalah cabang, antara
lain:
1. Anak-
anak putus sekolah
2. Kualitas
guru yang kurang kompeten
3. Kurang
meratanya penyebaran guru
4. Sarana
dan prasarana yang kurang memadai
5. Lebih
memprioritaskan kuantitas
6. Mahalnya
biaya pendidikan
7. Proses
pembelajaran yang konvensional
Untuk
menyelasaikan masalah-masalah cabang di atas, diantaranya juga tetap tidak bisa
dilepaskan dari penyelesaian masalah mendasar. Sehingga dalam hal ini
diantaranya secara garis besar ada dua solusi yaitu:
Pertama,
solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang
berkaitan dengan sistem pendidikan, antara lain: sistem ekonomi, sistem
politik, sistem sosial, ideologi, dan lainnya. Dengan demikian, penerapan
ekonomi syari’ah sebagai pengganti ekonomi kapitalis ataupun sosialis akan
menyeleraskan paradigma pemerintah dan masyarakat tentang penyelenggaraan
pendidikan sebagai salah satu bentuk kewajiban negara kepada rakyatnya dengan
tanpa adanya pembebanan biaya yang memberatkan ataupun diskriminasi terhadap
masyarakat yang tidak memiliki sumber dana (capital). Penerapan sistem politik
islam sebagai pengganti sistem politik sekuler akan memberikan paradigma dan
frame politik yang dilakukan oleh penguasa dan masyarakat sebagai bentuk
perjuangan untuk menjamin terlaksananya pengaturan berbagai kepentingan umat
oleh penguasa termasuk diantaranya dalam bidang pendidikan. Sehingga bukan malah
sebaliknya menyengsarakan umat dengan memaksa mereka agar melayani penguasa.
Penerapan sistem sosial yang islami sebagai pengganti sistem sosial yang
hedonis dan permisif akan mampu mengkondisikan masyarakat agar memiliki
kesadaran yang tinggi terhadap kewajiban terikat pada hukum-hukum syari’at
sehingga peran mereka dalam mensinergiskan pendidikan di sekolah adalah dengan
memberikan tauladan tentang aplikasi nilai-nilai pendidikan yang diperoleh
siswa di sekolah.
Secara
keseluruhan perbaikan sistem ini akan dapat terlaksana jika pemerintah
menyadari fungsi dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin. Rasulullah Saw
bersabda: Seorang Imam ialah (laksana) penggembala dan Ia akan dimintai
pertanggungjawaban atas gembalaannya (rakyatnya) (HR. Muslim)
Kedua,
solusi teknis, yakni solusi untuk menyelesaikan berbagai permasalahan internal
dalam penyelenggaraan sistem pendidikan. Diantaranya:
Secara tegas, pemerintah harus mempunyai komitmen untuk mengalokasikan dana pendidikan nasional dalam jumlah yang memadai yang diperoleh dari hasil-hasil eksploitasi sumber daya alam yang melimpah yang merupakan milik ummat. Dengan adanya ketersediaan dana tersebut, maka pemerintah pun dapat menyelesaikan permasalahan aksesibilitas pendidikan dengan memberikan pendidikan gratis kepada seluruh masyarakat usia sekolah dan siapapun yang belum bersekolah baik untuk tingkat pendidikan dasar (SD-SMP) maupun menengah (SLTA), bahkan harus pula berlanjut pada jenjang perguruan tinggi. merekrut jumlah tenaga pendidik sesuai kebutuhan di lapangan disertai dengan adanya jaminan kesejahteraan dan penghargaan untuk mereka. Pembangunan sarana dan prasarana yang layak dan berkualitas untuk menunjang proses belajar-mengajar. Penyusunan kurikulum yang berlandaskan pada nilai-nilai syari’ah (Al-Qur’an dan As-Sunnah). Melarang segala bentuk kapitalisasi dan komersialisasi pendidikan baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta menjamin terlaksananya pendidikan yang berkualitas dengan menghasilkan lulusan yang mampu menjalani kehidupan dunia dengan segala kemajuannya (setelah menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan teknologi serta seni baik yang berasal dari islam maupun hadharah ’am) dan mempersiapkan mereka untuk mendapatkan bagiannya dalam kehidupan di akhirat kelak dengan adanya penguasaan terhadap tsaqofah islam dan ilmu-ilmu keislaman lainnya.
Secara tegas, pemerintah harus mempunyai komitmen untuk mengalokasikan dana pendidikan nasional dalam jumlah yang memadai yang diperoleh dari hasil-hasil eksploitasi sumber daya alam yang melimpah yang merupakan milik ummat. Dengan adanya ketersediaan dana tersebut, maka pemerintah pun dapat menyelesaikan permasalahan aksesibilitas pendidikan dengan memberikan pendidikan gratis kepada seluruh masyarakat usia sekolah dan siapapun yang belum bersekolah baik untuk tingkat pendidikan dasar (SD-SMP) maupun menengah (SLTA), bahkan harus pula berlanjut pada jenjang perguruan tinggi. merekrut jumlah tenaga pendidik sesuai kebutuhan di lapangan disertai dengan adanya jaminan kesejahteraan dan penghargaan untuk mereka. Pembangunan sarana dan prasarana yang layak dan berkualitas untuk menunjang proses belajar-mengajar. Penyusunan kurikulum yang berlandaskan pada nilai-nilai syari’ah (Al-Qur’an dan As-Sunnah). Melarang segala bentuk kapitalisasi dan komersialisasi pendidikan baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta menjamin terlaksananya pendidikan yang berkualitas dengan menghasilkan lulusan yang mampu menjalani kehidupan dunia dengan segala kemajuannya (setelah menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan teknologi serta seni baik yang berasal dari islam maupun hadharah ’am) dan mempersiapkan mereka untuk mendapatkan bagiannya dalam kehidupan di akhirat kelak dengan adanya penguasaan terhadap tsaqofah islam dan ilmu-ilmu keislaman lainnya.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian bab sebelumnya,
penulis dapat menyimpulkan bahwa:
1. Pendidikan
adalah suatu proses yang dilakukan secara terencana untuk mengembangkan segenap
potensi yang ada pada diri seseorang agar di kemudian hari ia dapat menjadi
seorang manusia seutuhnya.
2. Pendidikan
memiliki arti penting yakni untuk meningkatkan kesejahteraan hidup manusia dan
dapat memanusiakan manusia.
3. Problematika
pendidikan yang terjadi saat ini diantaranya anak-anak yang putus sekolah, kualitas
guru yang kurang kompeten, kurang meratanya penyebaran guru, sarana dan
prasarana yang kurang memadai, lebih memprioritaskan kuantitas, mahalnya biaya
pendidikan, danproses pembelajaran yang konvensional.
4. Solusi
pengentasan problematika pendidikan tersebut adalah pertama dengan melakukan
solusi sistemik dan solusi teknis.
B.
Saran
Diharapkan
problematika pendidikan pendidikan tersebut menjadi cerminan bagi para tenaga
pendidik agar dapat meningkatkan kinerjanya dalam mendidik para siswanya. Juga
diharapkan bagi para pembaca dapat mengetahui arti penting pendidikan sehingga
dapat ikut memajukan pendidikan di Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
Sadulloh
M.Pd,Drs Uyoh.2009.Pengantar Filsafat
Pendidikan.Bandung:Alfabeta
Suparlan Suhartono, M.Ed.Ph.D.2009.Filsafat Pendidikan.Jogjakarta:Ar-Ruzz Media
Syah,Muhibbin.2010.Psikologi Pendidikan.Bandung:Rosdakarya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar