Rabu, 19 Juni 2019

PENDIDIKAN DAN PROBLEMATIKA PENDIDIKAN


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam menjalani kehidupan, manusia dan pendidikan tidak dapat dipisahkan karena keduanya saling berkesinambungan dan erat kaitannya satu sama lainnya. Manusia siapa pun dan kapan pun tentunya membutuhkan pendidikan untuk mengembangkan segala potensi yang ada pada dirinya dan untuk menjadikannya sebagai manusia yang manusiawi, berkompetensi, dan sadar akan nilai-nilai dan norma-norma yang ada di kehidupannya. Dalam konteks yang lebih kompleks lagi, pendidikan ditujukan untuk membentuk manusia yang seutuhnya dimana selain dari segi keduniawian saja namun segi keakhiratan juga. Manusia tidak akan pernah luput dari pendidikan selama ia masih hidup karena pendidikan berlangsung seumur hidup.
Pada zaman globalisasi saat ini berbagai problematika muncul ke permukaan, sebagai contoh masih sulitnya masyarakat menengah ke bawah untuk memperoleh pendidikan karena kurangnya dukungan ekonomi. Selain itu masih ada anggapan negatif mengenai pendidikan juga kurangnya dukungan sarana dan prasarana untuk melakukan proses pendidikan. Hal tersebut menjadi PR bagi pemerintah dan tenaga-tenaga pendidik dalam memajukan pendidikan guna meningkatkan kualitas sumber daya manusia di Indonesia. Berbagai upaya dapat ditempuh pemerintah dan para tenaga pendidik untuk mengentaskan problematika pendidikan di Indonesia saat ini.
Berdasarkan hal di atas perlu disusun sebuah makalah yang mampu menjadi wahana untuk membahas masalah pengentasan masalah pendidikan yang banyak muncul saai ini. Oleh karena itu penulis menulis makalah yang bertajuk “Pengentasan Problematika Pendidikan”.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis menuliskan rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan pendidikan?
2.      Apa arti penting pendidikan?
3.      Apa saja problematika pendidikan yang terjadi saat ini?
4.      Bagaimana upaya pengentasan problematika yang terjadi saat ini?

C.    Tujuan Penulisan
Secara umum tujuan penulis menyusun makalah ini adalah untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Filsafat Pendidikan.
Adapun secara khusus penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan:
1.      Pengertian Pendidikan
2.      Arti penting pendidikan
3.      Problematika pendidikan yang terjadi saat ini
4.      Upaya pengentasan problematika pendidikan yang terjadi saat ini

D.    Pembatasan masalah
Mengingat keterbatasan ilmu pengetahuan dan buku sumber yang dimiliki penulis maka dalam penyusunan makalah ini, penulis membatasinya yaitu dengan membahas tentang problematika pendidikan yang terjadi saat ini, factor-faktor yang mempengaruhinya, dan upaya pengentasan problematika yang terjadi.

E.     Metode penulisan
Dalam mengumpulkan bahan data untuk menyusun makalah ini, agar lebih akurat dan efektif maka penulis menuliskan metode melalui tinjauan pustaka dengan mencari dari berbagai sumber yang berkaitan dengan tema yang dibahas.

F.     Sistematika Penulisan
Dalam menulis makalah ini, penulis menguraikan sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab I berisi pendahuluan yang menguraikan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan masalah, pembatasan masalah, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
Bab II berisi pembahasan yang menguraikan tentang pengertian pendidikan, arti penting pendidikan, problematika yang terjadi saat ini, dan upaya pengentasan problematika yang terjadi saat ini.
Bab III berisi yang menguraikan tentang kesimpulan dan saran.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Pendidikan
Pendidikan berasal dari kata “didik” yang berarti pimpin, pelihara, ajar, lalu kata ini mendapat awalan “me” sehingga menjadi “mendidik”, artinya memelihara dan memberi latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya pengajaran tuntutan, dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran( Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1991: 232).
Dalam bahasa Inggris, education (pendidikan) berasal dari kata educate (mendidik) artinya memberi peningkatan (to elicit, to give rise to), dan mengembangkan (to evolve, to develop).
Pendidikan menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1, adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar secara aktif mengembangkan potensi dirinya.
Sejalan dengan itu, menurut para ahli psikologi dan pendidikan diantaranya Chaplin (1971), Tardif (1987), dan Reber (1988), pendidikan adalah pengembangan potensi atau kemampuan manusia secara menyeluruh yang pelaksanaannya dilakukan dengan cara mengajarkan berbagai pengetahuan dan kecakapan yang dibutuhkan oleh manusia itu sendiri.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah suatu proses yang dilakukan secara terencana untuk mengembangkan segenap potensi yang ada pada diri seseorang agar di kemudian hari ia dapat menjadi seorang manusia seutuhnya.
Selain dari pengertian di atas, pengertian pendidikan  pun dapat ditinjau dari dua sudut, yakni pendidikan  dalam arti sempit dan pendidikan dalam arti luas.

1.      Pendidikan dalam Arti Sempit
Menurut Rupert S. Lordge “In the narrow sense, education becomes, in practice identical with schooling, i.e. formal instruction under controlled conditions”. (Mohammad Syam,1984). Pendidikan  dalam prakteknya identik  dengan penyekolahan (schooling), yaitu pengajaran formal di bawah kondisi-kondisi yang terkontrol.
Dalam Dictionary of Psycology (1972) pendidikan diartikan sebagai …the institutional procedures which are employed in accomplishing the development of knowledge, habits, attitudes, etc. Ussualy the term is applied to formal institution.  Jadi, pendidikan berarti tahapan kegiatan yang bersifat kelembagaan (seperti sekolah dan madrasah) yang dipergunakan untuk menyempurnakan perkembangan individu dalam menguasai pengetahuan, kebiasaan, sikap, dan sebagainya.
 Dalam arti sempit, pendidikan hanya berlangsung di dalam institusi atau lembaga formal seperti sekolah dan perguruan tinggi. Pendidikan diciptakan secara sengaja dan berbentuk formal juga memiliki aturan dalam konteks kurikulum yang terprogram di dalam institusi tersebut. Pendidikan dalam konteks ini dibatasi oleh waktu, sebagai contoh lamanya pendidikan di sekolah dasar ditentukan oleh waktu enam tahun, sekolah menengah pertama dan atas selama tiga tahun atau mungkin kurang dari itu sesuai dengan kesempatan dan kemampuan biaya yang dimilikinya. Pendidikan memiliki titik terminal yang dapat diselesaikan dalam waktu tertentu. Tujuan pendidikan dalam pengertian sempit ditentukan oleh pihak luar yaitu terbatas pada pengembangan kemampuan-kemampuan tertentu dan tujuan yang hendak dicapai adalah untuk mempersiapkan peserta didik agar kelak dapat hidup di masyarakat.

2.      Pendidikan dalam Arti Luas
Pendidikan dalam arti luas merupakan usaha manusia (belajar) untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya, yang berlangsung sepanjang hayat.  Henderson (1959:44) mengemukakan:
But education as a process of growth and development taking place as the result of the interaction of an individual with his environment, both physical and social, beginning at birth and lasting as long as life itself a process in which the social heritage as a part of the social environment becomes a tool to be used toward the development of the best and most intelligent person possible, men and women who will promote human welfare, that is to see the educative process as philosophers and educational reformers conceived it.
Menurut Henderson, pendidikan merupakan suatu proses pertumbuhan dan perkembangan, sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungan social dan lingkungan fisik, berlangsung sepanjang hayat sejak manusia lahir. Warisan social merupakan lingkungan masyarakat, merupakan alat bagi manusia untuk pengembangan manusia yang baik dan intelligent, untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
Dalam GBHN Tahun 1973  dikemukakan pengertian pendidikan, bahwa, “Pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu usaha yang disadari untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan manusia, yang dilaksanakan di dalam maupun di luar sekolah, dan berlangsung seumur hidup.”
Dalam pengertian luas, pendidikan menyangkut hati nurani, nilai-nilai, perasaan, pengetahuan, dan keterampilan. Dengan pendidikan manusia ingin berusaha untuk meningkatkan dan mengembangkan serta memperbaiki nilai-nilai, hati nuraninya, perasaannya, pengetahuannya, dan keterampilannya. Dalam konteks hubungan manusia, pendidikan bersifat multi dimensi, baik dalam hubungan manusia dengan sesama manusia, manusia dan budayanya, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhannya. Dalam hubungan yang bersifat multi dimensi itu pendidikan berlangsung melalui berbagai bentuk kegiatan, tindakan, dan peristiwa, baik pada pada awalnya disengaja atau tidak. Selain itu pendidikan berlangsung bagi siapa pun, kapan pun, dan dimana pun tidak terbatas pada penyekolahan saja karena pendidikan berlangsung sejak lahir hingga meninggal dunia. Disadari maupun tidak pendidikan selalu diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu, dalam arti luas pendidikan tujuan pendidikan terkandung dalam setiap pengalaman belajar. Tujuan pendidikan adalah pertumbuhan, jumlah tujuan pendidikan tidak terbatas. Tujuan pendidikan sama dengan tujuan hidup.
Dari pengertian pendidikan di atas didapat beberapa prinsip dasar tentang pendidikan yang akan dilaksanakan:
Pertama, pendidikan berlangsung seumur hidup. Usaha pendidikan berlangsung dari mulai manusia lahir sampai ia tutup usia sepanjang ia mampu menerima pengaruh dan dapat mengembangkan dirinya. Pendidikan akan berlangsung dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Kedua, bahwa tanggung jawab pendidikan merupakan tanggung jawab semua manusia. Bersama keluarga dan masyarakat, pemerintah berusaha semaksimal mungkin agar pendidikan mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Ketiga, bagi manusia pendidikan itu merupakan suatu bentuk keharusan, karena agar manusia memiliki kemampuan dan kepribadian yang berkembang.

3.         Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan memiliki kedudukan yang menentukan dalam proses pendidikan. Terdapat dua fungsi dalam tujuan pendidikan, yakni memberi arah kepada segenap kegiatan dan merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh segenap kegiatan pendidikan. Sebagai contoh orang tua mengajarkan anaknya shalat lima waktu karena supaya anaknya menjadi anak yang soleh dan memiliki bekal di akhirat.
Tujuan pendidikan merupakan gambaran dari falsafah hidup manusia baik secara perseorangan maupun kelompok. Tujuan pendidikan akan menyangkut system nilai dan norma-norma dalam konteks kebudayaan, baik dalam mitos, kepercayaan, filsafat, ideology, dan sebagainya. Tujuan pendidikan merupakan hal yang fundamental karena hal itulah yang akan menentukan ke arah mana anak didik akan dibawa.
Dalam tujuan pendidikan harus mengandung tiga nilai, diataranya autonomy, equity, dan survival. Autonomy yaitu memberi kesadaran, pengetahuan, dan kemampuan secara maksimum kepada individu maupun kelompok untuk dapat hidup mandiri dan hidup bersama dalam kehidupan yang lebih baik. Equity berarti bahwa tujuan pendidikan tersebut harus memberi kesempatan kepada seluruh warga masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam kehidupan berbudaya dan kehidupan ekonomi dengan memberinya pendidikan dasar yang sama. Sedangkan survival berarti pendidikan akan menjamin pewarisan kebudayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan ketiga nilai tersebut, pendidikan mengemban tugas untuk menghasilkan generasi yang lebih baik, manusia-manusia berkebudayaan. Manusia sebagai individu yang memiliki kepribadian yang lebih baik. Nilai-nilai tersebut menggambarkan pendidikan dalam konteks yang sangat luas dimana digambarkan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk menciptakan suatu kehidupan yang lebih baik.
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa , merupakan dasar dan sekaligus tujuan yang ingin dicapai dalam melaksanakan pendidikan. Kegiatan pendidikan ditujukan untuk menghasilkan manusia seutuhnya, manusia yang memiliki kepribadian yang lebih baik yaitu manusia dimana sikap dan perilakunya dalam hidup bermasyarakat dan bernegara dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila. Manusia seutuhnya, manusia yang menghayati dan sekaligus mampu mengamalkan Pancasila. Dalam Undang-Undang No 2 Tahun 1989 dijelaskan tentang tujuan pendidikan sebagai berikut:
“Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.”

B.     Arti Penting Pendidikan
Manusia adalah makhluk yang tumbuh dan berkembang. Ia selalu berusaha untuk mencapai suatu kehidupan yang optimal. Oleh karena itu manusia senantiasa membutuhkan konsep untuk mencapai tujuan tersebut, yakni melalui pendidikan.
Manusia siapa pun, sebagai apa pun, dimana pun dan kapan pun berada berhak atas pendidikan. Manusia sebagai objek pendidikan adalah manusia dalam perwujudannya sebagai individu yang menjadi bagian intergral dari masyarakatnya. Dua sisi perwujudan ini dipandang penting dan perlu untuk proses  di dalam sistem pendidikan agar di kemudian hari manusia dapat menemukan jati dirinya sebagai manusia. Berulang kali dinyatakan bahwa tanpa pendidikan, manusia tidak mungkin bisa menjalankan tugas dan kewajibannya di dalam kehidupan, sesuai dengan hakikat asal mula dan hakikat tujuan hidupnya. Sehubungan dengan itu, pendidikan secara khusus difungsikan untuk menumbuhkembangkan segala potensi kodrat (bawaan) yang ada dalam diri manusia.
Pendidikan yang dijalani oleh manusia berlangsung sepanjang hayat. Selama  manusia masih  meningkatkan dan mengembangkan kepribadian serta kemampuan atau keterampilannya, secara sadar atau tidak sadar selama itulah pendidikan masih berjalan terus. Menurut konsep pendidikan yang berlangsung sepanjang hayat, kegiatan-kegiatan pendidikan dianggap sebagai suatu keseluruhan. Seluruh sektor pendidikan merupakan suatu sistem yang terpadu.
Cipta, rasa, dan karsa manusia semakin cerdas. Seorang manusia yang eksis dalam kecerdasan spiritual cenderung berwawasan luas dan mendalam. Wawasan demikian menembusi tembok batas “positivisme radikal” yang sementara ini membelenggu kehidupan manusia dalam kepicikan, kebodohan, dan kesombongan. Kecerdasan spiritual membuka wawasan memasuki dunia trasenden yang tunggal dan bersifat absolute, yaitu dunia yang berada di luar jangkauan pikiran dan pengalaman manusia. Selanjutnya, kecerdasan spiritual perlu dijadikan fondasi eksistensi kehidupan manusia agar berlangsung dalam dinamika perkembangan secara konstan berdasarkan kesadaran mendalam tentang sifat hakikat asal mula dan tujuan kehidupannya.
Pendidikan yang dialami oleh seorang manusia berlangsung dalam tiga wilayah antara lain pendidikan internal (keluarga), formal (sekolah), dan eksternal (masyarakat).
1.      Pendidikan dalam  keluarga
            Keluarga merupakan sekelompok manusia yang terdiri dari (ayah, ibu) dan anak-anak. Jadi keluarga sebagai lembaga pendidikan hanya terdiri dari orang tua sebagai pendidik dan anak-anaknya sebagai peserta didik.
Dalam hubungannya dengan pendidikan, keluarga merupakan lembaga pendidikan yang pertama dan utama. Pendidikan dalam keluarga berlangsung secara wajar dan informal, serta melalui media permainan.
Keluarga merupakan dunia anak yang pertama, yang memberikan sumbangan mental dan fisik terhadap hidupnya. Dalam keluarga lambat laun anak membentuk konsepsi tentang pribadinya baik tepat ataupun tidak tepat.
            Orang tua sebagai pendidik betul-betul merupakan peletak dasar kepribadian anak. Kepribadian anak sangat ditentukan oleh pendidikan dalam keluarga. Ada istilah buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Ini menandakan bahwa perilaku seorang anak tidak akan jauh berbeda dengan tingkah laku yang dibentuk keluarganya. Sistem kegiatan pendidikan di dalam keluarga sangat tergantung kepada kecenderungan yang kuat dari orang tua terhadap dunia pendidikan. Dalam hal ini tingkat dan kualitas pedidikan orang tua menjadi penting dan menentukan kecenderungan kuat dan kualitas pendidikan orang tua tdak harus tergantung pada tinggi rendahnya pendidikan formal(sekolah) yang telah draih, tetapi tergantung pada kualitas motivasinya. Idealnya memang tingkat pendidkan orang tua dapat dilihat pada orientasi (filosofi) kehidupan keluarga dan bagaimana konsekuensi mereka dalam menjalankan filosofi itu. Dengan demikian, keluarga bertanggung jawab terhadap siste kegiatan pndidikan untuk menumbuhkembangkan kecerdasan spiritual berupa kesadaran tentang asal mula, tujuan, dan eksistensi kehidupan dalam tata hubungan kaulisatik. Kesadaran demikian akan membuahkan nilai keindahan dan watak atau kepribadian jujur. Selain itu dalam Islam terdapat suatu pandangan yang mengemukakan bahwa seorang anak yang lahir dalam keadaan fitrah. Dimana si anak memiliki potensi untuk berkembang menjadi manusia yang manusiawi dan orang tualah yang berperan untuk mengembangkan potensi yang dimilliki oleh anak tersebut.
.
2.    Pendidikan di Sekolah
           Pendidikan dalam keluarga saja tidak cukup untuk membentuk karakter seorang anak. Usaha pendidikan di sekolah merupakan kelanjutan dari pendidikan dalam keluarga. Sekolah merupakan lembaga yang diselenggarakan secara formal untuk mengembangkan dan membentuk potensi intelektual atau pikiran, menjadi cerdas.
           Secara terprogram dan koordinatif, materi pendidikan dipersiapkan untuk dilaksanakan secara metodis, sistemis,intensif, efektif, dan efisien menurut ruang dan waktu yang telah ditentukan. Jadi penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan menurut metode dan sistem yang jelas dan konkrit. Pencerdasan pikiran tersebut dilakukan dengan meningkatkan pengetahuan mengenai reading (membaca), writing (menulis), dan arithmatics (perhitungan). Reading sasarannya bukan hanya mengembangkan kemampuan membaca tulisan, tetapi lebih dari itu, yakni kemampuan membaca fakta kehiupan yang sedang berjalan. Adapun writing, sasarannya adalah kemampuan mengungkapkan sesuatu hal yag telah dibaca untuk kemudian disosialisasikan dalam bentuk tulisan. Sedangkan arithmatics, sasaran pokoknya adalah kemampuan menghitung dan membuat perhitungan agar setiap langkah kehidupan dapat menghasilkan kepastian.
           Materi pendidikan tersebut selanjutnya dipelajari dengan target kemampuan konitif, afektif, dan psikomotorik. Dengan target ini, berarti sistem kegiatan pendidikan sekolah bertanggung jawab terhadap pertumbuhan dan perkembangan spirit nilai kebenaran yag dapat difungsikan sebagai dasar pencerdasan intelektual.
3.    Pendidikan di masyarakat
           Dalam konteks kehidupan masyarakat, komponen kecerdasan asal mula, eksistensi, dan tujuan menjadi berubah bentuk. Kepentingan masyarakat menjadi tolak ukur. Semua kegiatan sosial di berbagai bidang dilaksanakan bagi kepentingan bersama di dalam masyarakat. Masyarakat menjadi asal mula seluruh kegiatan social, di dalam kehidupan masyarakat pula seluruh kegiatan itu dilakukan dan menurut tujuan kehidupan masyarakat juga seluruh kegiatan sosial itu dilakukan.
Dari uraian di atas, telah jelas bahwa manusia itu pada hakikatnya membutuhkan pendidikan selama hidupnya. Peran pendidikan sangatlah penting karena pendidikan dapat membentuk seorang manusia menjadi manusia yang
Bila ditinjau kualitas pendidikan di manusiawi dan dapat mengembangkan segala potensi yang ada pada dirinya.

C.    Problematika Pendidikan Saat Ini
Bila kita tinjau kualitas pendidikan Indonesia saat ini, dapat dikatakan semakin memburuk. Mengapa ada anggapan seperti itu? Hal ini terbukti dari  masih banyaknya anak-anak yang putus sekolah sekolah karena kekurangan biaya, kualitas gurunya pun sebagian kurang kompeten dalam menjalankan misinya sebagai pendidikan, sarana dan prasarana yang kurang memadai, dan pendidikan yang belum merata sampai ke pelosok serta masih banyak problemmatika pendidikan yang terjadi di Negeri ini.
1.      Anak-anak yang Putus Sekolah
Kemiskinan yang sebagian besar melanda  negeri ini tentunya menghambat proses pendidikan. Karena untuk mendapatkan pendidikan tentunya memerlukan biaya. Bila ada yang mengatakan bahwa pendidikan itu gratis itu adalah keliru. Mengapa demikian? Tentunya untuk menjalankan proses pendidikan membutuhkan berbagai sarana dan prasarana yang seluruhnya mengeluarkan biaya. Hal ini tentunya berpengaruh bagi para anak yang kekurangan dari segi ekonominya untuk bersekolah.
Selain itu, masih ada saja anggapan bahwa pendidikan itu tidak penting. Mereka berpikir bahwa sekolah itu hanya menghambur-hamburkan biaya saja. Lebih baik bekerja karena pada nanti ujungnya juga akan bekerja. Lagi pula dengan bekerja dapat menghasilkan uang. Di era yang telah modern ini masih ada orang tua yang berpikir seperti itu untuk masa depan anaknya. Hal ini tentu membuat anak beranggapan sama terhadap pendidikan sehingga mereka lebih mengikuti kehendak orang tuanya.
Lain halnya di satu sisi yang menganggap bahwa pendidikan itu penting namun dari segi ekonomi anak itu kurang mendukung. Banyak kasus seperti ini terjadi akhir-akhir ini. Selain harus memikirkan biaya untuk hidup mereka pun harus memikirkan biaya untuk sekolah. Yang umum sering terjadi adalah ketika di sekolah akan menjelang ujian. Bagi mereka ini adalah hal yang sangat diresahkan. Mengapa? Bukan karena resah dengan soal-soal yang akan dihadapi nanti, namun mereka resah apabila nanti tidak akan mendapat kartu ujian sehingga mereka tidak dapat mengikuti ujian. Bila dilakukan studi kasus ke sekolah-sekolah, sebagian besar banyak ditemui permasalahan seperti ini. Inilah penyebab dari mereka yang harus putus sekolah. Dari hati kecil mereka, ada motivasi untuk mengenyam pendidikan di sekolah. Namun apa daya mereka tidak memiliki modal untuk melaksanakan itu.
Banyak anak-anak usia sekolah yang harusnya belajar di kelas untuk mengenyam pendidikan, namun ia harus rela bekerja membanting tulang untuk membantu orang tuanya dalam mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Sungguh ironis hal ini. Seharusnya ini menjadi PR bagi pemerintah dan pendidik untuk mengatasinya dan memenuhi hak mereka yang tercantum dala UUD pasal 31 tentang setiap warga Indonesia berhak atas pendidikan.

2.      Kualitas Guru yang Kurang Kompeten
Pendidikan di Indonesia setiap rentang beberapa tahunnya sering berganti-ganti kurikulum yang dianggap lebih baik dari tahun sebelumnya. Namun dibalik perubahan kurikulum tersebut pemerintah tidak memperhatikan apakah guru-guru tersebut mampu melaksanakan kurikulum baru tersebut. Berdasarkan pengamatan tahun lalu, hanya 60% guru di Indonesia yang lulus standar dalam mengajar. Sisanya 40%  masih perlu bimbingan agar lulus standarisasi. Hal tersebut terjadi karena kurangnya pemahaman guru terhadap kurikulum yang baru sebagai akibat kurangnya pelatihan skill mengenai hal tersebut.
Selain itu guru pada era sekarang sudah mulai diperhatikan. Walaupun perhatian tersebut terasa terlambat, tapi paling tidak sudah ada perhatian pemerintah untuk meningkatkan kualitas guru. Harapan tentu dibebankan di pundak guru agar dunia pendidikan kita semakin lama semakin baik. Salah satu tanda perhatian tersebut adalah dengan adanya program sertifikasi guru. Sertifikasi bertujuan untuk meningkatkan kualitas guru. Seiring dengan itu, pemerintah memberikan tambahan insentif kepada guru-guru yang lulus sertifikasi sebagai tanda balas jasa.
Dalam proses sertifikasi tersebut, guru-guru wajib membuat portofolio dengan melampirkan berbagai syarat-syarat administrasi lainnya. Misalnya sudah bekerja sebagai guru minimal 5 tahun, jumlah jam mengajar, penilaian atasan, perangkat pembelajaran, silabus, piagam pelatihan yang pernah diikuti, serta SK yang berhubungan dengan kegiatan pendidikan di luar sekolah, dan persyaratan administrasi lainnya.
Program sertifikasi ini sangat mudah dan murah. Melihat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang guru, mustahil tidak lulus. Apabila tidak lulus pun dapat disimpulkan bahwa guru tersebut malas, kurang kreatif, dan pasif. Namun dengan mudahnya persyaratan sertifikasi tersebut belum tentu dapat dijamin kualitas pendidikan pun dapat dengan mudah ditingkatkan. Bagi guru-guru yang sudah lulus sertifkasi, tidak ada jaminan bahwa kualitas mereka dalam menyampaikan ilmu kepada perserta didiknya menjadi semakin baik. Kualitas guru banyak ditentukan oleh kemampuan guru tersebut dalam menerjemahkan bahan belajar menjadi sangat aplikatif bagi siswanya dalam mengembangkan fungsi kognitif, apektif, dan psikomotoriknya. Guru-guru yang hanya memindahkan materi buku pelajaran ke otak siswa-siswinya tentu belum bisa dikatakan guru berkualitas. Guru yang baik adalah guru yang motivator, inspirator, serta mampu menggali potensi yang dimiliki oleh siswanya. Karena itu, selain kualitas intelektual, seorang guru harus memiliki kesiapan mental dalam mendidik dan mengajar.
Dengan adanya sertifikasi ini diharapkan kualitas guru juga semakin meningkat. Tetapi melihat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, rasanya akan sulit mengharapakan peningkatan kualitas guru. Persyaratan tersebut sepertinya tidak ada yang berhubungan langsung dengan peningkatan kualitas. Guru-guru yang mengajar lebih dari 5 tahun belum tentu lebih bak dari guru yang baru mengajar setahun. Begitu juga guru-guru yang mengajar lebih dari 20 jam dalam seminggu lebih baik dari yang mengajar 10 jam seminggu.

3.      Kurang Meratanya Penyebaran Guru
Guru sebagai pilar penunjang terselenggarannya suatu sistem pendidikan, merupakan salah satu komponen strategis yang juga perlu mendapatkan perhatian oleh negara. Misalnya dalam hal penempatan guru, bahwa hingga sekarang ini jumlah guru dirasakan oleh masyarakat maupun pemerintah sendiri masih sangat kurang.
sebagai contoh dalam lingkup Jawa Barat saja menurut Drs. H. Iim Wasliman, M.Pd., M.Si. (Kadisdik Jabar tahun 2002) bahwa kondisi minimnya jumlah guru dibandingkan kebutuhan yang ada sudah sering dilontarkan. Bukan hanya di tingkat daerah, tapi juga telah menjadi persoalan nasional. Kurang meratanya penyebaran guru di Indonesia pun diakibatkan karena guru tersebut yang tidak ingin ditempatkan di daerah-daerah pelosok. Ada diantaranya yang telah diangkat di daerah terpencil namun tidak bertahan lama ia mengajar di tempat tersebut dan kemudian pindah lagi ke kota. Hal ini disebabkan karena kurangnya akses dan sarana prasarana di daerah pelosok sehingga kurang menarik perhatian si guru.
Selain itu, penyebaran guru-guru yang berkualitas lebih banyak terdapat di sekolah-sekolah unggulan. Kebanyakan dari mereka berpendapat bahwa mengajar di sekolah favorit lebih terjamin dibandingkan dengan mengajar di sekolah biasa. Tunjangan di dalamnya lebih menarik perhatian mereka.
Permasalahan yang lebih kompleks adalah masih kurangnya tenaga pendidik di Indonesia, terlebih lagi kurangnya tenaga pendidik di sekolah dasar. Sebagai contoh di Jawa Barat sendiri masih dibutuhkan sekitar 64 ribu guru guna mengisi kekurangan di sekolah dasar, 18 ribu guru untuk sekolah menengah pertama, 6 ribu untuk sekolah menengah umum dan sekolah menengah kejuruan. Kekurangan tersebut merupakan persolan serius karena guru adalah ujung tombak pendidikan. Kekurangan tersebut membuat beban guru semakin bertumpuk sehingga berpotensi menurunnya kualitas pendidikan di dalamnya.

4.      Sarana dan Prasarana yang Kurang Memadai
            Sarana dan prasarana pendidikan merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan penyelenggaraan pendidikan. Dengan adanya kerusakan sarana dan prasarana ruang kelas dalam jumlah yang banyak, maka proses belajarnya pun tidak efektif. Sebagai contoh kondisi kelas yang tidak layak pakai karena rusak tentunya suasana belajar yang dirasakan tidak akan nyaman. Kelas yang suasananya kotor pun sangat tidak nyaman untuk digunakan proses pembelajaran. Banyak kasus tentang sekolah-sekolah yang tidak layak pakai bahkan ambruk namun masih dipakai. Hal ini tentu sangat memprihatinkan. Dimana alokasi dana yang pemerintah canangkan dari APBD sebanyak 20 % tidak berfungsi. Dalam hati rakyat pasti bertanya-tanya kemanakah dana tersebut.
            Selain itu kurangnya sarana pendidikan seperti perpustakaan, laboratorium, dan ruang kelas ikut mempengaruhi kualitas pembelajaran. Masih ada sekolah yang belum dapat memenuhi kebutuhan akan sarana-sarana tersebut. Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.. Sarana-sarana tersebut sangat menunjang dalam kegiatan pembelajaran. Sebagai contoh laboratorium sangat diperlukan untuk melakukan eksperimen dan praktek pembelajaran. Bila sarana ini tidak terpenuhi maka proses pembelajaran pun akan terhambat dan kurang efektif karena hanya teori-teori saja yang dipelajari namun secara praktek tidak.

5.   Lebih Memprioritaskan Kuantitas
Jika ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, tentunya juga berbicara mengenai standardisasi pengajaran yang diambil. Tentunya setelah melewati proses untuk menentukan standar yang akan diambil.
Dunia pendidikan terus beruah seiring dengan berkembangnya jaman. Kompetensi yang dibutuhkan oleh masyarakat terus-menertus berubah apalagi di dalam dunia terbuka yaitu di dalam dunia modern dalam era globalisasi. Kompetensi-kompetensi yang harus dimiliki oleh seseorang dalam lembaga pendidikan haruslah memenuhi standar.
Seperti yang dapat dilihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan formal maupun informal terlihat hanya cenderung terhadap standar dan kompetensi. Kualitas pendidikan diukur oleh standar dan kompetensi di dalam berbagai versi.  Demikian pula sehingga dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).
Dengan terfokusnya pendidikan terhadap standar dan kompetensi saja mennimbulkan adanya bahaya tersembunyi, yakni kemungkinan adanya pendidikan yang terkekung oleh standar kompetensi saja sehingga kehilangan makna dan tujuan pendidikan tersebut.
Peserta didik di Indonesia rata-rata terkadang hanya memikirkan bagaimana agar mencapai standar pendidikan saja, bukan bagaimana agar pendidikan yang diambil efektif dan dapat digunakan. Mereka tidak peduli bagaimana cara agar memperoleh hasil atau lebih spesifiknya nilai yang diperoleh, yang terpenting adalah memenuhi nilai di atas standar saja. Hal ini membuat peserta didik cenderung mementingkan hasil daripada proses.
Hal tersebut sangat memprihatinkan karena berarti pendidikan seperti kehilangan makna saja karena terlalu menuntun standar kompetensi. Hal itu jelas salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
Selain itu, akan lebih baik jika mempertanyakan kembali apakah standar pendidikan di Indonesia sudah sesuai atau belum. Dalam kasus UAN yang hampir selalu menjadi kontroversi setiap tahunnya. Bila ditinjau sistem evaluasi seperti Ujian Akhir Nasional sudah cukup baik, namun yang disayangkan adalah evaluasi pendidikan seperti itu yang menentukan lulus tidaknya peserta didik mengikuti pendidikan, hanya dilaksanakan sekali saja tanpa melihat proses yang dilalui peserta didik yang telah menenpuh proses pendidikan selama beberapa tahun. Selain hanya berlangsung sekali, evaluasi seperti itu hanya mengevaluasi beberapa bidang studi saja tanpa mengevaluasi bidang studi lain yang telah didikuti oleh peserta didik.
Yang lebih memprihatinkan lagi adalah adanya oknum guru, kepala sekolah dan oknum pegawai dinas yang turut menjadi tim sukses dalam UAN supaya anak didiknya dapat lulus sehingga citra sekolahnya terangkat. Banyak kecurangan-kecurangan yang terjadi di berbagai daerah dalam pelaksanaannya sehingga hasil yang diperoleh pun kurang dapat dikatakan murni. Dalam hal ini pemerintah hanya melihat jumlah angka yang memenuhi standar bukan kualitas angka yang diperoleh. Karena belum dapat dipastikan bahwa anak yang lulus dengan passing grade tinggi kualitasnya pun tinggi juga.

6.      Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 2.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 2 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 10 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu atas nama, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi hal yang diresahkan. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.

7.      Proses Pembelajaran yang Konvensional
Dalam hal pelaksanaan proses pembelajaran, selama ini sekolah-sekolah menyelenggarakan pendidikan dengan segala keterbatasan yang ada. Hal ini dipengaruhi oleh ketersediaan sarana-prasarana, ketersediaan dana, serta kemampuan guru untuk mengembangkan model pembelajaran yang efektif.
Dalam PP No 19/2005 tentang standar nasional pendidikan disebutkan dalam pasal 19 sampai dengan 22 tentang standar proses pendidikan, bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Adanya keteladanan pendidik, adanya perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan pengawasan yang efektif dan efisien dalam proses pembelajaran.
Berdasarkan standar yang ditetapkan di atas, maka proses pembelajaran yang dilakukan antara peserta didik dengan pendidik seharusnya harus meninggalkan cara-cara dan model yang konvensional sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien. Kenyataan saat ini, banyak diantara pendidik di kota bandung yang masih melaksanakan proses pembelajaran secara konvensional bahkan diantaranya belum menguasai teknologi informasi seperti komputer dan internet. Sebagaimana di beritakan dalam www.Pikiran Rakyat.com (03/2004) bahwa ternyata di kota Bandung banyak guru SD yang belum menguasai komputer dan internet. Menurut Forum Aksi Guru Indonesia (FAGI) Kota Bandung, hanya sebagian kecil guru yang sudah menguasai teknologi tersebut, padahal menguasai komputer akan mempermudah tugas guru, misalnya ketika memproses nilai-nilai siswa. Terutama guru-guru yang sudah lama mengabdi, sedikit sekali menguasai komputer dan mengakses internet. Apalagi guru-guru SD, sehingga sekarang ini pada umumnya kemampuan dalam penguasaan teknologi informasi ini kalah oleh para siswanya. Padahal, dengan penguasaan teknologi informasi tersebut akan mempermudah tugas rutin para guru. Selama ini, tugas tersebut dilakukan guru secara manual. Kurangnya penguasaan komputer tersebut bukan karena tidak tersedianya sarana komputer di sekolah, namun karena kurang kemampuan dan kemauan. Sehingga, komputer tersebut lebih banyak digunakan oleh bagian tata usaha. Akibatnya, saat seorang guru yang memerlukan jasa komputer, cenderung untuk minta bantuan tenaga karyawan tata usaha.
Sudah selayaknya profesi sebagai seorang pendidik membutuhkan kompetensi yang terintegrasi baik secara intelektual-akademik, sosial, pedagogis, dan profesionalitas yang kesemuanya berlandaskan pada sebuah kepribadian yang utuh pula, sehingga dalam menjalankan fungsinya sebagai pendidik senantiasa dapat mengembangkan model-model pembelajaran yang efektif, inovatif, dan relevan.

D.    Pengentasan Problematika Pendidikan
Problematika yang terjadi tersebut hendaknya menjadi tugas bagi pemerintah khususnya Menteri Pendidikan dan tenaga pendidik. Bagi pemerintah hendaknya membuat kebijakan-kebijakan baru mengenai pendidikan yang dapat meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Sedangkan bagi tenaga pendidik hendaknya dapat meningkatkan kualitas pendidikan secara prakteknya di lapangan.
Penyelesaian masalah mendasar tentu harus dilakukan secara fundamental. Penyelesaian itu hanya dapat diwujudkan dengan melakukan perombakan secara menyeluruh yang diawali dari perubahan paradigma pendidikan sekular menjadi paradigma Islam. Hal ini sangat penting dan utama. Artinya, setelah masalah mendasar diselesaikan, barulah berbagai macam masalah cabang pendidikan diselesaikan, baik itu masalah aksesibilitas pendidikan, relevansi pendidikan, pengelolaan dan efisiensi, hingga kualitas pendidikan
Solusi masalah mendasar itu adalah dengan melakukan pendekatan sistemik yaitu secara bersamaan melakukan perubahan paradigma dalam penyelenggaraan sistem ekonomi yang kapitalistik menjadi islami, tatanan sosial yang permisif dan hedonis menjadi islami, tatanan politik yang oportunistik menjadi islami, dan ideologi kapitalisme-sekuler menjadi mabda islam, sehingga perubahan sistem pendidikan yang materialistik juga dapat diubah menjadi pendidikan yang dilandasi oleh aqidah dan syariah islam sesuai dengan karakteristiknya. Perbaikan ini pun perlu dilanjutkan dalam perbaikan aspek formalitas, yaitu dengan dibuatnya regulasi tentang pendidikan yang berbasiskan pada konsep syari’ah islam.
Upaya perbaikan secara tambal sulam dan parsial, seperti perbaikan kurikulum, kualitas pengajar, sarana-prasarana dan sebagainya tidak akan dapat berjalan dengan optimal sepanjang permasalahan mendasarnya belum diperbaiki.
Salah satu bentuk nyata dari solusi mendasar itu adalah mengubah total UU Sistem Pendidikan yang ada dengan cara menggantinya dengan UU Sistem Pendidikan (Syari’ah) Islam. Hal paling mendasar yang wajib diubah tentunya adalah asas sistem pendidikan. Sebab asas sistem pendidikan itulah yang menentukan hal-hal paling prinsipil dalam sistem pendidikan, seperti tujuan pendidikan dan struktur kurikulum. Seperti diuraikan di atas, selain adanya masalah mendasar, sistem pendidikan di Indonesia juga mengalami masalah-masalah cabang, antara lain:
1.   Anak- anak putus sekolah
2.   Kualitas guru yang kurang kompeten
3.   Kurang meratanya penyebaran guru
4.   Sarana dan prasarana yang kurang memadai
5.   Lebih memprioritaskan kuantitas
6.   Mahalnya biaya pendidikan
7.   Proses pembelajaran yang konvensional
Untuk menyelasaikan masalah-masalah cabang di atas, diantaranya juga tetap tidak bisa dilepaskan dari penyelesaian masalah mendasar. Sehingga dalam hal ini diantaranya secara garis besar ada dua solusi yaitu:
Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan, antara lain: sistem ekonomi, sistem politik, sistem sosial, ideologi, dan lainnya. Dengan demikian, penerapan ekonomi syari’ah sebagai pengganti ekonomi kapitalis ataupun sosialis akan menyeleraskan paradigma pemerintah dan masyarakat tentang penyelenggaraan pendidikan sebagai salah satu bentuk kewajiban negara kepada rakyatnya dengan tanpa adanya pembebanan biaya yang memberatkan ataupun diskriminasi terhadap masyarakat yang tidak memiliki sumber dana (capital). Penerapan sistem politik islam sebagai pengganti sistem politik sekuler akan memberikan paradigma dan frame politik yang dilakukan oleh penguasa dan masyarakat sebagai bentuk perjuangan untuk menjamin terlaksananya pengaturan berbagai kepentingan umat oleh penguasa termasuk diantaranya dalam bidang pendidikan. Sehingga bukan malah sebaliknya menyengsarakan umat dengan memaksa mereka agar melayani penguasa. Penerapan sistem sosial yang islami sebagai pengganti sistem sosial yang hedonis dan permisif akan mampu mengkondisikan masyarakat agar memiliki kesadaran yang tinggi terhadap kewajiban terikat pada hukum-hukum syari’at sehingga peran mereka dalam mensinergiskan pendidikan di sekolah adalah dengan memberikan tauladan tentang aplikasi nilai-nilai pendidikan yang diperoleh siswa di sekolah.
Secara keseluruhan perbaikan sistem ini akan dapat terlaksana jika pemerintah menyadari fungsi dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin. Rasulullah Saw bersabda: Seorang Imam ialah (laksana) penggembala dan Ia akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya (rakyatnya) (HR. Muslim)
Kedua, solusi teknis, yakni solusi untuk menyelesaikan berbagai permasalahan internal dalam penyelenggaraan sistem pendidikan. Diantaranya:
Secara tegas, pemerintah harus mempunyai komitmen untuk mengalokasikan dana pendidikan nasional dalam jumlah yang memadai yang diperoleh dari hasil-hasil eksploitasi sumber daya alam yang melimpah yang merupakan milik ummat. Dengan adanya ketersediaan dana tersebut, maka pemerintah pun dapat menyelesaikan permasalahan aksesibilitas pendidikan dengan memberikan pendidikan gratis kepada seluruh masyarakat usia sekolah dan siapapun yang belum bersekolah baik untuk tingkat pendidikan dasar (SD-SMP) maupun menengah (SLTA), bahkan harus pula berlanjut pada jenjang perguruan tinggi. merekrut jumlah tenaga pendidik sesuai kebutuhan di lapangan disertai dengan adanya jaminan kesejahteraan dan penghargaan untuk mereka. Pembangunan sarana dan prasarana yang layak dan berkualitas untuk menunjang proses belajar-mengajar. Penyusunan kurikulum yang berlandaskan pada nilai-nilai syari’ah (Al-Qur’an dan As-Sunnah). Melarang segala bentuk kapitalisasi dan komersialisasi pendidikan baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta menjamin terlaksananya pendidikan yang berkualitas dengan menghasilkan lulusan yang mampu menjalani kehidupan dunia dengan segala kemajuannya (setelah menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan teknologi serta seni baik yang berasal dari islam maupun hadharah ’am) dan mempersiapkan mereka untuk mendapatkan bagiannya dalam kehidupan di akhirat kelak dengan adanya penguasaan terhadap tsaqofah islam dan ilmu-ilmu keislaman lainnya.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Berdasarkan uraian bab sebelumnya, penulis dapat menyimpulkan bahwa:
1.   Pendidikan adalah suatu proses yang dilakukan secara terencana untuk mengembangkan segenap potensi yang ada pada diri seseorang agar di kemudian hari ia dapat menjadi seorang manusia seutuhnya.
2.   Pendidikan memiliki arti penting yakni untuk meningkatkan kesejahteraan hidup manusia dan dapat memanusiakan manusia.
3.   Problematika pendidikan yang terjadi saat ini diantaranya anak-anak yang putus sekolah, kualitas guru yang kurang kompeten, kurang meratanya penyebaran guru, sarana dan prasarana yang kurang memadai, lebih memprioritaskan kuantitas, mahalnya biaya pendidikan, danproses pembelajaran yang konvensional.
4.   Solusi pengentasan problematika pendidikan tersebut adalah pertama dengan melakukan solusi sistemik dan solusi teknis.

B.     Saran
Diharapkan problematika pendidikan pendidikan tersebut menjadi cerminan bagi para tenaga pendidik agar dapat meningkatkan kinerjanya dalam mendidik para siswanya. Juga diharapkan bagi para pembaca dapat mengetahui arti penting pendidikan sehingga dapat ikut memajukan pendidikan di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Sadulloh M.Pd,Drs Uyoh.2009.Pengantar Filsafat Pendidikan.Bandung:Alfabeta
Suparlan Suhartono, M.Ed.Ph.D.2009.Filsafat Pendidikan.Jogjakarta:Ar-Ruzz                            Media
Syah,Muhibbin.2010.Psikologi Pendidikan.Bandung:Rosdakarya


Tidak ada komentar:

Posting Komentar