Kamis, 20 Juni 2019

PENDIDIKAN INDONESIA PERIODE TAHUN 1945-1969 DAN MASA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG (PJP) KE I : 1969-1993


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pada dasarnya, landasan adalah suatu alas atau dasar pijakan dari sesuatu hal atau suatu titik tumpu atau titik tolak dari sesuatu hal atau suatu fundasi tempat berdirinya sesuatu hal. Pendidikan dalam arti luas adalah hidup, artinya segala pengalaman belajar di berbagai lingkungan yang berlangsung sepanjang hayat dan berpengaruh positif bagi perkembangan individu. Pendidikan dalam arti sempit identik dengan penyekolahan (schooling), yaitu pengajaran formal di bawah kondisi-kondisi yang terkontrol. Landasan pendidikan adalah seperangkat asumsi yang dijadikan titik tolak dalam rangka pendidikan. Landasan historis pendidikan adalah asumsi-asumsi pendidikan yang bersumber dari konsep dan praktek pendidikan masa lampau sejarah yang menjadi titik tolak perkembangan pendidikan masa kini dan masa datang.
Dengan mengacu pada suatu landasan yang kokoh, pendidikan akan dapat dilaksanakan secara mantap, jelas arah tujuannya, relevan isi kurikulumnya, serta efektif dan efisien metode atau cara-cara pelaksanaannya.
Dalam proses pertumbuhan menjadi negara maju, Indonesia telah mengalami berbagai perubahan, termasuk bidang pendidikannya. Perubahan-perubahan itu merupakan hal yang wajar karena perubahan selalu dipengaruhi oleh berbagai faktor yang bisa berganti selaras dengan perkembangan serta tuntutan zaman pada saat itu. Tidaklah mengherankan apabila sistem pendidikan yang kita anut segera setelah merdeka adalah sistem kontinental karena kontak kita pada saat itu adalah dengan negara-negara Eropa, khususnya negeri Belanda (Dardjowidjojo, 1991: ix).
Setelah kita merdeka dan menerapkan sistem pendidikan kontinental sekitar lima windu, kita dapati bahwa pendidikan dengan sistem Eropa tidak cocok lagi dengan tuntutan perkembangan zaman (Dardjowodjojo, 1992: 1).
Masa lampau memperjelas pemahaman kita tentang masa kini. Sistem pendidikan yang kita kenal sekarang adalah hasil perkembangan pendidikan yang tumbuh dalam sejarah pengalaman bangsa kita.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana landasan historis pendidikan di Indonesia pada masa kemerdekaan?
2.      Bagaimana landasan historis Pendidikan di Indonesia pada masa orde lama?
3.      Bagaimana landasan historis Pendidikan di Indonesia pada masa orde baru?
4.      Bagaimana perkembangan kebijakan dan praktek pendidikan yang diselenggarakan pada masa orde lama dan orde baru?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui sejarah pendidikan di Indonesia pada masa awal kemerdekaan.
2.      Mengetahui sejarah pendidikan di Indonesia pada masa orde lama.
3.      Mengetahui sejarah pendidikan di Indonesia pada masa orde baru
4.      Mengetahui berbagai kebijakan pemerintah Indonesia pada Masa PJP I.
5.      Menumbuhkan semangat pendidikan sebagaimana sikap para pendahulu dalam menyikapi perubahan-perubahan sistem yang terjadi pada pendidikan di Indonesia.
D.    Sistematika Penulisan
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
B.     Rumusan Masalah
C.     Tujuan Penulisan
D.    Sistematika Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pendidikan Pada Masa Kemerdekaan sampai Orde Lama (1945-1969)
B.     Pendidikan Pada Masa Orde Baru
C.     Pendidikan Pada Masa Pembangunan Jangka Panjang I
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan
B.     Saran
DAFTAR PUSTAKA

E.      

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pendidikan Pada Masa Kemerdekaan sampai Orde Lama (1945-1969)
Pada masa ini, usaha penting dari pemerintah Indonesia pada permulaan adalah tokoh pendidik yang telah berjasa dalam zaman kolonial menjadi menteri pengajaran. Dalam kongres pendidikan, Menteri Pengajaran dan Pendidikan tersebut membentuk panitia perancang RUU mengenai pendidikan dan pengajaran.  Hal ini dimaksudkan untuk membentuk sebuah sistem pendidikan yang  berlandaskan pada ideologi Bangsa Indonesia sendiri.
Pemerintah Indonesia berupaya melaksanakan pendidikan nasional yang  berlandaskan pada budaya bangsa sendiri. Tujuan pendidikan nasional
adalah untuk menciptakan warga negara yang sosial, demokratis, cakap
dan bertanggung jawab dan siap sedia menyumbangkan tenaga dan pikiran
untuk negara. Praktek pendidikan selepas penjajahan menekankan
pengembangan jiwa patriotisme. Praktek pendidikan tidak bisa
dilepaskan dari lingkungan, baik lingkungan sosial, politik, ekonomi
maupun lingkungan lainnya.
1.      Pendidikan Masa Kemerdekaan
Tujuan dari pendidikan zaman kemerdekaan adalah untuk
mengisi tata kehidupan dan pembangunan. Tujuan tersebut mengalami
kendala, yaitu penjajah Belanda ingin menjajah kembali sehingga
kondisi ini menuntut kembali bangsa Indonesia berjuang secara politik dan fisik.
Pada kondisi ini, pemerintah mulai mempersiapkan sistem pendidikan nasional sesuai amanat UUD 1945. Beberapa bulan setelah proklamasi kemerdekaan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan K) mengeluarkan “Intruksi Umum” agar para guru membuang sistem pendidikan kolonial dan mengutamakan patriotisme. Selanjutnya, diawali dengan Kongres Pendidikan, Menteri PP dan K membentuk Komisi Pendidikan dan komisi ini membentuk Panitia Perancang Undang-Undang (RUU) mengenai pendidikan dan pengajaran. Karena terganggu dengan pecahnya perang kolonial kedua, pembahasan RUU di Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP) terhenti dan baru dapat dilaksanakan kembali pada tanggal 29 Oktober 1949. Tanggal 5 April 1950 RUU tersebut diundangkan sebagai UU RI No.4 Tahun 1950 Tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah. UU RI No.4 Tahun 1950 ini kemudian diterima oleh DPR pada tanggal 27 Januari1954, kemudian disyahkan oleh pemerintah pada tanggal 12 Maret 1954 dan diundangkan tanggal 18 Maret 1954 sebagai UU No.12 Tahun 1954 (H.A.R. Tilaar, 1995).
Sekalipun terjadi pergantian bentuk dan konstitusi negara sebagaimana terjadi pada tanggal 18 Agustus 1945 PPKI menetapkan UUD 1945 sebagai Konstitusi Negara hingga pada akhirnya terbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) yang memberlakukan UUD RIS, Pada saat RIS kembali ke negara kesatuan RI, UUD RIS diganti dengan UUD Sementara RI atau UU No. 7 Tahun 1950, tetapi pendidikan nasional Indonesia tetap dilaksanakan sesuai jiwa UUD 1945, dan bahwa UU RI No.4 Tahun 1950 de fakto digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pendidikan, pengajaran, kebudayaan untuk seluruh daerah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam UU No 4/1950 Bab II, pasal, tujuan pendidikan nasional Indonesia adalah membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarkat dan tanah air.
a.       Struktur persekolahan dan Kurikulum Pendidikan pada masa awal kemerdekaan
Tata susunan persekolahan sesudah Indonesia merdeka yang berdasarkan satu jenis sekolah untuk tiga tingkat pendidikan seperti pada zaman Jepang tetap diteruskan sedangkan rencana pembelajaran pada umumnya sama dan bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa pengantar untuk sekolah. Buku-buku pelajaran yang digunakan adalah buku-buku hasil terjemahan dari bahasa Belanda ke dalam bahsa Indonesia yang sudah dirintis sejak jaman Jepang. Adapun susunan persekolahan dan kurikulum yang berlaku sejak tahun 1945-1950 adalah sebagai berikut:
1)      Pendidikan Rendah
Pendidikan yang terendah di Indonesia sejak awal kemerdekaan yang disebut dengan Sekolah Rakyat (SR) lama pendidikannya semula 3 tahun. Maksud pendirian SR ini adalah selain meningkatkan taraf pendidikan pada masa sebelum kemerdekaan juga dapat menampung hasrat yang besar dari mereka yang hendak bersekolah. Mengingat kurikulum SR diatur sesuai dengan putusan Menteri PKK tanggal 19 nopember 1946 NO 1153/Bhg A yang menetapkan daftar pelajaran SR dimana tekanannya adalah pelajaran bahasa berhitung. Hal ini dapat telihat bahawa dari 38 jam pelajaran seminggu, 8 jam adalah untuk bahasa Indonesia, 4 jam untuk bahasa daerah dan 17 jam berhitung untuk kelas IV< V dan VI. Tercatat sejumlah 24.775 buah SR pada akhir tahun 1949 pada akhir tahun 1949 di seluruh Indonesia.
2)      Pendidikan Guru
Dalam periode antara tahun 1945-1950 dikenal tiga jenis pendidikan guru yaitu:
a)      Sekolah Guru B (SGB) lama pendidikan 4 tahun dan tujuan pendidikan guru untuk sekolah rakyat. Murid yang diterima adalah tamatan SR yang akan lulus dalam ujian masuk sekolah lanjutan. Pelajaran yang diberikan bersifat umum untuk di kelas I,II,III sedangkan pendidikan keuruan baru diberikan di kelas IV. Untuk kelas IV ini juga dapat diterima tamatan sekolah SMP,SPG dipimpin oleh seorang kepala sekolah yang membawahinya sejumlah guru dan diantaranya merupakan tenaga tidak tetap karena memang sangat kekuarangan guru tetap. Adapun sistem ujian pelaksanaannya dipecah menjadi dua yaitu, perta ditempuh di kelas II dan ujian kedua di kelas IV.
b)      Sekolah Guru C (SGC) berhubung kebutuhan guru SR yang mendesak maka terasa perlunya pembukaan sekolah guru yang dalam tempo singkat dapat menghasilkan. Untuk kebutuhan tersebut didirikan sekolah guru dua tahun setelah SR dan di kenal dengan sebutan SGC tetapi karena dirasakan kurang bermanfaat kemudian ditutup kembali dan diantaranya dijadikan SGB.
c)      Sekolah guru A (SGA) karena adanya anggapan bahwa pendidikan guru 4 tahun belum menjamin pengetahuan cukup untuk taraf pendidikan guru, maka dibukalah SGA yang memberi pendidikan tiga tahun sesudah SMP. Disamping Itu dapat pula diterima pelajar-pelajar dari lulusan kelas III SGB. Mata pelajaran yang diberikan di SGA sama jenisnya dengan mata pelajaran yang diberikan di SGB hanya penyelenggaraannya lebih luas dan mendalam.
3)      Pendidikan Umum
Ada dua jenis pendidikan Umum yaitu sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah Tinggi (SMT).
a)      Sekolah Menengah Pertama (SMP) seperti halnya pada zaman jepang, SMP mempergunakan rencana pelajaran yang sama pula, tetapi dengan keluarnya surat keputusan menteri PPK thun 1946 maka diadakannya pembagian A dan B mulai kelas II sehingga terdapat kelas II A,IIB, IIIA dan IIIB. Dibagian A diberikan juga sedikit ilmu alam dan ilmu pasti. Tetapi lebih banayak diberikan pelajaran bahasa dan praktek administrasi. Dibagian B sebaliknya diberikan Ilmu Alam dan Ilmu Pasti.
b)     Sekolah Menengah Tinggi (SMT), Kementerian PPK hanya mengurus langsung SMAT yang ada di jawa terutama yang berada di kota-kota sperti: Jakarta,bandung, semarang, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya dan Cirebon. SMT di Luar Jawa berada di bawah pengawasan pemerintah daerah berhubung sulitnya perhubungan dengn pusat. SMT merupakan pendidikan tiga tahun setelah SMP dan setelah lulus dapat melanjutkan ke perguruan tinggi. Mengenai rencana pelajaran belum jelas, dan yang diberikan adalah rencana pelajaran dalam garis besar saja. Karena pada waktu itu msaih harus menyesuaikan dengan keadaan zaman yang masih belum stabil. Demikian rencana pembelajaran yang berlaku yaitu: (1) isinya memenuhi kebutuhan nasional, (2) bahasa pengantarnya adalah bahasa Indonesia, (3) mutunya setingkat dengan SMT menjelang kemerdekaan. Ujian akhir dapat diselenggarakan oleh masing-masing sekolah selama belum ada ujian negara, tetapi setelah tahun 1947 barulah berlaku ujian negara tersebut.
4)      Pendidikan Kejuruan
Pendidikan kejuruan adalah Pendidikan ekonomi dan pendidikan kewanitaan.
a)      Pendidikan ekonomi
Pada awal kemerdekaan pemerintah baru dapat membuka sekolah dagang yang lama, pendidikannya tiga tahun sesudah Sekolah Rakyat. Sekolah dagang ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan tenaga administrasi atau pembukuan, sedangkan penyelenggaraan sekolah dagang tersebut dilaksanakan oleh inspektur sekolah dagang.
b)      Pendidikan Kewanitaan
Sesudah kemerdekaan pemerintah membuka Sekolah Kepandaian Putri (SKP) dan pada tahun 1947 sekolah guru kepandaian putri (SGKP) yang lama pelajaranya empat tahun setelah SMP atau SKP.
5)      Pendidikan Teknik
a)      Kursus Kerajinan Negeri (KKN), sekolah/kursus in lamamnya satu tahun lamanya dan merupakan pendidikan teknik terendah berdasarkan SR enam tahun. KKN terdiri atas jurusan-jurusan: kayu, besi,anyaman.perabot rumah, las dan batu.
b)     Sekolah Teknik Pertama (STP), bertujuan mendapatkan tenaga tukang yang terampil tetapi disertai dengan pengetahuan teori. Lama pendidikan ini dua tahun sesudah SR dan terdiri atas jurusam-jurusan: kayu, batu, keramik, perabot rumah, anyaman, besi ,listrik, mobil, cetak, tenun kulit, motor, ukur tanah dan cor.
c)      Sekolah Teknik (ST), bertujuan mendidik tenaga-tenaga pengawasan bangunan. Lama pendidikan dua tahun stelah STP atau SMP bagian B dan meliputi jurusan-jurusan: bangunan gedung, bangunan air dan jalan, bangunan radio, bangunan kapal, percetakan dan pertambangan.
d)     Sekolah Teknik menengah (STM), bertujuan mendidik tenaga ahli teknik dan pejabat-pejabat teknik menengah. Lama pendidikan empat tahun setelah SMP bagian B atau ST dan terdiri atas jurusn-jurusan: bangunnan gedung, bangunan sipil, bangunan kapal, bangunan mesin, bangunan mesin, bangunan listrik, bangunan mesin kapal, kimia, dan pesawat terbang.
e)      Pendidikan guru untuk sekolah-sekolah teknik, untuk memenuhi keperluan guru-guru sekolah teknik, dibuka sekolah/kursus-kursus untuk mendidik guru yang menghasilkan:
(1)   Ijazah A Teknik (KGSTP) guna mengajar dengan wewenang penuh pada STP dalam jurusan: bangunan sipil, mesin, listrik dan mencetak.
(2)   Ijazah B I Teknik (KGST) untuk mengajar dengan wewenang penuh pada ST/STM kelas I dalam jurusan bangunan sipil, bangunan gedung-geung dan mesin.
(3)   Ijazah B II Teknik guna mengajar dengan wewenang penuh pada STM dalam jurusan bangunan sipil, bangunan gedung, mesin dan listrik.
6)      Pendidikan Tinggi
Dalam periode 1945-1950 kesempatan untuk meneruskan studi pendidikan tinggi semakin terbuka lebar bagi warga negara tanpa syarat. Lembaga pendidikan ini berkembang pesat tetapikarena adanya pelaksanaannya di lakukan perjuangan fisik maka perkuliahan kerap kali di sela dengan perjuangan garis depan.
Lembaga pendidikan yang ada adalah Universitas Gajah Mada, beberapa sekolah tinggi dan akademi di Jakarta (daerah kependudukan) Klaten, Solo dan Yogyakarta.
7)      Pendidikan Tinggi Republik
Sejak awal kemerdekaan di Jakarta pada waktu merupakan daerah pendudukan Belanda, berdiri sekolah Tinggi kedokteran sebagai kelanjutan Ika Daigaku zaman Jepang. Pada bulan Nopember 1946 dibuka pula Sekolah Tinggi Hukum serta filsafat dan sastra. Setelah aksi agresi militer I kedua lembaga pendidikan tinggi terakhir ini di tutup oleh belanda sehingga secara resmi sudah tidak ada lagi, dengan demikian pendidikan tinggi waktu itu terpecah menjadi dua yaitu pendidikan tinggi republik dan Pendidikan tingkat tinggi pendudukan belanda. Tetapi kuliah-kuliah masih dilanjutkan di rumah-rumah dosen sehingga merupakan semacam kuliah privat. Sebelum agresi militer I di Malang terdapat pula lembaga pendidikan tinggi republik, dengan adanya. Demikian pula terdapat sekolah tinggi kedokteran hewan sekolah tinggi teknik di Bandung dipindahkan ke Yogyakarta.
8)      Pendidikan Tinggi di Daerah Pendudukan Belanda
Atas prakarsa pihak belanda pada bulan Januari 1946 didirikan suatu universitas darurat (NOOD Universiteit) yang terdiri dari lima fakultas yaitu fakultas-fakultas kedokteran, hukum, sastra dan filsafat dan pertanian di jakarta dan fakultas teknik di bandung.
Pada bulan Maret 1947 oleh pemerintah belanda secaea resmi nama universitas darurat diganti dengan nama Universitas Indonesia (Universiteit Van Indonesie). Oada Tahun 1947 juga universitas tersebut di perluas dengan fakultas ilmu pasti dan alam di Bandung, kedokteran hewan di Bogor, Kedokteran di Surabaya dan Ekonomi di maksar (Ujung Pandang). Pada Bulan maret 1948 fakutas pertanian di pindahkan ke Bogor.
2.      Pendidikan Masa Orde Lama
Secara umum pendidikan orde lama sebagai wujud interpretasi pasca kemerdekaan di bawah kendali kekuasaan Soekarno cukup memberikan ruang bebas terhadap pendidikan. Pemerintahan yang berasaskan sosialisme menjadi rujukan dasar bagaimana pendidikan akan dibentuk dan dijalankan demi pembangunan dan kemajuan bangsa Indonesia di masa mendatang. Pada prinsipnya konsep sosialisme dalam pendidikan memberikan dasar bahwa pendidikan merupakan hak semua kelompok masyarakat tanpa memandang kelas sosial.
Pada masa ini Indonesia mampu mengekspor guru ke negara tetangga, dan banyak generasi muda yang disekolahkan di luar negeri dengan tujuan agar mereka kelak dapat kembali ke tanah air untuk mengaplikasikan ilmu yang telah mereka dapat. Tidak ada halangan ekonomis yang merintangi seseorang untuk belajar di sekolah, karena diskriminasi dianggap sebagai tindakan kolonialisme. Pada saat inilah merupakan suatu era di mana setiap orang merasa bahwa dirinya sejajar dengan yang lain, serta setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan. Orde lama berusaha membangun masyarakat sipil yang kuat, yang berdiri di atas demokrasi, kesamaan hak dan kewajiban antara sesama warga negara, termasuk dalam bidang pendidikan.
Banyak pemikir-pemikir yang lahir pada masa itu, sebab ruang kebebasan betul-betul dibuka dan tidak ada yang mendikte peserta didik. Tidak ada nuansa kepentingan politik sektoral tertentu untuk menjadikan pendidikan sebagai alat negara maupun kaum dominan pemerintah. Seokarno pernah berkata: “….sungguh alangkah hebatnya kalau tiap-tiap guru di perguruan taman siswa itu satu persatu adalah Rasul Kebangunan! Hanya guru yang dadanya penuh dengan jiwa kebangunan dapat ‘menurunkan’ kebangunan ke dalam jiwa sang anak,”
Dari perkataan Soekarno itu sangatlah jelas bahwa pemerintahan orde lama menaruh perhatian serius yang sangat tinggi untuk memajukan bangsanya melalui pendidikan.
Di bawah menteri pendidikan Ki Hadjar Dewantara dikembangkan pendidikan dengan sistem “among” berdasarkan asas-asas kemerdekaan, kodrat alam, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanuasiaan yang dikenal sebagai “Panca Dharma Taman Siswa” dan semboyan “ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani” pada 1950 diundangkan pertama kali peraturan pendidikan nasional yaitu UU No. 4/1950 yang kemudian disempurnakan (jo) menjadi UU No. 12/1954 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah. Pada 1961 diundangkan UU No. 22/1961 tentang Pendidikan Tinggi, dilanjutkan dengan UU No.14/1965 tentang Majelis Pendidikan Nasional, dan UU No. 19/1965 tentang Pokok-Pokok Sitem Pendidikan Nasional Pancasila. Pada masa akhir pendidikan Presiden Soekarno, 90 % bangsa Indonesia berpendidikan SD. Kurikulum pendidikan pada masa Orde Lama sebagai berikut :
a.       Rentang Tahun 1945-1968
Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah dalam bahasa Belanda “leer plan” artinya rencana pelajaran. Perubahan arah pendidikan lebih bersifat politis, dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan nasional. Sedangkan, asas pendidikan ditetapkan Pancasila. Kurikulum yang berjalan saat itu dikenal dengan sebutan “Rencana Pelajaran 1947”, yang baru dilaksanakan pada tahun 1950. Orientasi Rencana Pelajaran 1947 tidak menekankan pada pendidikan pikiran. Yang diutamakan adalah  pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat.
Pada masa tersebut siswa lebih diarahkan bagaimana cara bersosialisasi dengan masyarakat. Proses pendidikan sangat kental dengan kehidupan sehari-hari. Aspek afektif dan psikomotorik lebih ditekankan dengan pengadaan pelajaran kesenian dan pendidikan jasmani. Oleh karena itu, yang lebih penting adalah bagaimana menumbuhkan kesadaran bela negara.
b.      Rencana Pelajaran Terurai 1952
Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut “Rencana Pelajaran Terurai 1952”. Silabus mata pelajarannya jelas sekali, dan seorang guru mengajar satu mata pelajaran. Pada masa ini memang kebutuhan peserta didik akan ilmu pengetahuan lebih diperhatikan, dan satuan mata pelajaran lebih dirincikan. Namun, dalam kurikulum ini siswa masih diposisikan sebagai objek karena guru menjadi subjek sentral dalam pentransferan ilmu pengetahuan. Guru yang menentukan apa saja yang akan diperoleh siswa di kelas, dan guru pula yang menentukan standar-standar keberhasilan siswa dalam proses pendidikan.
c.       Kurikulum 1964
Fokus kurikulum 1964 adalah pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral (Panca wardhana). Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keterampilan, dan jasmaniah. Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis. Pada kurikulum 1964 ini, arah pendidikan mulai merambah lingkup praksis. Dalam pengertian bahwa setiap pelajaran yang diajarkan disekolah dapat berkorelasi positif dengan fungsional praksis siswa dalam masyarakat.
Dalam masa transisi yang singkat RIS menjadi RI tidak memungkinkan pemerintah melaksanakan pendidikan dan pengajaran yang komprohensif yang berlaku untuk seluruh tanah air. Belanda meninggalkan sekolah kolonial di daerah yang dikuasai oleh pemerintah RI telah mulai dilaksanakan sistem pendidikan pendidikan yang direncanakan akan berlaku secara nasional dengan segala kemampuan yang terbatas.
Setelah RIS terbentuk pada bulan Desember 1949 pemerintah RIS dan pemerintah RI yang menjadi inti dari negara kesatuan dan mempunyai aparat relatif paling lengkap menandatangani suatu “Piagam Persetujuan Pemerintah Republik Indonesia Serikat dan Pemerintah Republik Indonesia”. Piagam ini ditanda tangani oleh Perdana Menteri Republik Indonesia Drs. Moh Hatta dan perdana menteri Republik Indonesia Dr. A Halim pada tanggal 19 Mei 1950.
Atas dasar piagam ini ada kaitan khusus dengan penyelenggraan pendidikan dan pengajaran Kementerian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan RIS dan Kementerian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan RI mengadakan “pengumuman Bersama pada tanggal 30 Juni 1950 yang bertujuan untuk sementara tahun ajaran 1950/1951 sistem pengajaran yang berlaku dalam RI dahului berlaku untuk seluruh Indonesia sampai sistem itu ditinjau kembali. Pelaksanaan UU Pokok Pendidikan dan Pengajaran
Mengenai pelaksanaan UU No 4 tahun 1950 (juncto UU no 12 tahun 1954) dapat dilihat pada beberapa jenis pendidikan dan kegiatannya yaitu:
1)      Pendidikan Jasmani
Di indonesia departemen olahraga mengejar prestasi olahraga. Sikap ambivalensi ini dapat dilihat dari UGM yang memasukkan jurusan pendidikan jasmani dalam fakultas sastar. Pendagogik dan filsafat yang berarti dalam ilmu kerohanian (Geiisteswissenshafft). Di UI yang aakademi pendidian jasamaninya ada di bandung dimasukkan dalam fakultas kedokteran artinya digolongkan dalam ilmu alam (naturrwissenchafft)
2)      Pendidikan Orang Dewasa
Pendidikan orang dewasa ini lebih dikenal dengan pendidikan masayarakat yang diselenggarakan oleh jawatan pendidikan masyarakat. Kegiatan pendidikan masyarakat ditentukan menurut kebjakan pemerintah berdasarkan atas surat keputusan menteri PP dan K tanggal 15 Februari 1961 Nomor 4223/Kab. Dalam pasal 17 disebutkan:
a)      Merencanakan, memimpin, menggiatkan dan mengawasi pemberantasan buta huruf.
b)      Merencanakan, memimpin, menggiatkan dan mengawasi pengetahuan umum
c)      Mengusahakan buku-buku untuk mengisi perpustakaan rakyat.
d)     Mengikuti dan mrmbantu perkembanagan gerakan pramuka
e)      Mengusahakan buku-buku pimpinan dan pelajaran untuk pemberantasan buta huruf, serta buku-buku dan majalah-majalah untuk memelihara dan memperdalam kecakapan membaca dan menulis
f)       Memimpin dan mengawasi pendidikan jasmani di luar sekolah
g)      Menyelenggarakan kursus-kursus kader untuk pendidikan masyarakat.
h)      Memajukan dan membantu gerakan kepanduan
i)        Membantu inisiatif masyarakat untuk memajukan kaum wanita.
Pada bulan Agustus 1955 diadakan konferensi Pendidikan masyarakat yang telah membuat keputusan: “mengusahakan memelihara hubungan baik dan sehat dengan masyarakat dan instansi/ badan-badan yang mempunyai tugas sama/sejenis dalam pembinaan dan pembangunan masyarakat atas dasr pekerjaaan terhadap pejabat-pejabat dan instansi-instansi pendidikan masyarakat.
3)      Pendidikan Luar Biasa
Berdasarkan surat keputusan menteri PP dan K nomor /Kab. Tanggal 9 Agustus 1953 jawatan pengajaran membentuk sebuah instansi urusan Pendidikan Luar Biasa yang bertugas “mengatur, mengurus dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan luar bias di Indonesia”. Inspeksi pendidikan guru pun mempunyai “inspeksi sekolah guru luar biasa” yang ditandatangani oleh Pendidikan Luar Biasa ini ilaha para tuna netra, tuna rungu, tuna wicara dan lemah ingatan bahkan anak-anak cacad tubuh seperti Yayasan Pemeliharaan Anak-Anak Cacad dari Dr. Soeharso. Kebanyakan pendidikan semacam ini banyak dikelola oleh yayasan-yayasan sedangkan pemerintah turut memberi bantuan material, fungsional dan tenaga pengajar.
4)      Pendidikan Guru
Pada tahun 1951 jawatan pengajaran telah membuat rencana 10 tahun kewajiban belajar. Diperkirakan pada tahun itu jumlah anak yang bersekolah kira-kira sebesar 5.921.200. Untuk itu diperkirakan diperlukan tenaga guru sebesar 118.424 orang. Untuk maksud tersebut diperlukan pengadaan guru yamg amat mendesak. Sehubungan dengan itu kementerian PP dan K melalui kerjasama PGRI menyelenggarakan pendidikan guru darurat yaitu berupa kursus-kursus yang berbnetuk kursuss pengajar untuk kursusu pengantar kewajiban balajar atau di singkat KPKPKB. Di setiap kabupaten terdapat dua KPKPKB dengan masing-masing murid 80 orang.
5)      Pendidikan kejuruan
Setelah Indonesia merdeka pendidikan kejuruan masih elatif terbelakang dibandingkan debgabn pendidikan umum. Kendala-kendalanya anrara lain karena pendidikan umum masih menjanjikan kemungkinan untuk memperolah pendidikan setinggi-tingginya disamping itu lowongan pekerjaan ketika itu masih terbuka. Selain itu peralatan tidak mencukupi, tenaga pengajar kurang dan pemahaman masyarakat sendiri terhadap manfaat pendidikan kejuruan itu belum banyak sehingga mereka enggan menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah kejuruan.
Sehubungan dengan kurangnya alat pendidikan maka pada tahun 1951 pemerintah dengan bantuan luar negeri mencoba memesan alat-alat untuk sekolah teknik, tetapi setelah bantuan ada pelaksaaannya tidak lancar karena tidak ada tenaga yang menggunakannya dan infrastruktur berupa gedung masih belum tersedia.
6)      Pendidikan wanita
UU Nomor 4 tahun 1950 membuka kesempatan seluas-luasnya bagi para kaum wanita untuk mengikuti semua jenis dan jenjang pendidikan sehiingga dapat menjamin kehidupan mereka dalam masyarakat sebagai WNI yang sederajat dengan kaum pria. Sehubungan dengan itu selain sekolah-sekoah umum yang dapat diikuti oleh kaum wanita sampai ke jenjang setinggi-tingginya. Ketika itu pemerintah menyelenggarakan pula pendidikan-pendidikan kejuruan wanita seperti Sekolah Kepandaian Puteri (SKP) dan Sekolah Guru kepandaian Puteri (SGKP). Di SKP dibuka kejuruan-kejuruan seperti menjahit, memasak, kerajianan tangan, memimpin rumah tangga, mengasuh anak.
7)      Pendidikan Agama
Berdasarkan peraturan bersama Menteri PP dan K dan Menteri Agama maka di setiap sekoah rendah dan sekolah lanjutan (umum dan kejuruan) diberi pendidikan agama sebanyak dua minggu sekali saejak di kelas IV kecuali untuk lingkungan istimewa diberikan sejak kelas I. Pendidikan agama diberikan menurut agama murud masing-masing. Guru-guur agama diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama serta biaya pendidikan di tanggung oleh kementerian agama. Yang nantinya sistem ini juga berlaku di sekolah-sekolah swasta jika pengurusnya mengkehendakinya dan orang tua murid memintanya.
8)      Pendidikan Tinggi
Dalam rangka pelaksanaan UU darurat Nomor 7 Ferbruari 1950, dibentuklah Universitas Indonesia dengan Ir. Surachman sebagai presiden (rektor) Universitas ini merupakan gabungan anatara balai Perguruan Tinggi Republik Indonesia dengan Universiteit van Indonesie, termasuk cabang-cabangnya dari berbagai fakultas di Bogor, Bandung, Surabaya dan Makasar.
9)      Pendidikan Swasta
Pada zaman koonial Belanda mengijinkan berdiri sekolah-sekolah swata yang diselenggarakan oleh misi katolik dan zending Protestan. Namun demikian terhadap masyarakat islam yang sejak lama mempunyai lembaga-lembaga pendidikan tersendiri seperti madrasah-madrasah, pemerintah kolonial melakukan kebijakan politik van onthouding (politik tidak campur).
Dalam masa kemerdekaan terutama dalam periode antara tahun 1950-1959 bermunculan sekolah swasta, baik yang baru berdri ataupun melanjutkan kembali sekolah-sekolah swata yang pernah ada sebelumnya. Sekolah-sekolah swata itu tidak ahnya atas dasar agama isalam seperti Muhamadiyah tetapi juga atas dasar aagama protestan dan katolik.
Meskipun ada lembaga pendidikan dari berbagai bidang dan jenjang pendidikan yang diselenggarakan oleh pihak swata ini, pemerintah PP dan K tetap melakukan tugas koordinasi. Selain memberikan subsidi untuk sekolah swata yang belum memenuhi syarat, pemerintah juga menyediakan tenaga-tenaga pengajar untuk diperbantukan.
B.     Pendidikan Pada Masa Orde Baru
Orde baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998, dan dapat dikatakan sebagai era pembangunan nasional. Dalam bidang pembangunan pendidikan, khususnya pendidikan dasar, terjadi suatu loncatan yang sangat signifikan dengan adanya Instruksi Presiden (Inpres) Pendidikan Dasar. Pelaksanaan pendidikan pada masa orde baru ternyata banyak menemukan kendala, karena pendidikan orde baru mengusung ideologi “keseragaman” sehingga memampatkan kemajuan dalam bidang pendidikan. EBTANAS, UMPTN, menjadi seleksi penyeragaman intelektualitas peserta didik.
Beberapa hal negatif lain yang tercipta pada masa ini adalah:
1.      Produk-produk pendidikan diarahkan untuk menjadi pekerja. Sehingga, berimplikasi pada hilangnya eksistensi manusia yang hidup dengan akal pikirannya (tidak memanusiakan manusia).
2.      Lahirnya kaum terdidik yang tumpul akan kepekaan sosial, dan banyaknya anak muda yang berpikiran positivistik
3.      Hilangnya kebebasan berpendapat.
Pemerintah orde baru yang dipimpin oleh Soeharto megedepankan motto “membangun manusia Indonesia seutuhnya dan Masyarakat Indonesia”. Pada masa ini seluruh bentuk pendidikan ditujukan untuk memenuhi hasrat penguasa, terutama untuk pembangunan nasional. Siswa sebagai peserta didik, dididik untuk menjadi manusia “pekerja” yang  kelak akan berperan sebagai alat penguasa dalam menentukan arah kebijakan negara. Pendidikan bukan ditujukan untuk mempertahankan eksistensi manusia, namun untuk mengeksploitasi intelektualitas mereka demi hasrat kepentingan penguasa.
1.      Jenis dan Jenjang pendidikan
a.       Pendidikan Dasar
Berdasarkan UU No.2/1989 yang pelaksanaannya diatur oleh peraturan pemerintah No.28 tahun 1990, pendidikan dasar adalah pendidikan umum yang lamanya Sembilan tahun, diselenggarakan selama enam tahun di Sekolah Dasar (SD) dan tiga tahun di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau satuan pendidikan yang sederajat.
Bentuk satuan pendidikan dasar yang menyelenggarakan pendidikan program enam tahun terdiri atas Sekolah Dasar (umum) dan Sekolah Dasar Luar Biasa. Bentuk satuan pendidikan dasar yang menyelenggarakan pendidikan program tiga tahun sesudah program enam tahun terdiri atas Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa (SLTPLB).
Di samping bentuk diatas terdapat pula bentuk satuan pendidikan dasar yang berciri khas agama Islam yang diselenggarakan oleh Departemen Agama, yakni Madrasah Ibtidaiyah setingkat Sekolah Dasar dan Madrasah Tsanawiyah setingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama.

b.      Pendidikan Menengah
Pendidikan menengah adalah pendidikan yang diselenggarakan bagi lulusan pendidikan dasar. Jenis-jenis pendidikan menengah meliputi pendidikan menengah umum, pendidikan menengah kejuruan, pendidikan menengah keagamaan, pendidikan menengah kedinasan, pendidikan menengah luar biasa.
Satuan pendidikan menengah umum terdiri dari Sekolah Menengah Umum (SMU) dan Madrasah Aliyah (MA).
Satuan pendidikan menengah kejuruan adalah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Program pendidikan SMK terdiri atas enam kelompok, yaitu: (1). Kelompok pertanian dan Kehutanan; (2). Kelompok Teknologi dan Industri; (3). Kelompok Bisnis dan Manajemen; (4). Kelompok Kesejahteraan Masyarakat; (5). Kelompok Pariwisata; dan (6). Kelompok Seni dan Kerajinan.

c.       Pendidikan Tinggi
Pendidikan tinggi merupakan kelanjutan pendidikan menengah di jalur pendidikan sekolah, yang terdiri atas pendidikan akademik dan pendidikan professional. Pendidikan akademik terutama diarahkan pada penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian sedangkan pendidikan professional lebih diarahkan terutama pada kesiapan penerapan keahlian tertentu.

d.      Pendidikan Luar Biasa
Pendidikan Luar Biasa (PLB) adalah pendidikan yang khusus diselenggarakan bagi peserta didik yang menyandang kelainan fisik dan/atau mental. PLB bertujuan membantu peserta didik yang menyandang kelainan fisik dan/atau mental, prilaku dan sosial agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan dan ketrampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbale balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan.
Bentuk satuan pendidikan luar biasa yang diatur dalam UU No.2/1989 adalah Taman Kanak-kanak Luar Biasa (TKLB) dengan lama pendidikan satu sampai tiga tahun, Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) dengan lama pendidikan sekurang-kurangnya enam tahun, Sekolah Lanjutan Pertama Luar Biasa (SLPLB) dengan lama pendidikan sekurang-kurangnya tiga tahun, dan Sekolah Menengah Luar Biasa (SMLB) dengan lama pendidikan sekurang-kurangnya tiga tahun.
e.       Pendidikan Prasekolah
Pendidikan prasekolah bertujuan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani anak didik di luar lingkungan keluarga sebelum memasuki pendidikan dasar, yang diselenggarakan di jalur pendidikan sekolah atau luar sekolah. Penyelenggaraan pendidikan prasekolah adalah untuk membantu meletakkan dasar ke arah perkembangan sikap, pengetahuan, ketrampilan, dan daya cipta yang diperlukan oleh anak didik dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan untuk pertumbuhan serta perkembangan selanjutnya, meskipun pendidikan prasekolah bukan merupakan persyaratan masuk SD.
Bentuk satuan pendidikan prasekolah diantaranya adalah Taman Kanak-kanak (TK), Kelompok Bermain dan Penitipan Anak. Disamping bentuk satuan pendidikan tersebut terdapat pula bentuk satuan pendidikan prasekolah yang berciri khas agama Islam yang setingkat Taman Kanak-kanak yang disebut Bustanul Atfal (BA) atau Raudlatul Atfal (RA).
f.       Pendidikan Luar Sekolah
Pendidikan Luar Sekolah (PLS) adalah pendidikan yang diselenggarakan di luar sistem persekolahan melalui kegiatan belajar-mengajar yang tidak harus berjenjang dan berkesinambungan. Ciri yang membedakan pendidikan luar sekolah dengan pendidikan sekolah adalah keluwesan program pendidikannya berkenaan dengan waktu dan lama belajar, usia peserta didik, isi pelajaran, cara penyelenggaraan dan cara penilaian hasil belajar.
Satuan pendidikan luar sekolah meliputi keluarga, kelompok belajar, kursus misalnya kursus computer dan satuan pendidikan yang sejenis. Pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga yang memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral dan ketrampilan.
2.      Program Wajib Belajar
Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun mengusahakan agar setiap warga Negara Indonesia yang berusia 7-15 tahun dapat mengikuti pendidikan sampai SLTP atau yang sederajat sampai tamat. Pemerintah membuka peluang yang seluas-luasnya bagi semua peserta didik yang telah memenuhi persyaratan untuk memenuhi jenjang pendidikan dasar.
Program wajib belajar pendidikan dasar di Indonesia lebih bersifat pendidikan semesta (Universal Education), yaitu berusaha membuka kesempatan belajar dengan menumbuhkan aspirasi pendidikan orang tua dan peserta didik yang telah cukup umur untuk mengikuti pendidikan. Dengan demikian, wajib belajar pendidikan dasar Sembilan tahun di Indonesia mengutamakan : (1). Pendekatan Persuasif, (2). Tanggung jawab moral orang tua dan peserta didik agar merasa terpanggil untuk mengikuti pendidikan karena berbagai kemudahan yang disediakan, (3). Pengaturan tidak dengan undang-undang sendiri, dan (4). Penggunaan ukuran keberhasilan yang bersifat makro, yaitu peningkatan angka partisipasi pendidikan dasar.
Dalam rangka penuntasan wajib belajar 9 tahun, pemerintah menentukan berbagai pola wajib belajar. Melalui pola wajib belajar ini digunakan berbagai alternative pendidikan, baik melalui pendidikan di sekolah maupun di luar sekolah. Bentuk satuan pendidikan untuk membantu menuntaskan wajib belajar tersebut terdiri dari 10 wahana dan empat rumpun baik di tingkat SD maupun SLTP sebagai berikut. Di tingkat SD terdapat 10 wahana yang terbagi dalam empat rumpun, yaitu: rumpun SD biasa, rumpun sekolah luar biasa, rumpun pendidikan luar sekolah dan rumpun sekolah keagamaan. Pada SLTP terdapat 10 wahana yang terbagi dalam empat rumpun, yaitu: rumpun SLTP biasa, rumpun SLTP luar biasa, rumpun pendidikan luar sekolah dan rumpun sekolah keagamaan.
3.      Sistem Evaluasi atau Penilaian
Sistem penilaian terdiri dari dua bagian yang pertama adalah teknik penilaian dan yang ke dua berisi pedoman dalam penentuan kenaikan kelas, pemberian STTB dan penerimaan murid baru kelas satu. Sistem penilaian tersebut isinya meliputi tujuan dan fungsi penilaian, jenis penilaian (formatif, sumatif, penempatan dan diagnostik), cara dan teknik penilaian, alat penilaian (tes hasil belajar, tes bakat, khusus tes intelegensi, angket, pedoman wawancara dan lembaran pengamatan) dan cara mengolah hasil penilaian.
4.      Kurikulum
Kurikulum-kurikulum yang digunakan pada masa orde baru yaitu sebagai berikut:
a.    Kurikulum 1968
Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tidak mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan.
Pada masa ini siswa hanya berperan sebagai pribadi yang masif, dengan hanya menghapal teori-teori yang ada, tanpa ada pengaplikasian dari teori tersebut. Aspek afektif dan psikomotorik tidak ditonjolkan pada kurikulum ini. Praktis, kurikulum ini hanya menekankan pembentukkan peserta didik hanya dari segi intelektualnya saja.
b.    Kurikulum 1975
Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efektif dan efisien berdasar MBO (management by objective). Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), yang  dikenal dengan istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci menjadi : tujuan instruksional  umum (TIU), tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi.
Pada kurikulum ini peran guru menjadi lebih penting, karena setiap guru wajib untuk membuat rincian tujuan yang ingin dicapai selama proses belajar-mengajar berlangsung. Tiap guru harus detail dalam perencanaan pelaksanaan program belajar mengajar. Setiap tatap muka telah di atur dan dijadwalkan sedari awal. Dengan kurikulum ini semua proses belajar mengajar menjadi sistematis dan bertahap.
c.    Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 mengusung “process skill approach”. Proses menjadi lebih penting dalam pelaksanaan pendidikan. Peran siswa dalam kurikulum ini menjadi mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL). CBSA memposisikan guru sebagai fasilitator, sehingga bentuk kegiatan ceramah tidak lagi ditemukan dalam kurikulum ini. Pada kurikulum ini siswa diposisikan sebagai subjek dalam proses belajar mengajar. Siswa juga diperankan dalam pembentukkan suatu pengetahuan dengan diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat, bertanya, dan mendiskusikan sesuatu.
d.   Kurilukum 1994
Kurikulum 1994 merupakan hasil upaya untuk memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya, terutama kurikulum 1975 dan 1984. Pada kurikulum ini bentuk opresi kepada siswa mulai terjadi dengan beratnya beban belajar siswa, dari muatan nasional sampai muatan lokal. Materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa daerah kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain.
Berbagai kepentingan kelompok-kelompok masyarakat juga mendesak agar isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum. Akhirnya, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat. Siswa dihadapkan dengan banyaknya beban belajar yang harus mereka tuntaskan, dan mereka tidak memiliki pilihan untuk menerima atau tidak terhadap banyaknya beban belajar yang harus mereka hadapi.

C.    Pendidikan Pada Masa Pembangunan Jangka Panjang I
Pelaksanaan Pelita I PJP I dicanangkan mulai 1 April 1969, maka pada tanggal 28-30 April 1969 pemerintah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengumpulkan 100 orang pakar/pemikir pendidikan di Cipayung untuk melakukan konferensi dalam rangka: 1) mengidentifikasi masalah-masalah pendidikan nasional, dan 2) menyusun suatu prioritas pemecahan dari berbagai masalah tersebut, serta mencari alternatif pemecahannya.
Salah satu hasil konferensi Cipayung itu ialah lahirnya Proyek Penilaian Nasional Pendidikan (PPNP) pada tanggal 1 Mei 1969 melalui SK Mendikbud tanggal 26 Mei 1969. Isi SK tersebut ialah bahwa dalam jangka waktu dua tahun (kemudian diubah menjadi tiga tahun) PPNP harus sudah berhasil menyusun strategi pendidikan nasional. Hasil kerja PPNP dimanfaatkan oleh Badan Pengembangan Pendidikan atau BPP (sekarang BALITBANG) Depdikbud yang didirikan melalui Keputusan Presiden No. 84/1969 tanggal 18 Oktober 1969. Hasil kerja PPNP dijadikan dasar perencanaan pendidikan yang lebih baik untuk Pelita II serta telah meletakkan dasar-dasar perencanaan pendidikan untuk Pelita-Pelita selanjutnya. Dengan hasil kerja PPNP inilah pembangunan pendidikan untuk PJP I mulai dimantapkan.
Di dalam rumusan-rumusan kebijakan pokok pembangunan pendidikan selama PJP I terdapat beberapa kebijakan yang terus menerus dikemukakan, yaitu:
1.        Relevansi pendidikan
2.        Pemerataan pendidikan
3.        Peningkatan mutu guru atau tenaga kependidikan
4.        Mutu pendidikan
5.        Pendidikan kejuruan
Selain kebijakan pokok tersebut terdapat pula beberapa kebijakan yang perlu mendapat perhatian kita, yaitu:
1.        Kebijakan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat di dalam bidang pendidikan.
2.        Pengembangan sistem pendidikan yang efisien dan efektif.
3.        Dirumuskan dan di syahkannya UU RI No. 2 Tahun 1989 tentang “Sistem Pendidikan Nasional” sebagai pengganti UU pendidikan lama yang telah diundangkan sejak tahun 1950.
1.      Tujuan pendidikan Nasional.
Sesuai dengan Tap MPRS No. XXVI/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan dan Kebudayaan, maka dirumuskan bahwa Tujuan Pendidikan adalah untuk membentuk manusia Pancasilais sejati berdasarkan Pembukaan UUD 1945 dan isi UUD 1945. Selanjutnya dalam UU No. 2 Tahun 1989 ditegaskan lagi bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, berkepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
2.      Kurikulum Pendidikan
 Dalam PJP I telah dilakukan tiga kali perubahan kurikulum pendidikan (sekolah), yaitu apa yang dikenal sebagai: Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, dan Kurikulum 1984.
Didalam kurikulum 1968 dirumuskan bahwa tujuan pendidikan ialah membentuk manusia Pancasilais sejati. Isi pendidikannya ialah untuk mempertinggi moral, akhlak dan keyakinan agama, mempertinggi keterampilan dan kecerdasan, dan mempertinggi mutu kesehatan fisik yang kuat. Namun demikian, salah satu ciri utama kurikulum 1968 ini yaitu organisasi kurikulumnya masih berorientasi kepada bahan/mata pelajaran. Dengan mengacu kepada Tap MPR No. II/MPR/1973 tentang GBHN dan dengan menampung berbagai hasil percobaan dalam bidang pendidikan waktu itu, maka kurikulum 1968 diperbaharui dengan kurikulum 1975. Kurikulum 1975 dikembangkan dengan menggunakan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), yang selanjutnya dijabarkan ke dalam Satuan Pelajaran atau Bahan belajar mandiri. Ciri utama kurikulum 1975 yaitu organisasi kurikulumnya yang berorientasi kepada tujuan pendidikan, menekankan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) dan konsep belajar tuntas. Memang dalam pelaksanaan kurikulum 1975 ini hirarki tujuan pendidikan menjadi jelas, namun demikian kurikulum ini masih bersifat sentralistik.
Dengan lahirnya Tap MPR No. II/MPR/1983 tentang GBHN, dan berbagai masukan dari Komisi Pembaharuan Pendidikan Nasional (KPPN), kurikulum 1975 diperbaharui lagi dengan kurikulum 1984. Hasil percobaan di Cianjur tentang CBSA lebih memantapkan penyusunan kurikulum tersebut. Pada tingkat SMA, kurikulum ini terdiri atas Program Inti dan Program Pilihan. Juga dibedakan antara Program A untuk jalur akademik dan Program B untuk siswa yang tidak melanjutkan ke pendidikan tinggi sehingga memperoleh program-program latihan kekaryaan. Sayang sekali kurikulum ini tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya, seperti Program B tidak dapat dilaksanakan karena keterbatasan tenaga maupun biayanya. Selain itu Kurikulum 1984 juga masih bersifat sentralistik. Contoh kekurangan tenaga antara lain ditunjukkan oleh hasil penelitian Konsorsium Ilmu Pendidikan bahwa 40% guru SMP dan 33% guru SMA mengajarkan mata pelajaran di Luar bidang keahliannya. Demikian pula bahwa kurikulum tersebut tidak didesiminasikan ke LPTK-LPTK sehingga calon-calon guru tidak mengetahui apa sebenarnya isi kurikulum 1984.
3.      Kurikulum Pendidikan Kejuruan
 Dalam Pelita I selain penyempurnaan sistem sekolah kejuruan, juga ditingkatkan mutu pendidikannya terutama guru dan laboratoriumnya. Dengan dana pinjaman Bank Dunia diadakan berbagai usaha untuk meningkatkan pendidikan teknik menengah. Beberapa STM ditingkatkan, juga membangun apa yang disebut Sekolah Teknik Menengah Pembangunan, diadakan bengkel-bengkel latihan pusat yang dapat digunakan beberapa STM termasuk STM swasta. Usaha perbaikan kurikulum terus menerus dilakukan, baik melalui dana pinjaman dari ADB (Asian Development Bank), juga bantuan teknis dari Negara-negara sahabat, seperti Australia, Swiss, dan Austria. Memang dengan usaha-usaha itu beberapa STM atau pusat pelatihan tenaga teknik seperti yang ada di Bandung dengan bantuan pemerintah Australia telah dapat menjembatani hubungan antara kurikulum STM atau pusat pelatihan tenaga teknik dengan dunia industri yang berada disekitarnya. Namun berbagai usaha tersebut secara keseluruhan belum dapat memenuhi kebutuhan baik mengenai jumlah sekolah kejuruan maupun mutunya. Kurikulum sekolah kejuruan terasa masih terlalu banyak mata pelajaran teorinya dan masih terbatas latihan-latihan prakteknya yang justru sangat diperlukan. Peningkatan mutu kurikulum sekolah kejuruan tersebut mengalami kesulitan antara lain juga karena dunia industri kita pada saat itu masih belum menyadari pentingnya kaitan antara sekolah kejuruan dengan sekolah kerja (H.A.R. Tilaar, 1995).
4.      Kurikulum Pendidikan Tinggi (PT).
Usaha-usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi termasuk kurikulumnya juga telah dilaksanakan selama PJP I. Salah satu usahanya adalah dengan mengganti sistem kontinental dengan sistem anglo saxis, yaitu dengan penerapan sistem kredit semester (sistem SKS) pada pertengahan tahun 1970-an. Maksudnya adalah untuk meningkatkan efisiensi internal dari PT yang pada saat itu memang sangat rendah. Selain Sistem SKS, juga mata-mata kuliah yang diajarkan dikaji dan disesuaikan dengan kemajuan ilmu dan teknologi. Dalam rangka inilah dibentuk apa yang disebut konsorsium perguruan tinggi menurut program studi yang disajikan di PT.
5.      Sarana, Prasarana Pendidikan.
Perkembangan pendidikan di Indonesia selama PJP I secara kuantitatif merupakan fenomena yang menakjubkan, bukan hanya bagi kita sendiri tetapi juga bagi dunia luar. Secara akumulatif pertumbuhan rata-rata siswa SD selama PJP I sekitar 50% per tahun, SLTP 150%, SLA 220%, dan Perguruan Tinggi (PT) 320%. Angka partisipasi kasar SD dari 64% pada permulaan PJP I menjadi 99,7% pada akhir PJP I; SMTP dari 16,9% menjadi 66,7%; SMTA dari 8,6% menjadi 45,1%; dan PT dari 1% menjadi 11% (H.A.R. Tilaar, 1995).
Pertumbuhan jumlah siswa/mahasiswa di berbagai jenjang dan jenis pendidikan tersebut tentu saja disertai pula dengan penambahan prasarana dan sarana pendidikan. Antara lain : gedung-gedung sekolah baru, penambahan ruang belajar, buku-buku pelajaran, pengadaan sarana-sarana pembantu proses belajar-mengajar, pembangunan sarana fisik Perguruan Tinggi, dan pembangunan sarana pendidikan dasar melalui Inpres Pembangunan SD. Prasarana dan sarana pendidikan memang telah banyak dibangun selama PJP I, namun demikian pengadaan prasarana dan sarana pendidikan tersebut ternyata masih belum dapat memenuhi kebutuhan.
6.      Wajib Belajar
Melalui program pembangunan diatas, dan dengan dicanangkannya Wajib Belajar Sekolah Dasar sejak tanggal 2 Mei 1984, maka pada akhir Pelita II kesempatan belajar anak-anak usia 7-12 tahun praktis dicapai, walaupun tentunya masih terdapat sejumlah anak-anak yang hidup terpencil, anak-anak luar biasa, maupun putus sekolah yang masih harus dituntaskan di dalam pembangunan selanjutnya (pada tahun 1988/1989 atau akhir Pelita IV angka partisipasi SD telah mencapai 99,6% dari jumlah anak usia 7-12 tahun yaitu 30.182.900 anak). Wajib Belajar SD Enam Tahun pada Pelita V telah diperluas dengan perintisan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun. Sebab itulah UNESCO pada tahun 1994 menganugerahkan Bintang Aviciena kepada Presiden Republik Indonesia sebagai pengakuan peranan pemerintah Indonesia dalam memajukan pendidikan rakyat (H.A.R. Tilaar, 1995).
7.      Tenaga Kependidikan dan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK).
Berkenaan dengan hal ini dalam PJP I antara lain terdapat dua masalah pokok, yaitu:
a.       Kekurangan tenaga pengajar yang berwenang pada semua jenis dan tingkat pendidikan. Salah satu contohnya adalah pada tahun 1989/1990 untuk SD terdapat kekurangan tenaga hampir 600.000 orang. Ditambah lagi dengan kualifikasi guru SD banyak yang belum memenuhi persyaratan. Untuk SLTP dan SLTA masalahnya berlainan, walaupun secara makro terdapat kelebihan guru, tetapi dalam kenyataannya terdapat kekurangan guru yang parah karena memusatnya para guru di kota-kota. Selain itu banyak mata pelajaran yang tenaga gurunya tidak mencukupi.
b.      Masalah peningkatan mutu Tenaga Kependidikan dan LPTK.
Dalam PJP I telah diambil keputusan untuk meningkatkan kualifikasi guru SD dengan Diploma I dan II, guru SMP dengan D III dan untuk SMA semakin lama semakin dipegang oleh lulusan S1. Berkenaan dengan hal diatas, telah dilakukan pula pembaharuan dalam bentuk likuidasi SPG dan SGO menjadi program D II Pendidikan Guru Sekolah Dasar. Untuk PT telah didirikan berbagai Program Pascasarjana (S2, S3) dengan tujuan utama untuk meningkatkan mutu para dosen PT. Beasiswa dari dalam dan dari luar negeri telah lama dilaksanakan, demikian pula didirikan beberapa Pusat Antar Universitas (PAU atau inter-university center). Selain itu untuk meningkatkan ilmu pendidikan telah didirikan Konsorsium Ilmu Pendidikan H.A.R. Tilaar, 1995).

8.      Pendidikan Kejuruan, Pelatihan dan Ketenagakerjaan.
Konsep keterkaitan antara pendidikan nasional dan dunia kerja yang telah dirintis sejak Pelita I dalam pelaksanaannya pada Pelita-Pelita berikutnya mengalami berbagai hambatan. Setiap sektor termasuk sektor pendidikan dan tenaga kerja masing-masing berjalan sendiri-sendiri. Akibatnya terjadilah ketidakserasian antara output sistem pendidikan nasional dengan kebutuhan tenaga kerja (muncul masalah relevansi atau masalah link and match). Sistem pendidikan telah menghasilkan tenaga kerja terdidik tetapi tidak terampil, sehingga pengangguran makin lama semakin besar jumlahnya.
Keadaan diatas menunjukkan adanya masalah relevansi dan atau kurangnya keterkaitan dan kesepadanan antara output pendidikan dengan kebutuhan tenaga kerja. Contohnya: terdapat kelebihan lulusan SLTA kejuruan, tetapi sebenarnya di lapangan terdapat kekurangan yang besar mengenai tenaga-tenaga tamatan SLTA Kejuruan Teknik.
Terdapat pula masalah koordinasi mengenai pendidikan kejuruan, pelatihan dan ketenagakerjaan ini, yaitu simpang siurnya mengenai tanggung jawab pembinaan pendidikan menurut Instruksi Presiden No. 15 Tahun 1974 (mengenai tugas Menteri Pendidikan, Menteri Tenaga Kerja, dan Ketua LAN) dengan PP No. 73 Tahun 1991 yang mengacu pada UU RI No. 2 Tahun 1989 yang mengatur tentang Pendidikan Luar Sekolah yang juga mengatur tugas PLS yang mencakup berbagai jenis pelatihan (kursus). Selain hal diatas, masih dirasakan perlunya peningkatan partisipasi masyarakat (industry, dsb) dalam rangka pendidikan dan pelatihan (H.A.R. Tilaar, 1995).
9.      Pendidikan Tinggi
Selama PJP I pemerintah telah melakukan upaya peningkatan pemerataan pendidikan tinggi, yaitu melalui pembangunan sarana fisik PTN-PTN serta sarana penunjang lainnya dengan menggunakan “strategi bertahap bergilir”. Dalam peningkatan pemerataan PT ini partisipasi PTS begitu besar. Tercatat data bahwa pada tahun 1993/1994 jumlah PTN hanya 51, sedangkan PTS berjumlah 1035. Upaya-upaya itu telah memperbesar angka partisipasi pendidikan tinggi. Jika pada tahun 1968 tingkat partisipasi pendidikan tinggi hanya 1,6% (156.000 orang), maka pada akhir PJP I menjadi 11% (2.491.100 orang).
Peningkatan angka partisipasi pendidikan tinggi memang cukup menggembirakan, sekalipun jika dibandingkan dengan di Negara lain masih jauh tertinggal. Namun demikian relevansi dan mutu pendidikan tinggi masih perlu terus ditingkatkan. Contoh: di satu pihak terdapat kelebihan produksi sarjana, di pihak lain terdapat kekurangan tenaga-tenaga sarjana dalam bidang-bidang tertentu. Hal ini berkaitan dengan masalah kurikulum PT tersebut. Komposisi jenis-jenis program studi yang ada menunjukkan bahwa program studi ilmu social dan ilmu pendidikan/keguruan lebih banyak dibanding dengan  program studi lainnya. Pengangguran sarjana menunjukkan lebih besar pada kedua jenis program studi tersebut.
Mutu pendidikan tinggi kita memang bervariasi mulai dari mutu yang paling tinggi sampai dengan yang sangat diragukan. Hal ini ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain: mutu dosennya yang kebanyakan masih berkualifikasi S1, belum cukup tersedianya sarana penunjang seperti perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, serta biaya operasional yang belum memadai. Selain itu juga kualitas raw input ke PT yang berlatar belakang NEM antara 4-6 (H.A.R. Tilaar, 1995).
10.  Inovasi Pendidikan
Selama PJP I dan sudah sejak Pelita I keinginan untuk melakukan inovasi pendidikan sangat besar. Bahkan sejak sebelum Pelita I dimulai telah dilakukan upaya-upaya untuk melakukan identifikasi masalah-masalah pendidikan agar dapat dilakukan usaha-usaha peningkatan sistem dan peningkatan mutu pendidikan nasional. Selain berkenaan dengan tujuan pendidikan, kurikulum pendidikan, sarana/prasarana pendidikan dan wajib belajar, pelaksanaan beberapa inovasi pendidikan selama PJP I yaitu: Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP), Proyek Pamong, Proyek CBSA, STEPPES, COPLANER, dan Primary Education Quality Improvement Project (PEQIP). Sayang sekali berbagai inovasi pendidikan yang telah dilaksanakan banyak menghadapi kemandegan dan tidak berkelanjutan (H.A.R. Tilaar, 1995).
11.  Pembiayaan
Sumber dana pembangunan pendidikan pada PJP I berasal dari dana rupiah dan dana yang diperoleh dari kerja sama luar negeri. Di dalam pembiayaan pendidikan terdapat berbagai sumber yaitu: 1) Pemerintah yang dapat berupa biaya rutin, biaya pembangunan, biaya INPRES SD, dan subsidi bantuan pembangunan pendidikan (SBPP). 2) Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP). 3) Sumbangan untuk badan pembantu pembinaan pendidikan (BP3).
12.  Kualitas Pendidikan
Sebagaimana telah diuraikan terdahulu selama PJP I telah banyak upaya pembangunan di bidang pendidikan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan nasional. HAR Tilaar (1995) menunjukkan kualitas pendidikan pada PJP I antara lain dengan indikator sebagai berikut :
a.       Dana Pendidikan (Pendidikan Dasar): Belum memadainya dana yang tersedia untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Pada tahun 1991 unit cost untuk siswa SD tidak lebih dari 5 US $, sedangkan Negara maju menyediakan 105,5 US $.
b.      Kelulusan SD: Persentase jumlah siswa yang menamatkan SD pada tahun 1989 sekitar 70%, sedangkan di Negara maju mencapai 91%. Data ini menunjukkan pula bahwa SD kita pada saat itu mengalami ketidak efisienan dengan data rasio input-output sebesar 70%, sehingga rata-rata waktu yang diperlukan untuk menamatkan SD adalah 8,5 tahun.
c.       Prestasi membaca komprehensif juga dinilai sangat kurang dibanding dengan di Negara maju.
d.      Daya serap terhadap isi kurikulum: Rata-rata hasil EBTANAS Murni siswa SMA pada tahun1987-1990 menunjukkan rendahnya kualitas pendidikan kita. Misalnya untuk mata pelajaran PMP dan Bahasa Indonesia rata-ratanya 6; sedangkan Bahasa Inggris, Matematika, Fisika, Biologi, dan Kimia antara 4-5. Artinya daya serap lulusan SMA kurang dari 50% dari apa yang ditentukan dalam Kurikulum 1984.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Landasan adalah suatu alas atau dasar pijakan dari sesuatu hal atau suatu titik tumpu atau titik tolak dari sesuatu hal atau suatu fundasi tempat berdirinya sesuatu hal. Sedangkan pendidikan merupakan segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup. Pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintah, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan, yang berlangsung di dalam dan luar sekolah sepanjang hayat, untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat memainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara tepat di masa yang akan datang.
Historis pendidikan dari masa awal kemerdekaan hingga masa orde baru mengalami perubahan yang signfikan baik dalam sistem maupun komponen pendidikan yang terlibat didalamnya.
B.     Saran
Dengan adanya berbagai perubahan sistem pendidikan di Indonesia dalam sejarah perkembangan Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga masa orde baru, seyogyanya kita mampu menumbuhkan semangat pendidikan sebagaimana sikap para pendahulu dalam menyikapi perubahan-perubahan sistem yang terjadi pada pendidikan di Indonesia.
Diharapkan dengan telah dibahasnya landasan historis pendidikan, kita sebagai generasi penerus bangsa mampu menghargai para pahlawan pendidikan yang telah berjuang mempertahankan keberdaan pendidikan dalam situasi apapun, sehingga generasi penerus bangsa bisa berkaca dari perjuangan para pahlawan pendidikan untuk menuju pendidikan yang lebih baik di masa yang akan datang.




DAFTAR PUSTAKA

Syaripudin, Tatang dan Nur’aini. (2006). Landasan Pendidikan. UPI PRESS:Bandung
Izhaman, Fitrial. (2013). Landasan Historis Pendidikan. [Online]. Tersedia: meyzzacompany.blogspot.com/2013/06/landasan-historis-pendidikan.html.[5 Desember 2013].
______________. (2011). Sejarah Pendidikan Orde Baru. [Online]. Tersedia: http://dailygrin.wordpress.com/2011/02/16/sejarah-pendidikan-orde-baru/. [5 Desember 2013].

Harun, Ikrimah Laily. (2013). Pendidikan Pada Masa Kemerdekaan Sampai Orde Lama (1945- 1966). [Online]. Tersedia: historyofikrie.blogspot.com/2013/05/ pendidikan-pada-masa-kemerdekaan-sampai.html. [5 Desember 2013].

Bening, Banyu. (2012). Pendidikan Pada Masa Orde Lama (1945-1965). [Online]. Tersedia: http://our-ed.blogspot.com/2012/05/pendidikan-pada-masa-orde-baru.html. [5 Desember 2013].

Acehmillano. (2013). Perkembangan Pendidikan Pada Zaman Pergerakan Kemerdekaan Nasional Indonesia. [Online]. Tersedia: http://acehmillano.wordpress.com/2013/03/24/perkembangan-pendidikan-pada-zaman-pergerakan-kemerdekaan-nasional-indonesi/. [5 Desember 2013].

 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar