BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pada
dasarnya, landasan adalah suatu alas atau dasar pijakan dari sesuatu hal atau
suatu titik tumpu atau titik tolak dari sesuatu hal atau suatu fundasi tempat
berdirinya sesuatu hal. Pendidikan dalam arti luas adalah hidup, artinya segala
pengalaman belajar di berbagai lingkungan yang berlangsung sepanjang hayat dan
berpengaruh positif bagi perkembangan individu. Pendidikan dalam arti sempit
identik dengan penyekolahan (schooling),
yaitu pengajaran formal di bawah kondisi-kondisi yang terkontrol. Landasan
pendidikan adalah seperangkat asumsi yang dijadikan titik tolak dalam rangka
pendidikan. Landasan historis pendidikan adalah asumsi-asumsi pendidikan yang
bersumber dari konsep dan praktek pendidikan masa lampau sejarah yang menjadi
titik tolak perkembangan pendidikan masa kini dan masa datang.
Dengan mengacu pada suatu landasan
yang kokoh, pendidikan akan dapat dilaksanakan secara mantap, jelas arah
tujuannya, relevan isi kurikulumnya, serta efektif dan efisien metode atau
cara-cara pelaksanaannya.
Dalam proses pertumbuhan menjadi
negara maju, Indonesia telah mengalami berbagai perubahan, termasuk bidang
pendidikannya. Perubahan-perubahan itu merupakan hal yang wajar karena
perubahan selalu dipengaruhi oleh berbagai faktor yang bisa berganti selaras
dengan perkembangan serta tuntutan zaman pada saat itu. Tidaklah mengherankan
apabila sistem pendidikan yang kita anut segera setelah merdeka adalah sistem
kontinental karena kontak kita pada saat itu adalah dengan negara-negara Eropa,
khususnya negeri Belanda (Dardjowidjojo, 1991: ix).
Setelah kita merdeka dan
menerapkan sistem pendidikan kontinental sekitar lima windu, kita dapati bahwa
pendidikan dengan sistem Eropa tidak cocok lagi dengan tuntutan perkembangan
zaman (Dardjowodjojo, 1992: 1).
Masa lampau
memperjelas pemahaman kita tentang masa kini. Sistem pendidikan yang kita kenal
sekarang adalah hasil perkembangan pendidikan yang tumbuh dalam sejarah
pengalaman bangsa kita.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
landasan historis pendidikan di Indonesia pada masa kemerdekaan?
2. Bagaimana
landasan historis Pendidikan di Indonesia pada masa orde lama?
3. Bagaimana
landasan historis Pendidikan di Indonesia pada masa orde baru?
4. Bagaimana
perkembangan kebijakan dan praktek pendidikan yang diselenggarakan pada masa
orde lama dan orde baru?
C.
Tujuan
Penulisan
1. Mengetahui
sejarah pendidikan di Indonesia pada masa awal kemerdekaan.
2. Mengetahui
sejarah pendidikan di Indonesia pada masa orde lama.
3. Mengetahui
sejarah pendidikan di Indonesia pada masa orde baru
4. Mengetahui
berbagai kebijakan pemerintah Indonesia pada Masa PJP I.
5. Menumbuhkan
semangat pendidikan sebagaimana sikap para pendahulu dalam menyikapi
perubahan-perubahan sistem yang terjadi pada pendidikan di Indonesia.
D.
Sistematika
Penulisan
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
B. Rumusan
Masalah
C. Tujuan
Penulisan
D. Sistematika
Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A. Pendidikan
Pada Masa Kemerdekaan sampai Orde Lama (1945-1969)
B.
Pendidikan
Pada Masa Orde Baru
C. Pendidikan Pada Masa Pembangunan
Jangka Panjang I
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR
PUSTAKA
E.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pendidikan
Pada Masa Kemerdekaan sampai Orde Lama (1945-1969)
Pada
masa ini, usaha penting dari pemerintah Indonesia pada permulaan adalah tokoh
pendidik yang telah berjasa dalam zaman kolonial menjadi menteri pengajaran.
Dalam kongres pendidikan, Menteri Pengajaran dan Pendidikan tersebut membentuk
panitia perancang RUU mengenai pendidikan dan pengajaran. Hal ini dimaksudkan untuk membentuk sebuah
sistem pendidikan yang berlandaskan pada
ideologi Bangsa Indonesia sendiri.
Pemerintah
Indonesia berupaya melaksanakan pendidikan nasional yang berlandaskan pada budaya bangsa sendiri.
Tujuan pendidikan nasional
adalah untuk menciptakan warga negara yang sosial, demokratis, cakap
dan bertanggung jawab dan siap sedia menyumbangkan tenaga dan pikiran
untuk negara. Praktek pendidikan selepas penjajahan menekankan
pengembangan jiwa patriotisme. Praktek pendidikan tidak bisa
dilepaskan dari lingkungan, baik lingkungan sosial, politik, ekonomi
maupun lingkungan lainnya.
adalah untuk menciptakan warga negara yang sosial, demokratis, cakap
dan bertanggung jawab dan siap sedia menyumbangkan tenaga dan pikiran
untuk negara. Praktek pendidikan selepas penjajahan menekankan
pengembangan jiwa patriotisme. Praktek pendidikan tidak bisa
dilepaskan dari lingkungan, baik lingkungan sosial, politik, ekonomi
maupun lingkungan lainnya.
1. Pendidikan
Masa Kemerdekaan
Tujuan
dari pendidikan zaman kemerdekaan adalah untuk
mengisi tata kehidupan dan pembangunan. Tujuan tersebut mengalami
kendala, yaitu penjajah Belanda ingin menjajah kembali sehingga
kondisi ini menuntut kembali bangsa Indonesia berjuang secara politik dan fisik.
mengisi tata kehidupan dan pembangunan. Tujuan tersebut mengalami
kendala, yaitu penjajah Belanda ingin menjajah kembali sehingga
kondisi ini menuntut kembali bangsa Indonesia berjuang secara politik dan fisik.
Pada
kondisi ini, pemerintah mulai mempersiapkan sistem pendidikan nasional sesuai
amanat UUD 1945. Beberapa bulan setelah proklamasi kemerdekaan Menteri
Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan K) mengeluarkan “Intruksi Umum”
agar para guru membuang sistem pendidikan kolonial dan mengutamakan
patriotisme. Selanjutnya, diawali dengan Kongres Pendidikan, Menteri PP dan K membentuk
Komisi Pendidikan dan komisi ini membentuk Panitia Perancang Undang-Undang
(RUU) mengenai pendidikan dan pengajaran. Karena terganggu dengan pecahnya
perang kolonial kedua, pembahasan RUU di Badan Pekerja Komite Nasional
Indonesia Pusat (BP KNIP) terhenti dan baru dapat dilaksanakan kembali pada
tanggal 29 Oktober 1949. Tanggal 5 April 1950 RUU tersebut diundangkan sebagai
UU RI No.4 Tahun 1950 Tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah.
UU RI No.4 Tahun 1950 ini kemudian diterima oleh DPR pada tanggal 27
Januari1954, kemudian disyahkan oleh pemerintah pada tanggal 12 Maret 1954 dan
diundangkan tanggal 18 Maret 1954 sebagai UU No.12 Tahun 1954 (H.A.R. Tilaar,
1995).
Sekalipun
terjadi pergantian bentuk dan konstitusi negara sebagaimana terjadi pada
tanggal 18 Agustus 1945 PPKI menetapkan UUD 1945 sebagai Konstitusi Negara
hingga pada akhirnya terbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) yang
memberlakukan UUD RIS, Pada saat RIS kembali ke negara kesatuan RI, UUD RIS
diganti dengan UUD Sementara RI atau UU No. 7 Tahun 1950, tetapi pendidikan
nasional Indonesia tetap dilaksanakan sesuai jiwa UUD 1945, dan bahwa UU RI
No.4 Tahun 1950 de fakto digunakan
sebagai pedoman penyelenggaraan pendidikan, pengajaran, kebudayaan untuk
seluruh daerah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam UU No 4/1950 Bab II, pasal,
tujuan pendidikan nasional Indonesia adalah membentuk manusia susila yang cakap
dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan
masyarkat dan tanah air.
a. Struktur persekolahan dan Kurikulum
Pendidikan pada masa awal kemerdekaan
Tata susunan persekolahan sesudah
Indonesia merdeka yang berdasarkan satu jenis sekolah untuk tiga tingkat
pendidikan seperti pada zaman Jepang tetap diteruskan sedangkan rencana
pembelajaran pada umumnya sama dan bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa
pengantar untuk sekolah. Buku-buku pelajaran yang digunakan adalah buku-buku
hasil terjemahan dari bahasa Belanda ke dalam bahsa Indonesia yang sudah
dirintis sejak jaman Jepang. Adapun susunan
persekolahan dan kurikulum yang berlaku sejak tahun 1945-1950 adalah sebagai
berikut:
1) Pendidikan Rendah
Pendidikan yang terendah di
Indonesia sejak awal kemerdekaan yang disebut dengan Sekolah Rakyat (SR) lama
pendidikannya semula 3 tahun. Maksud pendirian SR ini adalah selain
meningkatkan taraf pendidikan pada masa sebelum kemerdekaan juga dapat
menampung hasrat yang besar dari mereka yang hendak bersekolah. Mengingat
kurikulum SR diatur sesuai dengan putusan Menteri PKK tanggal 19 nopember 1946
NO 1153/Bhg A yang menetapkan daftar pelajaran SR dimana tekanannya adalah
pelajaran bahasa berhitung. Hal ini dapat telihat bahawa dari 38 jam pelajaran seminggu,
8 jam adalah untuk bahasa Indonesia, 4 jam untuk bahasa daerah dan 17 jam
berhitung untuk kelas IV< V dan VI. Tercatat sejumlah 24.775 buah SR pada
akhir tahun 1949 pada akhir tahun 1949 di seluruh Indonesia.
2) Pendidikan Guru
Dalam periode antara tahun 1945-1950
dikenal tiga jenis pendidikan guru yaitu:
a) Sekolah Guru B (SGB) lama pendidikan
4 tahun dan tujuan pendidikan guru untuk sekolah rakyat. Murid yang diterima
adalah tamatan SR yang akan lulus dalam ujian masuk sekolah lanjutan. Pelajaran
yang diberikan bersifat umum untuk di kelas I,II,III sedangkan pendidikan
keuruan baru diberikan di kelas IV. Untuk kelas IV ini juga dapat diterima
tamatan sekolah SMP,SPG dipimpin oleh seorang kepala sekolah yang membawahinya
sejumlah guru dan diantaranya merupakan tenaga tidak tetap karena memang sangat
kekuarangan guru tetap. Adapun sistem ujian pelaksanaannya dipecah menjadi dua
yaitu, perta ditempuh di kelas II dan ujian kedua di kelas IV.
b) Sekolah Guru C (SGC) berhubung
kebutuhan guru SR yang mendesak maka terasa perlunya pembukaan sekolah guru
yang dalam tempo singkat dapat menghasilkan. Untuk kebutuhan tersebut didirikan
sekolah guru dua tahun setelah SR dan di kenal dengan sebutan SGC tetapi karena
dirasakan kurang bermanfaat kemudian ditutup kembali dan diantaranya dijadikan
SGB.
c) Sekolah guru A (SGA) karena adanya
anggapan bahwa pendidikan guru 4 tahun belum menjamin pengetahuan cukup untuk
taraf pendidikan guru, maka dibukalah SGA yang memberi pendidikan tiga tahun
sesudah SMP. Disamping Itu dapat pula diterima pelajar-pelajar dari lulusan
kelas III SGB. Mata pelajaran yang diberikan di SGA sama jenisnya dengan mata
pelajaran yang diberikan di SGB hanya penyelenggaraannya lebih luas dan
mendalam.
3) Pendidikan Umum
Ada dua jenis pendidikan Umum yaitu
sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah Tinggi (SMT).
a) Sekolah Menengah Pertama (SMP)
seperti halnya pada zaman jepang, SMP mempergunakan rencana pelajaran yang sama
pula, tetapi dengan keluarnya surat keputusan menteri PPK thun 1946 maka
diadakannya pembagian A dan B mulai kelas II sehingga terdapat kelas II A,IIB,
IIIA dan IIIB. Dibagian A diberikan juga sedikit ilmu alam dan ilmu pasti.
Tetapi lebih banayak diberikan pelajaran bahasa dan praktek administrasi.
Dibagian B sebaliknya diberikan Ilmu Alam dan Ilmu Pasti.
b) Sekolah Menengah Tinggi (SMT),
Kementerian PPK hanya mengurus langsung SMAT yang ada di jawa terutama yang
berada di kota-kota sperti: Jakarta,bandung, semarang, Yogyakarta, Surakarta,
Surabaya dan Cirebon. SMT di Luar Jawa berada di bawah pengawasan pemerintah
daerah berhubung sulitnya perhubungan dengn pusat. SMT merupakan pendidikan
tiga tahun setelah SMP dan setelah lulus dapat melanjutkan ke perguruan tinggi.
Mengenai rencana pelajaran belum jelas, dan yang diberikan adalah rencana
pelajaran dalam garis besar saja. Karena pada waktu itu msaih harus
menyesuaikan dengan keadaan zaman yang masih belum stabil. Demikian rencana
pembelajaran yang berlaku yaitu: (1) isinya memenuhi kebutuhan nasional, (2)
bahasa pengantarnya adalah bahasa Indonesia, (3) mutunya setingkat dengan SMT
menjelang kemerdekaan. Ujian akhir dapat diselenggarakan oleh masing-masing
sekolah selama belum ada ujian negara, tetapi setelah tahun 1947 barulah
berlaku ujian negara tersebut.
4) Pendidikan Kejuruan
Pendidikan kejuruan adalah
Pendidikan ekonomi dan pendidikan kewanitaan.
a) Pendidikan ekonomi
Pada awal kemerdekaan pemerintah baru dapat membuka sekolah
dagang yang lama, pendidikannya tiga tahun sesudah Sekolah Rakyat. Sekolah
dagang ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan tenaga administrasi atau
pembukuan, sedangkan penyelenggaraan sekolah dagang tersebut dilaksanakan oleh
inspektur sekolah dagang.
b) Pendidikan Kewanitaan
Sesudah kemerdekaan pemerintah membuka Sekolah Kepandaian
Putri (SKP) dan pada tahun 1947 sekolah guru kepandaian putri (SGKP) yang lama
pelajaranya empat tahun setelah SMP atau SKP.
5) Pendidikan Teknik
a) Kursus Kerajinan Negeri (KKN),
sekolah/kursus in lamamnya satu tahun lamanya dan merupakan pendidikan teknik
terendah berdasarkan SR enam tahun. KKN terdiri atas jurusan-jurusan: kayu,
besi,anyaman.perabot rumah, las dan batu.
b) Sekolah Teknik Pertama (STP),
bertujuan mendapatkan tenaga tukang yang terampil tetapi disertai dengan
pengetahuan teori. Lama pendidikan ini dua tahun sesudah SR dan terdiri atas
jurusam-jurusan: kayu, batu, keramik, perabot rumah, anyaman, besi ,listrik,
mobil, cetak, tenun kulit, motor, ukur tanah dan cor.
c) Sekolah Teknik (ST), bertujuan
mendidik tenaga-tenaga pengawasan bangunan. Lama pendidikan dua tahun stelah
STP atau SMP bagian B dan meliputi jurusan-jurusan: bangunan gedung, bangunan
air dan jalan, bangunan radio, bangunan kapal, percetakan dan pertambangan.
d) Sekolah Teknik menengah (STM), bertujuan
mendidik tenaga ahli teknik dan pejabat-pejabat teknik menengah. Lama
pendidikan empat tahun setelah SMP bagian B atau ST dan terdiri atas
jurusn-jurusan: bangunnan gedung, bangunan sipil, bangunan kapal, bangunan
mesin, bangunan mesin, bangunan listrik, bangunan mesin kapal, kimia, dan
pesawat terbang.
e) Pendidikan guru untuk
sekolah-sekolah teknik, untuk memenuhi keperluan guru-guru sekolah teknik,
dibuka sekolah/kursus-kursus untuk mendidik guru yang menghasilkan:
(1) Ijazah A Teknik (KGSTP) guna mengajar
dengan wewenang penuh pada STP dalam jurusan: bangunan sipil, mesin, listrik
dan mencetak.
(2) Ijazah B I Teknik (KGST) untuk
mengajar dengan wewenang penuh pada ST/STM kelas I dalam jurusan bangunan
sipil, bangunan gedung-geung dan mesin.
(3) Ijazah B II Teknik guna mengajar
dengan wewenang penuh pada STM dalam jurusan bangunan sipil, bangunan gedung,
mesin dan listrik.
6) Pendidikan Tinggi
Dalam periode 1945-1950 kesempatan
untuk meneruskan studi pendidikan tinggi semakin terbuka lebar bagi warga
negara tanpa syarat. Lembaga pendidikan ini berkembang pesat tetapikarena
adanya pelaksanaannya di lakukan perjuangan fisik maka perkuliahan kerap kali
di sela dengan perjuangan garis depan.
Lembaga pendidikan yang ada adalah
Universitas Gajah Mada, beberapa sekolah tinggi dan akademi di Jakarta (daerah
kependudukan) Klaten, Solo dan Yogyakarta.
7) Pendidikan Tinggi Republik
Sejak awal kemerdekaan di Jakarta
pada waktu merupakan daerah pendudukan Belanda, berdiri sekolah Tinggi
kedokteran sebagai kelanjutan Ika Daigaku zaman Jepang. Pada bulan Nopember
1946 dibuka pula Sekolah Tinggi Hukum serta filsafat dan sastra. Setelah aksi
agresi militer I kedua lembaga pendidikan tinggi terakhir ini di tutup oleh
belanda sehingga secara resmi sudah tidak ada lagi, dengan demikian pendidikan
tinggi waktu itu terpecah menjadi dua yaitu pendidikan tinggi republik dan
Pendidikan tingkat tinggi pendudukan belanda. Tetapi kuliah-kuliah masih
dilanjutkan di rumah-rumah dosen sehingga merupakan semacam kuliah privat.
Sebelum agresi militer I di Malang terdapat pula lembaga pendidikan tinggi
republik, dengan adanya. Demikian pula terdapat sekolah tinggi kedokteran hewan
sekolah tinggi teknik di Bandung dipindahkan ke Yogyakarta.
8) Pendidikan Tinggi di Daerah
Pendudukan Belanda
Atas prakarsa pihak belanda pada
bulan Januari 1946 didirikan suatu universitas darurat (NOOD Universiteit) yang
terdiri dari lima fakultas yaitu fakultas-fakultas kedokteran, hukum, sastra
dan filsafat dan pertanian di jakarta dan fakultas teknik di bandung.
Pada bulan Maret 1947 oleh
pemerintah belanda secaea resmi nama universitas darurat diganti dengan nama
Universitas Indonesia (Universiteit Van Indonesie). Oada Tahun 1947 juga
universitas tersebut di perluas dengan fakultas ilmu pasti dan alam di Bandung,
kedokteran hewan di Bogor, Kedokteran di Surabaya dan Ekonomi di maksar (Ujung
Pandang). Pada Bulan maret 1948 fakutas pertanian di pindahkan ke Bogor.
2. Pendidikan Masa Orde Lama
Secara umum pendidikan orde lama
sebagai wujud interpretasi pasca kemerdekaan di bawah kendali kekuasaan
Soekarno cukup memberikan ruang bebas terhadap pendidikan. Pemerintahan yang
berasaskan sosialisme menjadi rujukan dasar bagaimana pendidikan akan dibentuk
dan dijalankan demi pembangunan dan kemajuan bangsa Indonesia di masa
mendatang. Pada prinsipnya konsep sosialisme dalam pendidikan memberikan dasar
bahwa pendidikan merupakan hak semua kelompok masyarakat tanpa memandang kelas
sosial.
Pada masa ini Indonesia mampu
mengekspor guru ke negara tetangga, dan banyak generasi muda yang disekolahkan
di luar negeri dengan tujuan agar mereka kelak dapat kembali ke tanah air untuk
mengaplikasikan ilmu yang telah mereka dapat. Tidak ada halangan ekonomis yang
merintangi seseorang untuk belajar di sekolah, karena diskriminasi dianggap
sebagai tindakan kolonialisme. Pada saat inilah merupakan suatu era di mana
setiap orang merasa bahwa dirinya sejajar dengan yang lain, serta setiap orang
memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan. Orde lama berusaha membangun
masyarakat sipil yang kuat, yang berdiri di atas demokrasi, kesamaan hak dan
kewajiban antara sesama warga negara, termasuk dalam bidang pendidikan.
Banyak
pemikir-pemikir yang lahir pada masa itu, sebab ruang kebebasan betul-betul
dibuka dan tidak ada yang mendikte peserta didik. Tidak ada nuansa kepentingan
politik sektoral tertentu untuk menjadikan pendidikan sebagai alat negara
maupun kaum dominan pemerintah. Seokarno pernah berkata: “….sungguh alangkah
hebatnya kalau tiap-tiap guru di perguruan taman siswa itu satu persatu adalah
Rasul Kebangunan! Hanya guru yang dadanya penuh dengan jiwa kebangunan dapat
‘menurunkan’ kebangunan ke dalam jiwa sang anak,”
Dari
perkataan Soekarno itu sangatlah jelas bahwa pemerintahan orde lama menaruh
perhatian serius yang sangat tinggi untuk memajukan bangsanya melalui pendidikan.
Di
bawah menteri pendidikan Ki Hadjar Dewantara dikembangkan pendidikan dengan
sistem “among” berdasarkan asas-asas kemerdekaan, kodrat alam, kebudayaan,
kebangsaan, dan kemanuasiaan yang dikenal sebagai “Panca Dharma Taman Siswa”
dan semboyan “ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri
handayani” pada 1950 diundangkan pertama kali peraturan pendidikan nasional
yaitu UU No. 4/1950 yang kemudian disempurnakan (jo) menjadi UU No. 12/1954
tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah. Pada 1961 diundangkan
UU No. 22/1961 tentang Pendidikan Tinggi, dilanjutkan dengan UU No.14/1965
tentang Majelis Pendidikan Nasional, dan UU No. 19/1965 tentang Pokok-Pokok
Sitem Pendidikan Nasional Pancasila. Pada masa akhir pendidikan Presiden
Soekarno, 90 % bangsa Indonesia berpendidikan SD. Kurikulum pendidikan pada
masa Orde Lama sebagai berikut :
a. Rentang Tahun 1945-1968
Kurikulum
pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah dalam bahasa Belanda
“leer plan” artinya rencana pelajaran. Perubahan arah pendidikan lebih
bersifat politis, dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan nasional.
Sedangkan, asas pendidikan ditetapkan Pancasila. Kurikulum yang berjalan saat
itu dikenal dengan sebutan “Rencana Pelajaran 1947”, yang baru dilaksanakan
pada tahun 1950. Orientasi Rencana Pelajaran 1947 tidak menekankan pada
pendidikan pikiran. Yang diutamakan adalah pendidikan watak, kesadaran bernegara dan
bermasyarakat.
Pada
masa tersebut siswa lebih diarahkan bagaimana cara bersosialisasi dengan
masyarakat. Proses pendidikan sangat kental dengan kehidupan sehari-hari. Aspek
afektif dan psikomotorik lebih ditekankan dengan pengadaan pelajaran kesenian
dan pendidikan jasmani. Oleh karena itu, yang lebih penting adalah bagaimana
menumbuhkan kesadaran bela negara.
b. Rencana Pelajaran Terurai 1952
Kurikulum
ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut “Rencana Pelajaran Terurai
1952”. Silabus mata pelajarannya jelas sekali, dan seorang guru mengajar satu
mata pelajaran. Pada masa ini memang kebutuhan peserta didik akan ilmu
pengetahuan lebih diperhatikan, dan satuan mata pelajaran lebih dirincikan.
Namun, dalam kurikulum ini siswa masih diposisikan sebagai objek karena guru
menjadi subjek sentral dalam pentransferan ilmu pengetahuan. Guru yang
menentukan apa saja yang akan diperoleh siswa di kelas, dan guru pula yang
menentukan standar-standar keberhasilan siswa dalam proses pendidikan.
c. Kurikulum 1964
Fokus
kurikulum 1964 adalah pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan
moral (Panca wardhana). Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok
bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keterampilan, dan
jasmaniah. Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan
fungsional praktis. Pada kurikulum 1964 ini, arah pendidikan mulai merambah
lingkup praksis. Dalam pengertian bahwa setiap pelajaran yang diajarkan
disekolah dapat berkorelasi positif dengan fungsional praksis siswa dalam
masyarakat.
Dalam
masa transisi yang singkat RIS menjadi RI tidak memungkinkan pemerintah
melaksanakan pendidikan dan pengajaran yang komprohensif yang berlaku untuk
seluruh tanah air. Belanda meninggalkan sekolah kolonial di daerah yang
dikuasai oleh pemerintah RI telah mulai dilaksanakan sistem pendidikan
pendidikan yang direncanakan akan berlaku secara nasional dengan segala
kemampuan yang terbatas.
Setelah
RIS terbentuk pada bulan Desember 1949 pemerintah RIS dan pemerintah RI yang
menjadi inti dari negara kesatuan dan mempunyai aparat relatif paling lengkap
menandatangani suatu “Piagam Persetujuan Pemerintah Republik Indonesia Serikat
dan Pemerintah Republik Indonesia”. Piagam ini ditanda tangani oleh Perdana
Menteri Republik Indonesia Drs. Moh Hatta dan perdana menteri Republik
Indonesia Dr. A Halim pada tanggal 19 Mei 1950.
Atas
dasar piagam ini ada kaitan khusus dengan penyelenggraan pendidikan dan
pengajaran Kementerian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan RIS dan Kementerian
Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan RI mengadakan “pengumuman Bersama pada
tanggal 30 Juni 1950 yang bertujuan untuk sementara tahun ajaran 1950/1951
sistem pengajaran yang berlaku dalam RI dahului berlaku untuk seluruh Indonesia
sampai sistem itu ditinjau kembali. Pelaksanaan UU Pokok Pendidikan dan Pengajaran
Mengenai
pelaksanaan UU No 4 tahun 1950 (juncto UU no 12 tahun 1954) dapat dilihat pada
beberapa jenis pendidikan dan kegiatannya yaitu:
1) Pendidikan Jasmani
Di
indonesia departemen olahraga mengejar prestasi olahraga. Sikap ambivalensi ini
dapat dilihat dari UGM yang memasukkan jurusan pendidikan jasmani dalam
fakultas sastar. Pendagogik dan filsafat yang berarti dalam ilmu kerohanian
(Geiisteswissenshafft). Di UI yang aakademi pendidian jasamaninya ada di
bandung dimasukkan dalam fakultas kedokteran artinya digolongkan dalam ilmu
alam (naturrwissenchafft)
2) Pendidikan Orang Dewasa
Pendidikan
orang dewasa ini lebih dikenal dengan pendidikan masayarakat yang
diselenggarakan oleh jawatan pendidikan masyarakat. Kegiatan pendidikan
masyarakat ditentukan menurut kebjakan pemerintah berdasarkan atas surat
keputusan menteri PP dan K tanggal 15 Februari 1961 Nomor 4223/Kab. Dalam pasal
17 disebutkan:
a) Merencanakan, memimpin, menggiatkan
dan mengawasi pemberantasan buta huruf.
b) Merencanakan, memimpin, menggiatkan
dan mengawasi pengetahuan umum
c) Mengusahakan buku-buku untuk mengisi
perpustakaan rakyat.
d) Mengikuti dan mrmbantu perkembanagan
gerakan pramuka
e) Mengusahakan buku-buku pimpinan dan
pelajaran untuk pemberantasan buta huruf, serta buku-buku dan majalah-majalah
untuk memelihara dan memperdalam kecakapan membaca dan menulis
f) Memimpin dan mengawasi pendidikan
jasmani di luar sekolah
g) Menyelenggarakan kursus-kursus kader
untuk pendidikan masyarakat.
h) Memajukan dan membantu gerakan
kepanduan
i)
Membantu
inisiatif masyarakat untuk memajukan kaum wanita.
Pada bulan Agustus 1955 diadakan
konferensi Pendidikan masyarakat yang telah membuat keputusan: “mengusahakan
memelihara hubungan baik dan sehat dengan masyarakat dan instansi/ badan-badan
yang mempunyai tugas sama/sejenis dalam pembinaan dan pembangunan masyarakat
atas dasr pekerjaaan terhadap pejabat-pejabat dan instansi-instansi pendidikan
masyarakat.
3) Pendidikan Luar Biasa
Berdasarkan
surat keputusan menteri PP dan K nomor /Kab. Tanggal 9 Agustus 1953 jawatan
pengajaran membentuk sebuah instansi urusan Pendidikan Luar Biasa yang bertugas
“mengatur, mengurus dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan luar bias di
Indonesia”. Inspeksi pendidikan guru pun mempunyai “inspeksi sekolah guru luar
biasa” yang ditandatangani oleh Pendidikan Luar Biasa ini ilaha para tuna
netra, tuna rungu, tuna wicara dan lemah ingatan bahkan anak-anak cacad tubuh
seperti Yayasan Pemeliharaan Anak-Anak Cacad dari Dr. Soeharso. Kebanyakan
pendidikan semacam ini banyak dikelola oleh yayasan-yayasan sedangkan
pemerintah turut memberi bantuan material, fungsional dan tenaga pengajar.
4) Pendidikan Guru
Pada
tahun 1951 jawatan pengajaran telah membuat rencana 10 tahun kewajiban belajar.
Diperkirakan pada tahun itu jumlah anak yang bersekolah kira-kira sebesar
5.921.200. Untuk itu diperkirakan diperlukan tenaga guru sebesar 118.424 orang.
Untuk maksud tersebut diperlukan pengadaan guru yamg amat mendesak. Sehubungan
dengan itu kementerian PP dan K melalui kerjasama PGRI menyelenggarakan
pendidikan guru darurat yaitu berupa kursus-kursus yang berbnetuk kursuss
pengajar untuk kursusu pengantar kewajiban balajar atau di singkat KPKPKB. Di
setiap kabupaten terdapat dua KPKPKB dengan masing-masing murid 80 orang.
5) Pendidikan kejuruan
Setelah
Indonesia merdeka pendidikan kejuruan masih elatif terbelakang dibandingkan
debgabn pendidikan umum. Kendala-kendalanya anrara lain karena pendidikan umum
masih menjanjikan kemungkinan untuk memperolah pendidikan setinggi-tingginya
disamping itu lowongan pekerjaan ketika itu masih terbuka. Selain itu peralatan
tidak mencukupi, tenaga pengajar kurang dan pemahaman masyarakat sendiri
terhadap manfaat pendidikan kejuruan itu belum banyak sehingga mereka enggan
menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah kejuruan.
Sehubungan
dengan kurangnya alat pendidikan maka pada tahun 1951 pemerintah dengan bantuan
luar negeri mencoba memesan alat-alat untuk sekolah teknik, tetapi setelah
bantuan ada pelaksaaannya tidak lancar karena tidak ada tenaga yang
menggunakannya dan infrastruktur berupa gedung masih belum tersedia.
6) Pendidikan wanita
UU
Nomor 4 tahun 1950 membuka kesempatan seluas-luasnya bagi para kaum wanita
untuk mengikuti semua jenis dan jenjang pendidikan sehiingga dapat menjamin
kehidupan mereka dalam masyarakat sebagai WNI yang sederajat dengan kaum pria.
Sehubungan dengan itu selain sekolah-sekoah umum yang dapat diikuti oleh kaum
wanita sampai ke jenjang setinggi-tingginya. Ketika itu pemerintah
menyelenggarakan pula pendidikan-pendidikan kejuruan wanita seperti Sekolah
Kepandaian Puteri (SKP) dan Sekolah Guru kepandaian Puteri (SGKP). Di SKP
dibuka kejuruan-kejuruan seperti menjahit, memasak, kerajianan tangan, memimpin
rumah tangga, mengasuh anak.
7) Pendidikan Agama
Berdasarkan
peraturan bersama Menteri PP dan K dan Menteri Agama maka di setiap sekoah
rendah dan sekolah lanjutan (umum dan kejuruan) diberi pendidikan agama
sebanyak dua minggu sekali saejak di kelas IV kecuali untuk lingkungan istimewa
diberikan sejak kelas I. Pendidikan agama diberikan menurut agama murud
masing-masing. Guru-guur agama diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama
serta biaya pendidikan di tanggung oleh kementerian agama. Yang nantinya sistem
ini juga berlaku di sekolah-sekolah swasta jika pengurusnya mengkehendakinya
dan orang tua murid memintanya.
8) Pendidikan Tinggi
Dalam
rangka pelaksanaan UU darurat Nomor 7 Ferbruari 1950, dibentuklah Universitas
Indonesia dengan Ir. Surachman sebagai presiden (rektor) Universitas ini
merupakan gabungan anatara balai Perguruan Tinggi Republik Indonesia dengan
Universiteit van Indonesie, termasuk cabang-cabangnya dari berbagai fakultas di
Bogor, Bandung, Surabaya dan Makasar.
9) Pendidikan Swasta
Pada
zaman koonial Belanda mengijinkan berdiri sekolah-sekolah swata yang
diselenggarakan oleh misi katolik dan zending Protestan. Namun demikian
terhadap masyarakat islam yang sejak lama mempunyai lembaga-lembaga pendidikan
tersendiri seperti madrasah-madrasah, pemerintah kolonial melakukan kebijakan
politik van onthouding (politik tidak campur).
Dalam
masa kemerdekaan terutama dalam periode antara tahun 1950-1959 bermunculan
sekolah swasta, baik yang baru berdri ataupun melanjutkan kembali
sekolah-sekolah swata yang pernah ada sebelumnya. Sekolah-sekolah swata itu
tidak ahnya atas dasar agama isalam seperti Muhamadiyah tetapi juga atas dasar
aagama protestan dan katolik.
Meskipun
ada lembaga pendidikan dari berbagai bidang dan jenjang pendidikan yang
diselenggarakan oleh pihak swata ini, pemerintah PP dan K tetap melakukan tugas
koordinasi. Selain memberikan subsidi untuk sekolah swata yang belum memenuhi
syarat, pemerintah juga menyediakan tenaga-tenaga pengajar untuk diperbantukan.
B. Pendidikan
Pada Masa Orde Baru
Orde
baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998, dan dapat dikatakan sebagai era
pembangunan nasional. Dalam bidang pembangunan pendidikan, khususnya pendidikan
dasar, terjadi suatu loncatan yang sangat signifikan dengan adanya Instruksi
Presiden (Inpres) Pendidikan Dasar. Pelaksanaan pendidikan pada masa orde baru ternyata
banyak menemukan kendala, karena pendidikan orde baru mengusung ideologi
“keseragaman” sehingga memampatkan kemajuan dalam bidang pendidikan. EBTANAS,
UMPTN, menjadi seleksi penyeragaman intelektualitas peserta didik.
Beberapa hal negatif lain yang tercipta
pada masa ini adalah:
1. Produk-produk
pendidikan diarahkan untuk menjadi pekerja. Sehingga, berimplikasi pada
hilangnya eksistensi manusia yang hidup dengan akal pikirannya (tidak
memanusiakan manusia).
2. Lahirnya kaum
terdidik yang tumpul akan kepekaan sosial, dan banyaknya anak muda yang
berpikiran positivistik
3. Hilangnya
kebebasan berpendapat.
Pemerintah orde baru yang dipimpin oleh Soeharto
megedepankan motto “membangun manusia Indonesia seutuhnya dan Masyarakat
Indonesia”. Pada masa ini seluruh bentuk pendidikan ditujukan untuk
memenuhi hasrat penguasa, terutama untuk pembangunan nasional. Siswa sebagai
peserta didik, dididik untuk menjadi manusia “pekerja” yang kelak akan
berperan sebagai alat penguasa dalam menentukan arah kebijakan negara.
Pendidikan bukan ditujukan untuk mempertahankan eksistensi manusia, namun untuk
mengeksploitasi intelektualitas mereka demi hasrat kepentingan penguasa.
1.
Jenis dan Jenjang pendidikan
a.
Pendidikan Dasar
Berdasarkan
UU No.2/1989 yang pelaksanaannya diatur oleh peraturan pemerintah No.28 tahun
1990, pendidikan dasar adalah pendidikan umum yang lamanya Sembilan tahun,
diselenggarakan selama enam tahun di Sekolah Dasar (SD) dan tiga tahun di
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau satuan pendidikan yang sederajat.
Bentuk
satuan pendidikan dasar yang menyelenggarakan pendidikan program enam tahun
terdiri atas Sekolah Dasar (umum) dan Sekolah Dasar Luar Biasa. Bentuk satuan
pendidikan dasar yang menyelenggarakan pendidikan program tiga tahun sesudah
program enam tahun terdiri atas Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa (SLTPLB).
Di samping
bentuk diatas terdapat pula bentuk satuan pendidikan dasar yang berciri khas
agama Islam yang diselenggarakan oleh Departemen Agama, yakni Madrasah
Ibtidaiyah setingkat Sekolah Dasar dan Madrasah Tsanawiyah setingkat Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama.
b.
Pendidikan Menengah
Pendidikan
menengah adalah pendidikan yang diselenggarakan bagi lulusan pendidikan dasar.
Jenis-jenis pendidikan menengah meliputi pendidikan menengah umum, pendidikan
menengah kejuruan, pendidikan menengah keagamaan, pendidikan menengah
kedinasan, pendidikan menengah luar biasa.
Satuan
pendidikan menengah umum terdiri dari Sekolah Menengah Umum (SMU) dan Madrasah
Aliyah (MA).
Satuan
pendidikan menengah kejuruan adalah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Program
pendidikan SMK terdiri atas enam kelompok, yaitu: (1). Kelompok pertanian dan
Kehutanan; (2). Kelompok Teknologi dan Industri; (3). Kelompok Bisnis dan
Manajemen; (4). Kelompok Kesejahteraan Masyarakat; (5). Kelompok Pariwisata;
dan (6). Kelompok Seni dan Kerajinan.
c.
Pendidikan Tinggi
Pendidikan
tinggi merupakan kelanjutan pendidikan menengah di jalur pendidikan sekolah,
yang terdiri atas pendidikan akademik dan pendidikan professional. Pendidikan
akademik terutama diarahkan pada penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan
kesenian sedangkan pendidikan professional lebih diarahkan terutama pada
kesiapan penerapan keahlian tertentu.
d.
Pendidikan Luar Biasa
Pendidikan
Luar Biasa (PLB) adalah pendidikan yang khusus diselenggarakan bagi peserta
didik yang menyandang kelainan fisik dan/atau mental. PLB bertujuan membantu
peserta didik yang menyandang kelainan fisik dan/atau mental, prilaku dan
sosial agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan dan ketrampilan sebagai
pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbale balik
dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar serta dapat mengembangkan
kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan.
Bentuk
satuan pendidikan luar biasa yang diatur dalam UU No.2/1989 adalah Taman
Kanak-kanak Luar Biasa (TKLB) dengan lama pendidikan satu sampai tiga tahun,
Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) dengan lama pendidikan sekurang-kurangnya enam
tahun, Sekolah Lanjutan Pertama Luar Biasa (SLPLB) dengan lama pendidikan
sekurang-kurangnya tiga tahun, dan Sekolah Menengah Luar Biasa (SMLB) dengan
lama pendidikan sekurang-kurangnya tiga tahun.
e. Pendidikan
Prasekolah
Pendidikan
prasekolah bertujuan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan
rohani anak didik di luar lingkungan keluarga sebelum memasuki pendidikan
dasar, yang diselenggarakan di jalur pendidikan sekolah atau luar sekolah.
Penyelenggaraan pendidikan prasekolah adalah untuk membantu meletakkan dasar ke
arah perkembangan sikap, pengetahuan, ketrampilan, dan daya cipta yang
diperlukan oleh anak didik dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan
untuk pertumbuhan serta perkembangan selanjutnya, meskipun pendidikan
prasekolah bukan merupakan persyaratan masuk SD.
Bentuk
satuan pendidikan prasekolah diantaranya adalah Taman Kanak-kanak (TK),
Kelompok Bermain dan Penitipan Anak. Disamping bentuk satuan pendidikan
tersebut terdapat pula bentuk satuan pendidikan prasekolah yang berciri khas
agama Islam yang setingkat Taman Kanak-kanak yang disebut Bustanul Atfal (BA)
atau Raudlatul Atfal (RA).
f.
Pendidikan Luar Sekolah
Pendidikan
Luar Sekolah (PLS) adalah pendidikan yang diselenggarakan di luar sistem
persekolahan melalui kegiatan belajar-mengajar yang tidak harus berjenjang dan
berkesinambungan. Ciri yang membedakan pendidikan luar sekolah dengan
pendidikan sekolah adalah keluwesan program pendidikannya berkenaan dengan
waktu dan lama belajar, usia peserta didik, isi pelajaran, cara penyelenggaraan
dan cara penilaian hasil belajar.
Satuan
pendidikan luar sekolah meliputi keluarga, kelompok belajar, kursus misalnya
kursus computer dan satuan pendidikan yang sejenis. Pendidikan keluarga
merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam
keluarga yang memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral dan
ketrampilan.
2.
Program Wajib Belajar
Program
Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun mengusahakan agar setiap warga Negara
Indonesia yang berusia 7-15 tahun dapat mengikuti pendidikan sampai SLTP atau
yang sederajat sampai tamat. Pemerintah membuka peluang yang seluas-luasnya
bagi semua peserta didik yang telah memenuhi persyaratan untuk memenuhi jenjang
pendidikan dasar.
Program
wajib belajar pendidikan dasar di Indonesia lebih bersifat pendidikan semesta (Universal
Education), yaitu berusaha membuka kesempatan belajar dengan menumbuhkan
aspirasi pendidikan orang tua dan peserta didik yang telah cukup umur untuk
mengikuti pendidikan. Dengan demikian, wajib belajar pendidikan dasar Sembilan
tahun di Indonesia mengutamakan : (1). Pendekatan Persuasif, (2). Tanggung
jawab moral orang tua dan peserta didik agar merasa terpanggil untuk mengikuti
pendidikan karena berbagai kemudahan yang disediakan, (3). Pengaturan tidak
dengan undang-undang sendiri, dan (4). Penggunaan ukuran keberhasilan yang
bersifat makro, yaitu peningkatan angka partisipasi pendidikan dasar.
Dalam
rangka penuntasan wajib belajar 9 tahun, pemerintah menentukan berbagai pola
wajib belajar. Melalui pola wajib belajar ini digunakan berbagai alternative
pendidikan, baik melalui pendidikan di sekolah maupun di luar sekolah. Bentuk
satuan pendidikan untuk membantu menuntaskan wajib belajar tersebut terdiri
dari 10 wahana dan empat rumpun baik di tingkat SD maupun SLTP sebagai berikut.
Di tingkat SD terdapat 10 wahana yang terbagi dalam empat rumpun, yaitu: rumpun
SD biasa, rumpun sekolah luar biasa, rumpun pendidikan luar sekolah dan rumpun
sekolah keagamaan. Pada SLTP terdapat 10 wahana yang terbagi dalam empat
rumpun, yaitu: rumpun SLTP biasa, rumpun SLTP luar biasa, rumpun pendidikan
luar sekolah dan rumpun sekolah keagamaan.
3.
Sistem Evaluasi atau Penilaian
Sistem
penilaian terdiri dari dua bagian yang pertama adalah teknik penilaian dan yang
ke dua berisi pedoman dalam penentuan kenaikan kelas, pemberian STTB dan
penerimaan murid baru kelas satu. Sistem penilaian tersebut isinya meliputi tujuan
dan fungsi penilaian, jenis penilaian (formatif, sumatif, penempatan dan
diagnostik), cara dan teknik penilaian, alat penilaian (tes hasil belajar, tes
bakat, khusus tes intelegensi, angket, pedoman wawancara dan lembaran
pengamatan) dan cara mengolah hasil penilaian.
4.
Kurikulum
Kurikulum-kurikulum
yang digunakan pada masa orde baru yaitu sebagai berikut:
a. Kurikulum 1968
Kurikulum 1968 menekankan pendekatan
organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar,
dan kecakapan khusus. Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tidak
mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan.
Pada masa ini siswa hanya berperan
sebagai pribadi yang masif, dengan hanya menghapal teori-teori yang ada, tanpa
ada pengaplikasian dari teori tersebut. Aspek afektif dan psikomotorik tidak
ditonjolkan pada kurikulum ini. Praktis, kurikulum ini hanya menekankan
pembentukkan peserta didik hanya dari segi intelektualnya saja.
b. Kurikulum 1975
Kurikulum 1975
menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efektif dan efisien berdasar MBO
(management by objective). Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci
dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), yang dikenal
dengan istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan.
Setiap satuan pelajaran dirinci menjadi : tujuan instruksional umum
(TIU), tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran,
kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi.
Pada kurikulum
ini peran guru menjadi lebih penting, karena setiap guru wajib untuk membuat
rincian tujuan yang ingin dicapai selama proses belajar-mengajar berlangsung.
Tiap guru harus detail dalam perencanaan pelaksanaan program belajar mengajar.
Setiap tatap muka telah di atur dan dijadwalkan sedari awal. Dengan kurikulum
ini semua proses belajar mengajar menjadi sistematis dan bertahap.
c. Kurikulum 1984
Kurikulum 1984
mengusung “process skill approach”. Proses menjadi lebih
penting dalam pelaksanaan pendidikan. Peran siswa dalam kurikulum ini menjadi
mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini
disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL).
CBSA memposisikan guru sebagai fasilitator, sehingga bentuk kegiatan ceramah
tidak lagi ditemukan dalam kurikulum ini. Pada kurikulum ini siswa diposisikan
sebagai subjek dalam proses belajar mengajar. Siswa juga diperankan dalam
pembentukkan suatu pengetahuan dengan diberi kesempatan untuk mengemukakan
pendapat, bertanya, dan mendiskusikan sesuatu.
d. Kurilukum 1994
Kurikulum 1994
merupakan hasil upaya untuk memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya, terutama
kurikulum 1975 dan 1984. Pada kurikulum ini bentuk opresi kepada siswa mulai
terjadi dengan beratnya beban belajar siswa, dari muatan nasional sampai muatan
lokal. Materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing,
misalnya bahasa daerah kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain.
Berbagai
kepentingan kelompok-kelompok masyarakat juga mendesak agar isu-isu tertentu
masuk dalam kurikulum. Akhirnya, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum
super padat. Siswa dihadapkan dengan banyaknya beban belajar yang harus mereka
tuntaskan, dan mereka tidak memiliki pilihan untuk menerima atau tidak terhadap
banyaknya beban belajar yang harus mereka hadapi.
C.
Pendidikan Pada Masa Pembangunan
Jangka Panjang I
Pelaksanaan Pelita I PJP I dicanangkan
mulai 1 April 1969, maka pada tanggal 28-30 April 1969 pemerintah Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan mengumpulkan 100 orang pakar/pemikir pendidikan di
Cipayung untuk melakukan konferensi dalam rangka: 1) mengidentifikasi
masalah-masalah pendidikan nasional, dan 2) menyusun suatu prioritas pemecahan
dari berbagai masalah tersebut, serta mencari alternatif pemecahannya.
Salah satu hasil konferensi Cipayung itu
ialah lahirnya Proyek Penilaian Nasional
Pendidikan (PPNP) pada tanggal 1 Mei 1969 melalui SK Mendikbud tanggal 26
Mei 1969. Isi SK tersebut ialah bahwa dalam jangka waktu dua tahun (kemudian
diubah menjadi tiga tahun) PPNP harus sudah berhasil menyusun strategi pendidikan
nasional. Hasil kerja PPNP dimanfaatkan oleh Badan Pengembangan Pendidikan atau BPP (sekarang BALITBANG)
Depdikbud yang didirikan melalui Keputusan Presiden No. 84/1969 tanggal 18
Oktober 1969. Hasil kerja PPNP dijadikan dasar perencanaan pendidikan yang
lebih baik untuk Pelita II serta telah meletakkan dasar-dasar perencanaan
pendidikan untuk Pelita-Pelita selanjutnya. Dengan hasil kerja PPNP inilah
pembangunan pendidikan untuk PJP I mulai dimantapkan.
Di dalam rumusan-rumusan kebijakan pokok
pembangunan pendidikan selama PJP I terdapat beberapa kebijakan yang terus
menerus dikemukakan, yaitu:
1.
Relevansi pendidikan
2.
Pemerataan pendidikan
3.
Peningkatan mutu guru atau tenaga
kependidikan
4.
Mutu pendidikan
5.
Pendidikan kejuruan
Selain kebijakan pokok tersebut terdapat
pula beberapa kebijakan yang perlu mendapat perhatian kita, yaitu:
1.
Kebijakan untuk meningkatkan partisipasi
masyarakat di dalam bidang pendidikan.
2.
Pengembangan sistem pendidikan yang
efisien dan efektif.
3.
Dirumuskan dan di syahkannya UU RI No. 2
Tahun 1989 tentang “Sistem Pendidikan Nasional” sebagai pengganti UU pendidikan
lama yang telah diundangkan sejak tahun 1950.
1. Tujuan
pendidikan Nasional.
Sesuai dengan Tap MPRS No.
XXVI/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan dan Kebudayaan, maka dirumuskan bahwa Tujuan
Pendidikan adalah untuk membentuk
manusia Pancasilais sejati berdasarkan Pembukaan UUD 1945 dan isi UUD 1945.
Selanjutnya dalam UU No. 2 Tahun 1989 ditegaskan lagi bahwa pendidikan nasional
bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia
Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan
Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan,
kesehatan jasmani dan rohani, berkepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa
tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
2. Kurikulum
Pendidikan
Dalam PJP I telah dilakukan tiga kali
perubahan kurikulum pendidikan (sekolah), yaitu apa yang dikenal sebagai:
Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, dan Kurikulum 1984.
Didalam kurikulum 1968 dirumuskan bahwa
tujuan pendidikan ialah membentuk manusia Pancasilais sejati. Isi pendidikannya
ialah untuk mempertinggi moral, akhlak dan keyakinan agama, mempertinggi
keterampilan dan kecerdasan, dan mempertinggi mutu kesehatan fisik yang kuat.
Namun demikian, salah satu ciri utama kurikulum 1968 ini yaitu organisasi
kurikulumnya masih berorientasi kepada bahan/mata pelajaran. Dengan mengacu
kepada Tap MPR No. II/MPR/1973 tentang GBHN dan dengan menampung berbagai hasil
percobaan dalam bidang pendidikan waktu itu, maka kurikulum 1968 diperbaharui
dengan kurikulum 1975. Kurikulum 1975 dikembangkan dengan menggunakan Prosedur
Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), yang selanjutnya dijabarkan ke dalam
Satuan Pelajaran atau Bahan belajar mandiri. Ciri utama kurikulum 1975 yaitu
organisasi kurikulumnya yang berorientasi kepada tujuan pendidikan, menekankan
CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) dan konsep belajar tuntas. Memang dalam
pelaksanaan kurikulum 1975 ini hirarki tujuan pendidikan menjadi jelas, namun demikian
kurikulum ini masih bersifat sentralistik.
Dengan lahirnya Tap MPR No. II/MPR/1983
tentang GBHN, dan berbagai masukan dari Komisi Pembaharuan Pendidikan Nasional
(KPPN), kurikulum 1975 diperbaharui lagi dengan kurikulum 1984. Hasil percobaan
di Cianjur tentang CBSA lebih memantapkan penyusunan kurikulum tersebut. Pada
tingkat SMA, kurikulum ini terdiri atas Program Inti dan Program Pilihan. Juga
dibedakan antara Program A untuk jalur akademik dan Program B untuk siswa yang
tidak melanjutkan ke pendidikan tinggi sehingga memperoleh program-program
latihan kekaryaan. Sayang sekali kurikulum ini tidak dapat dilaksanakan
sepenuhnya, seperti Program B tidak dapat dilaksanakan karena keterbatasan
tenaga maupun biayanya. Selain itu Kurikulum 1984 juga masih bersifat sentralistik. Contoh kekurangan tenaga
antara lain ditunjukkan oleh hasil penelitian Konsorsium Ilmu Pendidikan bahwa
40% guru SMP dan 33% guru SMA mengajarkan mata pelajaran di Luar bidang
keahliannya. Demikian pula bahwa kurikulum tersebut tidak didesiminasikan ke
LPTK-LPTK sehingga calon-calon guru tidak mengetahui apa sebenarnya isi
kurikulum 1984.
3. Kurikulum
Pendidikan Kejuruan
Dalam Pelita I selain penyempurnaan sistem
sekolah kejuruan, juga ditingkatkan mutu pendidikannya terutama guru dan
laboratoriumnya. Dengan dana pinjaman Bank Dunia diadakan berbagai usaha untuk
meningkatkan pendidikan teknik menengah. Beberapa STM ditingkatkan, juga
membangun apa yang disebut Sekolah Teknik Menengah Pembangunan, diadakan
bengkel-bengkel latihan pusat yang dapat digunakan beberapa STM termasuk STM
swasta. Usaha perbaikan kurikulum terus menerus dilakukan, baik melalui dana
pinjaman dari ADB (Asian Development Bank),
juga bantuan teknis dari Negara-negara sahabat, seperti Australia, Swiss, dan
Austria. Memang dengan usaha-usaha itu beberapa STM atau pusat pelatihan tenaga
teknik seperti yang ada di Bandung dengan bantuan pemerintah Australia telah
dapat menjembatani hubungan antara kurikulum STM atau pusat pelatihan tenaga
teknik dengan dunia industri yang berada disekitarnya. Namun berbagai usaha
tersebut secara keseluruhan belum dapat memenuhi kebutuhan baik mengenai jumlah
sekolah kejuruan maupun mutunya. Kurikulum sekolah kejuruan terasa masih
terlalu banyak mata pelajaran teorinya dan masih terbatas latihan-latihan
prakteknya yang justru sangat diperlukan. Peningkatan mutu kurikulum sekolah
kejuruan tersebut mengalami kesulitan antara lain juga karena dunia industri
kita pada saat itu masih belum menyadari pentingnya kaitan antara sekolah
kejuruan dengan sekolah kerja (H.A.R. Tilaar, 1995).
4. Kurikulum
Pendidikan Tinggi (PT).
Usaha-usaha untuk meningkatkan mutu
pendidikan tinggi termasuk kurikulumnya juga telah dilaksanakan selama PJP I.
Salah satu usahanya adalah dengan mengganti sistem kontinental dengan sistem anglo
saxis, yaitu dengan penerapan sistem kredit semester (sistem SKS) pada
pertengahan tahun 1970-an. Maksudnya adalah untuk meningkatkan efisiensi
internal dari PT yang pada saat itu memang sangat rendah. Selain Sistem SKS,
juga mata-mata kuliah yang diajarkan dikaji dan disesuaikan dengan kemajuan
ilmu dan teknologi. Dalam rangka inilah dibentuk apa yang disebut konsorsium
perguruan tinggi menurut program studi yang disajikan di PT.
5. Sarana,
Prasarana Pendidikan.
Perkembangan pendidikan di Indonesia
selama PJP I secara kuantitatif merupakan fenomena yang menakjubkan, bukan
hanya bagi kita sendiri tetapi juga bagi dunia luar. Secara akumulatif
pertumbuhan rata-rata siswa SD selama PJP I sekitar 50% per tahun, SLTP 150%,
SLA 220%, dan Perguruan Tinggi (PT) 320%. Angka partisipasi kasar SD dari 64%
pada permulaan PJP I menjadi 99,7% pada akhir PJP I; SMTP dari 16,9% menjadi
66,7%; SMTA dari 8,6% menjadi 45,1%; dan PT dari 1% menjadi 11% (H.A.R. Tilaar,
1995).
Pertumbuhan jumlah siswa/mahasiswa di
berbagai jenjang dan jenis pendidikan tersebut tentu saja disertai pula dengan
penambahan prasarana dan sarana pendidikan. Antara lain : gedung-gedung sekolah
baru, penambahan ruang belajar, buku-buku pelajaran, pengadaan sarana-sarana
pembantu proses belajar-mengajar, pembangunan sarana fisik Perguruan Tinggi,
dan pembangunan sarana pendidikan dasar melalui Inpres Pembangunan SD.
Prasarana dan sarana pendidikan memang telah banyak dibangun selama PJP I,
namun demikian pengadaan prasarana dan sarana pendidikan tersebut ternyata
masih belum dapat memenuhi kebutuhan.
6. Wajib
Belajar
Melalui program pembangunan diatas, dan
dengan dicanangkannya Wajib Belajar Sekolah Dasar sejak tanggal 2 Mei 1984,
maka pada akhir Pelita II kesempatan belajar anak-anak usia 7-12 tahun praktis
dicapai, walaupun tentunya masih terdapat sejumlah anak-anak yang hidup
terpencil, anak-anak luar biasa, maupun putus sekolah yang masih harus
dituntaskan di dalam pembangunan selanjutnya (pada tahun 1988/1989 atau akhir
Pelita IV angka partisipasi SD telah mencapai 99,6% dari jumlah anak usia 7-12
tahun yaitu 30.182.900 anak). Wajib Belajar SD Enam Tahun pada Pelita V telah
diperluas dengan perintisan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun.
Sebab itulah UNESCO pada tahun 1994 menganugerahkan Bintang Aviciena kepada Presiden Republik Indonesia sebagai
pengakuan peranan pemerintah Indonesia dalam memajukan pendidikan rakyat
(H.A.R. Tilaar, 1995).
7. Tenaga
Kependidikan dan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK).
Berkenaan dengan hal ini dalam PJP I
antara lain terdapat dua masalah pokok, yaitu:
a. Kekurangan
tenaga pengajar yang berwenang pada semua jenis dan tingkat pendidikan. Salah
satu contohnya adalah pada tahun 1989/1990 untuk SD terdapat kekurangan tenaga
hampir 600.000 orang. Ditambah lagi dengan kualifikasi guru SD banyak yang
belum memenuhi persyaratan. Untuk SLTP dan SLTA masalahnya berlainan, walaupun
secara makro terdapat kelebihan guru, tetapi dalam kenyataannya terdapat
kekurangan guru yang parah karena memusatnya para guru di kota-kota. Selain itu
banyak mata pelajaran yang tenaga gurunya tidak mencukupi.
b. Masalah
peningkatan mutu Tenaga Kependidikan dan LPTK.
Dalam PJP I telah
diambil keputusan untuk meningkatkan kualifikasi guru SD dengan Diploma I dan
II, guru SMP dengan D III dan untuk SMA semakin lama semakin dipegang oleh
lulusan S1. Berkenaan dengan hal diatas, telah dilakukan pula pembaharuan dalam
bentuk likuidasi SPG dan SGO menjadi program D II Pendidikan Guru Sekolah
Dasar. Untuk PT telah didirikan berbagai Program Pascasarjana (S2, S3) dengan
tujuan utama untuk meningkatkan mutu para dosen PT. Beasiswa dari dalam dan
dari luar negeri telah lama dilaksanakan, demikian pula didirikan beberapa
Pusat Antar Universitas (PAU atau inter-university
center). Selain itu untuk meningkatkan ilmu pendidikan telah didirikan
Konsorsium Ilmu Pendidikan H.A.R. Tilaar, 1995).
8. Pendidikan
Kejuruan, Pelatihan dan Ketenagakerjaan.
Konsep keterkaitan antara pendidikan
nasional dan dunia kerja yang telah dirintis sejak Pelita I dalam
pelaksanaannya pada Pelita-Pelita berikutnya mengalami berbagai hambatan.
Setiap sektor termasuk sektor pendidikan dan tenaga kerja masing-masing
berjalan sendiri-sendiri. Akibatnya terjadilah ketidakserasian antara output
sistem pendidikan nasional dengan kebutuhan tenaga kerja (muncul masalah relevansi atau masalah link and match). Sistem pendidikan telah
menghasilkan tenaga kerja terdidik tetapi tidak terampil, sehingga pengangguran
makin lama semakin besar jumlahnya.
Keadaan diatas menunjukkan adanya
masalah relevansi dan atau kurangnya keterkaitan dan kesepadanan antara output
pendidikan dengan kebutuhan tenaga kerja. Contohnya: terdapat kelebihan lulusan
SLTA kejuruan, tetapi sebenarnya di lapangan terdapat kekurangan yang besar mengenai
tenaga-tenaga tamatan SLTA Kejuruan Teknik.
Terdapat pula masalah koordinasi
mengenai pendidikan kejuruan, pelatihan dan ketenagakerjaan ini, yaitu simpang
siurnya mengenai tanggung jawab pembinaan pendidikan menurut Instruksi Presiden
No. 15 Tahun 1974 (mengenai tugas Menteri Pendidikan, Menteri Tenaga Kerja, dan
Ketua LAN) dengan PP No. 73 Tahun 1991 yang mengacu pada UU RI No. 2 Tahun 1989
yang mengatur tentang Pendidikan Luar Sekolah yang juga mengatur tugas PLS yang
mencakup berbagai jenis pelatihan (kursus). Selain hal diatas, masih dirasakan
perlunya peningkatan partisipasi masyarakat (industry, dsb) dalam rangka
pendidikan dan pelatihan (H.A.R. Tilaar, 1995).
9. Pendidikan
Tinggi
Selama PJP I pemerintah telah melakukan
upaya peningkatan pemerataan pendidikan
tinggi, yaitu melalui pembangunan sarana fisik PTN-PTN serta sarana
penunjang lainnya dengan menggunakan “strategi bertahap bergilir”. Dalam
peningkatan pemerataan PT ini partisipasi PTS begitu besar. Tercatat data bahwa
pada tahun 1993/1994 jumlah PTN hanya 51, sedangkan PTS berjumlah 1035.
Upaya-upaya itu telah memperbesar angka partisipasi pendidikan tinggi. Jika
pada tahun 1968 tingkat partisipasi pendidikan tinggi hanya 1,6% (156.000
orang), maka pada akhir PJP I menjadi 11% (2.491.100 orang).
Peningkatan angka partisipasi pendidikan
tinggi memang cukup menggembirakan, sekalipun jika dibandingkan dengan di
Negara lain masih jauh tertinggal. Namun demikian relevansi dan mutu pendidikan
tinggi masih perlu terus ditingkatkan. Contoh: di satu pihak terdapat kelebihan
produksi sarjana, di pihak lain terdapat kekurangan tenaga-tenaga sarjana dalam
bidang-bidang tertentu. Hal ini berkaitan dengan masalah kurikulum PT tersebut.
Komposisi jenis-jenis program studi yang ada menunjukkan bahwa program studi
ilmu social dan ilmu pendidikan/keguruan lebih banyak dibanding dengan program studi lainnya. Pengangguran sarjana
menunjukkan lebih besar pada kedua jenis program studi tersebut.
Mutu pendidikan tinggi kita memang
bervariasi mulai dari mutu yang paling tinggi sampai dengan yang sangat
diragukan. Hal ini ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain: mutu dosennya
yang kebanyakan masih berkualifikasi S1, belum cukup tersedianya sarana
penunjang seperti perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, serta biaya
operasional yang belum memadai. Selain itu juga kualitas raw input ke PT yang
berlatar belakang NEM antara 4-6 (H.A.R. Tilaar, 1995).
10. Inovasi
Pendidikan
Selama PJP I dan sudah sejak Pelita I
keinginan untuk melakukan inovasi pendidikan sangat besar. Bahkan sejak sebelum
Pelita I dimulai telah dilakukan upaya-upaya untuk melakukan identifikasi
masalah-masalah pendidikan agar dapat dilakukan usaha-usaha peningkatan sistem
dan peningkatan mutu pendidikan nasional. Selain berkenaan dengan tujuan
pendidikan, kurikulum pendidikan, sarana/prasarana pendidikan dan wajib
belajar, pelaksanaan beberapa inovasi pendidikan selama PJP I yaitu: Proyek
Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP), Proyek Pamong, Proyek CBSA, STEPPES,
COPLANER, dan Primary Education Quality
Improvement Project (PEQIP).
Sayang sekali berbagai inovasi pendidikan yang telah dilaksanakan banyak
menghadapi kemandegan dan tidak berkelanjutan (H.A.R. Tilaar, 1995).
11. Pembiayaan
Sumber dana pembangunan pendidikan pada
PJP I berasal dari dana rupiah dan dana yang diperoleh dari kerja sama luar
negeri. Di dalam pembiayaan pendidikan terdapat berbagai sumber yaitu: 1)
Pemerintah yang dapat berupa biaya rutin, biaya pembangunan, biaya INPRES SD,
dan subsidi bantuan pembangunan pendidikan (SBPP). 2) Sumbangan Pembinaan
Pendidikan (SPP). 3) Sumbangan untuk badan pembantu pembinaan pendidikan (BP3).
12. Kualitas
Pendidikan
Sebagaimana telah diuraikan terdahulu
selama PJP I telah banyak upaya pembangunan di bidang pendidikan dalam rangka
meningkatkan kualitas pendidikan nasional. HAR Tilaar (1995) menunjukkan
kualitas pendidikan pada PJP I antara lain dengan indikator sebagai berikut :
a. Dana
Pendidikan (Pendidikan Dasar): Belum memadainya dana yang tersedia untuk
meningkatkan kualitas pendidikan. Pada tahun 1991 unit cost untuk siswa SD
tidak lebih dari 5 US $, sedangkan Negara maju menyediakan 105,5 US $.
b. Kelulusan
SD: Persentase jumlah siswa yang menamatkan SD pada tahun 1989 sekitar 70%,
sedangkan di Negara maju mencapai 91%. Data ini menunjukkan pula bahwa SD kita
pada saat itu mengalami ketidak efisienan dengan data rasio input-output
sebesar 70%, sehingga rata-rata waktu yang diperlukan untuk menamatkan SD
adalah 8,5 tahun.
c. Prestasi
membaca komprehensif juga dinilai sangat kurang dibanding dengan di Negara
maju.
d. Daya
serap terhadap isi kurikulum: Rata-rata hasil EBTANAS Murni siswa SMA pada
tahun1987-1990 menunjukkan rendahnya kualitas pendidikan kita. Misalnya untuk
mata pelajaran PMP dan Bahasa Indonesia rata-ratanya 6; sedangkan Bahasa
Inggris, Matematika, Fisika, Biologi, dan Kimia antara 4-5. Artinya daya serap
lulusan SMA kurang dari 50% dari apa yang ditentukan dalam Kurikulum 1984.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Landasan
adalah suatu alas atau dasar pijakan dari sesuatu hal atau suatu titik tumpu
atau titik tolak dari sesuatu hal atau suatu fundasi tempat berdirinya sesuatu
hal. Sedangkan pendidikan merupakan segala pengalaman belajar yang berlangsung
dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup. Pendidikan adalah usaha sadar yang
dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintah, melalui kegiatan
bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan, yang berlangsung di dalam dan luar
sekolah sepanjang hayat, untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat memainkan
peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara tepat di masa yang akan datang.
Historis
pendidikan dari masa awal kemerdekaan hingga masa orde baru mengalami perubahan
yang signfikan baik dalam sistem maupun komponen pendidikan yang terlibat
didalamnya.
B.
Saran
Dengan
adanya berbagai perubahan sistem pendidikan di Indonesia dalam sejarah
perkembangan Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga masa orde baru, seyogyanya
kita mampu menumbuhkan semangat pendidikan sebagaimana sikap para pendahulu
dalam menyikapi perubahan-perubahan sistem yang terjadi pada pendidikan di
Indonesia.
Diharapkan
dengan telah dibahasnya landasan historis pendidikan, kita sebagai generasi
penerus bangsa mampu menghargai para pahlawan pendidikan yang telah berjuang
mempertahankan keberdaan pendidikan dalam situasi apapun, sehingga generasi
penerus bangsa bisa berkaca dari perjuangan para pahlawan pendidikan untuk
menuju pendidikan yang lebih baik di masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Syaripudin, Tatang dan Nur’aini. (2006). Landasan Pendidikan. UPI PRESS:Bandung
meyzzacompany.blogspot.com/2013/06/landasan-historis-pendidikan.html.[5
Desember 2013].
______________.
(2011). Sejarah Pendidikan Orde Baru.
[Online]. Tersedia: http://dailygrin.wordpress.com/2011/02/16/sejarah-pendidikan-orde-baru/.
[5 Desember 2013].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar