Selasa, 01 November 2016

TEORI BELAJAR SOSIAL



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Menurut idealisme, bila seorang belajar pada tahap awal berarti ia telah memahami “aku” nya sendiri, lantas bergerak keluar untuk memahami dunia objektif dari mikro-kosmos menuju makro-kosmos. Sama halnya yang dijelaskan oleh Kant (1942-1804), bahwa segala pengetahuan yang dicapai manusia lewat indera memerlukan unsur apriori yang tidak diketahui oleh pengalaman terlebih dahulu.  Bila seseorang berhadapan dengan benda-benda, tidaklah berarti bahwa mereka mempunyai bentuk, ruang dan ikatan waktu, tetapi ruang dan waktu itu sudah ada dalam ide atau budi manusia (innate ideas) sebelum ada pengalaman dan pengamatan. Jadi, apriori yang terarah itu bukanlah budi pada benda, melainkan benda-benda itulah yang terarah pada budi. Budi membentuk dan mengatur dalam ruang dan waktu. Dengan mengambil landasan berpikir di atas, belajar dapat didifinisikan sebagai jiwa yang berkembang pada dirinya sendiri sebagai substansi spiritual. Jiwa membina dan menciptakan dirinya sendiri (Pudjawijatno, 1964: 120-121).
Seorang filsuf dan sosiolog, L. Finney menjelaskan, bahwa mental adalah kondisi rohani yang pasif, yang berarti bahwa manusia pada umumnya menerima apa saja yang ditentukan oleh peraturan alam (determinsm). Ini berarti bahwa pendidikan adalah proses reproduksi dari apa yang terdapat dalam kehidupan sosial. Dengan demikian, belajar adalah menerima dengan sesungguhnya nilai-nilai sosial oleh angkatan baru yang timbul untuk ditambah dan dikurangi dan diteruskan oleh angkatan berikutnya. Pandangan realisme ini menceriminkan adanya dua jenis determinisme, yaitu determinisme mutlak dan determinisme terbatas. Yang mutlak menunjukkan bahwa belajar adalah mengenai hal-hal yang tak dapat dihalang-halangi adanya, jadi harus ada. Sedangkan dengan determinisme terbatas adalah memberikan gambaran kurangnya sifat pasif mengenai belajar.
Teori belajar sosial merupakan perluasan dari teori belajar perilaku (behavioristik). Teori belajar sosial ini dikembangkan oleh Albert Bandura (1986). Teori ini menerima sebagian besar dari prinsip teori belajar perilaku, tetapi memberikan lebih banyak penekanan pada kesan dan isyarat perubahan perilaku, dan pada proses mental internal. Jadi dalam teori belajar sosial kita akan menggunakan penjelasan penguatan (reinforcement) eksternal dan penjelasan kognitif internal untuk memahami bagaimana belajar dari orang lain. Dalam pandangan belajar sosial manusia itu tidak hanya didorong oleh kekuatan dari dalam saja, tetapi juga dipengaruhi oleh stimulus lingkungan.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang di maksud dengan teori belajar social menurut Albert Bandura?
2.      Apa yang dimaksud dengan teori belajar menurut Ivan Pavlov?
3.      Apa yang dimaksud dengan teori belajar menurut David A. Kolb?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui maksud dari teori belajar social Albert Bandura.
2.      Untuk mengetahui maksud dari teori belajar menurut Ivan Pavlov.
3.      Untuk mengetahui maksud dari teori belajar menurut David A. Kolb

D.    Sistematika Penulisan
Kata Pengantar
            Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
D. Sistematika Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
I. Teori Belajar Sosial Albert Bandura
a.       Latar Belakang Tokoh
b.      Teori Pembelajaran Sosial

Teori Peniruan
d.      Ciri-ciri Teori Peniruan Albert Bandura
e.       Eksperimen Albert Bandura
f.       Kelemahan dan Kelebihan Teori Belajar Sosial
g.      Contoh Aplikasi Teori Belajar Sosial dalam Kehidupan
h.      Aplikasi Teori Belajar Sosial Terhadap Pembelajaran
II. Teori Belajar Menurut Ivan Pavlov
a.          Makna Belajar Ivan Pavlov
b.         Eksperimen Ivan Pavlov
c.          Prinsip Utama dalam Eksperimen
d.         Kelemahan dan Kelebihan Teori Belajar Ivan Pavlov
e.             Aplikasi Teori Belajar Ivan Pavlov dalam Pembelajaran
III. Teori Belajar Menurut David A. Kolb
a.          Gaya Belajar Menurut David A. Kolb
b.         Aplikasi Teori Belajar Humanistik Menurut David A. Kolb
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

BAB II
PEMBAHASAN

I.      Teori Belajar Sosial Albert Bandura

A.    Latar Belakang Tokoh
      Albert Bandura dilahirkan di Mundare Northern Alberta Kanada, pada 04 Desember 1925. Masa kecil dan remajanya dihabiskan di desa kecil dan juga mendapat pendidikan disana. Pada tahun 1949 beliau mendapat pendidikan di University of British Columbia, dalam jurusan psikologi. Dia memperoleh gelar Master didalam bidang psikologi pada tahun 1951 dan setahun kemudian ia juga meraih gelar doctor (Ph.D). Bandura menyelesaikan program doktornya dalam bidang psikologi klinik, setelah lulus ia bekerja di Standford University.Beliau banyak terjun dalam pendekatan teori pembelajaran untuk meneliti tingkah laku manusia dan tertarik pada nilai eksperimen.Pada tahun 1964 Albert Bandura dilantik sebagai professor dan seterusnya menerima anugerah American Psychological Association untuk Distinguished scientific contribution pada tahun 1980.
Pada tahun berikutnya, Bandura bertemu dengan Robert Sears dan belajar tentang pengaruh keluarga dengan tingkah laku sosial dan proses identifikasi. Sejak itu Bandura sudah mulai meneliti tentang agresi pembelajaran sosial dan mengambil Richard Walters, muridnya yang pertama  mendapat gelar doctor sebagai asistennya. Bandura berpendapat, walaupun prinsip belajar cukup untuk menjelaskan dan meramalkan perubahan tingkah laku, prinsip itu harus memperhatikan dua fenomena penting yang diabaikan atau ditolak oleh paradigma behaviorisme. Albert Bandura sangat terkenal dengan teori pembelajaran sosial, salah satu konsep dalam aliran behaviorime yang menekankan pada komponen kognitif dari pemikiran, pemahaman, dan evaluasi.

B. Teori Pembelajaran Sosial
Teori Pembelajaran Sosial  atau disebut juga Teori Observasional atau Teori belajar dari model. Teori belajar ini relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya dan merupakan perluasan dari teori belajar perilaku (behavioristik).  Teori pembelajaran sosial ini dikembangkan oleh Albert Bandura (1986). Berbeda dengan penganut Behaviorisme lainnya, Bandura memandang Perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment, seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan.
Teori ini menerima sebagian besar dari prinsip-prinsip, teori-teori belajar perilaku, tetapi memberikan lebih banyak penekanan pada kesan dan isyarat-isyarat perubahan perilaku, dan pada proses-proses mental internal. Jadi dalam teori pembelajaran sosial kita akan menggunakan penjelasan-penjelasan reinforcement eksternal dan penjelasan-penjelasan kognitif internal untuk memahami bagaimana belajar dari orang lain. Dalam pandangan belajar sosial “ manusia “ itu tidak didorong oleh kekuatan-kekuatan dari dalam dan juga tidak dipengaruhi oleh stimulus-stimulus lingkungan.
Teori belajar sosial menekankan bahwa lingkungan – lingkungan yang dihadapkan pada seseorang secara kebetulan ; lingkungan – lingkungan itu kerap kali dipilih dan diubah oleh orang itu melalui perilakunya sendiri. Menurut Bandura, sebagaimana dikutip oleh (Kard,S,1997:14) bahwa “sebagian besar manusia belajar melalui pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah laku orang lain”. Inti dari pembelajaran sosial adalah pemodelan (modelling), dan pemodelan ini merupakan salah satu langkah paling penting dalam pembelajaran terpadu.
Seperti pendekatan teori pembelajaran terhadap kepribadian, teori pembelajaran sosial berdasarkan pada penjelasan yang diutarakan oleh Bandura bahwa sebagian besar daripada tingkah laku manusia adalah diperoleh dari dalam diri, dan prinsip pembelajaran sudah cukup untuk menjelaskan bagaimana tingkah laku berkembang. Akan tetapi, teori – teori sebelumnya kurang memberi perhatian pada konteks sosial dimana tingkah laku ini muncul dan kurang memperhatikan bahwa banyak peristiwa pembelajaran terjadi dengan perantaraan orang lain. Maksudnya, sewaktu melihat tingkah laku orang lain, individu akan belajar meniru tingkah laku tersebut atau dalam hal tertentu menjadikan orang lain sebagai model bagi dirinya.Ada dua jenis pembelajaran melalui pengamatan ,Pertama. Pembelajaran melalui pengamatan dapat terjadi melalui kondisi yang dialami orang lain,Contohnya : seorang pelajar melihat temannya dipuji dan ditegur oleh gurunya karena perbuatannya, maka ia kemudian meniru melakukan perbuatan lain yang tujuannya sama ingin dipuji oleh gurunya. Kejadian ini merupakan contoh dari penguatan melalui pujian yang dialami orang lain. Kedua, pembelajaran melalui pengamatan meniru perilaku model meskipun model itu tidak mendapatkan penguatan positif atau penguatan negative, saat mengamati itu sedang memperhatikan model itu mendemonstrasikan sesuatu yang ingin dipelajari oleh pengamat tersebut dan mengharapkan mendapat pujian atau penguatan apabila menguasai secara tuntas apa yang dipelajari itu. Model tidak harus diperagakan oleh seseorang secara langsung, tetapi kita dapat juga menggunakan seseorang pemeran atau visualisasi tiruan sebagai model (Nur, M,1998.a:4).
Bandura mencatat bahwa penekanan Skinner pada dampak konsekuensi prilaku sebagian besar mengabaikan fenomena pembelajaran peniruan (modeling) mencontoh prilaku orang lain dan pengalaman tidak langsung, keberhasilan atau kegagalan orang lain. Bandura merasa bahwa banyak pembelajaran manusia tidak di bentuk oleh konsekuensinya tetapi dipelajari dengan lebih efisien langsung dari suatu model (Bandura, 1986;Schunk,2000). Sebagai contoh guru pendidikan Jasmani memperagakan lompatan dan siswa menirunya. Bandura menyebut ini sebagai pembelajaran tanpa uji coba karena siswa tidak perlu mengalami proses pembentukan tetapi dapat mereproduksi tanggapan yang tepat dengan segera.
1. Model hidup, yang melibatkan seorang individu yang sebenarnya mendemonstrasikan atau bertindak keluar perilaku.Bandura mengidentifikasi tiga model dasar pembelajaran observasional:
2.   Sebuah model pembelajaran verbal, yang melibatkan deskripsi dan penjelasan perilaku.
3.  Model simbolik, yang melibatkan karakter nyata atau fiksi menampilkan perilaku dalam buku-buku, film, program televisi, atau media online.

Prinsip-Prinsip yang Mendasari Teori Belajar Sosial
Adapun prinsip-prinsip yang mendasari teori belajar sosial yang dikemukakan oleh Bandura, yaitu:
1.         Prinsip faktor-faktor  yang saling menentukan
Bandura menyatakan bahwa diri seorang manusia pada dasarnya adalah suatu sistem (sistem diri / self system). Sebagai suatu sistem bermakna bahwa prilaku, berbagai factor pada diri seseorang, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam lingkngan orang tersebut, secara bersama-sama saling bertindak sebagai penentu atau penyebab yang satu terhadap yang lainnya.  Berikut ini di jelaskan interaksi berbagai factor pembentuk system diri.
Keterangan :

B   = Singkatan dari
Berhavior atau perilaku seseorang

P    = Singkatan dari Personal atau kepribadian seseorang
E    = Singakatan dari Environment atau lingkungan luar

Sistem yang saling terkait seperti yang ditampilkan dalam bagan di atas menggambarkan ketiga faktor yaitu: faktor kepribadian (Personal), faktor perilaku (Behavior), dan faktor lingkungan (Environment). Sepasang anak panah yang berlawanan arah pada setiap faktor tersebut menunjukkan bahwa setiap faktor tersebut dapat mempengaruhi atau dapat bersifat sebagai penentu terhadap faktor-faktor lainnnya secara timbal balik.
Sebagai contoh, Seorang anak bernama Andi adalah pribadi yang memiliki harapan-harapan dan nilai-nilai di samping gaya pribadi atau kepribadian tertentu, suka tantangan-tantangan intelektual atau berinteraksi dengan orang disekitarnya  (P/Personal). Sebagai konsekuensinya Andi melanjutkan pendidikan di sebuah universitas. Karena Andi suka dengan perkuliahan di universitas tersebut, maka Andi menunjukkan prilaku (B/Behavior) yang positif dan penuh semangat dalam mempelajari dan mempraktekkan berbagai mata kuliah yang ia ambil. Rekan-rekan yang ada di tempat kerja Andi dan kelompok tutorial, juga keluarga serta orang-orang di sekitar Andi yang mengetahui kepribadian Andi (P/Personal) akan bereaksi dengan reaksi-reaksi tertentu (E/Environment), misalnya keramahan serta kekaguman akan kemampuan Andi membagi waktu antara kerja, rumah tangga, kuliah, dan bermasyarakat. Mereka juga bereaksi (E/Environment) terhadap  perilaku Andi (B/Behavior). Jika Andi melakukan suatu perbuatan aneh atau yang tidak disangka-sangka (B/Behavior), maka mereka akan bereaksi terhadap perbuatan Andi itu. Reaksi mereka itu (E/Environment), secara timbal balik mempengaruhi prilaku Andi (B/Behavior), disamping berdampak pada kepribadian Andi (P/Personal). Jika mereka berhenti bersikap ramah terhadap andi (E/Environment), misalnya karena Andi terlalu sibuk belajar dan bekerja sehingga ia melupakan keluarga atau teman-temannya, Andi mungkin akan menjadi murung (P/Personal), karena keluarga atau teman/tetangganya mulai acuh karena tidak diperhatikan. Jadi, diri Andi adalah suatu sistem dan faktor-faktor di dalam atau di luar dirinya (pribadi, prilaku, lingkungan), berdampak satu terhadap lainnya.
2.        Kemampuan untuk membuat atau memahami symbol/tanda/lambang
Bandura menyatakan bahwa orang memahami dunia secara simbolis melalui gambar-gambar kognitif, jadi orang lebih bereaksi terhadap gambaran kognitif dari dunia sekitar dari pada dunia itu sendiri. Artinya, karena orang memiliki kemampuan berfikir dan memanfaatkan bahasa sebagai alat untuk berfikir, maka hal-hal yang telah berlalu dapat disimpan dalam ingatan dan hal-hal yang akan datang dapat pula “diuji” secara simbolis dalam pikiran. Perilaku-perilaku yang mungkin diperlihatkan akan dapat diduga, diharapkan, dikhawatirkan, dan diuji cobakan terlebih dahulu secara simbolis, dalam pikiran, tanpa harus mengalaminya secara fisik terlebih dahulu. Karena pikiran-pikiran yang merupakan simbul atau gambaran kognitif dari masa lalu maupun masa depan itulah yang mempengaruhi atau menyebabkan munculnya perilaku tertentu.
3.         Kemampuan berfikir ke depan
Selain dapat digunakan untuk mengingat hal-hal yang sudah pernah dialami, kemampuan berpikir atau mengolah simbol tersebut dapat dimanfaatkan untuk merencanakan masa depan. Orang dapat menduga bagaimana orang lain bisa bereaksi terhadap seseorang, dapat menentukan tujuan, dan merencanakan tindakan-tindakan yang harus diambil untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Inilah yang disebut dengan pikiran ke depan, karena biasanya pikiran mengawali tindakan.
4.         Kemampuan untuk seolah-olah mengalami apa yang dialami oleh orang lain
Orang-orang, terlebih lagi anak-anak mampu belajar dengan cara memperhatikan orang lain berperilaku dan memperhatikan konsekuensi dari perilaku tersebut. Inilah yang dinamakan belajar dari apa yang dialami orang lain.
5.          Kemampuan mengatur diri sendiri
Prinsip berikutnya dari belajar sosial adalah orang umumnya memiliki kemampuan untuk mengendalikan perilaku mereka sendiri. Seberapa giat orang bekerja dan belajar, berapa jam orang tidur, bagaiamana bersikap di muka umum, apakah orang mengerjakan pekerjaan kuliah dengan teratur, dsb, adalah contoh prilaku yang dikendalikan. Perilaku ini tidak dikerjakan tidak selalu untuk memuaskan orang lain, tetapi berdasarkan standar dan motivasi yang ditetapkan diri sendiri. Tentu saja orang akan berpengaruh oleh perilaku orang lain, namun tanggung jawab utama tetap berada pada diri sendiri.
Prinsip terakhir ini menerangkan bahwa kebanyakan orang sering melakukan refleksi atau perenungan untuk memikirkan kemampuan diri mereka pribadi. Mereka umumnya mampu memantau ide-ide mereka dan menilai kepantasan ide-ide tersebut sekaligus menilai diri mereka sendiri. Dari semua penilaian diri sendiri itu, yang paling penting adalah penilaian terhadap beberapa komponen atau seberapa mampu mereka mengira diri mereka dapat mengerjakan suatu tugas dengan sukses. Kemampuan untuk berefleksi

C. Teori Peniruan
Pada tahun 1941, dua orang ahli psikologi, yaitu Neil Miller dan John Dollard dalam laporan hasil eksperimennya mengatakan bahwa peniruan ( imitation ) merupakan hasil proses pembelajaran yang ditiru dari orang lain. Proses belajar tersebut dinamakan “ social learning” atau  “pembelajaran social”. Perilaku peniruan manusia terjadi karena manusia merasa telah memperoleh tambahan ketika kita meniru orang lain, dan memperoleh hukuman ketika kita tidak menirunya. Menurut Bandura, sebagian besar tingkah laku manusia dipelajari melalui peniruan maupun penyajian, contoh tingkah laku ( modeling ). Dalam hal ini orang tua dan guru memainkan peranan penting sebagai seorang model atau tokoh bagi anak – anak untuk menirukan  tingkah laku membaca.
Dua puluh tahun berikutnya ,” Albert Bandura dan Richard Walters ( 1959, 1963 ) telah melakukan eksperimen pada anak – anak yang juga berkenaan dengan peniruan. Hasil eksperimen mereka mendapati, bahwa peniruan dapat berlaku  hanya melalui pengamatan terhadap perilaku model (orang yang ditiru) meskipun pengamatan itu tidak dilakukan terus menerus. Proses belajar semacam ini disebut "observationallearning" atau pembelajaran melalui pengamatan. Bandura (1971), kemudian menyarankan agar teori pembelajaran sosial diperbaiki memandang teori pembelajaran sosial yang sebelumnya hanya mementingkan perilaku tanpa mempertimbangan aspek mental seseorang.
Berdasarkan teori ini terdapat beberapa cara peniruan yaitu meniru secara langsung. Contohnya guru membuat demostrasi cara membuat kapal terbang kertas dan pelajar meniru secara langsung. Seterusnya proses peniruan melalui contoh tingkah laku. Contohnya anak-anak meniru tingkah laku bersorak dilapangan, jadi tingkah laku bersorak merupakan contoh perilaku di lapangan. Keadaan sebaliknya jika anak-anak bersorak di dalam kelas sewaktu guru mengajar,semestinya guru akan memarahi dan memberi tahu tingkahlaku yang dilakukan tidak dibenarkan dalam keadaan tersebut, jadi tingkah laku tersebut menjadi contoh perilaku dalam situasi tersebut. Proses peniruan yang seterusnya ialah elisitasi. Proses ini timbul apabila seseorang melihat perubahan pada orang lain. Contohnya seorang anak-anak melihat temannya melukis bunga dan timbul keinginan dalam diri anak-anak tersebut untuk melukis bunga. Oleh karena itu, peniruan berlaku apabila anak-anak tersebut melihat temannya melukis bunga.Menurut Bandura, perlakuan seseorang adalah hasil interaksi faktor dalam diri(kognitif) dan lingkungan. pandangan ini menjelaskan, beliau telah mengemukakan teori pembelajaran peniruan, dalam teori ini beliau telah menjalankan kajian bersama Walter (1963) terhadap perlakuan anak-anak apabila mereka menonton orang dewasa memukul, mengetuk dengan palu besi dan menumbuk sambil menjerit-jerit dalam video. Setelah menonton video anak-anak ini diarah bermain di kamar permainan dan terdapat patung seperti yang ditayangkan dalam video. Setelah anak-anak tersebut melihat patung tersebut,mereka meniru aksi-aksi yang dilakukan oleh orang yang mereka tonton dalam video.
Perkembangan kognitif anak-anak menurut pandangan pemikir islam yang terkenal pada abad ke-14 yaitu Ibnu Khaldun perkembangan anak-anak hendaklah diarahkan dari perkara yang mudah kepada perkara yang lebih susah yaitu mengikut peringkat-peringkat dan anak-anak hendaklah diberikan dengan contoh-contoh yang konkrit yang boleh difahami melalui pancaindera. Menurut Ibnu Khaldun, anak-anak hendaklah diajar atau dibentuk dengan lemah lembut dan bukannya dengan kekerasan. Selain itu, beliau juga mengatakan bahwa anak-anak tidak boleh dibebankan dengan perkara-perkara yang di luar kemampuan mereka. Hal ini akan menyebabkan anak-anak tidak mau belajar dan memahami pengajaran yang disampaikan.

D.  Ciri-Ciri Teori Pemodelan Albert Bandura
Ciri- ciri teori pemodelan bandura, diantaranya:
1.      Unsur pembelajaran utama ialah perhatian dan peniruan
2.      Tingkah laku model boleh dipelajari melalui bahasa, teladan, nilai dan lain- lain
3.  Pelajar meniru suatu kemampuan dari kecakapan yang didemonstrasikan guru sebagai model
4.     Pelajar memperoleh kemampuan jika memperoleh kepuasan dan penguatan yang positif
5. Proses pembelajaran meliputi perhatian, mengingat, peniruan, dengan tingkah laku atau timbal balik yang sesuai, diakhiri dengan penguatan yang positif.
Lebih lanjut menurut Bandura (1982) penguasaan skill dan pengetahuan yang kompleks tidak hanya bergantung pada proses perhatian, retensi, motor reproduksi dan motivasi, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur yang berasal dari diri pembelajar sendiri yakni “sense of self Efficacy” dan “self – regulatory system”. Sense of self efficacy adalah keyakinan pembelajar bahwa ia dapat menguasai pengetahuan dan keterampilan sesuai standar yang berlaku.
Self regulatory adalah menunjuk kepada
: 1) struktur kognitif yang memberi referensi tingkah laku dan hasil belajar, 2) sub proses kognitif yang merasakan, mengevaluasi, dan pengatur tingkah laku kita (Bandura, 1978). Dalam pembelajaran sel-regulatory akan menentukan “goal setting” dan “self evaluation” pembelajar dan merupakan dorongan untuk meraih prestasi belajar yang tinggi dan sebaliknya. Menurut Bandura agar pembelajar sukses instruktur/guru/dosen/guru harus dapat menghadirkan model yang mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pembelajar, mengembangkan “self of mastery”, self efficacy, dan reinforcement bagi pembelajar.
            1. Analisis tingkah laku yang akan dijadikan model yang terdiri :        
Berikut Bandura mengajukan usulan untuk mengembangkan strategi proses pembelajaran yaitu sebagai berikut :
a. Apakah karakter dari tingkah laku yang akan dijadikan model itu berupa konsep, motor skill atau afektif?
b. Bagaimanakah urutan dari tingkah laku tersebut?
c. Dimanakah letak hal-hal yang penting (key point) dalam urutan atau rangkaian tersebut?   
2. Tetapkan fungsi nilai dari tingkah laku dan pilihlah tingkah laku tersebut sebagai model.
a. Apakah tingkah laku (kemampuan yang dipelajari) merupakan hal yang penting dalam kehidupan dimasa datang? (success prediction)
b. Bila tingkah laku yang dipelajari kurang memberi manfaat (tidak begitu penting) model manakah yang lebih penting?
c. Apakah model harus hidup atau simbol?
Pertimbangan soal biaya, pengulangan demonstrasi dan kesempatan untuk menunjukkan fungsi nilai dan tingkah laku.
d. Apakah reinforcement yang akan didapat melalui model yang dipilih?
3.   Pengembangan urutan atau rangkaian (sekuen) instruksional
 Untuk mengajar motor skill, bagaimana cara mengerjakan pekerjaan/kemampuan yang dipelajari :how to do this” dan bukannya “not this”.Langkah-langkah manakah menurut urutan atau rangkaian (sekuen)yang harus dipresentasikan secara perlahan-lahan
4. Implementasi pengajaran untuk menuntut proses kognitif dan motor reproduksi.
a. Motor skill
1)  Hadirkan model
2) Beri kesempatan kepada tiap-tiap pembelajar untuk latihan secara   simbolik
3)  Beri kesempatan kepada pembelajar untuk latihan dengan umpan balik visual
         b. Proses kognitif
1)  Tampilkan model, baik yang didukung oleh kode-kode verbal atau Q petunjuk untuk mencari konsistensi pada berbagai contoh
2) Beri kesempatan kepada pembelajar untuk membuat ihtisar atau    summary
3) Jika yang dipelajari adalah pemecahan masalah atau strategi penerapan   beri kesempatan pembelajar untuk berpartisipasi secara aktif
4) Beri kesempatan pembelajar untuk membuat generalisasi ke berbagai siatuasi.

E.  Eksperimen Albert Bandura
      Studi Boneka Bobo Klasik
Dalam sebuah eksperimen yang dilakukan Bandura (1965) mengilustrasikan bagaimana pembelajaran dapat dilakukan hanya dengan mengamati model yang bukan sebagai penguat atau penghukum.Dalam eksperimen ini, anak – anak meniru seperti perilaku agresif dari orang dewasa disekitarnya.Eksperimen ini juga mengilustrasikan perbedaan antara pembelajaran dan kinerja (performance).Sejumlah anak taman kanak-kanak secara acak ditugaskan utuk melihat tiga film dimana ada seseorang (model) sedang memukuli boneka plastik seukuran orang dewasa yang dinamakan boneka Bobo.
Dalam film pertama, penyerangnya diberi permen, minuman ringan dan dipuji karena melakukan tindakan agresif.Dalam film kedua, si penyerang ditegur dan ditampar karena bertindak agresif.Dalam film ketiga, tidak ada konsekuensi atas si penyerang boneka.Kemudian masing-masing anak dibiarkan sendiri beradaPoin penting kedua dalam studi ini difokuskan pada perbedaan antara pembelajaran dan kinerja.Karena murid tidak melakukan respons bukan berarti mereka tidak mempelajarinya. Dalam sudi Bandura, saat anak diberi insentif  ( dengan stiker atau jus buah) untuk meniru model, perbedaan dalam perilaku imitatif anak dalam tiga kondisi itu hilang. Bandura percaya bahwa ketika anak mengamati perilaku tetapi tidak memberikan respons yang dapat diamati, anak itu mungkin masih mendapatkan respons model dalam bentuk kognitif.di ruangan penuh mainan, termasuk boneka Bobo.Perilaku anak diamati melalui cermin satu arah.Anak yang menonton film dimana perilaku penyerang diperkuat atau tidak dihukum apapun lebih sering meniru tindakan model ketimbang anak yang menyaksikan si penyerang dihukum.Seperti yang diduga, anak lelaki lebih agresif ketimbang anak perempuan.Namun, poin penting dalam studi ini adalah bahwa pembelajaran observasional terjadi sama ekstensifnya baik itu ketika perilaku agresif diperkuat maupun tidak diperkuat.
Studi ini menarik karena ia menunjukkan bahwa perilaku anak dipengaruhi oleh pengalaman tak lansung atau pengalaman pengganti. Dengan kata lain, apa yang mereka lihat dilakukan atau dialami orang lain akan mempengaruhi perilaku mereka. Anak-anak di kelompok pertama mendapatkan penguatan dari pengamatan (vicarious reinforcement) dan mereka difasilitasi untuk keagresifan mereka. Sedangkan anak-anak di kelompok kedua mendapatkan ancaman pengamatan (vicarious punishment), dan mereka dihalangi perilaku agresifnya. Meskipun anak-anak tidak mendapatkan pengalaman penguatan maupun ancaman secara langsung, mereka memodifikasi perilakunya secara sama (Hergenhahn dan Olson, 1997).
Determinisme Resiprokal (Reciprocal Determinism)
Bandura mengembangkan model Determinisme Resiprokal yang terdiri dari tiga faktor utama, yaitu perilaku, person / kognitif, dan lingkungan. Seperti dalam gambar, faktor-faktor ini bisa saling berinteraksi untuk mempengaruhi pembelajaran, yakni faktor lingkungan memengaruhi perilaku, perilaku memengaruhi lingkungan, faktor person (orang/kognitif) memengaruhi perilaku dan sebagainya.Bandura menggunakan istilah person, tapi memodifikasi menjadi person (cognitive) karena banyak faktor orang yang dideskripsikannya adalah faktor kognitif.
            Dalam model pembelajaran Bandura, faktor person (kognitif) memainkan peran penting. Faktor person (kognitif) yang ditekankan Bandura (1997,2001) pada masa belakangan ini adalah self-efficiacy, yakni keyakinan bahwa seseorang bisa menguasai situasi dan menhasilkan hasil positif. Bandura mengatakan bahwa self-efficiacy berpengaruh besar terhadap perilaku. Misalnya, seorang murid yang self-efficiacy-nya rendah mungkin tidak mau berusaha belajar untuk mengerjakan ujian karena dia tidak percaya bahwa belajar akan bisa membantunya mengerjakan soal. Adapun konsep utama dari teori belajar Albert Bandura adalah sebagai berikut :
a.    Pemodelan
Pemodelan merupakan konsep dasar dari teori belajar sosial Albert Bandura. Menurut Bandura sebagian besar manusia belajar melalui pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah laku orang lain. (Arends, 1997:67).
Seseorang belajar menurut teori ini dilakukan dengan mengamati tingkah laku orang lain (model), hasil pengamatan itu kemudian dimantapkan dengan cara menghubungkan pengalaman baru dengan pengalaman sebelumnya atau mengulang-mengulang kembali. Dengan jalan ini memberi kesempatan kepada orang tersebut untuk mengekspresikan tingkah laku yang dipelajari.
Berdasarkan pola prilaku tersebut, selanjutnya  Bandura(1986) mengkalsifikasikan empat fase dari tahap dalam peniruan, yaitu:
1.      Tahap Perhatian (Attention)
Fase pertama dalam belajar pemodelan adalah memberikan perhatian pada suatu model.Pada umumnya seseorang memberikan perhatian pada model-model yang menarik, popular atau yang dikagumi. Dalam pembelajaran guru yang bertindak sebagai model bagi siswanya harus dapat menjamin agar siswa dapat memberikan perhatian kepada bagan-bagian penting dari pelajaran. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menyajikan materi pelajaran secara jelas dan menarik, memberikan penekanan pada bagian-bagian penting, atau dengan mendemonstrasikan suatu kegiatan. Di samping itu suatu model harus memiliki daya tarikn (Woolfolk, 1993).Misalnya untuk menjelaskan bagian-bagian bola mata guru seharusnya menggunakan gambar model mata, dengan variasi warna yang bermacam-macam sehingga bagian-bagian mata tersebut tampak jelas dan siswa termotivasi untuk mempelajarinya.
2.   Tahap pengingatan (Retention)
Menurut Gredler, (dalam Sudibyo, E. 2001:5), fase ini bertanggung jawab atas pengkodean tingkah laku model dan menyimpan kode-kode itu di dalam ingatan (memori jangka panjang). Pengkodean adalah proses pengubahan pengalaman yang diamati menjadi kode memori. Arti penting dari fase ini adalah bahwa si pengamat tidak akan dapat memperoleh manfaat dari tingkah laku yang diamati ketika model tidak hadir, kecuali apabila tingkah laku itu dikode dan disimpan dalam ingatan untuk digunakan pada waktu kemudian.
Untuk memastikan terjadinya retensi jangka panjang guru dapat menyediakan waktu pelatihan, yang memungkinkan siswa mengulang keterampilan baru secara bergiliran, baik secara fisik maupun secara mental.Misalnya mereka dapat menvisualisasikan sendiri tahap-tahap yang telah didemonstrasikan dalam menggunakan busur, atau penggaris sebelum benar-benar melakukannya.
3.      Reproduksi (Reproduction)
Dalam fase ini kode-kode dalam memori membimbing penampilan yang sebenarnya dari tingkah laku yang baru diamati. Derajat ketelitian yang tertinggi dalam belajar mengamati adalah apabila tindakan terbuka mengikuti pengulangan secara mental. Fase reproduksi dipengaruhi oleh tingkat perkembangan individu.  Fase reproduksi mengizinkan model untuk melihat apakah komponen-komponen urutan tingkah laku sudah dikuasai oleh si pengamat (pebelajar).Pada fase ini juga si model hendaknya memberikan umpan balik terhadap aspek-aspek yang sudah benar ataupun pada hal-hal yang masih salah dalam penampilan.
4.   Tahap motivasi
Pada fase ini si pengamat akan termotivasi untuk meniru model, sebab mereka merasa bahwa dengan berbuat seperti model, mereka akan memperoleh penguatan. Memerikan penguatan untuk suatu tingkah laku tertentu akan memotivasi pengamat (pebelajar) untuk berunjuk perbuatan. Aplikasi fase motivasi di dalam kelas dalam pembelajaran pemodelan sering berupa pujian atau pemberian nilai. Menurut Bandura, ada beberapa jenis motivasi yaitu:
·   Dorongan masa lalu, yaitu dorongan-dorongan sebagaimana yang dimaksud kaum behavioris tradisional
·   Dorongan yang dijanjikan (insentif) yaitu yang bisa kita bayangkan
·      Dorongan-dorongan yang tampak jelas yaitu seperti melihat atau teringat akan model-model yang patut ditiru

b.  Belajar Vicarious
        Sebagian besar belajar observasional termotivasi oleh harapan bahwa meniru model dengan baik akan menuju pada pada reinforcement. Akan tetapi, akan ada orang yang belajar dengan melihat orang diberi reinforcement atau dihukum waktu terlibat dalam perilaku-perilaku tertentu. Inilah yang disebut belajar “vicarious”. Guru-guru dalam kelas selalu menggunakan prinsip belajar vicarious. Bila seorang murid berkelakuan tidak baik, guru memperhatikan anak-anak yang bekerja dengan baik dan memuji mereka karena pekerjaan mereka yang baik itu. Anak yang nakal itu melihat bahwa bekerja memperoleh reinforcement sehingga ia pun kembali.
c.     Perilaku Diatur  Sendiri (Self  Regulated Behavior)
Bandura mengatakan bahwa perilaku manusia sebagian besar merupakan perilaku yang diatur oleh dirinya sendiri (self-regulated behavior). Manusia belajar suatu standar performa (performance standards), yang menjadi dasar evaluasi diri. Apabila tindakan seseorang bisa sesuai atau bahkan melebihi standar performa, maka ia akan dinilai positif, tetapi sebaliknya, bila dia tidak mampu berperilaku sesuai standar, dengan kata lain performanya dibawah standar, maka ia akan dinilai negatif.
Bandura berhipotesis bahwa manusia mengamati perilakunya sendiri, mempertimbangkan perilaku terhadap kriteria yang disusunnya sendiri, kemudian memberi reinforcement atau hukuman pada dirinya sendiri.Kita semua mengetahui bila kita berbuat kurang daripada yang sebenarnya.Untuk dapat membuat pertimbangan-pertimbangan ini, kita harus mempunyai harapan tentang penampilan kita sendiri. Seorang siswa mungkin sudah merasa senang sekali memperoleh 90% betul dalam suatu tes, tetapi anak yang lain mungkin masih kecewa.
Hal yang menjadi pertanyaan ialah dimana kita memperoleh kriteria yang kita gunakan untuk mempertimbangkan penampilan kita?Kadang-kadang pertimbangan-pertimbangan ini kelihatannya timbul sendiri, seperti seorang pelukis, seorang penulis, atau seorang guru, bekerja berulang kali untuk memperoleh sebuah lukisan, suatu karangan, atau suatu pelajaran yang baik.Namun, teori belajar sosial mengemukakan bahwa sebagian besar dari kriteria yang kita miliki untuk penampilan kita, kita pelajari, seperti banyak hal-hal yang lain, dari model-model dalam dunia sosial kita.
Kita belajar banyak dengan dihadapkan pada model-model. Bila kita memperhatikan perilaku model, dan menciptakan kode-kode verbal atau kode-kode khayalan bagi apa yang telah kita amati, kita akan belajar dari model itu. Baik pengulangan terbuka maupun pengulangan tertutup menolong kita untuk dapat memiliki perilaku baru yang kita pelajari.Pada suatu saat kita harus mencoba mereproduksi perilaku model itu.Umpan balik untuk memperbaiki diberikan jauh sebelum fase reproduksi belajar dari model-model, memunyai efek yang kuat terhadap perilaku. Reinforcement dan hukuman yang ditimbulkan sendiri secara lansung dan dialami secara vicarious, menentukan sejauh mana perilaku yang baru ituakan ditampilkan.
Respon-respon kognitif kita terhadap perilaku kita sendiri mengizinkan kita untuk mengatur perilaku kita sendiri.Dengan mengamati, kita mengumpulkan data tentang respons-respons kita.Melalui standar-standar penampilan yang sudah diinternalisasi, kerap kali dipelajari melalui observasi, kita pertimbangkan perilaku kita.Dengan memberi hadiah atau menghukum kita sendiri, kita dapat mengendalikan perilaku kita secara efektif.Kita tidak perlu dikendalikan oleh kekuatan lingkungan atau keinginan yang dating dari dalam.Kita dapat belajar menjadi manusia sosial yang berkepribadian.Dengan menerapkan gagasan-gagasan teori belajar sosial pada diri kita sendiri, kita dapat menjadi guru dan siswa yang lebih baik.
        Selain itu, anggapan mengenai kecakapan diri (perceived self-efficacy) juga berperan besar dalam perilaku yang diatur sendiri.Anggapan tentang kecakapan diri ini adalah keyakinan seseorang bahwa dia mampu untuk melakukan sesuatu.Dari anggapan ini, muncul motivasi orang untuk berprestasi (apabila anggapannya positif) atau bahkan dimotivasi untuk melakukan suatu hal (apabila anggapannya negatif). Terkadang, anggapan mengenai kecakapan diri seseorang tidak sesuai dengan kecakapan diri sesungguhnya (real self-efficacy).Seseorang terlalu yakin dia dapat melakukan sesuatu, tetapi pada kenyataannya sebenarnya dia tidak mampu. Bila hal ini terjadi, maka orang akan merasa frustasi dan rendah diri.
            Jadi dapat disimpulkan bahwa teori belajr sosial merupakan perluasan teori belajar prilaku. Prinsip belajar Bandura adalah usaha menjelaskan belajar dalam situasi alami. Teroi belajar social disebut juga teori pembelajaran observasional yang mengandung pengertian bahwa pembelajaran social merupakan pembelajaran yang dilakukan ketika seseorang mengamati dan meniru prilaku orang lain.

F. Kelemahan dan Kelebihan Teori Belajar Sosial Albert Bandura
a. Kelemahan Teori Belajar Sosial Albert Bandura
Teori pembelajaran Sosial Bandura sangat sesuai jika diklasifikasikan dalam teori behavioristik. Ini karena, teknik pemodelan Albert Bandura adalah mengenai peniruan tingkah laku dan adakalanya cara peniruan tersebut memerlukan pengulangan dalam mendalami sesuatu yang ditiru. Selain itu juga, jika manusia belajar atau membentuk tingkah lakunya dengan hanya melalui peniruan ( modeling ), sudah pasti terdapat sebagian individu yang menggunakan teknik peniruan ini juga akan meniru tingkah laku yang negative , termasuk perlakuan yang tidak diterima dalam masyarakat.
b.   Kelebihan Teori Belajar Sosial Albert Bandura
Teori Albert Bandura lebih lengkap dibandingkan teori belajar sebelumnya , karena itu menekankan bahwa lingkungan dan perilaku seseorang dihubungkan melalui system kognitif orang tersebut. Bandura memandang tingkah laku manusia bukan semata – mata reflex atas stimulus ( S-R bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul akibat interaksi antara lingkungan dengan kognitif manusia itu sendiri.
Pendekatan teori belajar social lebih ditekankan pada perlunya conditioning ( pembiasan merespon ) dan imitation ( peniruan ). Selain itu pendekatan belajar social menekankan pentingnya penelitian empiris dalam mempelajari perkembangan anak – anak. Penelitian ini berfokus pada proses yang menjelaskan perkembangan anak – anak, faktor social dan kognitif.

H.  Aplikasi Teori Belajar Sosial  Terhadap Pembelajaran
1.   Pembelajaran Matematika
           Dalam mengajarkan tentang penjumlahan dan pengurangan garis bilangan bulat, guru bisa memberikan materi dengan menggunakan media pola lantai yang diperagakan oleh gurunya. Disini guru memperagakan cara untuk menjumlahkan atau mengurangi bilangan dengan jelas kepada siswa. Selain itu, guru juga dapat mengajak siswa untuk melakukan hal yang sama yang di contohkan oleh gurunya. Dalam hal ini guru dapat mengajak siswa belajar sambil bermain. 
2.      Pembelajan IPA
           Dalam materi pembiasan cahaya, guru dapat mendemonstrasikan bahwa cahaya itu dapat dibiaskan. Guru mencotohkan dengan cara membiaskan cahaya menyediakan gelas yang berisikan air dan didalamnya diberi batang pensil,  kemudian gelas tersebut disimpan di bawah sinar matahari. Setelah itu siswa diajak untuk mengamati apa yang terjadi. Dari kegiatan tersebut, siswa bisa mengetahui dan mengalami sendiri materi mengenai pembiasan cahaya.
3.   Pembelajaran IPS
                  Dalam pelajaran sejarah misalnya dalam materi ”Manusia Purba”, guru dapat mengajak siswa ke museum sejarah. Di museum guru dapat memberi tahu dan mengajarkan kepada siswa tentang asal usul manusia purba dengan melihat langsung peninggalan-peninggalan yang ada. Dari kegiatan tersebut, siswa dapat mempelajari mengenai materi yang diajarkan dengan melihat langsung kejadian asal-usulnya manusia purba, sehingga siswa dapat merasakan atau mengalami secara langsung dan lebih bermakna.
4.   Pembelajaran PKn
        Dalam materi ”gemar menabung” guru atau orang tua bisa mengajarkan atau membiasakan peserta didik untuk gemar menabung baik di rumah maupun di sekolah. Dengan membiasakan gemar menabung, siswa akan terbiasa untuk hidup hemat dalam kehidupan sehari-hari.
5. Pembelajaran
5. Pembelajaran Bahasa Indonesia
              Ketika membahas materi mengenai pidato, guru dapat meminta siswa untuk membacakan pidato di depan teman-temannya. Disini guru meminta siswa untuk memperhatikan temannya yang sedang membacakan pidato didepan, kemudian guru mengajak siswa untuk menganalisis mengenai pidato yang di bacakan temannya. Setelah itu guru meminta siswauntuk bergiliran membacakan pidato.

II. Teori Balajar Ivan Pavlov
A. Makna Teori Belajar Pavlov
            Pada dasarnya teori pembelajaran sosial merupakan perluasan dari teori belajar behaviourisme. Teori pembelajaran sosial juga di dasarkan pada pengakuan penting pembelajaran pengamatan dan pembelajaran pengaturan diri. Hal tersebut sangat berkaitan erat dengan teori belajar behaviouristik (behavioral learning theorities) yang terpusat pada cara yang dengan cara itu konsekuensi prilaku yang menyenangkan atau tidak menyenangkan mengubah prilaku seseorang lama-kelamaan dan cara ketika seseorang mencontohkan prilakunya kepada orang lain. Teori behavioristic ini tentnya akan berpengaruh terhadap teori pembelajaran social yang lebih menekankan kepada teori pengkondisian yang pertama kali sangat terkenla yaitu teori pengkondisian klasik yang di perkenalkan oleh ilmuan Rusia Ivan Pavlov pada akhir tahun 1800-an dan awal 1900-an.
            Saat itu Pavlov mengadakan riset mempelajari proses pencernaan anjing. Pavlov memperhatikan perubahan waktu dan kadar pengeluaran air liru hewan ini. Dia mengamati bahwa, jika tepung daging di letakan didalam atau dekat mulut anjing yang lapar, hewan tersebut akan mengeluarkan air liur. Karena tepung daging membangkitkan tanggapan ini dengan otomatis, tanpa satupun pelatihan atau pengkondisian sebelumnya, maka tepung daging tersebut disebut rangsangan tanpa pengkondisian. Sama halnya, karena pengeluaran air liru terjadi otomatis dengan kehadiran daging, yang juga tanpa memerlukan sedikitpun pelatihan atau pengalaman, tanggapan pengeluaran air liur ini disebut tanggapan tanpa pengkondisian.
            Sementara daging tersebut akan menghasilkan air liur tanpa sedikitpun pengalaman atau pelatihan sebelumnya, seperti lonceng, tidak akan menghasilkan air liur. Karena tidak mempunyai dampak pada tanggapan tersebut, rangsangan ini disebut rangsangan netral. Eksperimen Pavlov memperlihatkan bahwa apabila rangsangan netral sebelumnya dipasangkan dengan rangsangan tanpa pengkondisian, rangsangan netral tersebut menjadi rangsangan pengkondisian dan memperoleh kekuatan untuk mendorong tanggapan yang mirip dengan apa yang dihasilkan rangsangan tanpa pengkondisian tadi. Dengan kata lain setelah lonceng dan anjing mengeluarkan air liur. Proses ini disebut pengkondisian klasik.
            Dengan kata lain proses yang dilakukan secara berulang-ulang akan menhubungkan rangsangan netral sebelumnya dengan rangsangan tanpa pengkondisian guna membangkitkan tanggapan pengkondisian. Hal ini berkaitan dengan proses belajar siswa, apabila siswa berasa dalam lingkungan yang mendukung baik itu lingkungan sekolah, keluarga bahkan masyarakat yang mendukung siswa itu untuk belajar salah satu halnya dengan pemberian motivasi dan rangsangan yang positif dalam membantu atau memberikan yang positif pula dalam dirinya, namun hal ini harus dilakukan secra berulang agar proses tersebut tertanam dalam dirinya sehingga menjadi suatu kebiasaan pada siswa tersebut.
B. Eksperimen Pavlov
Berikut adalah tahap-tahap eksperimen dan penjelasan dari gambar diatas:
Gambar pertama. Dimana anjing, bila diberikan sebuah makanan (UCS) maka secara otonom anjing akan mengeluarkan air liur (UCR).
Gambar kedua. Jika anjing dibunyikan sebuah bel maka ia tidak merespon atau mengeluarkan air liur.
Gambar keempat. Setelah perlakukan ini dilakukan secara berulang-ulang, maka ketika anjing mendengar bunyi bel (CS) tanpa diberikan makanan, secara otonom anjing akan memberikan respon berupa keluarnya air liur dari mulutnya (CR).Gambar ketiga. Sehingga dalam eksperimen ini anjing diberikan sebuah makanan (UCS) setelah diberikan bunyi bel (CS) terlebih dahulu, sehingga anjing akan mengeluarkan air liur (UCR) akibat pemberian makanan.
Dalam ekperimen ini bagaimana cara untuk membentuk perilaku anjing agar ketika bunyi bel di berikan ia akan merespon dengan mengeluarkan air liur walapun tanpa diberikan makanan. Karena pada awalnya (gambar 2) anjing tidak merespon apapun ketika mendengar bunyi bel. Jika anjing secara terus menerus diberikan stimulus berupa bunyi bel dan kemudian mengeluarkan air liur tanpa diberikan sebuah hadiah berupa makanan. Maka kemampuan stimulus terkondisi (bunyi bel) untuk menimbulkan respons (air liur) akan hilang. Hal ini disebut dengan extinction  atau penghapusan.
Pavlov mengemukakan empat peristiwa eksperimental dalam proses akuisisi dan penghapusan sebagai berikut:
  1. Stimulus tidak terkondisi (UCS), suatu peristiwa lingkungan yang melalui kemampuan bawaan dapat menimbulkan refleks organismik. Contoh: makanan
  2. Stimulus terkondisi (CS), Suatu peristiwa lingkungan yang bersifat netral dipasangkan dengan stimulus tak terkondisi (UCS). Contoh: Bunyi bel adalah stimulus netral yang di pasangkan dengan stimulus tidak terkondisi berupa makanan.
  3. Respons tidak terkondisi (UCR), refleks alami yang ditimbulkan secara otonom atau dengan sendirinya. Contoh: mengeluarkan air liur
  4. Respos terkondisi (CR), refleks yang dipelajari dan muncul akibat dari penggabungan CS dan US. Contoh: keluarnya air liur akibat penggabungan bunyi bel dengan makanan.
Kesimpulan yang didapat dari percobaan ini adalah bahwa tingkah laku sebenarnya tidak lain daripada rangkaian refleks berkondisi, yaitu refleks-refleks yang terjadi setelah adanya proses kondisioning (conditioning process) di mana refleks-refleks yang tadinya dihubungkan dengan rangsang-rangsang tak berkondisi lama-kelamaan dihubungkan dengan rangsang berkondisi. Dengan kata lain, gerakan-gerakan refleks itu dapat dipelajari, dapat berubah karena mendapat latihan. Sehingga dengan demikian dapat dibedakan dua macam refleks, yaitu refleks wajar (unconditioned refleks)-keluar air liur ketika melihat makanan yang lezat dan refleks bersyarat atau refleks yang dipelajari (conditioned refleks)-keluar air liur karena menerima atau bereaksi terhadap suara bunyi tertentu.
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya:
  1. Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
  2. Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun
Demikianlah maka menurut teori conditioning belajar itu adalah suatu proses perubahan yang terjadi karena adanya syarat-syarat (conditions) yang kemudian menimbulkan reaksi (response). Untuk menjadikan seseorang itu belajar haruslah kita memberikan syarat-syarat tertentu. Yang terpenting dalam belajar menurut teori conditioning ialah adanya latihan-latihan yang continue (terus-menerus). Yang diutamakan dalm teori ini adalah hal belajar yeng terjadi secara otomatis.

C. Prinsip Utama dalam Eksperimen Ivan Pavlov
Ada empat prinsip utama dalam eksperimen Ivan Pavlov, antara lain:
  1. Fase Akuisisi
Fase akuisisi  merupakan  fase belajar  permulaan dari   respons  kondisi.  Sebagai contoh,   anjing   ‘belajar’  mengeluarkan   air   liur   karena   pengkondisian   suara   lonceng. Beberapa faktor dapat mempengaruhi kecepatan conditioning selama fase akuisisi. Faktor yang paling penting adalah urutan dan waktu stimuli.  Conditioning  terjadi paling cepat ketika stimulus kondisi (suara  lonceng) mendahului  stimulus utama (makanan) dengan selang waktu setengah detik.  Conditioning memerlukan waktu  lebih  lama dan  respons yang terjadi lebih lemah bila dilakukan penundaan yang lama antara pemberian stimulus kondisi dengan stimulus utama. Jika stimulus kondisi mengikuti stimulus utama, sebagai contoh, jika anjing menerima makanan sebelum lonceng berbunyi maka conditioning jarang terjadi.
  1. Fase Eliminasi (Extintion)
Dalam ekperimen ini bagaimana cara untuk membentuk perilaku anjing agar ketika bunyi bel di berikan ia akan merespon dengan mengeluarkan air liur walapun tanpa diberikan makanan. Karena pada awalnya, anjing tidak merespon apapun ketika mendengar bunyi bel. Jika anjing secara terus menerus diberikan stimulus berupa bunyi bel dan kemudian mengeluarkan air liur tanpa diberikan sebuah hadiah berupa makanan. Maka kemampuan stimulus terkondisi (bunyi bel) untuk menimbulkan respons (air liur) akan hilang. Hal ini disebut dengan extinction  atau penghapusan.
3.      Fase Generalisasi
Setelah seekor hewan  telah ‘belajar’ respons kondisi  dengan satu stimulus,  ada kemungkinan juga ia merespons stimuli yang sama tanpa latihan lanjutan. Jika seorang anak digigit  oleh seekor  anjing hitam besar,  anak  tersebut  bukan hanya   takut  kepada anjing tersebut, namun juga takut kepada anjing yang lebih besar. Fenomena ini disebut generalisasi. Stimuli yang kurang intens biasanya menyebabkan generalisasi yang kurang intens. Sebagai  contoh,  anak  tersebut  ketakutannya menjadi  berkurang  terhadap anjing yang lebih kecil.  
4.      Fase Diskriminasi
Kebalikan   dari  generalisasi   adalah   diskriminasi. Kalau generalisasi merujuk pada tendensi untuk merespons sejumlah stimuli yang terkait dengan respons yang dipakai selama training. Diskriminasi mengacu pada tendensi untuk merespons sederetan stimuli yang amat terbatas atau hanya pada stimuli yang digunakan selama training saja. Ketika seorang individu  belajar menghasilkan respons kondisi pada satu stimulus dan tidak dari stimulus yang sama namun kondisinya berbeda. Sebagai contoh, seorang anak memperlihatkan respons takut pada anjing galak yang bebas,  namun mungkin memperlihatkan  rasa  tidak  takut ketika seekor anjing galak diikat atau terkurung dalam kandang.  

D. Kelebihan dan Kelemahan Teori Belajar Pavlov
            Kelebihan dari teori Ivan Pavlov ini adalah individu tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya. Hal ini sangat membantu dan memudahkan pendidik dalam dunia pendidikan untuk melakukan pembelajaran terhadap peserta didiknya.
Kelemahan dari teori Ivan Pavlov ini ialah, teori ini menganggap bahwa belajar itu hanyalah terjadi secara otomatis, keaktifan dan penentuan pribadi dalam tidak dihiraukannya. Peranan latihan/kebiasaan terlalu ditonjolkan. Sedangkan kita tahu bahwa dalam bertindak dan berbuat sesuatu, manusia tidak semata-mata tergantung kepada pengaruh dari luar. Aku atau pribadinya sendiri memegang peranan dalam memilih dan menentukan perbuatan dan reaksi apa yang akan dilakukannya. Teori Conditioning ini memang tepat kalau kita hubungkan dengan kehidupan binatang. Pada manusia, teori ini hanya dapat kita terima dalam hal-hal belajar tertentu saja. Umpamanya dalam belajar yang mengenai skills (kecekatan-kecekatan) tertentu dan mengenai pembiasaan pada anak-anak kecil.

E. Aplikasi Teori Belajar Pavlov dalam Pembelajran
1. Pembelajaran IPA
        Dalam pembelajaran IPA, sesedah menggunakan kelas untuk kegiatan belajar, guru dapat membagi kelompok piket kelas secara bergiliran. Berdasarkan hal tersebut, guru telah membiasakan siswa untuk menjaga kebersihan kelas. Dengan begitu, siswa akan terbiasa membersihkan kelas setelah kegiatan belajar berlangsung.
2. Pembelajaran PKn
        Dalam mengajarkan kedisiplinan kepada siswa, sebelum memasuki kelas guru dapat membiasakan siswa untuk perikasa kedisiplinan terlebih dahulu seperti membiasakan memerikasa kuku siswa, pakaian dan lain sebagainya. Dengan kegiatan seperti itu siswa akan termotivasi untuk hidup bedisiplin.
3. Pembelajaran B.Indonesia
        Dalam pembelajaran materi mengenai “Puisi” biasanya siswa sulit untuk membuat puisi. Berdasarkan hal tersebut, guru bisa membawa siswa ke lingkungan luar atau alam, dengan kegiatan tersebut guru bisa mengarahkan siswa untuk mau mengembangkan inspirasinya dalam membuat puisi.
4. Pembelajaran IPS
        Dalam pembelajaran IPS, siswa bisa dibiasakan untuk berdiskusi dalam menyelesaikan permasalahan kehidupan sehari-hari atau dalam bermusyawarah. Dengan demikian siswa akan mampu terbiasa dengan hal tersebut.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menerapkan teori belajar menurut Pavlov adalah ciri-ciri kuat yang mendasarinya yaitu:
  1. Mementingkan pengaruh lingkungan
  2. Mementingkan bagian-bagian
  3. Mementingkan peranan reaksi
  4. Mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar melalui prosedur stimulus respon
  5. Mementingkan peranan kemampuan yang sudah terbentuk sebelumnya
  6. Mementingkan pembentukan kebiasaan melalui latihan dan pengulangan
  7. Hasil belajar yang dicapai adalah munculnya perilaku yang diinginkan.
Sebagai konsekuensi teori ini, para guru yang menggunakan paradigma Pavlov akan menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap, sehingga tujuan pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Guru tidak banyak memberi ceramah, tetapi instruksi singkat yng diikuti contoh-contoh baik dilakukan sendiri maupun melalui simulasi. Bahan pelajaran disusun secara hierarki dari yang sederhana sampai pada yang kompleks.
Tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu keterampilan tertentu. Pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati. Kesalahan harus segera diperbaiki. Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori belajar Pavlov ini adalah tebentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku yang diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negatif.Evaluasi atau penilaian didasari atas perilaku yang tampak. Kritik terhadap teori belajar Pavlov adalah pembelajaran siswa yang berpusat pada guru, bersifaat mekanistik, dan hanya berorientasi pada hasil yang dapat diamati dan diukur.
Kritik ini sangat tidak berdasar karena penggunaan teori Pavlov mempunyai persyaratan tertentu sesuai dengan ciri yang dimunculkannya. Tidak setiap mata pelajaran bisa memakai metode ini, sehingga kejelian dan kepekaan guru pada situasi dan kondisi belajar sangat penting untuk menerapkan kondisi behavioristik.
Metode Pavlov ini sangat cocok untuk perolehan kemampuan yang membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti: kecepatan, spontanitas, kelenturan, reflek, daya tahan dan sebagainya, contohnya: percakapan bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan komputer, berenang, olahraga dan sebagainya. Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi permen atau pujian.

III. Teori Belajar David A. Kolb
A. Gaya Belajar Menurut David A. Kolb
            David A Kolb adalah seorang filosof yang beraliran humanistic. Dimana aliran ini lebih melihat pada sisi perkembangan manusia. Pendekatan ini melihat kejadian, yaitu bagaimana manusia membangun dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan yang bersifat positif ini yang di sebut dengan potensi manusia. Para pendidik yang beraliran humanism biasanya memfokuskan pengajaran pada pembangunan kemampuan positif ini. Kemampuan positif ini erat kaitannya dengan pengembangan emosi positif yang terdapat dalam domain afektif.
David Kolb mengemukakan adanya empat kutub yang terlihat diatas, antara lain:
a.    Kutub Perasaan/feeling (Concrete Experience)
Anak belajar melalui perasaan, dengan menekankan segi-segi pengalaman kongkret, lebih mementingkan relasi dengan sesama dan sensitivitas terhadap perasaan orang lain. Dalam proses belajar, anak cenderung lebih terbuka dan mampu beradaptasi terhadap perubahan yang dihadapinya.
b.    Kutub Pemikiran/thinking (Abstract Conceptualization)
Anak belajar melalui pemikiran dan lebih terfokus pada analisis logis dari ide-ide, perencanaan sistematis, dan pemahaman intelektual dari situasi atau perkara yang dihadapi. Dalam proses belajar, anak akan mengandalkan perencanaan sistematis serta mengembangkan teori dan ide untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya.
c.    Kutub Pengamatan/watching (Reflective Observation)
Anak belajar melalui pengamatan, penekanannya mengamati sebelum menilai, menyimak suatu perkara dari berbagai perspektif, dan selalu menyimak makna dari hal-hal yang diamati. Dalam proses belajar, anak akan menggunakan pikiran dan perasaannya untuk membentuk opini/pendapat.
d.   Kutub Tindakan/doing (Active Experimentation)
Anak belajar melalui tindakan, cenderung kuat dalam segi kemampuan melaksanakan tugas,berani mengambil resiko, dan mempengaruhi orang lain lewat perbuatannya. Dalam proses belajar, anak akan menghargai keberhasilannya dalam menyelesaikan pekerjaan, pengaruhnya pada orang lain, dan prestasinya.
Menurut Kolb, tidak ada individu yang gaya belajarnya secara mutlak didominasi oleh salah satu saja dari kutub tadi. Yang biasanya terjadi adalah kombinasi dari dua kutub dan membentuk satu kecenderungan atau orientasi belajar. Empat kutub di atas membentuk empat kombinasi gaya belajar. Pada model di atas, empat kombinasi gaya belajar diwakili oleh angka I hingga IV, dengan penjelasan seperti di bawah ini:
1.    Gaya Diverger
Kombinasi dari perasaan dan pengamatan (feeling and watching). Anak dengan tipe Diverger unggul dalam melihat situasi kongkret dari banyak sudut pandang yang berbeda. Pendekatannya pada setiap situasi adalah "mengamati" dan bukan "bertindak". Anak seperti ini menyukai tugas belajar yang menuntutnya untuk menghasilkan ide-ide (brainstorming), biasanya juga menyukai isu budaya serta suka sekali mengumpulkan berbagai informasi.
2.    Gaya Assimillator
Kombinasi dari berpikir dan mengamati (thinking and watching). Anak dengan tipe Assimilator memiliki kelebihan dalam memahami berbagai sajian informasi serta merangkumkannya dalam suatu format yang logis, singkat, dan jelas. Biasanya anak tipe ini kurang perhatian pada orang lain dan lebih menyukai ide serta konsep yang abstrak, mereka juga cenderung lebih teoritis.
3.    Gaya Converger
Kombinasi dari berfikir dan berbuat (thinking and doing). Anak dengan tipe Converger unggul dalam menemukan fungsi praktis dari berbagai ide dan teori. Biasanya mereka punya kemampuan yang baik dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Mereka juga cenderung lebih menyukai tugas-tugas teknis (aplikatif) daripada masalah sosial atau hubungan antar pribadi.
4.    Gaya Accomodator
Kombinasi dari perasaan dan tindakan (feeling and doing). Anak dengan tipe Accommodator memiliki kemampuan belajar yang baik dari hasil pengalaman nyata yang dilakukannya sendiri. Mereka suka membuat rencana dan melibatkan dirinya dalam berbagai pengalaman baru dan menantang. Mereka cenderung untuk bertindak berdasarkan intuisi/dorongan hati daripada berdasarkan analisa logis. Dalam usaha memecahkan masalah, mereka biasanya mempertimbangkan faktor manusia (untuk mendapatkan masukan/informasi) dibanding analisa teknis.
Menyimak berbagai gaya belajar di atas, sebagai guru perlu kiranya kita tetap sensitif terhadap strategi belajar kita sendiri, yang mungkin sama atau sama sekali berbeda dengan orientasi belajar peserta didik di kelas. Perbedaan itu dapat menimbulkan kesulitan dalam kegiatan belajar-mengajar (dalam interaksi, komunikasi, kerjasama, dan penilaian). Jika mengajar kita pahami sebagai kesempatan membantu peserta didik untuk belajar, maka kita harus berusaha membantu mereka memahami "Style of Learning"nya, dengan tujuan meningkatkan segi-segi yang kuat dan memperbaiki sisi-sisi yang lemah dari padanya.
Pada tahap paling dini dalam proses belajar, seorang siswa hanya mampu sekedar ikut mengalami suatu kejadian. Dia belum mempunyai kesadaran tentang hakikat kejadian tersebut. Dia pun belum mengerti bagaimana dan mengapa suatu kejadian harus terjadi seperti itu. Ini lah yang terjadi pada tahap pertama proses belajar. (Hamzah B. Uno, 2008:15).
Pada tahap kedua, siswa tersebut lambat laun mampu mengadakan observasi aktif terhadap kejadian itu, serta mulai berusaha memikirkan dan memahaminya. Inilah yang kurang lebih terjadi pada tahap pengamatan aktif dan reflektif. (Hamzah B. Uno, 2008:15).
Pada tahap ketiga, siswa mulai belajar untuk membuat abstraksi atau ”teori” tentang suatu hal yang pernah diamatinya. Pada tahap ini, siswa diharapkan sudah mampu untuk membut aturan-aturan umum (generalisasi) dari berbagai contoh kejadian yang meskipun tampak berbeda-beda, tetapi mempunyai landasan aturan yang sama. (Hamzah B. Uno, 2008:15).
Pada tahap akhir (eksperimentasi aktif), siswa sudah mampu mengaplikasikan suatu aturan umum ke situasi yang baru. Dalam dunia matematika misalnya, siswa tidak hanya memahami ”asal-usul” sebuah rumus, tetapi ia juga mampu memakai rumus tersebut untuk memecahkan suatu masalah yang belum ia temui sebelumnya. (Hamzah B. Uno, 2008:15). Menurut David A. Kolb, siklus belajar semacam itu terjadi secara berkesinambungan dan berlangsung diluar kesadaran siswa. Dengan kata lain, meskipun dalam teorinya kita mampu membuat garis tegas antara tahap satu dengan tahap lainnya, namun dalam praktik peralihan dari satu tahap ke tahap lainnya itu seringkali begitu saja, sulit kita tentukan kapan beralihnya. (Hamzah B. Uno, 2008:15). Dari teori yang diungkapkan oleh Kolb menunjukkn bahwa anak dapat melakukan proses pemahaman terhadap teks dan konteks yang ada dihadapannya dapat diserap dengan baik, bila teks dan konteks yang disodorkan semakin konkrit.

B. Aplikasi Teori Belajar A. Kolb dalam Pembelajaran
     1. Pembelajaran PKn
         Dalam pembelajaran di kelas guru membiasakan anak untuk menerapkan 3S (senyum, salam dan sapa) baik itu ketika bertemu dengan guru baik itu dilingkungan sekolah maupun di luar lingkungan sekolah.
     2. Pembelajaran IPS
                 Contohnya didalam satu kela, ada anak yang berasal dari keluarga berada dan anak yang berasal dari keluarga yang kurang mampu. Peran seorang guru disini harus menanamkan sikap pada diri anak. Bahwa dalam bergaul kita tidak boleh memandang status social dalam arti membeda-bedakan. Kita harus bersikap baik kepada sesame, diharapkan nantinya anak dapat mengerti bagaimana bermasyarakat yang baik.
            Teori belajar David A. Kolb lebih melihat pada sisi perkembangan manusia. Teori ini dapat diaplikasikan dengan bidang studi IPS, PKn, IPAdimana dalam pembelajaran anak dapat melihat sekitar lingkungannya baik itu dalam hal ekonomi, social dan kependudukan. Dalam bidang PKn, mendidik anak menjadi warga masyarakat yang baik dapat dilakukan dari berbagai media massa, internet dan didikan keluarga yang positif agar dapat memudhkan anak dalam mengikuti arus globalisasi. Dalam bidang IPS menjadikan anak melakukan hal-hal yang positif pada dirinya dapat dilakukan dengan cara melihat kejadian-kejadia yang terjadi di masyarakat yang mengajarkan artinya persaudaraan, bermasyarakat yang baik, dan berinteraksi dengan sesama manusia. Dalam bidang IPA, anak dapat diajak melihat kejadian bencana banjir secara langsung. Dalam hal ini guru harus menuntun siswaagar siswa mampu berfikir kritis hal apa sajakah yang dapat menyebabkan banjir itu terjadi. Sehingga anak akan mengetahui sendiri penyebab dari kejadian tersebut.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1.      Teori belajr sosial merupakan perluasan teori belajar prilaku. Prinsip belajar Bandura adalah usaha menjelaskan belajar dalam situasi alami. Teroi belajar social disebut juga teori pembelajaran observasional yang mengandung pengertian bahwa pembelajaran social merupakan pembelajaran yang dilakukan ketika seseorang mengamati dan meniru prilaku orang lain.  Menurut teori belajar social, belajar merupakan interaksi segitiga yang saling berpengaruh dan mengikat antara lingkungan, factor-faktor personal dan tingkah laku yang meliputi proses-proses kognitif belajar.
2.      Menurut teori belajar Pavlov (conditioning), belajar adalah suatu perubahan yang terjadi karena adanya syarat-syarat (condition) yang kemudian menimbulkan reaksi (respons). Dengan kata lain, untuk menjadikan seseorang itu belajar haruslah kita memberikan syarat-syarat tertentu. Yang terpenting menurut teori ini adalah adanya latihan-latihan yang continue (terus-menerus), dan belajar terjadi secara otomatis.
3.      Teori belajar David A. Kolb menekankan bahwa belajar itu terdiri dari empat kutub yaitu: perasaan, pemikiran, pengamatan dan tindakan. Dalam belajar, biasanya terjadi kombinasi dari dua kutub dan membentuk suatu kecenderungan atau orientasi belajar. Empat kutub tersebut, kemudian membentuk empat kombinasi gaya beajar.

B. Saran

Sebagai seorang pendidik tentunya kita harus bias mengenal karakteristik pesera didik kita agar dapat dengan mudah kita mengetahui tipe pembelajaran yang seperti apa yang sebaiknya digunakan oleh peserta didik kita. Selain itu berdasarkan teori pembelajar social, tentunya seorang pendidik haus bias mengkolaborasikan berbagai teori belajar yang ada. Karena pada hakikatnya teori belajar social merupakan perluasan dari berbagai teori-teori belajar social lainnya.


DAFTAR PUSTAKA
Endriani, Ani S.Pdi, MA. 2011. Faktor-Mempengaruhi-Sikap-Sosial. http://aniendriani.blogspot.com. Diakses pada tanggal 3 februari 2015.
Anonim. 2010. Teori Belajar Sosial.http://depe.blog.uns.ac.id.Diakses pada tanggal 3 Februari 2015.
Mutmainah, Latief. 2012. Teori Belajar Sosial. https://mutmainnahlatief.wordpress.com/2012/01/17/teori-belajar-sosial/. Diakses tanggal 3 Februari 2015.
Anonim. 2013. Teori Belajar Sosial Albert Bandura. http://psycholocious.blogspot.com/2013/02/teori-belajar-sosial-albert-bandura.html. Diakses pada tanggal 3Februari 2015.