BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Didalam UUD 1945 dinyatakan bahwa
tujuan kita membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia diantaranya adalah
untuk mencerdasakan kehidupan bangsa, bangsa yang cerdas adalah bangsa yang
dapat bangkit didalam menghadapi berbagai kesulitan. Tujuan Pendidikan
nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung
jawab. Pendidikan memiliki peran yang
sangat penting dalam keseluruhan hidup manusia.
Pendidikan berintikan interaksi antar manusia, terutama antara pendidik
dan terdidik demi mencapai tujuan pendidikan. Dalam interaksi tersebut terlibat
isi yang diinteraksikan serta proses bagaimana interaksi tersebut berlangsung.
Apakah yang menjadi tujuan pendidikan, siapakah pendidik dan terdidik, apa isi
pendidikan dan bagaimana proses interaksi pendidikan tersebut, merupakan
pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang mendasar, yang esensial,
yakni jawaban-jawaban filosofis.
Dalam
proses pendidikan,. aliran konstruktivisme menghendaki agar anak didik dapat
menggunakan kemampuannya secara konstruktif untuk menyesuaikan diri
dengan tuntutan perkembangan ilmu dan teknologi. Anak didik harus aktif
mengembangkan pengetahuan, bukan hanya menunggu arahan dan petunjuk dari guru
atau
sesama siswa. Kreativitas dan keaktifan siswa membantu untuk berdiri sendiri
dalam kehidupan, aliran ini mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif.
Sedangkan
penerapan dalam proses belajar mengajar aliran konstruktivisme memberikan
keleluasaan pada siswa untuk aktif membangun kebermaknaan sesuai dengan
pemahaman yang telah mereka miliki, memerlukan serangkaian kesadaran akan makna
bahwa pengetahuan tidak bersifat obyektif atau stabil, tetapi bersifat temporer
atau selalu berkembang tergantung pada persepsi subyektif individu dan individu
yang berpengetahuan menginterpretasikan serta mengkonstruksi suatu realisasi
berdasarkan pengalaman dan interaksinya dengan lingkungan. Pengetahuan berguna
jika mampu memecahkan persoalan yang ada.
A. Rumusan Masalah
1.
Apa
yang dimaksud dengan kontruktivisme?
2.
Apa landasan pada filosofi pendidikan kontuktivisme ?
3.
Apa pengaruh filsafat kontruktivisme dalam bidang
pendidikan?
4.
Apa yang dimaksud dengan Pendidikan nasional berdasarkan pancasila?
5.
Apa Implikasi Filsafat Pancasila bagi pendidikan?
B.
Tujuan penulisan
1.
Mengetahui
arti dari filsafat kontruktivisme.
2.
Mengetahui
landasan filosofis pendidikan kontruktivisme.
3.
Mengetahui
pengaruh filsafat
kontruktivisme dalam bidang pendidikan.
4.
Mengetahui
arti
pendidikan nasional berdasarkan pancasila.
5.
Mengetahui Implikasi Filsafat Pancasila bagi pendidikan.
C.
Sistematika Penulisan
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I Pendahuluan
A.
Latar
Belakang
B.
Rumusan
Masalah
C.
Tujuan
penulisan
BAB II Pembahasan
1.
Apa
yang melandasi adanya filosofi pendidikan kontruktivisme
2.
Apa
yang dimaksud dengan filsafat kontruktivisme
3.
Bagaimana mengaplikasikan filsafat kontruktivisme
dalam bidang pendidikan
4.
Apa pengaruh filsafat kontruktivisme dalam
bidang pendidikan
5.
Apa yang dimaksud dengan pendidikan nasional
berdasarkan pancasila
BAB III Penutup
A.
Kesimpulan
B.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
PEMBAHASAN
A. Landasan Filosofis Pendidikan Kontruktivisme
1. Pengertian Kontruktivisme
Konstruktivisme
adalah suatu filsafat pengetahuan yang memiliki anggapan bahwa pengetahuan
adalah hasil dari konstruksi (bentukan) manusia itu sendiri. Manusia
menkonstruksi pengetahuan mereka melalui interaksi mereka dengan objek,
fenomena, pengalaman dan lingkungan mereka. Suatu pengetahuan dianggap benar
bila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan
yang sesuai (Suparno, 2008:28). Menurut paham konstruktivisme, pengetahuan
tidak dapat ditransfer begitu saja dari seseorang kepada yang lain, tetapi
harus diinterpretasikan sendiri oleh tiap-tiap orang.
Ada 3 jenis kontruktivisme, yaitu:
a. Kontruktivisme Psikologis Personal yang
menekankan bahwa pribadi (subjek) sendirilah yang mengkontruksikan pengetahuan.
b. Kontruktivisme Sosiologis yang lebih
menekankan masyarakat sebagai pembentuk pengetahuan.
c. Sosiokulturalisme yang mengakui baik
peranan aktif personal maupun masyarakat dan lingkungan dalam pembentukan
pengetahuan. Sosiokulturalisme inilah yang mulai banyak diterima dalam
pendidikan sains dan matematika.
2. Filsafat Pendidikan Kontruktivisme
Tema utama filsafat Kontruktivisme yaitu berkenaan dengan hakikat
pengetahuan. Filsafat Kontruktivisme berimplikasi terhadap pendidikan,
khususnya dalam bidang pendidikan sains dan matematika. Pada tahun 1710
Giambatista Vico dalam karyanya De
Antiquissima Itolarum sapienta, mengungkapkan filsafatnya dengan berkata
“Tuhan adalah penciptaan alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan”.
“Mengetahui” berarti “ mengetahui bagaimana membuat sesuatu”. Artinya,
seseorang dipandang mengetahui jika ia dapat menjelaskan unsur-unsur yang
membangun sesuatu itu serta bagaimana membuatnya. Menurut Vico, hanya Tuhanlah
yang dapat mengerti alam raya ini, sebab hanya Dia yang tahu bagaimana
membuatnya dan dari apa Ia membuatnya. Sedangkan manusia hanya dapat mengetahui
sesuatu yang telah dikontruksikannya.
Ada beberapa pandangan dalam Filosofis
Pendidikan Kontruktivisme, yaitu:
a. Pandangan Metafisika
Hakikat Realitas. Menurut
kontruktifisme, manusia tidak pernah dapat mengerti realitas yang sesungguhnya
secara ontologis. Yang dapat kita mengerti hanyalah struktur kontruksi akan
sesuatu objek (Shapiro:1994). Bangsa Indonesia menyakini bahwa realitas atau
alam semesta tidaklah ada dengan sendirinya, melainkan sebagai ciptaan
(makhluk) Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan adalah Sumber Pertama dari segala yang
ada, Ia adalah sebab pertama dari segala sebab, tetapi Ia tidak disebabakan
oleh sebab-sebab yang lainnya, dan Ia juga adalah tujuan akhir segala yang ada.
Di alam semesta, bukan hanya realitas fisik atau hanya realitas non fisik
yang ada, realitas yang bersifat fisik dan non fisik tampak dalam pluralitas
fenomena alam semesta sebagai isi, nilai, norma atau hukum didalamnya. Alam
tersebut adalah tempat dan sarana bagi manusia dalam rangka hidup dan
kehidupannya, dalam rangka melaksanakan tugas hidup untuk mencapai tujuan
hidupnya. Dibalik itu, terdapat alam akhir yang abadi dimana setelah mati
manusia akan dimintai pertanggung jawaban dan menerima imbalan atas pelaksanaan
tugas dari Tuhan YME. Dalam uraian diatas tersurat dan tersirat makna adanya realitas
yang besifat abadi dan realitas yang bersifat fana.
Termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, bahwa hakikat hidup bangsa Indonesia adalah berkat rahmat Allah
Yang Maha Kuasa dan perjuangan yang didorong oleh keinginan luhur untuk
mencapai dan mengisi kemerdekaan. Adapun yang menjadi keinginan luhur tersebut
yaitu:
1) Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur
2) Melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia
3) Memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa
4) Ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan social.
Dari pernyataan diatas
dapat dipahami bahwa realitas juga hakikatnya tidak bersifat given
(terberi) dan final, melainkan juga “mewujud” sebagaimana kita manusia dan
semua anggota alam semesta berpartisipasi “mewujudkannya”.
Hakikat Manusia. Manusia adalah makhluk Tuhan YME.
Manusia adalah kesatuan badan-rohani yang hidup dalam ruang dan waktu, memiliki
kesadaran (consciousness) dan
penyadaran diri (self-awareness),
mempunyai berbagai kebutuhan, dibekali naluri dan nafsu, serta memiliki tuuan
hidup. Manusia dibekali potensi untuk mampu beriman dan bertakwa kepada Tuhan
YME dan untuk berbuat baik, namun disamping itu karena hawa nafsunya manusia
pun memiliki kemungkinan untuk berbuat jahat. Selain itu, manusia memiliki
potensi untuk: mampu berfikir (cipta), berperasaan (rasa), berkemauan (karsa),
dan berkarya (karya). Adapun dalam eksistensinya, manusia berdimensi
individulitas atau personalitas, sosialitas, cultural, moralias, dan religius.
Adapun semua itu menunjukkan adanya dimensi interaksi atau komunikasi (vertical
maupun horizontal, historistis dan dinamika pada diri manusia).
Pancasila mengajarkan
bahwa eksistensi manusia bersifat mono-pluralis tetapi bersifat integral,
artinya bahwa manusia yang
serba dimensi itu hakikatnya adalah satu kesatuan utuh. Pancasila menganut asas Ketuhanan Yang Maha Esa: manusia
diyakini sebagai makhluk Tuhan YME (aspek religius) asas mono dualisme, manusia adalah kesatuan badani-ruhani, ia
adalah pribadi atau individual tetapi sekaligus insan social. Asas
mono-pluralisme, meyakini keragaman manusia, baik suku bangsa, budaya, dan
sebagainya, tetapi adalah satu kesatuan sebagai bangsa Indonesia (Bhineka
Tunggal Ika). Asas nasionalme, dalam eksisitennya manusia terikat oleh ruang
dan waktu, sebab itu ia mempunyai relasi dengan daerah, jaman, dan sejarahnya
yang diungkapkan dengan sikapnya mencintai tanah air, nusa, dan bangsa. Asas
internasionalisme, manusia Indonesia tidak meniadakan eksistensi manusia lain
baik sebagai pribadi, kelompok, atau bangsa lain. Asas demokrasi, dalam
mencapai tujuan kesejahteraan bersama, kesamaan hak dan kewajiban menjadi dasar
hubungan antara warga negara dan hubungan antara warga negara dan negara dan
sebaliknya. Asas keadilan social, dalam merealisasikan diri manusia harus
senantasa menjungjung tinggi tujuan kepentingan bersama dalam membagi hasil
pembudayaannya (BP-7 Pusat:1995).
b.
Pandangan Epistemologi
Hakikat Pengetahuan. Segala pengetahuan hakikatnya bersumber dari Sumber Pertama yaitu
Tuhan YME. Tuhan telah menurunkan pengetahuan baik melalui Utusan-Nya (berupa
wahyu) maupun meelalui berbagai hal yang digelarkan Nya di alam semesta
termasuk hukum-hukum yang terdapat didalamnya. Manusia dapat memperoleh
pengetahuan melalui keimanan atau kepercayaan, berfikir, pengalaman empiris,
penghayatan, dan intuisi. Kebenaran pengetahuan ada yang bersifat mutlak
(seperti dalam pengetahuan keagamaan atau revealed knowledge yang diimani),
tetapi ada pula yang besifat relative (seperti dalam pengetahuan ilmiah sebagai
hasil upaya manusia melalui riset, dan sebagainya). Pengetahuan yang bersifat
mutlak (ajaran agama atau wahyu Tuhan) diyakini mutlak kebenarannya atas dasar
keimanan kepada Tuhan YME. Pengetahuan yang bersifat relative (filsafat, sains,
dan lain-lain) diuji kebenarannya melalui uji konsistensi logis ide-idenya,
kesesuaiannya dengan data atau fakta empiris, dan nilai kegunaan praktisnya
bagi kesejataraan manusia dengan mengacu kepada kebenaran dan nilai-nilai yang
bersifat mutlak.
c.
Pandangan tentang Pendidikan
1) Pendidikan (mengajar)
Dalam Kontruktivisme istilah pendidikan lebih diartikan sebagai mengajar. Ada beberapa
pengertian dari mengajar diantaranya:
a)
Mengajar berarti
berpartisipasi dengan pelajar dalam mengkontruksi pengetahuan, membuat makna,
mempertanyakan kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi. Jadi
mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri (Bettencourt:1989).
b)
Mengajar dalam konteks
ini adalah membantu seseorang berfikir secara benar dengan membiarkannya
berfikir sendir (von Glasersfeld:1989).
c)
Mengajar adalah suatu
seni yang menuntut bukan hanya penguasaan teknik, melainkan juga intuisi (Paul
Suparno:1997).
2) Tujuan pendidikan
(Pengajaran)
Tujuan pengajaran Kontruktivisme lebiah menekankan pada perkembangan konsep
dan pengertian yang mendalan sebagai hasil konstruksi aktif si pelajar
(Fosnot:1996). Menurut Maturasionisme jika seseorang mengikuti langkah-langkah
perkembangan yang ada, dengan sendirinya akan menemukan pengetahuan yang
lengkap. Sedangkan menurut Kontruktivisme, jika seorang tidak mengkontruksikan
pengetahuannya sendiri secara aktif, meskipun ia berumur tua, pengetahuannya
akan tetap tidak berkembang (Paul Suparno:1997).
3) Kurikulum
Driver dan Oldham (Matthews:1994) menyatakan bahwa perencana kurikululm
kontruktivis tidak dapat begitu saja mengambil kurikulum standar yang
menekankan siswa pasif dan guru aktif, sebagai cara mentransfer pengetahuan
dari guru kepada murid. Kurikulum bukan sebagai tubuh pengetahuan atau kumpulan
keterampilan (skill), melainkan lebih sebagai program aktivitas dimana
pengetahuan dan keterampilan dapat dikontruksikan. Kurikulum bukan
kumpulan bahan yang sudah ditentukan
sebelumnya untuk mengajar, melainkan lebih sebagai suatu persoalan yang perlu
dipecahkan oleh para siswa untuk lebih mengerti (Paul Suparno:1997).
4) Metode
Setiap pelajar mempunyai caranya sendiri untuk mengerti, karena itu mereka
perlu menemukan cara belajar yang tepat untuk dirinya masing-masing. Dalam
konteks ini maka tidak ada satu metode mengajar yang tepat, satu metode
mengajarcsaja tidak akan banyak membantu pelajar belajar, sehingga pengajar
sangat mungkin untuk mempertimbangkan dan menggunakan berbagai metode yang
membantu pelajar belajar. Selain itu, mengingat pengetahuan dibentuk baik
secara individual maupun sosial, maka kelompok belajar dapat dikembangkan (Paul
Suparno:1997).
5)
Peranan guru dan peserta didik
Dalam kegiatan mengajar guru hendaknya berperan sebagai mediator dan
fasilitator yang membantu agar proses belajar peserta didik berjalan dengan
bai. Menurut Tobin, dkk.,(1994) “bagi siswa, guru berfungsi sebagai mediator,
pemandu, dan sekaligus teman belajar (Paul Suparno, 1977). Dalam artian ini,
guru dan peserta didik atau pelajar lebih sebagai mitra yang bersama-sama
membangun pengetahuan. Adapun peserta didik dituntut aktif belajar dalam rangka
mengontruksi pengetahuannya, dank arena itu peserta didik sendirilah yang harus
bertanggung jawab atas hasil belajarnya.
3.
Pengaruh
Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan
Sebenarnya
prinsip-prinsip konstruktivisme telah banyak digunakan dalam pendidikan sains
dan matematika. Secara umum prinsip-prinsip itu berperan sebagai referensi dan
alat refleksi kritis terhadap praktek, pembaruan dan perencanaan pendidikan
sains dan matematika. Prinsip-prinsip yang diambil dari konstruktivisme adalah:
a. Pengetahuan
dibangun oleh peserta didik secara aktif.
b. Tekanan dalam proses belajar terletak pada peserta didik.
c. Mengajar adalah membantu peserta didik belajar.
d. Tekanan dalam proses belajar lebih pada proses, bukan hasil.
e. Kurikulum menekankan partisipasi peserta didik.
f. Guru adalah fasilitator.
Berkaitan
dengan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di Indonesia
yang memberikan kewenangan kepada sekolah dan para guru untuk menyusun sendiri
kurikulum pembelajaran yang akan dijalankan, prinsip-prinsip konstruktivisme
tentu dapat menjadi roh dari setiap silabus yang disusunnya. Hal yang tetap
harus diperhatikan adalah kesiapan lingkungan belajar, baik pendidik,
lingkungan, sarana prasarana dan pendukung lainnya. Jika hal-hal tersebut tidak
dipersiapkan dengan baik, bisa jadi terjadi hal-hal yang melenceng dari
harapan. Karena peserta didik mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak
jarang bahwa hasil konstruksinya tidak sesuai dengan hasil konstruksi para
ilmuwan, maka muncullah salah pengertian atau konsep alternative. Dalam hal
seperti ini diperlukan penelusuran dan penelitian untuk menemukan permasalahan
dan mengatasinya.
B. Landasan Filosofis Pendidikan Nasional
1.
Filsafat Pendidikan Nasional
Berdasarkan Pancasila
Pancasila adalah dasar Negara
Republik Indonesia. Pancasila yang dimaksud adalah Pancasila yang rumusannya termaktub
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu : “Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan atau Perwakilan,
Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia”. Karena Pancasila adalah dasar
Negara Indonesia, implikasinya maka Pancasila juga adalah dasar pendidikan
nasional. Berkenaan dengan ini Pasal 2 Undang-Undang RI No.20 Tahun 2003
Tentang “Sistem Pendidikan Nasional” menyatakan bahwa: “ Pendidikan nasional
adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 “.
Sehubungan dengan hal
diatas dan arena Pancasila adalah filsafat hidup bangsa Indonesia, maka pada
hakikatnya bangsa Indonesia memiliki landasan filosofis pendidikan tersendiri
dalam system pendidikan nasionalnya, yaitu filsafat pendidikan yang berdasarkan
Pancasila. Sebab itu, kita perlu mengkaji nilai-nilai Pancasila untuk dijadikan
titik tolak dalam rangka praktek pendidikan maupun studi pendidikan. Barang
kali muncul pertanyaan di benak kita jika demikian halnya, untuk apa kita
mempelajari landasan filosofis pendidikan dari berbagai aliran (seperti:
Idealisme, Konstruktivisme, Pragmatisme, dan sebagainya). Sebagaimana telah
dipelajari melalui bab-bab terdahulu,
berbagai landasan filosofis pendidikan tersebut tetap perlu kita kaji
dengan tujuan untuk memahaminya, untuk kita pilah dan kita pilih
gagasan-gagasannya yang positif yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai
Pancasila, untuk diambil hikmahnya dalam rangka mengembangkan dan memperkaya
kebudayaan (pendidikan) kita. Hal ini memilki landasan yudiris yang kuat
sebagaimana tertuang dalam Pasal 32 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
2.
Konsep Filsafat Pancasila
Pancasila sebagai konsep filsafat memiliki nilai-nilai luhur yang menjiwai
kehidupan bangsa Indonesia, karena didalamnya mengandung muatan-muatan
filosofis yang dapat dikaji dan diyakini kebenarannya.
a. Pancasila dan metafisika
Bangsa Indonesia meyakini adanya Tuhan YME sebagai causa
prima. Keyakinan ini menjadi pondasi terhadap seluruh perilaku bangsa
Indonesia untuk kehidupan bernegara.
b. Pancasila dan epistemologi
Salah satu pokok pikiran dalam pekmbukaan UUD 1945 adalah Negara hendaknya
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Pokok pikiran ini mengandung
makna bahwa Negara berupaya meningkatkan keadilan, kesejahteraan hidup rakyat
melalui pembangunan di segala bidang. Semuanya harus didukung melalui
pengembangan ilmu pengetahuan
c. Pancasila dan aksiologi
Ilmu dan teknologi merupakan pondasi suksesnya pembangunan. Namun sukses
tersebut memerlukan disiplin dari manusianya.
Nilai dasar pancasila adalah kemerdekaan seperti tercantum pada alinea 3
pembukaan UUD 194. Nilai kemerdekaan sebagai modal dasar bangsa Indonesia untuk
lebih maju dalam keadilan dan kemakmuran rakyat.
3. Implikasi Filsafat Pancasila bagi Pendidikan
Tujuan hidup bangsa
Indonesia adalah hidup kemanusiaan yang memiliki ciri-ciri nilai luhur
pancasila. Ciri-ciri kemanusiaan yang terlihat dari pancasila adalah ;
a. Integral
Kemanusiaan yang
diajarkan pancasila adalah kemanusiaan yang mengakui manusia seutuhnya, hakekat
ini merupakan hakekat manusia sebagai subyek didik.
b. Etis
Pancasila mengandung
nilai-nilai moral yang menjadi pedoman tindakan dalam setiap bidang kehidupan.
Jadi, pendidikan harus selasar dengan nilai-nilai pancasila.
c. Religius
Pancasila mengakui
Tuhan sebagai Maha Pencipta dan sumber eksistensi. Filsafat pancasila
mengimplikasikan bahwa kegiatan pendidikan harus menumbuh kembangkan
nilai-nilai moral dari 5 sila pancasila pada diri subjek didik melalui berbagai
kegiatan.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Konstruktivisme adalah suatu filsafat pengetahuan yang memiliki
anggapan bahwa pengetahuan adalah hasil dari konstruksi (bentukan) manusia itu
sendiri. Manusia menkonstruksi pengetahuan mereka melalui interaksi mereka
dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungan mereka. Suatu pengetahuan
dianggap benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan
memecahkan persoalan yang sesuai.
Tema utama filsafat Kontruktivisme yaitu berkenaan dengan hakikat
pengetahuan. Filsafat Kontruktivisme berimplikasi terhadap pendidikan,
khususnya dalam bidang pendidikan sains dan matematika.
Prinsip-prinsip
konstruktivisme telah banyak digunakan dalam pendidikan sains dan matematika.
Secara umum prinsip-prinsip itu berperan sebagai referensi dan alat refleksi
kritis terhadap praktek, pembaruan dan perencanaan pendidikan sains dan
matematika.
Pancasila adalah filsafat hidup bangsa Indonesia, maka pada hakikatnya
bangsa Indonesia memiliki landasan filosofis pendidikan tersendiri dalam system
pendidikan nasionalnya, yaitu filsafat pendidikan yang berdasarkan Pancasila.
Sebab itu, kita perlu mengkaji nilai-nilai Pancasila untuk dijadikan titik
tolak dalam rangka praktek pendidikan maupun studi pendidikan.
Tujuan hidup bangsa
Indonesia adalah hidup kemanusiaan yang memiliki ciri-ciri nilai luhur
pancasila. Ciri-ciri kemanusiaan yang terlihat dari pancasila adalah ;
a.
Integral
b.
Etis
c.
Religious
B. Saran
Dalam proses belajar mengajar seseorang guru endaknya
memahami Landasan Filosofis Pendidikan Kontruktivisme dan Landasan Filosofis
Pendidikan Nasional atau Pancasila. Hal ini tentu mempengaruhi proses belajar
mengajar untuk mencapai hasil optimal.
DAFTAR
PUSTAKA
Wahyudin, Dinn. 2011.
Pengantar Pendidikan. Jakarta: Universitas Terbuka.
Syarifudin, Tatang.
Nur’aini. 2006.Landasan pendidikan.bandung : UPI Press
Markus Basuki 22.07Filsafat Konstruktivisme
Tidak ada komentar:
Posting Komentar