Kamis, 20 Juni 2019

LANDASAN FILOSOFIS PENDIDIKAN KONTRUKTIVISME DAN PENDIDIKAN NASIONAL (PANCASILA)


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
            Didalam UUD 1945 dinyatakan bahwa tujuan kita membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia diantaranya adalah untuk mencerdasakan kehidupan bangsa, bangsa yang cerdas adalah bangsa yang dapat bangkit didalam menghadapi berbagai kesulitan. Tujuan Pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.  Pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam keseluruhan hidup manusia.  Pendidikan berintikan interaksi antar manusia, terutama antara pendidik dan terdidik demi mencapai tujuan pendidikan. Dalam interaksi tersebut terlibat isi yang diinteraksikan serta proses bagaimana interaksi tersebut berlangsung. Apakah yang menjadi tujuan pendidikan, siapakah pendidik dan terdidik, apa isi pendidikan dan bagaimana proses interaksi pendidikan tersebut, merupakan pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang mendasar, yang esensial, yakni jawaban-jawaban filosofis.
Dalam proses pendidikan,. aliran konstruktivisme menghendaki agar anak didik dapat menggunakan kemampuannya secara konstruktif  untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan perkembangan ilmu dan teknologi. Anak didik harus aktif mengembangkan pengetahuan, bukan hanya menunggu arahan dan petunjuk dari guru
atau sesama siswa. Kreativitas dan keaktifan siswa membantu untuk berdiri sendiri dalam kehidupan, aliran ini mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif.
Sedangkan penerapan dalam proses belajar mengajar aliran konstruktivisme memberikan keleluasaan pada siswa untuk aktif membangun kebermaknaan sesuai dengan pemahaman yang telah mereka miliki, memerlukan serangkaian kesadaran akan makna bahwa pengetahuan tidak bersifat obyektif atau stabil, tetapi bersifat temporer atau selalu berkembang tergantung pada persepsi subyektif individu dan individu yang berpengetahuan menginterpretasikan serta mengkonstruksi suatu realisasi berdasarkan pengalaman dan interaksinya dengan lingkungan. Pengetahuan berguna jika mampu memecahkan persoalan yang ada.
A.    Rumusan Masalah
1.      Apa yang  dimaksud dengan kontruktivisme?
2.      Apa landasan pada filosofi pendidikan kontuktivisme ?
3.      Apa pengaruh filsafat kontruktivisme dalam bidang pendidikan?
4.      Apa yang dimaksud dengan Pendidikan nasional berdasarkan pancasila?
5.      Apa Implikasi Filsafat Pancasila bagi pendidikan?

B.       Tujuan penulisan

1.      Mengetahui arti dari filsafat kontruktivisme.
2.      Mengetahui landasan filosofis pendidikan kontruktivisme.
3.      Mengetahui pengaruh filsafat kontruktivisme dalam bidang pendidikan.
4.      Mengetahui arti pendidikan nasional berdasarkan pancasila.
5.      Mengetahui Implikasi Filsafat Pancasila bagi pendidikan.


C.           Sistematika Penulisan 

Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I Pendahuluan
A.                   Latar Belakang
B.                   Rumusan Masalah
C.                   Tujuan penulisan
     BAB II Pembahasan
1.      Apa yang melandasi adanya filosofi pendidikan kontruktivisme
2.      Apa yang  dimaksud dengan filsafat kontruktivisme
3.      Bagaimana mengaplikasikan filsafat kontruktivisme dalam bidang pendidikan
4.      Apa pengaruh filsafat kontruktivisme dalam bidang pendidikan
5.      Apa yang dimaksud dengan pendidikan nasional berdasarkan pancasila
     BAB III Penutup
A.    Kesimpulan
B.     Saran
     DAFTAR PUSTAKA
  
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Landasan Filosofis Pendidikan Kontruktivisme

1.    Pengertian Kontruktivisme
          Konstruktivisme adalah suatu filsafat pengetahuan yang memiliki anggapan bahwa pengetahuan adalah hasil dari konstruksi (bentukan) manusia itu sendiri. Manusia menkonstruksi pengetahuan mereka melalui interaksi mereka dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungan mereka. Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan yang sesuai (Suparno, 2008:28). Menurut paham konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seseorang kepada yang lain, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh tiap-tiap orang.
Ada 3 jenis kontruktivisme, yaitu:
a.       Kontruktivisme Psikologis Personal yang menekankan bahwa pribadi (subjek) sendirilah yang mengkontruksikan pengetahuan.
b.      Kontruktivisme Sosiologis yang lebih menekankan masyarakat sebagai pembentuk pengetahuan.
c.       Sosiokulturalisme yang mengakui baik peranan aktif personal maupun masyarakat dan lingkungan dalam pembentukan pengetahuan. Sosiokulturalisme inilah yang mulai banyak diterima dalam pendidikan sains dan matematika.
2.    Filsafat Pendidikan Kontruktivisme
Tema utama filsafat Kontruktivisme yaitu berkenaan dengan hakikat pengetahuan. Filsafat Kontruktivisme berimplikasi terhadap pendidikan, khususnya dalam bidang pendidikan sains dan matematika. Pada tahun 1710 Giambatista Vico dalam karyanya De Antiquissima Itolarum sapienta, mengungkapkan filsafatnya dengan berkata “Tuhan adalah penciptaan alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan”. “Mengetahui” berarti “ mengetahui bagaimana membuat sesuatu”. Artinya, seseorang dipandang mengetahui jika ia dapat menjelaskan unsur-unsur yang membangun sesuatu itu serta bagaimana membuatnya. Menurut Vico, hanya Tuhanlah yang dapat mengerti alam raya ini, sebab hanya Dia yang tahu bagaimana membuatnya dan dari apa Ia membuatnya. Sedangkan manusia hanya dapat mengetahui sesuatu yang telah dikontruksikannya.
Ada beberapa pandangan dalam Filosofis Pendidikan Kontruktivisme, yaitu:
a.       Pandangan Metafisika
Hakikat Realitas. Menurut kontruktifisme, manusia tidak pernah dapat mengerti realitas yang sesungguhnya secara ontologis. Yang dapat kita mengerti hanyalah struktur kontruksi akan sesuatu objek (Shapiro:1994). Bangsa Indonesia menyakini bahwa realitas atau alam semesta tidaklah ada dengan sendirinya, melainkan sebagai ciptaan (makhluk) Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan adalah Sumber Pertama dari segala yang ada, Ia adalah sebab pertama dari segala sebab, tetapi Ia tidak disebabakan oleh sebab-sebab yang lainnya, dan Ia juga adalah tujuan akhir segala yang ada.
Di alam semesta, bukan hanya realitas fisik atau hanya realitas non fisik yang ada, realitas yang bersifat fisik dan non fisik tampak dalam pluralitas fenomena alam semesta sebagai isi, nilai, norma atau hukum didalamnya. Alam tersebut adalah tempat dan sarana bagi manusia dalam rangka hidup dan kehidupannya, dalam rangka melaksanakan tugas hidup untuk mencapai tujuan hidupnya. Dibalik itu, terdapat alam akhir yang abadi dimana setelah mati manusia akan dimintai pertanggung jawaban dan menerima imbalan atas pelaksanaan tugas dari Tuhan YME. Dalam uraian diatas tersurat dan tersirat makna adanya realitas yang besifat abadi dan realitas yang bersifat fana.
Termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa hakikat hidup bangsa Indonesia adalah berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan perjuangan yang didorong oleh keinginan luhur untuk mencapai dan mengisi kemerdekaan. Adapun yang menjadi keinginan luhur tersebut yaitu:
1)      Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur
2)       Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
3)       Memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa
4)      Ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social.
Dari pernyataan diatas dapat dipahami bahwa realitas juga hakikatnya tidak bersifat given (terberi) dan final, melainkan juga “mewujud” sebagaimana kita manusia dan semua anggota alam semesta berpartisipasi “mewujudkannya”.
            Hakikat Manusia. Manusia adalah makhluk Tuhan YME. Manusia adalah kesatuan badan-rohani yang hidup dalam ruang dan waktu, memiliki kesadaran (consciousness) dan penyadaran diri (self-awareness), mempunyai berbagai kebutuhan, dibekali naluri dan nafsu, serta memiliki tuuan hidup. Manusia dibekali potensi untuk mampu beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME dan untuk berbuat baik, namun disamping itu karena hawa nafsunya manusia pun memiliki kemungkinan untuk berbuat jahat. Selain itu, manusia memiliki potensi untuk: mampu berfikir (cipta), berperasaan (rasa), berkemauan (karsa), dan berkarya (karya). Adapun dalam eksistensinya, manusia berdimensi individulitas atau personalitas, sosialitas, cultural, moralias, dan religius. Adapun semua itu menunjukkan adanya dimensi interaksi atau komunikasi (vertical maupun horizontal, historistis dan dinamika pada diri manusia).
            Pancasila mengajarkan bahwa eksistensi manusia bersifat mono-pluralis tetapi bersifat integral, artinya bahwa manusia yang serba dimensi itu hakikatnya adalah satu kesatuan utuh. Pancasila menganut asas Ketuhanan Yang Maha Esa: manusia diyakini sebagai makhluk Tuhan YME (aspek religius) asas mono dualisme, manusia adalah kesatuan badani-ruhani, ia adalah pribadi atau individual tetapi sekaligus insan social. Asas mono-pluralisme, meyakini keragaman manusia, baik suku bangsa, budaya, dan sebagainya, tetapi adalah satu kesatuan sebagai bangsa Indonesia (Bhineka Tunggal Ika). Asas nasionalme, dalam eksisitennya manusia terikat oleh ruang dan waktu, sebab itu ia mempunyai relasi dengan daerah, jaman, dan sejarahnya yang diungkapkan dengan sikapnya mencintai tanah air, nusa, dan bangsa. Asas internasionalisme, manusia Indonesia tidak meniadakan eksistensi manusia lain baik sebagai pribadi, kelompok, atau bangsa lain. Asas demokrasi, dalam mencapai tujuan kesejahteraan bersama, kesamaan hak dan kewajiban menjadi dasar hubungan antara warga negara dan hubungan antara warga negara dan negara dan sebaliknya. Asas keadilan social, dalam merealisasikan diri manusia harus senantasa menjungjung tinggi tujuan kepentingan bersama dalam membagi hasil pembudayaannya (BP-7 Pusat:1995).
b.      Pandangan Epistemologi
Hakikat Pengetahuan. Segala pengetahuan hakikatnya bersumber dari  Sumber Pertama yaitu Tuhan YME. Tuhan telah menurunkan pengetahuan baik melalui Utusan-Nya (berupa wahyu) maupun meelalui berbagai hal yang digelarkan Nya di alam semesta termasuk hukum-hukum yang terdapat didalamnya. Manusia dapat memperoleh pengetahuan melalui keimanan atau kepercayaan, berfikir, pengalaman empiris, penghayatan, dan intuisi. Kebenaran pengetahuan ada yang bersifat mutlak (seperti dalam pengetahuan keagamaan atau revealed knowledge yang diimani), tetapi ada pula yang besifat relative (seperti dalam pengetahuan ilmiah sebagai hasil upaya manusia melalui riset, dan sebagainya). Pengetahuan yang bersifat mutlak (ajaran agama atau wahyu Tuhan) diyakini mutlak kebenarannya atas dasar keimanan kepada Tuhan YME. Pengetahuan yang bersifat relative (filsafat, sains, dan lain-lain) diuji kebenarannya melalui uji konsistensi logis ide-idenya, kesesuaiannya dengan data atau fakta empiris, dan nilai kegunaan praktisnya bagi kesejataraan manusia dengan mengacu kepada kebenaran dan nilai-nilai yang bersifat mutlak.

c.       Pandangan tentang Pendidikan
1)      Pendidikan (mengajar)
Dalam Kontruktivisme istilah pendidikan lebih diartikan sebagai mengajar. Ada beberapa pengertian dari mengajar diantaranya:
a)          Mengajar berarti berpartisipasi dengan pelajar dalam mengkontruksi pengetahuan, membuat makna, mempertanyakan kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi. Jadi mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri (Bettencourt:1989).
b)         Mengajar dalam konteks ini adalah membantu seseorang berfikir secara benar dengan membiarkannya berfikir sendir (von Glasersfeld:1989).
c)          Mengajar adalah suatu seni yang menuntut bukan hanya penguasaan teknik, melainkan juga intuisi (Paul Suparno:1997).

2)      Tujuan pendidikan (Pengajaran)
Tujuan pengajaran Kontruktivisme lebiah menekankan pada perkembangan konsep dan pengertian yang mendalan sebagai hasil konstruksi aktif si pelajar (Fosnot:1996). Menurut Maturasionisme jika seseorang mengikuti langkah-langkah perkembangan yang ada, dengan sendirinya akan menemukan pengetahuan yang lengkap. Sedangkan menurut Kontruktivisme, jika seorang tidak mengkontruksikan pengetahuannya sendiri secara aktif, meskipun ia berumur tua, pengetahuannya akan tetap tidak berkembang (Paul Suparno:1997).

3)      Kurikulum
Driver dan Oldham (Matthews:1994) menyatakan bahwa perencana kurikululm kontruktivis tidak dapat begitu saja mengambil kurikulum standar yang menekankan siswa pasif dan guru aktif, sebagai cara mentransfer pengetahuan dari guru kepada murid. Kurikulum bukan sebagai tubuh pengetahuan atau kumpulan keterampilan (skill), melainkan lebih sebagai program aktivitas dimana pengetahuan dan keterampilan dapat dikontruksikan. Kurikulum bukan
kumpulan bahan  yang sudah ditentukan sebelumnya untuk mengajar, melainkan lebih sebagai suatu persoalan yang perlu dipecahkan oleh para siswa untuk lebih mengerti (Paul Suparno:1997).

4)      Metode
Setiap pelajar mempunyai caranya sendiri untuk mengerti, karena itu mereka perlu menemukan cara belajar yang tepat untuk dirinya masing-masing. Dalam konteks ini maka tidak ada satu metode mengajar yang tepat, satu metode mengajarcsaja tidak akan banyak membantu pelajar belajar, sehingga pengajar sangat mungkin untuk mempertimbangkan dan menggunakan berbagai metode yang membantu pelajar belajar. Selain itu, mengingat pengetahuan dibentuk baik secara individual maupun sosial, maka kelompok belajar dapat dikembangkan (Paul Suparno:1997).

5)      Peranan guru dan peserta didik
Dalam kegiatan mengajar guru hendaknya berperan sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar peserta didik berjalan dengan bai. Menurut Tobin, dkk.,(1994) “bagi siswa, guru berfungsi sebagai mediator, pemandu, dan sekaligus teman belajar (Paul Suparno, 1977). Dalam artian ini, guru dan peserta didik atau pelajar lebih sebagai mitra yang bersama-sama membangun pengetahuan. Adapun peserta didik dituntut aktif belajar dalam rangka mengontruksi pengetahuannya, dank arena itu peserta didik sendirilah yang harus bertanggung jawab atas hasil belajarnya.


3.      Pengaruh Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan
Sebenarnya prinsip-prinsip konstruktivisme telah banyak digunakan dalam pendidikan sains dan matematika. Secara umum prinsip-prinsip itu berperan sebagai referensi dan alat refleksi kritis terhadap praktek, pembaruan dan perencanaan pendidikan sains dan matematika. Prinsip-prinsip yang diambil dari konstruktivisme adalah:
a. Pengetahuan dibangun oleh peserta didik secara aktif.
b. Tekanan dalam proses belajar terletak pada peserta didik.
c. Mengajar adalah membantu peserta didik belajar.
d. Tekanan dalam proses belajar lebih pada proses, bukan hasil.
e. Kurikulum menekankan partisipasi peserta didik.
f. Guru adalah fasilitator.
Berkaitan dengan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di Indonesia yang memberikan kewenangan kepada sekolah dan para guru untuk menyusun sendiri kurikulum pembelajaran yang akan dijalankan, prinsip-prinsip konstruktivisme tentu dapat menjadi roh dari setiap silabus yang disusunnya. Hal yang tetap harus diperhatikan adalah kesiapan lingkungan belajar, baik pendidik, lingkungan, sarana prasarana dan pendukung lainnya. Jika hal-hal tersebut tidak dipersiapkan dengan baik, bisa jadi terjadi hal-hal yang melenceng dari harapan. Karena peserta didik mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil konstruksinya tidak sesuai dengan hasil konstruksi para ilmuwan, maka muncullah salah pengertian atau konsep alternative. Dalam hal seperti ini diperlukan penelusuran dan penelitian untuk menemukan permasalahan dan mengatasinya.


B.     Landasan Filosofis Pendidikan Nasional

1.    Filsafat Pendidikan Nasional Berdasarkan Pancasila
          Pancasila adalah dasar  Negara Republik Indonesia. Pancasila yang dimaksud adalah  Pancasila yang rumusannya termaktub dalam  Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu : “Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan atau Perwakilan, Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia”. Karena Pancasila adalah dasar Negara Indonesia, implikasinya maka Pancasila juga adalah dasar pendidikan nasional. Berkenaan dengan ini Pasal 2 Undang-Undang RI No.20 Tahun 2003 Tentang “Sistem Pendidikan Nasional” menyatakan bahwa: “ Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 “.
            Sehubungan dengan hal diatas dan arena Pancasila adalah filsafat hidup bangsa Indonesia, maka pada hakikatnya bangsa Indonesia memiliki landasan filosofis pendidikan tersendiri dalam system pendidikan nasionalnya, yaitu filsafat pendidikan yang berdasarkan Pancasila. Sebab itu, kita perlu mengkaji nilai-nilai Pancasila untuk dijadikan titik tolak dalam rangka praktek pendidikan maupun studi pendidikan. Barang kali muncul pertanyaan di benak kita jika demikian halnya, untuk apa kita mempelajari landasan filosofis pendidikan dari berbagai aliran (seperti: Idealisme, Konstruktivisme, Pragmatisme, dan sebagainya). Sebagaimana telah dipelajari melalui bab-bab terdahulu,  berbagai landasan filosofis pendidikan tersebut tetap perlu kita kaji dengan tujuan untuk memahaminya, untuk kita pilah dan kita pilih gagasan-gagasannya yang positif yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, untuk diambil hikmahnya dalam rangka mengembangkan dan memperkaya kebudayaan (pendidikan) kita. Hal ini memilki landasan yudiris yang kuat sebagaimana tertuang dalam Pasal 32 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2.         Konsep Filsafat Pancasila
          Pancasila sebagai konsep filsafat memiliki nilai-nilai luhur yang menjiwai kehidupan bangsa Indonesia, karena didalamnya mengandung muatan-muatan filosofis yang dapat dikaji dan diyakini kebenarannya.
a.       Pancasila dan metafisika
Bangsa Indonesia meyakini adanya Tuhan YME sebagai causa
prima. Keyakinan ini menjadi pondasi terhadap seluruh perilaku bangsa Indonesia untuk kehidupan bernegara.
b.      Pancasila dan epistemologi
Salah satu pokok pikiran dalam pekmbukaan UUD 1945 adalah Negara hendaknya mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Pokok pikiran ini mengandung makna bahwa Negara berupaya meningkatkan keadilan, kesejahteraan hidup rakyat melalui pembangunan di segala bidang. Semuanya harus didukung melalui pengembangan ilmu pengetahuan
c.       Pancasila dan aksiologi
Ilmu dan teknologi merupakan pondasi suksesnya pembangunan. Namun sukses tersebut memerlukan disiplin dari manusianya.

Nilai dasar pancasila adalah kemerdekaan seperti tercantum pada alinea 3 pembukaan UUD 194. Nilai kemerdekaan sebagai modal dasar bangsa Indonesia untuk lebih maju dalam keadilan dan kemakmuran rakyat.

3.    Implikasi Filsafat Pancasila bagi Pendidikan
Tujuan hidup bangsa Indonesia adalah hidup kemanusiaan yang memiliki ciri-ciri nilai luhur pancasila. Ciri-ciri kemanusiaan yang terlihat dari pancasila adalah ;
a.        Integral
Kemanusiaan yang diajarkan pancasila adalah kemanusiaan yang mengakui manusia seutuhnya, hakekat ini merupakan hakekat manusia sebagai subyek didik.
b.      Etis
Pancasila mengandung nilai-nilai moral yang menjadi pedoman tindakan dalam setiap bidang kehidupan. Jadi, pendidikan harus selasar dengan nilai-nilai pancasila.
c.       Religius
Pancasila mengakui Tuhan sebagai Maha Pencipta dan sumber eksistensi. Filsafat pancasila mengimplikasikan bahwa kegiatan pendidikan harus menumbuh kembangkan nilai-nilai moral dari 5 sila pancasila pada diri subjek didik melalui berbagai kegiatan.

BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN

Konstruktivisme adalah suatu filsafat pengetahuan yang memiliki anggapan bahwa pengetahuan adalah hasil dari konstruksi (bentukan) manusia itu sendiri. Manusia menkonstruksi pengetahuan mereka melalui interaksi mereka dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungan mereka. Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan yang sesuai.
Tema utama filsafat Kontruktivisme yaitu berkenaan dengan hakikat pengetahuan. Filsafat Kontruktivisme berimplikasi terhadap pendidikan, khususnya dalam bidang pendidikan sains dan matematika.
Prinsip-prinsip konstruktivisme telah banyak digunakan dalam pendidikan sains dan matematika. Secara umum prinsip-prinsip itu berperan sebagai referensi dan alat refleksi kritis terhadap praktek, pembaruan dan perencanaan pendidikan sains dan matematika.
Pancasila adalah filsafat hidup bangsa Indonesia, maka pada hakikatnya bangsa Indonesia memiliki landasan filosofis pendidikan tersendiri dalam system pendidikan nasionalnya, yaitu filsafat pendidikan yang berdasarkan Pancasila. Sebab itu, kita perlu mengkaji nilai-nilai Pancasila untuk dijadikan titik tolak dalam rangka praktek pendidikan maupun studi pendidikan.
Tujuan hidup bangsa Indonesia adalah hidup kemanusiaan yang memiliki ciri-ciri nilai luhur pancasila. Ciri-ciri kemanusiaan yang terlihat dari pancasila adalah ;
a.       Integral
b.      Etis
c.       Religious
B. Saran

Dalam proses belajar mengajar seseorang guru endaknya memahami Landasan Filosofis Pendidikan Kontruktivisme dan Landasan Filosofis Pendidikan Nasional atau Pancasila. Hal ini tentu mempengaruhi proses belajar mengajar untuk mencapai hasil optimal.

DAFTAR PUSTAKA
Wahyudin, Dinn. 2011. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Universitas Terbuka.
Syarifudin, Tatang. Nur’aini. 2006.Landasan pendidikan.bandung : UPI Press
Markus Basuki 22.07Filsafat Konstruktivisme




Tidak ada komentar:

Posting Komentar