Rabu, 09 September 2015

PERANAN HUKUM DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT



BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Hukum
Hukum adalah himpunan petunjuk hidup (perintah dan larangan) yang mengatur tata tertib dalam masyarakat yang seharusnya ditaati oleh seluruh anggota masyarakat.
Pengertian hukum menurut para ahli, antara lain:
1.    P. Bors
Hukum adalah keseluruhan peraturan bagi kelakuan atau perbuatan manusia di dalam masyarakat yang pelaksanaannya dapat dipaksakan dan bertujuan mendapatkan tata atau keadilan.
2.    Van Kan
Hukum adalah  keseluruhan peraturan hidup yang bersifat memaksa untuk melindungi  kepentingan manusia di  dalam masyarakat .
3.    Karl  von Savigny
Keseluruhan hukum sungguh­sugguh terbentuk melalui kebiasaan dan perasaan kerakyatan, yaitu melalui pengoperasian kekuasaan secara diam­diam.
4.    Emmnuel Kant
Hukum adalah keseluruhan kondisi­kondisi dimana terjadi kombinasi antara keinginan­keinginan pribadi seseorang dengan keinginan­keinginan pribadi  orang lain  sesuai  dengan hukum tentang kemerdekaan.
5.    John Aust in
Hukum adalah seperangkat perintah baik langsung ataupun tidak langsung, dari pihak yang berkuasa kepada warga masyarakatnya yang merupakan masyarakat politik yang independen, dimana otoritasnya (pihak yang berkuasa) merupakan otoritas tertinggi .
6.    Hans Kelsen
Hukum adalah suatu perintah memaksa terhadap tingkah laku manusia. Hukum adalah kaedah primer yangmenetapkan sanksi­sanksi.
Berdasarkan beberapa difinisi diatas, dapat dikemukakan  bahwa  hukum adalah Himpunan peraturan yang dibuat oleh yang berwenang, dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan masyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang mereka yang melanggarnya. Mac Iver (Ahmad Ali: 2002), membedakan  ada dua jenis hukum, yaitu: (1) Hukum diatas politik adalah konstitusi negara (seperti UUD 1945), dan (2) hukum dibawah politik adalah undang­undang, dan berbagai perangkat aturan hukum yang lainnya.

B.       Unsur-Unsur Hukum
1.      Peraturan mengenai tingkah laku dalam pergaulan masyarakat.
2.      Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib.
3.      Peraturan itu pada umumnya bersifat memaksa.
4.      Sanksi terhadap pelanggaran peraturan itu adalah tegas.

C.      Macam-Macam Hukum
Sumber hukum ada 3 macam, yaitu:
1.    Undang-undang Negara, termasuk juga Peraturan-peraturan Pemerintah dan Peraturan-peraturan Pemerintah Daerah.
2.    Kebiasaan, yakni suatu kebiasaan tertentu yang dituruti manusia dalam pergaulan hidupnya sehari-hari, sehingga tindakan yang berlawanan dengan kebiasaan itu dirasakan sebagai pelanggaran hukum.
3.    Traktat, yaitu suatu perjanjian antara dua negara atau lebih.
          Hukum yang berasal dari undang-undang itu dinamakan hukum tertulis. Sedangkan hukun yang timbul dari kebiasaan-kebiasaan disebut hukum tak tertulis.
          Oleh karena jumlah-jumlah peraturan lambat laun semakin banyak, maka peraturan-peraturan itu lalu dikumpulkan dan diatur menurut golongan masing-masing. Himpunan demikian dinamakan  kodifikasi yang berarti pengumpulan secara lengkap dan sistematis dalam sebuah kitab undang-undang.
          Hukun secara seluruhnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1.        Hukum Publik atau Hukum Umum, ialah hukum yang mengatur kepentingan-kepentingan dan pertentangan-pertentangan kepentingan yang bersifat umum.
Hukum-hukum yang termasuk hukum publik, antara lain sebagai berikut:
a.       Hukum Tata Negara
Hukum yang mengatur tentang bentuk negara dan organisasi pemerintahannya.
b.      Hukum Pidana
Hukum yang mengatur hal-hal yang dapat dihukum dan hukuman-hukuman yang bertalian dengan itu.
c.       Hukum Acara pidana
Hukum yang mengatur cara-cara melaksanakan hukum pidana.
d.      Hukum Internasional
Hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang timbul karena perhubungan antar negara.

2.        Hukum Sipil atau Hukum Privat, ialah hukum yang mengatur kepentingan-kepentingan dan pertentangan-pertentangan yang bersifat pribadi.
Adapun hukum yang termasuk hukum sipil, yaitu:
a.       Hukum Perdata
Hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang-orang satu sama lain tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka terhadap masing-masing dan terhadap suatu benda.
b.      Hukum Acara perdata
Hukum yng mengatur cara-cara melaksanakan hukum perdata.
c.       Hukum Dagang
Hukum yang mengatur tentang hal-hal yang bersangkut-paut dengan perdagangan, perusahaan perekonomian dan sebagainya.



D.      Tujuan Hukum
1.      Untuk mengatur tata tertib masyarakat secara damai dan adil.
2.      Untuk menjaga kepentingan tiap manusia supaya kepentingan itu tidak dapat diganggu.
3.      Untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam pergaulan masyarakat.
4.      Untuk melindungi masyarakat.
5.      Untuk menyelesaikan pihak-pihak yang bermasalah secara damai.

E.       Arti Penting Hukum bagi Warga Negara
1.      Untuk mencegah atau menghindari perbuatan menghakimi sendiri oleh warga negara.
2.      Untuk menjamin terlaksananya hak-hak asasi warga negara.
3.      Untuk melindungi pihak-pihak yang lemah dari tindakan kewenang-wenangan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang kuat.
4.      Untuk menjamin terlaksananya hak dan kewajiban warga negara.

F.       Hukum dan Masyarakat
Masyarakat merupakan pergaulan hidup manusia, sehimpunan orang yang hidup bersama dalam suatu tempat dengan ikatan-ikatan antara aturan yang tertentu. Atau dengan kata lain masyarakat adalah sekelompok manusia yang telahcukup lama hidup dan bekerja sama, sehingga mereka dapat mengorganisasikan dirinya dan berpikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu. Yang termasuk unsur-unsur masyarakat:
1.      Harus ada kelompok manusia dan harus banyak jumlahnya dan bukan mengumpulkan binatang.
2.      Telah berjalan dalam waktu yang lama dan bertempat tinggal dalam daerah tertentu.
3.      Adanya aturan (undang-undang) yang mengatur mereka bersama untuk maju kepada satu cita-cita yang sama.
Suatu wilayah (teritorial) atau negara yang mendapatkan pengakuan dari wilayah/negara lain yang didalamnya terdapat masyarakat atau penduduk adalah sesuatu yang tidak lepas dari tatanan dan aturan yang berfungsi sebagai penertib  wilayah atau negara tersebut  beserta isinya. Manusia selaku pengelola didalam wilayah dan masyarakatnya membuat aturan-aturan guna menjadikan ketertiban, keadilan dan kesejahteraan  sebagai orientasinya . Hukum yang merupakan himpunan peraturan mengikat yang didalamnya terdapat sanksi tegas, yang diciptakan oleh manusia untuk mengatur ketertiban dalam wilayah dan system sosial (interaksi masyarakat) sehingga tercipta keadilan dan kesejahteraan dalam lingkungan masyarakat yang diharapkan mampu berperan sebagaimana mestinya.
Pada hakikatnya, hukum  itu tumbuh  dan digunakan akibat dari pada peristiwa yang timbul di dalam lingkungan masyarakat yang pada saat itu masih terdapat keraguan dan kebimbangan dalam pemecahan masalahnya, sehingga hukum itu masuk dan menyatu dengan kehidupan setiap manusia yang pada teritorialnya diatur olehnya (hukum adat/tidak tertulis). Bahkan ada pakar dari yunani yang menyatakan Ubi societas ibi justicia “dimana ada masyarakat dan kehidupan disana ada hukum (keadilan). Dari pernyataan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum dan masyarakat adalah bagian yang satu dan tidak terpisahkan sehingga tidak akan ada masyarakat jika tidak ada hukum, sebaliknya; tidak akan ada hukum tanpa masyarakat.
Setiap peristiwa hukum yang timbul didalam lingkungan sosial itu sering kali menjadi suatu problem dalam kehidupan mereka, sehingga terjadi suatu kekacauan (chaos) yang merusak system sosial tersebut. Oleh karena itu, hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat itu (hukum adat/tidak tertulis) tidak efektif dalam memberikan dan menjamin hak dan kewajiban masyarakat sehingga diperlukan adanya hukum secara tertulis yang menjamin suatu kepastian hukum yang mengikat dan memberikan sanksi yang tegas bagi mereka yang melawan hukum.
Jadi, hukum tidak tertulis/hukum adat yang berkembang didalam lingkungan kemasyarakatan tidaklah memberikan kepuasan atau keadilan bagi mereka yang terlibat didalamnya. Karena dalam hukum adat, aturan-aturan dan sanksinya tidak ada kejelasan yang mengakibatkan kesimpang siuran di dalam masyarakat dalam menjalankan hukum tersebut. Sehingga jika ada suatu tindakan dari pelaku delik atau“dader” yang diproses atau ditindak lanjuti dengan hukum adat, maka hukum dapat dijatuhkan berdasarkan kehendak masyarakat secara subyektif, sehingga kepastian hukum tidaklah menjadi landasan utama bagi masyarakat adat tersebut. Oleh karena itu hukum tertulis menjadi alternative guna menegakan keadilan yang benar-benar objektif.
Hukum tertulis yang berupa modifikasi dibuat berdasarkan konsensus masyarakat sehingga hukum itu timbul berdasarkan kesepakatan. Pada abad ini, hukum tertulis yang berupa undang-undang dibuat oleh eksekutif dan disetujui oleh legislatif yang kemudian dimuat sekaligus dan dideklarasikan dalam Lembaran Negara oleh Sekretaris Negara. Setelah Undang-Undang tersebut melahirkan hukum untuk senantiasa ditaati demi terwujudnya tertib hukum, maka berlakulah asas fictie yang menyatakan bahwa“setiap orang dianggap telah mengetahui adanya suatu undang-undang”. Hal ini berarti bahwa tidak ada alasan bagi seseorang yang terlibat atau melanggar hukum dengan pernyataan dia tidak tahu menahu undang-undang atau hukum dan/atau peraturan yang ia langgar.

G.      Indonesia dan Hukumnya
“Indonesia adalah negara hukum”, begitulah isi pasal 1 (3) UUD tahun 1945. Negara hukum  yang dimaksud adalah negara yang dijalankan berdasarkan peraturan perundang-undangan sebagai landasannya, sehingga apa yang menjadi aktifitas negara tidak diperbolehkan melanggar ketentuan-ketentuan yang ada. Adapun  UUD tahun 1945 sebagai ketentuan utama yang menjadi dasar dari ketentuan perundang-undangan. Jadi, tidaklah diperkenankan undang-undang dibawahnya yang bertentangan dan tumpang tindih dengan UUD tahun 1945.
Hukum di Indonesia merupakan kolaborasi dari system hukum Eropa, hukum adat  dan hukum agama. Sebagian system yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa Kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masalalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia-Belanda (Naderlandsch-Indie). Hukum agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari’at lebih banyak, terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku hukum adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Indonesia.
Pada masa ini, hukum yang dibuat oleh kolonial Belanda masih banyak di berlakukan di Indonesia, diantaranya Herziene Indonesich Reglement (HIR) yang mengatur tentang acara di bidang pidana dan perdata.  Dengan berlakunya UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka pasal-pasal yang mengatur hukum acara pidana dalam HIR dinyatakan tidak berlaku. Sedangkan Wetboek Van Strafrecht (KUHP) mengatur tentang hukum dibidang pidana materiil, Wetboek Van Koophandel (KUHD) KUHD mengatur tentang hukum dibidang perniagaan atau perdagangan dan Burgerlijke Wetboek(KUHPer) mengatur dibidang keperdataan.
Walaupun demikian hukum kolonial yang berlaku pada masa ini telah mengalami banyak revisi. Pasal-pasal yang dirasa merugikan orang bumi putera atau orang Indonesia dan menguntungkan pihak kolonial telah dihapuskan. Sehingga hukum peninggalan kolonial Belanda yang berlaku di Indonesia saat ini menjadi  netral dan dirasa mampu membawa keadilan di dalam negeri.
Yang menjadi masalah dengan hukum dewasa saat ini bukanlah ketentuan warisan kolonial Belanda yang sekarang, melainkan ketentuan dari UU yang dibuat oleh legislatif dan pemerintah yang syarat kepentingan. Bahkan dewasa ini beredar isu tak sedap terkait jual beli UU di DPR, yang sangat berdampak kepada sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan besar adalah, kenapa isu itu tidak di usut tuntas oleh aparatur penegak hukum? Apakah penyidik tidak memperoleh bukti yang kuat atau aparatur penegak hukum itu tadak mempunyai keberanian untuk mengusut tuntas kasus tersebut, karena ada ancaman di dalamnya?
Akhir-akhir ini banyak perkara hukum yang melibatkan aparatur penegak hukum itu sendiri seperti, simulator sim, suap-menyuap/gratifikasi terhadap jaksa, hakim dan aparatur hukum lainnya. Sehingga supremasi hukum dewasa ini menjadi pepesan kosong yang berisikan harapan-harapan yang tidak jelas. Hukum dirasa seperti karet yang fleksible, bisa ditarik sana-sini sesuai kebutuhan mereka yang memiliki uang untuknya. Adapun dampak dari itu adalah memudarnya kepercayaan masyarakat terhadap mereka (aparatur penegak hukum) yang seharusnya menjadi contoh untuk memperjuangkan tegaknya hukum di negeri ini. Akibat masyarakat yang sudah tidak percaya itu akan membawa dampak pula di lingkungan mereka, sehingga mereka juga enggan mentaati peraturan-peraturan hukum yang berlaku. Contoh kecil, melanggar tata tertib lalu lintas, melakukan tindak kriminal, merusak fasilitas umum dan lain sebagainya.
Perkara-perkara korupsi berjamaah yang menjadi trending topic di negara ini juga semakin menjamur. Contoh kecil, perkara Bank Century yang sudah bertahun-tahun belum rampung, perkara Wisma Atlet yang pelakunya menggagas “katakan tidak pada korupsi”, perkara Cek Pelawat, gratifikasi dan lain-lain.  Penyebab daripada korupsi yang semakin menjadi budaya bangsa adalah lemahnya hukuman yang ditimpakan bagi pelakunya, sehingga tidak ada efek jera bagi para pelaku dan tidak membuat suatu ketakutan bagi orang yang akan melalukan tindak pidana korupsi.
Andaikan hukuman bagi para koruptor seperti di China yang menghukum mati koruptor yang merugikan keuangan negara, mungkin perkara korupsi dapat teratasi dan dapat dipastikan bahwa tidak ada yang berani melakukan tindak pidana korupsi tersebut.
Dari contoh-contoh perkara yang melibatkan penegak hukum dan si pembuat hukum itu adalah dosa-dosa besar yang dilakukan mereka. Dosa-dosa yang membawa kehancuran negeri, dosa-dosa yang mencoreng nama baik negara Indonesia, sehingga harus segera dilakukan taubatan nasuha bagi penyelenggara negara (eksekutif) beserta legislatif dan yudikatif sehingga tidak ada lagi praktik-praktik seperti itu di negeri ini.
Memang, potret hukum di Indonesia dewasa ini sangatlah buruk, maka keburukan daripada hukum yang ada Indonesia janganlah menjadi sesuatu yang membuat kita pesimis akan supremasi hukum. Tetapi jadikanlah realita hukum yang mengalami kemunduran di negara ini menjadi semangat motivasi kita untuk menjadi pemutus mata rantai yang menegakan hukum dimasa yang akan datang.

H.      Kesadaran Dalam Berhukum
                 Menurut Paul Scholten kesadaran hukum sebenarnya merupakan kesadaran akan nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia, tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada. Sebetulnya yang ditekankan adalah nilai-nilai tentang fungsi hukum dan bukan suatu penilaian (menurut) hukum terhadap kejadian-kejadian yang konkrit dalam masyarakat yang bersangkutan.
Sedangkan menurut H.C. Kelmen secara langsung maupun tidak langsung kesadaran hukum berkaitan erat dengan kepatuhan atau ketaatan hukum, yang dikonkritkan dalam sikap tindak atau perikelakuan manusia. Masalah kepatuhan hukum tersebut yang merupakan suatu proses psikologis   ( yang sifatnya kualitatif ) dapat dikembalikan pada tiga proses dasar, yakni Compliance, Identification, Internalization.
Soejono Sokamto  memberikan pengertian kesadaran hukum adalah suatu percobaan penerapan metode yuridis empiris untuk mengukur kepatuhan hukum dalam menaati peraturan. Sebenarnya merupakan kesadaran akan nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia, tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada, sebetulnya yang ditekankan adalah nilai-nilai  tentang fungsi hukum dan bukan suatu penilaian terhadap hukum.
Peraturan-peraturan hukum haruslah ditegakkan dan junjung tinggi agar efektifitas hukum sebagai alat yang menciptakan suatu ketertiban dunia dapat berlaku sedemikian baiknya. Karenanya manusia sebagai selaku pihak yang diuntungkan daripada hukum harus pula dapat menggunakannya dengan sebaik-baiknya dan menjunjung tinggi setinggi-tingginya serta menegakkan setegak-tegaknya.
Adapun dalam menggunakan hukum tidaklah cukup dengan logika, karena logika sewaktu-waktu tidak dapat mengakomodir dan menjamin hukum berjalan dengan jujur dan adil. Sehingga dirasa hukum yang mereka jalani adalah suatu beban berat yang mereka pikul, oleh karenanya berhukum dengan hati sangatlah diperlukan agar tidak ada lagi beban atau suatu paksaan yang dirasakan manusia dalam berhukum.
Hukum yang dijalankan dengan hati akan menimbulkan kesadaran manusia dengan hukumnya, sehingga apa saja yang diperbuat atau dilakukan manusia dalam menjalani system sosial akan dengan sendirinya mentaati hukum. Bagi mereka yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum akan merasa malu dan penyesalan yang mendalam akan selalu menghantuinya.
Jepang adalah contoh negara yang berhukum dengan hati (kokoro). Mereka lebih mengutamakan hukum yang berkembang dalam masyarakatnya yang menggunakan hati ketimbang hukum modern yang terlanjur masuk menerobos hukum mereka. Pada masa pemerintahan Meiji ingin dengan cepat memodernisasi hukum jepang waktu itu. Sewaktu jepang membuka pintu bagi masuknya bangsa barat kedalam negerinya, maka barat beranggapan, bahwa hukum jepang itu kuno dan karena itu mereka tidak mengakui yurisdiksi hukum jepang terhadap bangsa barat yang ada di jepang. Jepang yang sangat terpukul oleh keadaan tersebut cepat-cepat memodernisasi hukumnya dengan mengikuti model Eropa, yaitu menjiplak (copied) hukum Perancis dan Jerman. Maka jadilah konstitusi Meiji yang terdiri dari 76 pasal; hukum perdata terdiri dari 1046 pasal; hukum dagang, 689 pasal; hukum pidana, 264 pasal, hukum acara perdata, 805 pasal dan hukum acara pidana, 334 pasal. Sekalian perundang-undangan tersebut diselesaikan kurang dari sepuluh tahun (1890-1898)
Walaupun demikian prestasi yang perlu diakui, hukum modern Jepang tersebut tidak dapat menyentuh prilaku orang Jepang. Menurut Robert Ozaki, hukum modern tersebut lebih merupakan kosmetik atau hiasan daripada hukum yang benar-benar dihayati dan dijalankan oleh bangsa Jepang. Bagi bangsa Jepang, hukum tersebut lebih merupakan bunyi-bunyian asing, dimulai dari bahasa, ide-ide, filsafat dan logika perundang-undangan itu adalah khas Eropa. Maka terbentang jurang keasingan antara sekalian undang-undang tersebut dengan substansi kehidupan Jepang, terutama diwilayah pedesaan. Sejak introduksi perundang-undangan Meiji, bukannya masyarakat Jepang menjadi berubah, melaikan mereka tetap berpegangan pada tradisi dan kaidah asli yang mengatur kehidupan Jepang ratusan tahun itu.
Menurut Ozaki, selama ratusan tahun bangsa Jepang dikondisikan untuk hidup dalam dan dengan hukum modern Jepang, tidak terjadi perubahan yang signifikan dalam kehidupan bangsa Jepang. Cara berfikir tradisional hanya bisa berubah sangat lambat adalah jauh lebih mudah untuk membuat hukum baru daripada mengubah pikiran, prilaku dan kebiasaan rakyat.
Hukum modern Jepang yang banyak menjiplak Perancis dan Jerman itu memperkenalkan tipe hukum, konsep serta asas-asas baru yang bertumpu pada individualisme. Konsep hak-hak individual, hak asasi manusia diperkenalkan. Hal ini sangat bertentangan dengan kosmologi Jepang dengan kehidupan sosial yang kontekstual dan menjaga baik hubungan-hubungan sosial yang ada.
Dalam suasana Jepang tradisional, orang tidak mempertanyakan kewajiban-kewajibannya, sedang masyarakat tidak mengizinkan orang untuk berfikir tentang hak-hak yang dimilikinya. Dalam masyarakat tradisional, setiap usaha adalah bagaikan satu satuan keluarga. Pemilik usaha tidak pernah berfikir tentang haknya untuk menyewa buruh, seperti juga seorang ayah tidak pernah berfikir tentang haknya untuk menyuruh anak-anak mengerjakan tugas-tugas kerumah tanggaan. Demikian pula seorang pekerja tidak pernah berfikir tentang haknya untuk meminta upah. Imbalan yang diterimanya dianggap sebagai pernyataan kebaikan hati, rasa kasih dan kemuliaan hati sang majikan. Tradisi seperti itu tidak mudah untuk diubah melalui penggunaan hukum modern yang penuh dengan semangat individualisme, hak-hak individual dan sebagainya.
Perbedaan bangsa Amerika yang menggunakan akal pikiran/logika, sebagaimana umumnya negara-negara di barat dan Jepang yang berhukum didasarkan pada hati (kokoro). Perbedaan tersebut dicontohkan pada kejadian yang melibatkan orang Amerika dan orang Jepang. Mereka berdua berdiri di pinggir jalan, menunggu kesempatan menyeberang jalan, karena lampu lalu-lintas masih merah. Pada saat lalu-lintas mobil sudah sepi, orang Amerika mengajak teman Jepangnya untuk menyeberang. Jawab orang Jepang  “Kalau lampu lalu-lintas masih merah lalu saya menyeberang, muka saya ini mau saya taruh dimana?”
Begitulah sedikit gambaran sederhana tentang hukum yang dijalankan dengan hati seperti masyarakat Jepang. Maka patut kiranya apabila system penerapan hukum yang dilakukan dan dijalankan orang Jepang diterapkan pula di Indonesia, agar tercipta suatu budaya malu yang berdampak positif bagi hukum nasional.
Tatanan sosial di Indonesia adalah begitu majemuk dan kompleks, sehingga dibutuhkan kearifan dan kehati-hatian tersendiri untuk merawatnya. Apabila peringatan tersebut tidak diperhatikan, maka bagi banyak komunitas lokal, hukum nasional akan menjadi beban daripada menciptakan ketertiban dan kesejahteraan.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kurangnya kesadaran hukum di masyarakat yaitu masyarakat majemuk seperti masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, budaya dan agama, tentu akan memiliki budaya hukum yang beraneka ragam. Semuanya itu akan memperkaya khasanah budaya dalam menyikapi hukum yang berlaku, baik di lingkungan kelompok masyarakatnya maupun berpengaruh secara nasional. Kita akan mencoba melihat bagaimana negara kita khususnya masyarakat Indonesia, memandang pelanggaran hukum beserta konsekuensinya. Dalam mata pelajaran moral dan kewarganegaraan yang diajarkan di sekolah-sekolah, seorang pengajar selalu menekankan bahwa negara kita adalah negara hukum, negara yang menjunjung tinggi hukum dan peraturan. Banyak dari segi kehidupan berbangsa dan bernegara kita diatur oleh hukum dan peraturan. Tentu saja hal ini sangat bermanfaat mengingat negara kita merupakan negara yang majemuk dan bervariasi.
Bayangkan jika tidak ada hukum atau peraturan yang mengatur kemajemukan budaya dan adat istiadat dari berbagai macam suku dan ras di Indonesia. Tentu negara kita akan terpecah belah oleh sedikit perbedaan saja. Namun, meskipun banyak sekali peraturan dan hukum yang telah dibuat, hal ini tidak membuat seseorang langsung menjadi orang yang taat akan segala hukum begitu saja. Ingat, bahwa di dalam diri setiap manusia ada rasa ingin bebas dan merdeka. Mungkin pada awalnya, seseorang akan selalu mematuhi peraturan-peraturan yang telah ditetapkan. Tetapi seraya waktu terus berjalan, beberapa orang mulai merasa bahwa peraturan-peraturan tersebut terlalu membatasi gerak-gerik kehidupannya. Maka, secara perlahan tapi pasti, seseorang akan mulai melanggar hal-hal yang kecil, lalu beranjak terus ke pelanggaran yang serius.

I.         Peranan Hukum Dalam Kehidupan Masyarakat
Di dalam masyarakat dijumpai berbagai institusi yang masing-masing diperlukan oleh masyarakat itu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan mempelancar jalanya pemenuhan kebutuhan tersebut. Oleh karena fungsinya yang demikian itu maka masyarakat sangat membutuhkan kehadiran institusi tesebut. Institusi bergerak di sekitar kebutuhan tertentu manusia. Agar kita bisa berbicara mengenai adanya suatu insttiusi yang demikian itu, kebutuhan yang dilayaninya telebih dulu harus medapakan pengakuan masyarakat. Pengakuan di sini diartikan, bahwa masyarakat di situ memang telah mengakui pentingnya kebutuhan tersebut bagi kehidupan manusia.
Apabila masyarakat telah mulai memperhatikan suatu kebutuhan tertentu maka akan berusaha agar dalam masyarakat dapat diciptakan suatu sarana untuk memnuhinya. Dari sinilah mulai dilahirkan suatu institusi tersebut. Jadi institusi itu pada hakikatnya merupakan alat perlengkapan masyarakat untuk menjamin agar kebutuhan-kebutuhan dalam masyarakat dapat dipenuhi secara seksama. Keadilan merupakan salah satu kebutuhan dalam hidup manusia yang umumnya diakui semua tempat di dunia ini. Apabila keadilan itu kemudian dikukuhkan ke dalam institusi yang namanya hukum, maka institusi hukum itu harus mampu untuk menjadi saluran agar keadilan itu dapat diselenggarakan secara seksama dalam masyarakat. Beberapa ciri yang umumnya melekat pada institusi sebagai perlengkapan masyarakat :
1.      Stabilitas. Di sini kehadiran institusi hukum menimbulkan suatu kemantapan dan keteraturan dalam usaha manusia untuk memperoleh keadilan itu.
2.      Memberikan kerangka sosial terhadap kebutuhan-kebutuhan dalam masyarakat. Di dalam ruang lingkup kerangka yangt telah diberikan dan dibuat oleh masyarakat itu, anggota-anggota masyarakat memenuhi kebutuhan-kebutuhanya.
3.      Institusi menampilkan wujudnya dalam bentuk norma. Norma-norma inilah yang merupakan sarana untuk menjamin agar anggota-anggota masyarakat dapat dipenuhi kebutuhanya secara terorganisasi.
4.      Jalinan antar institusi. Terjadinya tumpang tindih antara institusi.
Hukum merupakan institusi  sosial yang tujuannya untuk menyelenggarakan keadilan dalam masyarakat. Sebagai suatu institusi sosial, maka penyelenggaraanya yang demikian itu bekaitan dengan tingkat kemampuan masyarakat itu sendiri untuk melaksanakannya. Oleh karena itu suatu masyarakat akan menyelengarakannya dengan cara tertentu yang berbeda dengan masyarakat pada masyarakat  yang lain. Perbedaan ini berhubungan erat dengan persediaan perlengkapan yang terdapat dalam masyarakat untuk penyelenggaraan keadilan itu dan hak ini berarti adanya berhubungan yang erat antara institusi hukum suatu masyarakat dengan tingkat perkembangan organisasi sosialnya.
Suatu pengamatan terhadap masyarakat sacara sosiologis memeperlihatkan, bahwa kekuasaan itu tidak tebagi secara merata dalam masyarakat. Struktur pembagian yang demikian itu menyebabkan, bahwa kekuasaan itu terhimpun pada sekelompok orang-orang tertentu, sedangkan orang-orang lain tidak atau kurang memiliki kekuasaan itu. Keadaan seperti inilah yang menimbulkan perlapisan sosial di dalam masyarakat. Bagaimana stuktur yang berlapis-lapis itu bisa terbentuk banyak tergantung dari sistem perekonomian suatu masyarakat. Terjadinya penumpukan kekuasaan di tangan sekelompok orang-orang tertentu berhubungan dengan sistem pembagian sumber daya dalam masyarakat. Kekuasaan itu tidak terlepas dari penguasaan barang-barang dalam masyarakat.
Oleh karena itu terjadinya perlapisan kekuasaan berhubungan erat dengan barang-barang yang bisa dibagi-bagikan itu tentunya susah dibayangkan timbulnya perlapisan sosial dalam masyarakat. Kondisi pengadaan barang-barang menetukan apakah dalam suatu masyarakat akan menjumppai struktur kekuasaan yang berlapis-lapis itu. Pentingnya pembicaraan mengenai perlapisan sosial dalam rangka pembicaraan tentang hukum disebabkan oleh dampak dari adanya struktur yang demikian itu terhadap hukum, baik itu di bidang pembuatan hukum, pelaksanaan, maupun penyelesaian sengketanya. Pada masyarakat mana pun juga, orang atau golongan yang bisa menjalankan kekuasaannya secara efektif adalah mereka yang mampu mengontrol institusi-institusi politisi dan ekonomi dalam masyarakat.
Para ahli sosiologi hukum memberikan perhatian besar terhadap hubungan antara hukum dengan perlapisan sosial ini. Dengan terjadinya perlapisan sosial maka hukum pun susah untuk memperhatikan netralitas atau kedudukannya yang tidak memihak. Perlapisan sosial ini merupakan kunci penjelasan mengapa hukum itu bersifat distriminatif, baik pada peraturan-peraturannya sendiri, maupun melalui penegakannya. Para ahli tersebut di muka berpendapat, bahwa peraturan-peraturan hukumnya sendiri tidaklah memihak. Dalam keadaan yang demikian ini pendapat yang berkuasapun akan menentukan bagaimana isi peraturan hukum di situ.
 Dengan demikian, bagaimanapun diusahakan agar penegakan hukum itu tidak memihak, namun karena sudah sejak kelahirannya peraturan-peraturan itu tidak lempeng, maka hukum pun bersifat memihak, keadaan yang demikian itu juga dijumpai pada masalah penegakan hukum. Kalaulah kita sekarang sudah mengetahui betapa besar peranan hukum di dalam membantu menciptakan ketertiban dan kelencaran dalam kehidupan masyarakat, kita masih saja belum mengetahui benar apa yang dikehendaki oleh hukum tersebut. Apakah sekedar untuk menciptakan ketertiban atau lebih jauh dari pada itu?
Pertanyaan atau masalah ini layak sekali untuk mendapatkan perhatian kita. Apabila kita mengatakan, bahwa hukum-hukum itu bermaksud untuk menciptakan ketertiban, maka sebetulnya kita hanya berurusan dengan hal-hal yang bersifat dengan hal-hal teknik. Melarang orang untuk melakukan pencurian dengan menciptakan suatu hukum dengan sanksinya adalah suatu usaha yang bersifat teknik. Tetapi mengapa justru mencuri itu yang dilarang? Jawabanya adalah, karena mencuri itu dianggap sebagai perbuatan yang tercela oleh masyarakat. Dengan demikian, kita telah memasuki bidang yang tidak teknik lagi sifatnya, melainkan sudah ideal.
Pembicaraan ini diharapkan dapat memberikan wawasan yang lebih sesuai dengan kenyataan dalam kita meninjau dan mempelajari hukum, yaitu bahwa hukum itu hadir dalam masyarakat karena harus melayani kebutuhan-kebutuhan tertentu dan harus mengolah bahan-bahan tertentu yang harus ia terima sebagai suatu kenyataan. Karena hukum itu memberikan pembatasan-pembatasan yang demikian itu maka institusi hukum itu hanya bisa berjalan dengan seksama di dalam suatu lingkungan sosial dan politik yang bisa dikendalikan secara efektif oleh hukum. Suatu masyarakat yang berkehendak untuk diatur oleh hukum tetapi yang tidak bersedia untuk membiarkan penggunaan kekuasaannya dibatasi dan dikontrol, bukan merupakan lingkungan yang baik bagi berkembangnya institusi hukum.
Hukum Sebagai Sosial Kontrol, dimana setiap kelompok masyarakat selalu ada problem sebagai akibat adanya perbedaan antara yang ideal dan yang aktual, antara yang standard dan yang parktis. Penyimpangan nilai-nilai yang ideal dalam masyarakat dapat dicontohkan : pencurian, perzinahan hutang, membunuh dan lain-lain. Semua contoh ini adalah bentuk prilaku yang menyimpang yang menimbulkan persoalan didalam masyarakat, baik pada masyarakat yang sederhana maupun pada masyarakat yang modern. Dalam situasi yang demikian itu, kelompok itu berhadapan dengan problem untuk menjamin ketertiban bila kelompok itu menginginkan, mempertahankan eksistensinya.
Fungsi Hukum dalam kelompok masyarakat adalah menerapkan mekanisme control sosial yang akan membersihkan masyarakat dari sampah-sampah masyarakat yang tidak dikehendaki, sehingga hukum mempunyai suatu fungsi untuk mempertahankan eksistensi kelompok masyarakat tersebut. Hukum yang berfungsi demikian adalah merupakan instrument pengendalian social.
Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat, adalah hukum sebagai sosial control, dan sebagai alat untuk mengubah masyarakat atau biasa disebut social enginnering, sebagai alat pengubah masyarakat adalah dianalogikan sebagai suatu proses mekanik. Terlihat akibat perkembangan Industri dan transaksi-transaksi bisnis yang memperkenalkan nilai-nilai baru, dengan melakukan “interprestasi”, ditegaskan dengan temuan-temuan tentang keadaan social masyarakat melalui bantuan ilmu sosilogi, maka akan terlihat adanya nilai-nilai atau norma-norma tentang hak individu yang harus dilindungi, dan unsur tersebut kemudian dipegang oleh masyarakat dalam mempertahankan kepada apa yang disebut dengan hukum alam. (natural law).
Oleh karena itu, sekalipun hukum itu mempunyai otonomi tertentu, tetapi hukum juga harus fungsional dan menempatkan peranan dari keadilan dalam konteks kehidupan hukum secara lebih seksama.



DAFTAR PUSTAKA
Hartomo dan Aziz Arnicun. 1990. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Bumi Aksara
Windia, Wayan P, dkk. 2009. Hukum dan Kebudayaan. Denpasar: ---
Elly M. Stiadi, dkk (2006). Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. [Online]. Tersedia: http://kelompok4isbd.wordpress.com/2012/04/12/makalah-ilmu-sosial-dan-budaya-dasar-manusia-nilai-moral-dan-hukum/ [04 November 2014]
Ridwan Effendi, Elly Malihah. 2007. Pendidikan Lingkungan Sosial Budaya dan Teknologi. Bandung: Yasindo Muli Aspek. [Online]. Tersedia: http://kelompok4isbd.wordpress.com/2012/04/12/makalah-ilmu-sosial-dan-budaya-dasar-manusia-nilai-moral-dan-hukum/ [04 November 2014]
Rizachnial. 2013. Peran hukum Dalam Kehidupan manusia. [Online]. Tersedia: http://rizachnial.blogspot.com/2013/11/peran-hukum-dalam-kehidupan-manusia.html [04 November 2014]
Wanda. 2011. Ilmu Budaya Dasar. [Online]. Tersedia: http://ilmubudayadasar-wanda.blogspot.com/2011/12/sumber-sumber-hukum.html [04 November 2014]
Wijaya, Yogapermana. 2014. Peranan Hukum Dalam Kehidupan Demokrasi di Indonesia. [Online]. Tersedia: http://yogapermanawijaya.wordpress.com/2014/06/23/peranan-hukum-dalam-kehidupan-demokrasi-di-indonesia/ [04 November 2014]