BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Berdasarkan Surat Edaran Dirjen
Dikdasmen Depdiknas No. 380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003 Perihal
Pendidikan Inklusif : menyelenggarakan dan mengembangkan di setiap
Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya 4 (empat) sekolah yang terdiri dari : SD,
SMP, SMA, dan SMK. Dengan diterbitkannya surat edaran tersebut maka
perkembangan pendidikan inklusif di Indonesia semakin dikenal masyarakat luas.
Dengan perkembangan tersebut, pendidikan inklusif sendiri semakin memperkuat
serta memperkokoh pondasinya untuk memberikan yang terbaik kepada pihak-pihak
yang bersangkutan dengan pendidikan inklusif tersebut.
Unsur-unsur untuk memperkokoh pondasi pendidikan inklusif diantaranya
adalah pihak-pihak pendidik harus memahami konsep serta landasan-landasan
pendidikan inklusif. Selain itu kurikulum yang diterapkan untuk pendidikan
inklusif juga harus dipahami, dengan memperhatikan kegiatan pembelajaran yang
akan diberikan kepada peserta didik. Bukan hanya itu hal-hal yang harus
diperhatikan dalam mengembangkan pendidikan inklusif, tetapi ada beberapa hal
yang harus diperhatikan juga, demi kelancaran berlangsungan pendidikan
inklusif. Salah satunya adalah prinsip-prinsip pembelajaran pendidikan
inklusif.
Prinsip pembelajaran adalah kerangka teoretis sebuah
metode pembelajaran. Kerangka teoretis adalah teori-teori yang mengarahkan
harus bagaimana sebuah metode dilihat dari segi bahan yang akan dibelajarkan, prosedur pembelajaran (bagaimana
siswa belajar dan bagaimana guru mengajarkan bahan), gurunya, dan siswanya. Disinilah prinsip pembelajarn sangat
dibutuhkan, terlebih lagi bagi pihak yang akan melaksanakan pendidikan inklusif
tersebut. Maka dari itu dalam makalah ini kami akan membahas mengenai
prinsip-prinsip pembelajaran pendidikan inklusif agar para pembaca sedikit
banyak mendapatkan pengetahuan tentang prinsip-prinsip pembelajaran dalam
pendidikan inklusif.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan pendidikan inklusif?
2.
Apa yang dimaksud dengan prinsip pembelajaran?
3.
Bagaimana prinsip pembelajaran secara umum?
4.
Bagaimana prinsip pendidikan inklusif dalam
pembelajaran?
5. Bagaimana prinsip-prinsip
Pembelajaran di Sekolah Inklusi – Tuna Laras?
6. Bagaimana prinsip-prinsip
Pembelajaran di Sekolah Inklusi – Tuna Rungu?
7. Bagaimana prinsip-prinsip
Pembelajaran di Sekolah Inklusi – Tuna Daksa?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui
pengertian pendidikan inklusif
2.
Mengetahui pengertian prinsip pembelajaran
3.
Mengetahui prinsip pembelajaran secara umum
4.
Mengetahui
prinsip
pendidikan inklusif dalam pembelajaran
5.
Mengetahui prinsip-prinsip
pembelajaran
di sekolah
inklusi
– Tuna Laras
6. Mengetahui prinsip-prinsip pembelajaran di sekolah Iinklusi – Tuna Rungu
7. Prinsip-prinsip
pembelajaran
di sekolah
inklusi
– Tuna Daksa
D.
Sisitematika
Makalah ini disusun dengan menggunakan pendekatan
kualitatif. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif. Data teoritis dalam
makalah ini dikumpulkan dengan teknik studi pustaka, artinya penulis mengambil
data melalui kegiatan membaca berbagai literature dan menggunakan media
internet yang relevan untuk melengkapi data dengan tema makalah. Data tersebut
diolah dengan teknik analisis isi melalui kegiatan mengeksposisikan data serta
mengaplikasikan data tersebut dalam konteks tema makalah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusi mempunyai
pengertian yang beragam. Stainback dan Stainback (1990) mengemukakan bahwa
sekolah inklusi adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang
sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi
sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa, maupun bantuan dan dukungan
yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil. Lebih dari itu,
sekolah inklusi juga merupakan tempat setiap anak dapat diterima, menjadi
bagian dari kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru dan teman
sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya dapat
terpenuhi.
Selanjutnya, Staub
dan Peck (1995) menyatakan bahwa pendidikan inklusi adalah penempatan anak
berkelainan tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas reguler.
Hal ini menunjukkan bahwa kelas reguler merupakan tempat belajar yang relevan
bagi anak berkelainan, apapun jenis kelainannya dan bagaimanapun gradasinya.Sementara itu, Sapon-Shevin (O’Neil, 1995) menyatakan
bahwa pendidikan
inklusi sebagai
sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak berkelainan
dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman se usianya. Oleh karena itu, ditekankan adanya
perombakan sekolah, sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan
kebutuhan khusus setiap anak, sehingga sumber belajar menjadi memadai dan
mendapat dukungan dari semua pihak, yaitu para siswa, guru, orang tua, dan
masyarakat sekitarnya.
4
|
B.
Pengertian Prinsip Pembelajaran
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) prinsip merupakan kebenaran yang menjadi
pokok dasar berpikir, bertindak, dan sebagainya. Menurut Toto Asmara prinsip adalah hal yang secara fundamental menjadi martabat diri
atau dengan kata lain, prinsip adalah bagian paling hakiki dari harga diri.
Sementara menurut Udo Yamin Efendi Majdi prinsip adalah pedoman berprilaku yang terbukti mempunyai nilai
yang langgeng dan permanen. Dalam bukunya Sugandi,
dkk (2004:9) menyatakan bahwa pembelajaran terjemahan dari kata “instruction”
yang berarti self instruction (dari
internal) dan eksternal instructions
(dari eksternal). Pembelajaran yang bersifat eksternal antara lain datang dari
guru yang disebut theacing
atau pengajaran. Dalam pembelajaran yang bersifat eksternal prinsip-prinsip
belajar dengan sendirinya akan menjadi prinsip-prinsip pembelajaran.
Prinsip
dikatakan juga landasan. Prinsip pembelajaran menurut Larsen dan Freeman (1986
dalam Supani dkk. 1997/1998) adalah represent the theoretical framework of
the method. Prinsip pembelajaran adalah kerangka teoretis sebuah metode
pembelajaran. Kerangka teoretis adalah teori-teori yang mengarahkan harus
bagaimana sebuah metode dilihat dari segi 1) bahan yang akan dibelajarkan, 2)
prosedur pembelajaran (bagaimana siswa belajar dan bagaimana guru mengajarkan
bahan), 3) gurunya, dan 4) siswanya.
C.
Prinsip Pembelajaran Secara Umum
1. Prinsip motivasi
Dalam pelaksanaan pembelajaran guru
harus senantiasa memberikan motivasi kepada siswa agar tetap memiliki gairah
dan semangat dalam melakukan pembelajaran.
2. Prinsip latar/konteks
Guru
harus mengenal dan mngetahui latar belakang siswa secara lebih mendalam, dalam
proses pembelajaran penggunaan contoh-contoh, memanfaatkan sumber belajar yang
ada di lingkungan sekitar, serta menghindari pengulangan yang tidak diperlukan
jika anak sudah mampu memahami sesuatu yang dipelajari.
3. Prinsip keterarahan
Sebelum
melakukan pembelajaran guru diharuskan untuk merumuskan lalu menjelaskan tujuan
yang akan dicapai setelah pembelajaran selesai dilakukan, kemudian menyiapkan
bahan dan alat yang sesuai dengan materi yang diberikan serta menggunakan
strategi pembelajaran yang dapat mempermudah siswa dalam memahami materi yang
diberikan.
4. Prinsip hubungan sosial
Interaksi
antar guru dengan siswa, siswa dengan siswa, siswa dengan lingkungan dan
seterusnya sangat dibutuhkan dalam mengoptimalkan pembelajaran yang diberikan
sehingga tercapai tujuan yang diharapkan.
5. Prinsip belajar sambil bekerja
Dalam
melakukan pembelajaran siswa harus banyak diberikan kesempatan untuk melakukan
percobaan atau praktek sesuai dengan materi yang ada, siswa diharapkan dapat
menemukan pengertiannya dalam psoses pembelajaran sehingga hasil belajar yang
dicapai dapat lebih bermakna.
6. Prinsip Individualisasi
Kemampuan
guru dalam mengenali dan memahami siswa secara individu baik kelebihan ataupu
kelemahan siswa dapat diketahui oleh guru,sehingga dalam melakukan pembelajaran
guru tidak menyamakan kemampuan siswa sehingga masing-masing siswa mendapatkan
perhatian dan perlakuan yang sesuai dengan kemampuannya.
7. Prinsip menemukan
Guru
diharuskan mampu mengembangkan strategi pembelajaran yang mampu memancing dan
melibatkan siswa untuk aktif, baik secara fisik, mental, sosial, dan emosional.
8. Prinsip pemecahan masalah
Hendaknya
pembelajaran yang dilakukan mengandung unsur pemecahan masalah sehingga siswa
dilatih untuk berfikir, merumuskan, mengumpulkan data dan menganalisis serta
menyelesaikan permasalahan yang ada.
9. Prinsip kasih sayang
Pembelajaran
yang dilakukan hendaknya tidak mengesampingkan prinsip kasih sayang sehingga
siswa merasakan ketenangan dan kenyamanan dalam belajar, tanpa merasa takut dan
tertekan.
D.
Prinsip
Pendidikan Inklusif dalam Pembelajaran
Dalam
tataran praktis pembelajaran, inklusi merupakan suatu perubahan yang dapat
menguntungkan tidak hanya anak berkebutuhan khusus akan tetapi juga anak pada
umumnya dalam kelas. Prinsip paling mendasar dalam pendidikan inklusif
adalah bagaimana agar peserta didik dapat belajar bersama, belajar untuk dapat
hidup bersama. Johnsen dan Miriam Skojen (2003) menjabarkan dalam tiga prinsip,
yaitu (1) bahwa setiap anak termasuk dalam komunitas setempat dan dalam suatu
kelas atau kelompok, (2) bahwa hari sekolah diatur penuh dengan
tugas-tugas pembelajaran koopertif dengan perbedaan pendidikan dan
fleksibilitas dalam memilih dengan sepuas hati, dan (3) guru bekerja bersama
dan mendapat pengetahuan pendidikan umum, khusus dan teknik belajar individu serta
keperluan-keperluan pelatihan dan bagaimana mengapresiasikan keanekaragaman dan
perbedaan individu dalam pengorganisasin kelas.
Sementara
itu, Mulyono dalam Sri Wahyu Ambarwati (2005) mengidentifikasikan prinsip
pendidikan inklusif ke dalam sembilan elemen dasar yang memungkinkan
pendidikan inklusif dapat dilaksanakan.
1. Sikap guru
yang positif terhadap kebhinekaan
Elemen
paling penting dalam pendidikan inklusif adalah sikap guru
terhadap siswa yang membutuhkan layanan pendidikan khusus. Sikap guru
tidak hanya berpengaruh terhadapclassroom setting tetapi juga dalam
pemilihan strategi pembelajaran.
Sikap
positif guru terhadap keragaman kebutuhan siswa dapat ditingkatkan dengan
cara memberikan informasi yang akurat tentang siswa dan cara
penanganannya (Johnson & Johnson, 1984 dalam Whayu Sri Ambarwati,
2005).
2. Interaksi
promotif
Penyelenggaraan
pendidikan inklusif menuntut adanya interaksi promotif antara siswa. Yang
dimaksud interaksi promotif adalah upaya untuk saling menolong
dan saling memberi motivasi dalam belajar. Interaksi promotif
hanya dimungkinkan jika terdapat rasa saling menghargai dan
saling memberikan
urunan
dalam meraih keberhasilan belajar bersama.
Interaksi
promotif pada hakekatnya sama dengan interaksi transpersonal, yaitu
interaksi yang didasarkan atas rasa saling menghormati, tidak hanya
terhadap sesama manusia tetapi juga sesama makluk ciptaan Tuhan. Interaksi
promotif hanya di mungkinkan jika guru menciptakan
suasana belajar kooperatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam suasana belajar kooperatif,
siswa cenderung memperoleh prestasi belajar matematika lebih tinggi dari
pada dalam suasana belajar kompetitif (Mulyono, 1994).
Dalam
pendidikan inklusif, suasana belajar kooperatif harus dominan sedangkan
suasanabelajar kompetitif hanya untuk bersenang-senang atau untuk selingan
atau untuk materi belajar yang membosankan. Hasil penelitian Johnson &
Johnson (Wahyu Sri Ambarwati, 2005) menunjukkan bahwa suasana belajar
kompetitif dapat menimbulkan perasaan rendah diri bagi siswa yang memiliki
kemampuan kurang.
Lebih
lanjut hasil penelitian Mulyono (1994) menunjukkan bahwa para
guru umumnya lebih menyukai pembelajaran kompetitif dan
tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai
dalam penyelenggaraan pembelajaran
kooperatif. Padahal, pembelajaran kompetitif dalam kelompok heterogen
dapat menghancurkan rasa harga diri siswa yang berkekurangan
dan merasa bosan terhadap siswa yang memiliki keunggulan. Perasaan
rendah diri dan perasaan bosan merupakan elemen yang merusak untuk
membangun kehidupan bersama yang lebih baik. Kompetisi bukan tidak bermanfaat
tetapi hanya untuk kelompok yang homogen yang memungkinkan semua
anggota berkompetisi memiliki peluang yang relatif sama untuk
menang dan kalah. Menguatkan pembahasan ini, sekali lagi hasil
penelitian Mulyono (1994) menunjukkan bahwa interaksi kompetitif yang
efektif untuk mencapai tujuan pembelajaran adalah kompetisi antar siswa
yang mempunyai kemampuan seimbang, kompetisi dengan standar nilai minimum,
dan yang terbaik adalah kompetisi dengan diri sendiri.
3. Pencapaian
kompetensi akademik dan sosial
Pendidikan inklusif
tidak hanya menekankan pencapaian tujuan dalam bentuk kompetensi akademik
tetapi juga kompetensi sosial. Oleh sebab itu, perencanaan pembelajaran
harus melibatkan tidak hanya pencapaian tujuan akademik (academic objectives) tetapi juga tujuan keterampilan
bekerjasama (collaborative skills objectives). Tujuan keterampilan bekerjasama mencakup
keterampilan memimpin, memahami perasaan orang lain, menghargai
pikiran orang lain, dan tenggang rasa.
4. Pembelajaran
adaptif
Ciri
khas dari pendidikan inklusif adalah tersedianya program pembelajaran yang adaftif atau program pembelajaran individual
(individualized
instructional programs). Program pembelajaran adaptif tidak hanya
ditujukan kepada peserta didik dengan problema belajar tetapi juga untuk
peserta didik yang dikaruniai keunggulan. Penyusunan program
pembelajaran adaptif menuntut keterlibatan tidak hanya guru kelas atau
guru bidang studi tetapi juga guru PLB, orangtua, guru BK, dan ahli-ahli lain
yang terkait.
5. Konsultasi
kolaboratif
Konsultasi
kolaboratif (collaborative consultation) adalah saling tukar
informasi antar profesional dari semua disiplin yang terkait untuk
memperoleh keputusan legal dan instruksional yang berhubungan dengan siswa
yang membutuhkan layanan pendidikan khusus. Yang dimaksud dengan
profesional dalam hal ini adalah guru PLB, guru kelas atau guru bidang
studi, konselor, psikolog, dan atau ahli-ahli lain yang terkait. Beberapa
ahli telah mengembangkan model konsultasi kolaboratif untuk melakukan tindakan
pencegahan dan rahabilitasi siswa yang membutuhkan layanan
pendidikan khusus di kelas reguler. Berdasarkan model yang mereka
buat guru PLB dan guru reguler bersama anggota tim lainnya melakukan
diskusi untuk menentukan sifat dan ukuran-ukuraaan yang dipergunakan untuk
menentukan masalah siswa, memilih dan merekomendasikan tindakan,
merencanakan danmengimplementasikan program pembelajaran, dan
melakukan evaluasi hasil intervensi serta melakukan perencanaan ulang
jika diperlukan.
6. Hidup
dan belajar dalam masyarakat
Dalam
pendidikan inklusif kelas harus merupakan bentuk mini dari suatu
kehidupan masyarakat yang diidealkan. Di dalam kelas diciptakan suasana
yang silih asah, silih asih, dan silih asuh. Dengan kata lain, suasana
belajar yang kooperatif harus diciptakan sehingga di antara siswa terjalin
hubungan yang saling menghargai. Semua siswa tidak peduli betapapun
perbedaannya, harus dipandang sebagai individu unik yang memiliki potensi
kemanusiaan yang harus dikembangkan dan diaktualisasikan dalam kehidupan.
7. Hubungan
kemitraan antara sekolah dengan keluarga.
Keluarga
merupakan fondasi tempat anak-anak belajar dan berkembang. Begitu pula
dengan sekolah, juga tempat anak belajar dan berkembang. Keduanya memiliki
fungsi yang sama. Perbedaannya, pendidikan dalam keluarga tidak terprogram
dan terukur sedangkan di sekolah pendidikan lebih banyak
dilakukan secara terprogram dan terukur atau yang biasa disebut dengan pembelajaran. Karena kedua lembaga
tersebut hakekatnya mempunyai fungsi yang sama, maka keduanya harus
menjalin hubungan kemitraan yang erat dalam upaya memberdayakan semua potensi kemanusiaan siswa
agar dapat berkembang optimal dan terintegrasi. Keluarga memiliki informasi
yang lebih akurat mengenai keunikan, kekuatan, dan minat anak,
sedangkan sekolah memiliki informasi yang lebih akurat mengenai
prestasi akademik siswa. Informasi mengenai anak yang dimiliki
oleh keluarga merupakan landasan penting bagi
penyelenggaraan pendidikan inklusif.
8. Belajar
dan berfikir independen.
Dalam
pendidikan inklusif guru mendorong agar siswa mencapai perkembangan kognitif
taraf tinggi dan kreatif agar mampu berfikir independen. Berkenaan dengan
semakin majunya ilmu dan teknologi, pendidikan inklusif sangat menekankan agar
siswa memiliki keterampilan belajar
dan
berpikir. Guru hendaknya juga mengetahui bahwa hasil-hasil penelitian
mengenai anak-anak kesulitan belajar (students with learning
difficulties) menunjukkan bahwa mereka umumnya pasif dalam belajar, kurang mampu melakukan control diri, cenderung bergantung (dependent),dan
kurang memiliki strategi untuk belajar. Sehubungan dengan karakteristik
siswa berkesulitan belajar semacam itu
maka guru perlu memiliki kemampuan untuk memberikan dorongan atau motivasi
dengan menerapkan berbagai teknik, terutama yang berkenaan
dengan manajemen perilaku atau memodifikasi perilaku.
9. Belajar
sepanjang hayat
Pendidikan
inklusif memandang pendidikan di sekolah sebagai bagian dari perjalanan
panjang hidup seorang manusia; dan manusia belajar sepanjang
hidupnya (lifelong learning). Belajar sepanjang hayat memiliki makna
yang melampaui sekedar menguasai berbagai kompetensi yang
menjadi tuntutan kurikulum dan upaya untuk naik kelas. Belajar
sepanjang hayat pada hakekatnya adalah belajar untuk berfikir kritis dan
belajar untuk menyelesaikan berbagai masalah kehidupan. Oleh karena
itu, pendidikan inklusif menekankan pada pengalaman belajar
yang bermanfaat bagi kelangsungan proses belajar peserta didik
dalam kehidupan masyarakat.
E.
Prinsip-prinsip
Pembelajaran di Sekolah Inklusi
1. Tuna
Laras
a. Prinsip Kebutuhan dan Keaktifan
Anak
tunalaras selalu ingin memenuhi kebutuhan dan keinginannya tanpa memperdulikan
kepentingan orang lain. Untuk memenuhi Kebutuhannnya itu, ia menggunakan
kesempatan yang ada tanpa mengingat kepentingan orang lain. Kalau perlu
melanggar semua peraturan yang ada meskipun ia harus mencuri misalnya. Hal ini
jelas merugikan baik diri sendiri maupun orang lain. Oleh karena itu, guru
harus memberi keaktifan kepada siswa supaya kebutuhannya terpenuhi dengan
mempertimbangkan norma-norma kemasyarakatan, agama, peraturan perundangan-undangan
yang berlaku, segingga dalam memenuhi keinginan dan kebutuhannya tidak
merugikan diri sendiri maupun orang lain.
b. Prinsip
Kebebasan yang Terarah
Anak
tunalaras memiliki sikap tidak mau dikekang. Ia selalu menggunakan peluang yang
ada untuk berbuat sesuatu sehingga hatinya merasa puas. Oleh karena itu, guru
harus berhati-hati ketika akan melarangnya. Nasehatilah kalau memang perlu
dilarang. Di samping itu, guru hendaknya mengarahkan dan menyalurkan segala
perilaku anak ke arah positif yang berguna, baik untuk diri sendiri maupun
orang lain.
c. Prinsip
Penggunaan Waktu Luang
Anak
tunalaras biasanya tidak bisa diam, dia termasuk hiperaktif. Ada saja yang
dikerjakan. Bahkan solah-olah mereka kekurangan waktu sehingga lupa tidur,
istirahat, dan sebaginya. Oleh karena itu, guru harus membimbing anak degan
mengisi waktu luangnya untuk kegiatan-kegiatan yang bermanfaat.
d. Prinsip
Kekeluargaan dan Kepatuhan
Anak tunalaras berasal dari keluarga yang tidak
harmonis, hubungan orang tua retak (broken home). Akibatnya emosinya tidak
laras, jiwanya tidak tenang, rasa kekeluargaannyatidak berkembang, merasa
hidupnya tidak berguna. Akibat lebih jauh mereka bersifat perusak, benci kepada
orang lain. Oleh karena itu, guru harus dapat meyelami jiwa anak, dimana letak
ketidakselarasaan kehidupan emosinya. Selanjutnya, mengembalikannya kepada
kehidupan emosi yang tenang, laras, sehingga rasa kekeluargaanya menjadi pulih
kembali. Misalnya siswa disuruh membaca cerita yang edukatif, memelihara
binatang, tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya.
e. Prinsip
Setia Kawan dan Idola serta Perlindungan
Karena tinggal di rumah tidak tahan, anak tunalaras
biasanya lari keluar rumah. Kemudian ia bertemu dengan orang-orang (kelompok)
yang dirasa dapat memebuat dirinya merasa aman. Di dalam kelompok tersebuat ia
merasa menemukan tempat berlindung menggantikan orang tuanya, ia merasa
tentram, timbul rasa setia kawan. Karena setianya kepada kelompok, ia berbuat
apa saja sesuai perintah katua kelompoknya yang dijadikan idolanya. Oleh karena
itu, guru hendaknya secara perlahan-lahan berupaya menggantikan posisi ketua
kelompoknya, menjadi tokoh idola siswa, dengan cara melindungi siswa, dan
berangsur-angsur kelompoknya berganti dengan teman-teman sekelasnya, dan setia
kawannya berganti kepada teman-teman sekelasnya, yang pada akhirnya mereka akan
merasa senang bersekolah.
f. Prinsip
Minat dan Kemampuan
Guru harus memperhatikan minat dan kemampuan anak
terutama yang berhubungan dengan pelajaran. Jangan sampai karena tugas-tugas
(PR) yang diberikan oleh terlalu banyak, akhirnya justru mereka benci kepada
guru atau benci kepada pelajaran tertentu. Sebaliknya, guru harus menggali
minat dan kemampuan siswa terhadap pelajaran, untuk dijadikan dasar memberi
tugas-tugas tertentu. Dengan memberi tugas yang sesuai, mereka akan merasa
senang, yang pada akhirnya lama-kelamaan mereka akan terbiasa belajar.
g. Prinsip
Emosional, Sosial, dan Perilaku
Karena problem emosi yang disandang anak tunalaras,
maka ia mengalami ketidakseimbangan emosi. Akibatnya siswa berprilaku
menyimpang baik secara individual maupun secara sosial dalam pergaulan hidup
bermasyarakat. Oleh karena itu, guru harus berusaha mengidentifikasi problem
emosi yang disandang anak, kemudian berupaya menghilangkannya untuk diganti
dengan sifat-sifat yang baik sesuai dengan norma-norma yang erlaku di
masyarakat dan agama, dengan cara diberi tugas-tugas tertentu yang terpuji,
baik secara individual maupun secara kelompok.
h. Prinsip
Disiplin
Pada umumnya anak tunalaras ingimn memanfaatkan
kesempatan yang ada untuk memenuhi keinginannya,tanpa mengindahkan norma-norma
yang berlaku, sehingga ia hidup lepas dari disiplin. Sikap ketidaktaatan dan
lepas dari aturan merupakan sikap hidupnya sehari-hari. Oleh karena itu, guru
perlu membiasakan siswa untuk hidup teratur dengan selalu diberi keteladanan
dan pembinaan dengan sabar.
i.
Prinsip Kasih Sayang
Anak tunalaras umumnya haus akan kasih sayang, baik
dari orang tua maupun dari keluarganya. Akibatnya anak akan selalu mencari
kasih sayang dan menumpahkan keluhannya di luar rumah. Kalau ia tidak
menemukannya akan menjadi agresif, cenderung hiperaktif, atau sebaliknya ia
menjadi rendah diri, pendiam, atau meyendiri. Oleh karena itu, guru supaya
mendekati anak dengan penuh kasih sayang, kesabaran, sehingga kekosongan jiwa
anak akan teisi atau terobati. Akibatnya, anak akan rajin ke sekolah karena
merasa ada tempat untuk mencurahkan perasaanya. Pada akhirnya mereka akan
menuruti nasehat guru untuk rajin belajar.
2. Tuna Rungu
Pembelajaran yang dilakukan bagia
siswa mendengar berbeda dengan pembelajaran bagi anak tunarungu, anak tunarungu
lebih mengandalkan visualnya serta pembelajaran dapat mudah dipahami jika guru
melakukan prinsip-prinsip di bawah ini:
a. Prinsip keterarahwajahan
Dalam menyampaikan materi
pembelajaran, guru harus berdiri di depan sehingga wajah guru khususnya mulut
guru dapat dilihat oleh anak tunarungu tanpa terhalang apapun, sehingga anak
tunarungu dapat memahami apa yang disampaikan oleh gurunya.Hindari memberikan
penjelasan sambil berjalan baik di depan kelas maupun ke belakang kelas.Ketika
berbicara dengan tunarungu harus berhadapan langsung (face to face) sehingga
pesan yang disampaikan dapat dipahami dan pembelajaran dapat lebih dimengerti.
b. Prinsip keterarahsuaraan
Bagi
anak tunarungu suara tidak perlu keras dan kencang, namun guru harus berbicara
jelas dengan artikulasi yang tepat sehingga dapat dipahami oleh tunarungu.
Dengan demikian pembelajaran yang dilakukan tidak sia-sia.
c. Prinsip Intersubyektifitas
Dalam
pembelajaran guru dan siswa tunarungu sebagai unsur yang penting harus dapat
membangun suatu kesamaan dalam proses pengamatan, apa yang akan diucapkan oleh
anak dengan perantara visualnya harus segera direspon dan dibahasakan kembali
oleh guru.
d.
Prinsip
kekonkritan
Dalam
memberikan pembelajaran kepada anak tunarungu harus konkrit hal ini dikarenakan
anak tunarungu daya abstraksinya rendah dibandingkan anak mendengar karena
minimnya bahasa yang dimiliki. Segala sesuatu yang diajarkan hendaknya disertai
dengan contoh-contoh nyata dan yang mudah dipahami.
e.
Prinsip
Visualisasi
Pendengaran
anak tunarungu tidak dapat berfungsi maka melalui indera penglihatannya anak
tunarungu berusaha memperoleh informasi, untuk itu semua pembelajaran yang
diberikan oleh guru hendaknya dapat diilustrasikan dalam bentuk gambar yang
bercerita tentang materi yang diberikan atau lebih dikenal dengan visualisasi
yang berguna untuk memudahkan anak tunarungu mengerti akan maksud dan isi
pembelajaran.
f.
Prinsip
Keperagaan
Setiap
kata yang keluar dari mulut guru hendaknya diulas lebih lanjut hingga anak
tunarungu betul-betul paham maksud dari kata tersebut, kemudian memperagaan
atau mempraktekkannya akan lebih memudahkan anak tunarungu untuk mengerti apa
yang diajarkan serta upayakan semua pembelajaran yang dilakukan dapat
diperagakan secara pengalaman oleh anak sehingga anak mudah memahami dan
mengerti apa yang diajarkan guru.
g.
Prinsip
pengalaman yang menyatu
Pengalaman
visual cenderung menyatukan informasi yang diterima, Mengajak anak tunarungu
untuk “mengalami” secara nyata dapat memudahkan anak untuk mengerti akan
hubungan-hubungan yang ada.
h.
Prinsip
belajar sambil melakukan
Pembelajaran
hendaknya dapat bermakna bagi semua siswa tidak terkecuali bagi anak tunarungu,
untuk itu segala sesuatu yang dipelajari harus dapat dipraktekkan dan dilakukan
oleh anak tunarungu. Penggunaan strategi pembelajaran yang langsung melibatkan
anak lebih bermanfaat dibandingkan anak hanya mendengarkan saja.
3.
Tuna Daksa
Ada beberapa prinsip
utam dalam memberikan pendidikan pada anak tuna daksa, diantaranya sebagai
berikut:
a.
Prinsip multisensory (banyak indra)
Proses
pendidikan anak tuna daksa sedapat mungkin memanfaatkan dan mengembangkan
indra-indra yang ada dalam diri anak karena banyak anak tun daksa yang
mengalami gangguan indra. Dengan pendekatan multisensory, kelemahan pada indra
lain dapat difungsikan sehingga dapat membantu proses pemahaman
b.
Prinsip individualisasi
Individualisasi mengandung arti bahwa titik tolak
layanan pendidikan adalah kemampuan anak secara individu. Model layanan
pendidikannya dapat berbentuk klasikal dan individual. Dalam model
klasikal, layanan pendidikan diberikan pada kelompok individu yang cenderung
memiliki kemampuan yang hampir sama, dan bahan pelajaran yang diberikan pada
masing-masing anak sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.
4.
Tunagrahita/Anak lamban belajar (Slow learner)
a.
Prinsip Kasih Sayang
Tunagrahita/anak lamban belajar adalah anak yang
mengalami kelainan/penyimpangan dalam segi intelektual (inteligensi), yakni
inteligensinya di bawah rata-rata anak seusianya (di bawah normal). Akibatnya,
dalam tugas-tugas akademik yang menggunakan intelektual, mereka senang
mengalami kesulitan. Oleh karena itu. kadang-kadang guru merasa jengkel karena
diberi tugas yang menurut perkiraan guru sangat mudah sekalipun. mereka tetap
saja kesulitan dalam menyelesaikannya.
Untuk itu, mengajar anak tunagrahita/lamban belajar
membutuhkan kasih sayang yang tulus dan guru. Guru hendaknva berbahasa yang
lembut, tercapai sabar, rela berkorban, dan memberi contoh perilaku yang baik
ramah, dan supel, sehingga siswa tertarik dan timbul kepercayaan yang pada
akhirnya bersemangat untuk melakukan saran-saran dan guru.
b.
Prinsip Keperagaan
Kelemahan anak Tunagrahita/lamban belajar antara
lain adalah dalam hal kemampuan berfikir abstrak, Mereka sulit membayangkan
sesuatu. Dengan segala keterbatasannya itu, siswa tunagrahita/lamban belajar
akan lebih mudah tertarik perhatiannva apabila dalam kegiatan belajar-mengajar
menggunakan benda-benda konkrit maupun berbagai alat peraga (model) yang
sesuai.
Hal ini menuntut guru agar dalam kegiatan belajar
mengajar selalu rnengaitkan relevansinya dengan kehidupan nyata
sehari-hari. Oleh karena itu, anak perlu di bawa ke lingkungan nyata, baik
lingkungan fisik, lingkungan sosial, maupun lingkungan alam. Bila tidak
memungkinkan, guru dapat membawa berhagai alat peraga.
c.
Prinsip Habilitasi dan Rehabilitasi
Meskipun dalam bidang akademik anak tunagrahita
memiliki kemampuan yang terbatas, namun dalam bidang-bidang lainnya mereka
masih memiliki kemampuan atau potensi yang masih dapat dikembangkan.
Habilitasi adalah usaha yang dilakukan seseorang
agar anak menyadari bahwa mereka masih memiliki kemampuan atau potensi yang
dapat dikembangkan meski kemampuan atau potensi tersebut terbatas. Rehabilitasi
adalah usaha yang dilakukan dengan berbagai macam bentuk dan cara, sedikt demi
sedikit mengembalikan kemampuan yang hilang atau belum berfungsi optimal.
Dalam kegiatan belajar-mengajar, guru hendaknya berusaha
mengembangkan kemampuan atau potensi anak seoptimal mungkin. melalui berbagai
cara yang dapat ditempuh.
5.
Anak Berbakat
a.
Prinsip
Percepatan (AkseIeras) Be1ajar.
Anak berbakat adalah anak yang memiliki kemampuan
(intelegensi), kreatvitas, dan tanggung jawab (task commitmeni) terhadap tugas
di atas anak-anak seusianya. Salah satu karakteristik yang sangat menonjol
adalah mereka memiliki kecepatan belajar di atas kecepatan belajar anak
seusianya. Dengan diterangkan sekali saja oleh guru. mereka telah dapat
menangkap maksudnya: sementara anak-anak yang lainnya masih perlu dijelaskan
lagi oleh guru. Pada saat guru mengulangi penjelasan kepada teman-temannya itu,
mereka memiliki waktu tertuang. Bila tidak diantisipasi oleh guru,
kadang-kadang waktu tertuang ini dimanfaatkan untuk aktivitas sekehendaknya.,
misalnya melempar benda-benda kecil kepada teman dekatnya. mencubit teman
kanan-kirinya, dan sebagainya.
Untuk menghindari hal-hal yang tidak dikehendaki,
dalam proses belajar-mengajar hendaknya guru dapat memanfaatkan waktu luang
anak berbakat dengan memberi materi penilaian tambahan (materi pelajaran
berikutnya). Sehingga kalau terakumulasi semua, mungkin materi pelajaran selama
satu semester dapat selesai dalam waktu 4 bulan: materi 1 tahun selesai dalam
waktu 8 bulan: materi 6 tahun selesai dalam waktu 4 tahun. Hal disebut dengan
istilah percepatan (akselerasi) belajar.
b.
Prinsip
Pengayaan (Enrichment)
Ada anak berhakat yang tidak tertarik dengan program
percepatan belajar Mereka kurang berminat mempelajari materi di atasnya
(berikutnya) mendahului teman-temannya. Mereka merasa lehih enjoy dan fun
dengan tetap mempelajari materi yang sama dengan teman sekelasnya, namun
diperdalam dan diperluas dengan mengembangkan proses berfikir tingkat tinggi
(analisis. sintesis. evaluasi, dan pemecahan masalah), tidak hanya
mengembangkan proses berfikir tingkat rendah (pengetahuan dan pemahaman),
karena anak berbakat lebih menonjol dalam proses berfikir tingkat tinggi
tersebut.
Hal ini menuntut guru agar dalam kegiatan betajar
mengajar dapat rnemanfaatkan waktu luang anak berbakat dengan cara memberi
program-program pengayaan kepada mereka, dengan mengemhangkan proses berfikir
tingkat tinggi seperti di atas.
6.
Tunanetra
a.
Prinsip
Kekonkritan.
Anak tunanetra belajar terutama melalui pendengaran
dan perabaan. Bagi mereka untuk mengerti dunia sekelilingnya harus bekerja
dengan benda-benda konkrit yang dapat diraba dan dapat dimanipulasikan Melalui
observasi perabaan benda-benda riil, dalam tempatnya yang alamiah, mereka dapat
memahami bentuk, ukuran, berat, kekerasan, sifat-sitat permukaan, kelenturan,
suhu, dan sebagainya.
Dengan menyadari kondisi seperti ini, maka dalam
proses belajar-mengajar guru dituntut semaksimal mungkin dapat menggunakan
benda-benda konkrit (baik asli maupun tiruan) sebagai alat bantu atau media dan
sumber belajar dalam upaya pencapaian tujuan pembelajaran.
b.
Prinsip Pengalaman yang Menyatu
Pengalaman visual cenderung menyatukan informasi.
Seorang anak normal yang masuk ke toko, tidak saja dapat melihat rak-rak dan
benda-benda riil, tetapi juga dalam sekejap mampu melihat huhungan antara
rak-rak dengan benda-benda di ruangan. Anak tunanetra tidak mengerti
hubungan-huhungan ini kecuali jika guru menyajikannya dengan mengajar anak
untuk “mengalami” suasana tersehut secara nyata dan menerangkan
huhungan-huhungan tersebut.
c.
Prinsip
Belajar Sambil Melakukan
Prinsip ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan
prinsip belajar sambil berkerja. Perbedaannya adalah, bagi anak tunanetra,
melakukan sesuatu adalah pengalamanya nyata yang tidak mudah terlupakan seperti
anak normal melihat sesuatu sebagai kebutuhan utama dalam rnenangkap informasi.
Anak normal belajar mengenai keindahan lingkungan cukup hanya dengan melihat
gambar atau foto. Anak tunanetra menuntut penjelasan dan penjelajahan secara
langsung di lingkungan nyata.
Prinsip ini menuntut guru agar dalam proses
belajar-mengajar tidak hanya bersifat informatif akan tetapi semaksimal mungkin
anak diajak ke dalam situsi nyata sesuai dengan tuntutan tujuan yang ingin
dicapai dan bahan yang diajarkannya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pendidikan inklusi mempunyai pengertian yang
beragam. Stainback dan Stainback (1990) mengemukakan bahwa sekolah
inklusi adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama.
Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi sesuai
dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa, maupun bantuan dan dukungan yang
dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil.
Prinsip pembelajaran menurut Larsen dan Freeman
(1986 dalam Supani dkk. 1997/1998) adalah represent the theoretical
framework of the method. Prinsip pembelajaran adalah kerangka teoretis
sebuah metode pembelajaran. Kerangka teoretis adalah teori-teori yang
mengarahkan harus bagaimana sebuah metode dilihat dari segi 1) bahan yang akan
dibelajarkan, 2) prosedur pembelajaran (bagaimana siswa belajar dan bagaimana
guru mengajarkan bahan), 3) gurunya, dan 4) siswanya.
Prinsip
pembelajaran untuk pendidikan inklusif sangat beragam. Diantaranya adalah
prinsip pembelajaran untuk anak berkebutuhan khusus seperti tuna daksa, tuna
laras, dan tuna rungu yaitu prinsip keterarahwajahan, Prinsip keterarahsuaraan, Prinsip Intersubyektifitas, Prinsip kekonkritan, Prinsip Visualisasi, Prinsip Keperagaan, Prinsip pengalaman yang menyatu, Prinsip belajar sambil melakukan.
B.
Saran
Untuk para pendidik sudah seharusnya memahami mengenai prinsip-prinsip pembelajaran inklusif. Khususnya untuk para pendidik yang akan dijadikan tenaga pendidik di sekolah inklusif, karena tanpa memahami prinsip pembelajaran inklusif, akan mengakibatkan kegiatan pembelajaran yang tidak sesuai. Selain pendidik, para masyarakat juga sudah sepantasnya memahami apa esensi dari prinsip-prinsip pendidikan inklusif. Karena masyarakatlah yang dapat mengontrol berjalannya kegiatan pembelajaran disekolah.
Untuk para pendidik sudah seharusnya memahami mengenai prinsip-prinsip pembelajaran inklusif. Khususnya untuk para pendidik yang akan dijadikan tenaga pendidik di sekolah inklusif, karena tanpa memahami prinsip pembelajaran inklusif, akan mengakibatkan kegiatan pembelajaran yang tidak sesuai. Selain pendidik, para masyarakat juga sudah sepantasnya memahami apa esensi dari prinsip-prinsip pendidikan inklusif. Karena masyarakatlah yang dapat mengontrol berjalannya kegiatan pembelajaran disekolah.
Boleh minta daftar pustaka makalahnya mbak?
BalasHapus