BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Penyelenggaraan program pendidikan terpadu bermula dengan keluarnya Surat Keputusan Mendikbud No.002/U/1986 tanggal 4 Januari
1986 Tentang Program Pendidikan Terpadu Bagi Anak Cacat. Keputusan itu disusul
dengan Surat Edaran Dirjen Dikdasmen No.6718/C/I/89 tanggal 15 Juli 1989 Tentang
Perluasan Kesempatan Belajar Bagi Anak Berkelainan Di Sekolah Umum. Kemudian SK
Mendikbud No.0491/U/1992 mempertegas Tentang Pendidikan Bagi Anak Berkelainan
yang diselenggarakan bersama-sama dengan anak normal di jalur pendidikan
sekolah. Melalui program pendidikan terpadu ini para peserta didik dimungkinkan
untuk saling menyesuaikan diri, saling belajar tentang sikap, perilaku dan
ketrampilan, saling berimitasi dan mengidentifikasi, menghilangkan sifat
menyendiri, menimbulkan sikap saling percaya, meningkatkan motivasi untuk
belajar dan meningkatkan harkat serta harga diri. Selain surat keputusan yang
telah diuraikan di atas, juga ada Surat Direktur Pendidikan Dasar No.0267/C2/U/1994 tanggal 30 Maret 1994
tentang penyelenggaraan pendidikan terpadu yang diberlakukan bagi beberapa
jenis kecacatan akan tetapi memiliki kemampuan inteligensi normal atau di atas
rata-rata.
B.
Rumusan
Masalah
dari latar belakang di atas, dapat ditarik beberapa
rumusan masalah, yaitu :
1.
Apa
2.
Apa saja kriteria caon penyelenggara
pendidikan inklusif?
3.
Apa rekomendasi yang dilakukan untuk
meningkatkan kualitas pendidikan?
4.
Apa prinsip-prinsip penyelenggaraan
pendidikan inklusif?
C.
Tujuan
Makalah
Yang menjadi tujuan dari penulisan makalah ini diantaranya adalah untuk :
1. Mengetahui
2. Mengetahui
3. Memahami
4. Mengetahui
5. Mengetahui
6. Mengetahui
D.
Sistematika
Makalah
Makalah
ini terdiri dari tiga BAB, dengan sistematika yaitu Bab I Pendahuluan. Dalam
BAB ini terdiri dari empat subbab secara umum, yaitu Latar belakang, Rumusan
masalah, Tujuan makalah, dan Sistematika penulisan.
Bab
II Pembahasan. Pada BAB yang kedua ini berisi tentang materi yang dibahas, yang
dibagi kedalam beberapa subbab, yaitu
Bab
III Penutup.Bab ini terbagi kedalam dua subbab yaitu Kesimpulan dan juga Saran.
PEMBAHASAN
A.
Pelaksanaan
Pendidikan Inklusif di Indonesia
Pelaksanaan pendidikan inklusif di Indonesia terselenggara dengan sistem:
1. Belajar di kelas biasa dengan guru kelas. Sekarang ini banyak siswa tuna
netra yang mendapatkan program pelayanan pendidikan terpadu secara penuh,
dimana siswa belajar di kelas biasa dan
ditangani sepenuhnya oleh guru kelas serta masing-masing guru bidang studi.
2.Belajar di kelas biasa dengan guru kelas dan seorang guru pembimbing
khusus.
Siswa tuna netra belajar di kelas biasa dengan guru kelas yang didampingi oleh guru pembimbing khusus. Guru pembimbing khusus dapat berasal dari kalangan guru PLB tetapi dapat pula dari tenaga ahli di bidang ketunanetraan.
Siswa tuna netra belajar di kelas biasa dengan guru kelas yang didampingi oleh guru pembimbing khusus. Guru pembimbing khusus dapat berasal dari kalangan guru PLB tetapi dapat pula dari tenaga ahli di bidang ketunanetraan.
3. Belajar di kelas biasa dengan guru kunjung Guru kunjung biasanya menangani
siswa tuna netra yang belajar pada beberapa sekolah. Fungsinya hanya memberikan
saran-saran kepada guru kelas atau guru bidang studi.
4. Belajar di sekolah umum dengan kelas khusus.Siswa tuna netra belajar di sekolah umum tetapi belajar di kelas yang
khusus (terpisah dengan siswa normal lainnya).
5. Belajar dalam satu lokasi sekolah dengan berbagai macam ketunaan.
Siswa tuna netra bersama dengan siswa yang memiliki kebutuhan khusus lainnya belajar dalam satu gedung sekolah yang sama.
Siswa tuna netra bersama dengan siswa yang memiliki kebutuhan khusus lainnya belajar dalam satu gedung sekolah yang sama.
B.
Kriteria Calon Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif
Setiap satuan pendidikan formal,
baik TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK/MAK, pada dasanya dapat
menyelenggarakan pendidikan inklusif sesuai dengan sumber daya yang tersedia.
Namun demikian untuk menghindari kemungkinan terjadinya implementasi penyelenggaraan
pendidikan inklusif yang kurang sesuai, maka setiap satuan pendidikan yang akan
menyelenggarakan pendidikan inklusif perlu memenuhi beberapa kriteria, di
antaranya sebagai berikut :
1. Terdapat
Peserta Didik Berkebutuhan Khusus (PDBK)
Melalui proses identifikasi dan
asesmen terhadap semua peserta didik di sekolah yang bersangkutan, yang
dilakukan oleh sekolah atau tenaga profesional lain, kita dapat menemukan ada
atau tidak ada peserta didik berkebutuhan khusus di sekolah tersebut.
ABK mungkin juga dapat diperoleh
dari proses penjaringan terhadap anak usia sekolah yang belum bersekolah di
lingkungan terdekat. ABK juga dapat diperoleh berdasarkan hasil rujukan dari
Sekolah Luar Biasa/Institusi lain terdekat, baik karena proses mutasi sekolah
ataupun melanjutkan sekolah.
Jika sekolah umum tersebut terdapat peserta didik
berkebutuhan khusus, baik karena melalui proses identifikasi dan asesmen,
penjaringan di lingkungan terdekat, maupun rujukan SLB/Institusi lain, maka
secara otomatis sekolah tersebut dapat menyelenggarakan pendidikan inklusif.
2. Kesiapan sekolah untuk menyelenggarakan program pendidikan inklusif (kepala sekolah, komite sekolah, guru, peserta didik, dan orang tua)
Untuk
mendukung kelancaran dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif, setiap satuan
pendidikan harus memiliki kesiapan untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif.
Kesiapan dimaksud meliputi :
a.
Adanya persepsi dan sikap yang positif dari semua
komponen sekolah, termasuk orangtua anak pada umumnya, tentang pendidikan
inklusif.
b.
Adanya kemauan yang kuat dari sekolah untuk
meningkatkan pemerataan dan mutu pendidikan tanpa diskriminatif
c.
Adanya peluang untuk meningkatkan aksesibilitas ABK
dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif
3.
Terdapat anak
berkebutuhan khusus di lingkungan sekolah
4.
Tersedia guru
khusus/PLB (guru tetap sekolah atau guru yang diperbantukan dari lembaga lain)
5.
Komitmen
terhadap penuntasan wajib belajar
6.
Memiliki
jaringan kerjasama dengan lembaga lain yang relevan
7.
Tersedia sarana
penunjang yang mudah diakses oleh semua anak
8.
Pihak sekolah
telah memperoleh sosialisasi tentang pendidikan inklusi
9.
Sekolah
tersebut telah terakreditasi
C.
Sistem
Pendukung (Support System)
Beberapa sistem
pendukung yang diperlukan
guna memperlancar model pembelajaran pendidikan
inklusif melalui program
pendidikan yang
diindividualisasikan, yaitu:
1.
Sekolah dan Guru Ramah.
Sekolah ramah
(welcoming school) dan
guru yang ramah
(welcoming teacher)
merupakan syarat utama
dalam mengembangkan model
layanan pembelajaran
pendidikan inklusif melalui
program pembelajaran yang
diindividualisasikan.
Sekolah dan
guru ramah adalah
sekolah dan guru
yang tidak diskriminatifterhadap kondisi
kecerdasan, fisik, sosial,
emosi, kepercayaan, ras
atau suku,golongan keyakinan,
serta memahami dan
menerima kebegaraman,
mengutamakan pengembangan potensi
siswa sesuai dengan
bakat, minat dan karakteristiknya.
Sekolah dan
guru ramah merupakan
sekolah dan guru
yang mengakui
keberagam
manusia sebagai anugerah
Yang Maha Kuasa
– sekolah dan
guru yang mengakui
eksistensi manusia, sekolah dan guru dan
memiliki keyakinan bahwa semua individu manusia memiliki potensi yang
dapat dikembangkan dan memahami bahwa
setiap individu manusia memiliki harapan, bakat, minat yang berbeda-beda. Sekolah
dan guru demikian
akan melayani dan
memperlakukansiswa dalam pembelajarannya sesuai dengan harapan, bakat,
minatnya.
2.
Pusat Sumber (Resource Center) dan sarpras.
Sekolah ramah (welcoming school) dan
guru ramah (welcoming teacher) sebagai syarat
utama layanan pembelajaran
pendidikan inklusif melalui
program pengajaran yang diindividualisasikan, pelayanan
pembelajaran akan berjalan semakin mulus
apabila didukung oleh
pusat sumber yang
dapat membantu memberikan bantuan
teknis kepada sekolah
yang didalamnya ada
anak berkebutuhan khusus.Tugas dan fungsi pusat sumber adalah
menyediakan guru pendidikan kebutuhan khusus yang professional yang disebut
sebagai guru kunjung (iteneran teacher). Tugas
guru kunjung membantu
guru sekolah reguler
dalam membantu melakukan asesmen
dan merancang pembelajaran
serta memberikan layanan pendidikan kepada
anak berkebutuhan khusus,
disamping itu, pusat
sumber mempunyai tugas disamping menyediakan
guru kunjung, juga
menyediakan alat/media
belajar yang diperlukan
anak berkebutuhan khusus,
seperti penyediaaan buku teks
braille bagi tunanetra,
memberikan pelatihan dan pendampingan tertentu
bagi guru sekolah
reguler, orangtua maupun
anak berkebutuhan khusus. Pusat
sumber merupakan tempat
berkumpulnya para professional.
Sekolah dan
guru ramah adalah
sekolah yang memiliki
dan menyediakanprasarana asesibilitas
yang memadai sehingga
memudahkan anak dalam melakukan mobilitas,
misalnya: tersedia jalan
untuk anak yang
menggunakan kursi roda, tersedia
jalan yang tidak
membahayakan anak yang
mengalami gangguan penglihatan, penggunaan huruf-huruf braile pada
setiap pintu ruangan.
3.
Perluasan Peran dan Tugas SLB
Dalam perspektif layanan pendidikan
inklusif melalui model pembelajaran
yangdiindividualisasikan, peran dan
tugas SLB adalah
sebagai pusat sumber
bagi sekolah-sekolah yang mengembangkan
pendidikan inklusif. Untuk
itu, dalam pelaksanaannya, pemerintah
propinsi atau kabupaten
kota harus dapat mengkoordinasikan antara
sekolah reguler yang
mengembangkan pendidikan inklusif dengan
SLB. Misalnya, pembuatan
SK guru SLB
untuk melakukan sebagian waktu
tugasnya di sekolah
reguler yang mengembangkan
pendidikan inklusif atau
menugaskan untuk menjadi iteneran teacher. Perluasan peran dan
tugas SLB dibangun
melalui kemitraan dengan
sekolah-sekolah yang
mengembangkan pendidikan inklusif. Dengan demikian, tugas SLB tidak hanya
melayani pendidikan anak-anak
berkebutuhan khusus di
sekolahnya (SLB), tetapi juga
melayani pendidikan di
sekolah-sekolah reguler yang mengembangkan pendidikan inklusif.
4.
Kemitraan
dengan lembaga berkait
(Dinas Kesehatan, Depsos/Dinsos, Depag, Perindustrian, Hukum
dan HAM)
Penyelenggaraan pendidikan
inklusif akan semakin
mulus dalam pelaksanaannya apabila
sekolah mengembangkan kemitraan
dengan lembaga-lembaga berkait
atau departemen-departemen terkait,
misalnya dengan departemen kesehatan
dalam pemeriksaan kesehatan
fisik, depertemen sosial dalam
bantuan asesibililitas, departemen
perindustrian dalam mengembangkan kecakapan vokasional,
departemen hukum dan
HAM dalam perlindungan hukum.
5.
Dukungan orangtua
Dukungan orangtua
dan kerjasama dengan
sekolah sangat diperlukan
dalam melayani kebutuhan belajar
anak di sekolah
dalam upaya optimalisasi
potensi anak, kerjasama yang erat
antara orangtua dan guru dapat menghasilkan solusi terbaik dalam
melayani kebutuhan belajar
anak di sekolah
(Kremer, 1991).
Keterlibatan orangtua secara aktif
terhadap pendidikan anak di sekolah, sangat penting dalam
kaitannya dengan negosiasi
dalam mencari solusi
berkenaan dengan pendidikan anak, baik di sekolah maupun di rumah.Keterlibatan orangtua
dalam pendidikan, biasanya
terbatas pada urusan pembiayaan operasional
sekolah, kurang menyentuh
pengembangan kebutuhan pembelajaran
anak. Oleh karena itu, keterlibatan atau dukungan orangtua perlu
dikembangkan terhadap persoalan
pendidikan yang lebih
luas, apabila akses orangtua ke sekolah lebih terbuka,
permasalahan-permasalahan dan kebutuhankebutuhan yang dihadapi anak segera dapat
ditanggulangi.
6.
Kebijakan Pemerintah Pusat, Propinsi dan
Kabupaten/Kota.
Kebijakan-kebijakan pemerintah
baik pusat, propinsi
maupun kabupaten/kota sangat diperlukan
sebagai payung hukum
dalam mengembangkan layanan pendidikan model pendidikan inklusif.
Misalnya, pemer intah membuat regulasi yang
mengatur sistem penerimaan
siswa baru (PSB)
bagi anak berkebutuhan khusus melalui
satu pintu masuk,
yaitu melalui sekolah
reguler yang terdekat dengan lingkungan
anak. Pemerintah membuat
kebijakan untuk mendekatkan anak dengan sekolah.Kebijakan-kebijakan pemerintah,
baik pemerintah pusat,
propinsi maupun kabupaten kota
sebagai payung kekuatan
yang dapat dijadikan
lanndasan bergerak bagi sekolah,
guru dan staff
dalam memperlancar dan
memuluskanpengembangan
pembelajaran model pendidikan
inklusif melalui program pembelajaran yang
diindividualisasikan.
D. Rekomendasi untuk Meningkatkan
Kualitas Pendidikan
Rekomendasi berikut ini untuk lebih
meningkatkan kualitas sistem pendidikan:
1. Inklusi seyogyanya dipandang sebagai sebuah prinsip fundamental yang
mendasari kebijakannasional.
2. Konsep kualitas seyogyanya difokuskan pada perkembangan nasional, emosi dan
fisik, maupun pencapaian akademik lainnya.
3. Sistem asesmen dan evaluasi nasional perlu direvisi agar sesuai dengan
prinsip-prinsip non-diskriminasi dan inklusi serta konsep kualitas sebagaimana
telah disebutkan di atas.
4. Orang dewasa seyogyanya menghargai dan menghormati semua anak, tanpa
memandang perbedaan karakteristik maupun keadaan individu, serta seharusnya
pula memperhatikan pandangan mereka.
5. Semua kementerian seyogyanya berkoordinasi untuk mengembangkan strategi
bersama menuju inklusi.
6. Demi menjamin pendidikan untuk Semua melalui kerangka sekolah yang ramah
terhadap anak (SRA), maka masalah non-diskriminasi dan inklusi harus diatasi
dari semua dimensi SRA, dengan upaya bersama yang terkoordinasi antara
lembaga-lembaga pemerintah dan non-pemerintah, donor, masyarakat, berbagai
kelompok local, orang tua, anak maupun sektor swasta.
7. Semua pemerintah dan organisasi internasional serta organisasi
non-pemerintah, seyogyanya berkolaborasi dan berkoordinasi dalam setiap upaya
untuk mencapai keberlangsungan pengembangan masyarakat inklusif dan lingkungan
yang ramah terhadap pembelajaran bagi semua anak.
8. Pemerintah seyogyanya mempertimbangkan implikasi sosial maupun ekonomi bila
tidak mendidik semua anak, dan oleh karena itu dalam Manajemen Sistem Informasi
Sekolah harus mencakup semua anak usia sekolah
9. Program pendidikan pra-jabatan maupun pendidikan dalam jabatan guru
seyogyanya direvisi guna mendukung pengembangan praktek inklusi sejak pada
tingkat usia pra-sekolah hingga usia-usia di atasnya dengan menekankan pada
pemahaman secara holistik tentang perkembangan dan belajar anak termasuk pada
intervensi dini.
10. Pemerintah (pusat, provinsi, dan lokal) dan sekolah seyogyanya membangun
dan memelihara dialog dengan masyarakat, termasuk orang tua, tentang
nilai-nilai sistem pendidikan yang non-diskriminatif dan inklusif.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Seperti yang tertuang
pada pembukaan UUD 1945 bahwa pendidikan esensinya bertujuan menciptakan
manusia yang ideal, yakni manusia yang dicita-citakan. Dalam praktek pendidikan
di Indonesia anak wajib mengikuti pendidikan dasar 9 tahun, peraturan tersebut diperuntukkan
bagi semua anak di Indonesia tanpa melihat perbedaan baik secara fisik maupun
secara mental. Maka dari itu pemerintah Indonesia mengadakan Pendidikan
Inklusif di seluruh sekolah di Indonesia. Maka dari itu seluruh pendidik dan
tenaga kependidikan harus mengetahui dan memahami cara mendidik dan membimbing
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang menjadi siswa di sekolahnya. Maka
Pendidikan Inklusif penting dipelajari oleh pendidik. Selain itu, sekolah calon
penyelenggara Pendidikan Inklusif juga terlebih dahulu harus memahami kriteria
sekolah calon penyelenggara Pendidikan Inklusif dan berusaha agar sekolah
tersebut masuk ke dalam kriteria tersebut sehingga proses pelaksanaan
Pendidikan Inklusif di sekolah tersebut dapat berjalan efektif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar