Selasa, 24 Februari 2015

PEMBELAJARAN BERBASIS KARAKTER




BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang
Indonesia memerlukan sumberdaya manusia dalam jumlah dan mutu yang memadai sebagai pendukung utama dalam pembangunan. Untuk memenuhi sumberdaya manusia tersebut, pendidikan memiliki peran yang sangat penting.
Hal ini sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang, termasuk di sekolah harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut.
 Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat. Dan untuk itu perlu adanya pengembangan pembelajaran berbasis karakter guna menjadi alat untuk mencapai tujuan pendidikan itu sendiri.
Untuk itu penulis menulis makalah yang berkaitan dengan pengembangan pembelajaran berbasis karakter dan strategi pembelajaranya.
  
B.            Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut, kami merumuskan beberapa masalah, diantaranya :
1.      Bagaimana cara membangun pembelajaran berbasis karakter ?
2.      Apa saja strategi mengembangkan pembelajaran berbasis karakter ?

C.           Tujuan Penulisan
1.    Untuk mengetahui cara membangun pembelajaran berbasis karakter
2.    Utuk mengetahui strategi mengembangkan pembelajaran berbasis karakter

D.           Sistematika Penulisan
Pada Bab I Pendahuluan, menguraikan mengenai latar belakang, tujuan penulisan, rumusan masalah dan sistematika penulisan dari isi makalah kami.
Pada Bab II Pembahasan, menguraikan mengenai bagaimana cara membangun pembelajaran berbasis karakter, dan menguraikan strategi apa yang bisa digunakan dalam mengembangkan pembelajaran berbasis karakter.
Pada Bab III Penutup, menguraikan menngenai kesimpulan dan saran untuk melengkapi makalah kami.



BAB II
PEMBAHASAN

A.      Membangun Pembelajaran Berbasis Karakter
            Pelaksanaan kurikulum berbasis karakter di dalam proses pembelajaran di sekolah dilaksanakan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi pembelajaran pada semua mata pelajaran. Tahap-tahap ini akan diuraikan lebih detail berikut ini.
1.      Tahap Perencanaan
           Pada tahap perencanaan yang mula-mula dilakukan adalah analisis SK/KD, pengembangan silabus berkarakter, penyusunan RPP berkarakter, dan penyiapan bahan ajar berkarakter. Analisis SK/KD dilakukan untuk mengidentifikasi nilai-nilai karakter yang secara substansi dapat diintegrasikan pada SK/KD yang bersangkutan. Perlu dicatat bahwa identifikasi nilai-nilai karakter ini tidak dimaksudkan untuk membatasi nilai-nilai yang dapat dikembangkan pada pembelajaran SK/KD yang bersangkutan. Guru dituntut lebih cermat dalam memunculkan nilai-nilai yang ditargetkan dalam proses pembelajaran.
           Secara praktis pengembangan silabus dapat dilakukan dengan merevisi silabus yang telah dikembangkan sebelumnya dengan menambah komponen (kolom) karakter tepat di sebelah kanan komponen (kolom) Kompetensi Dasar atau di kolom silabus yang paling kanan. Pada kolom tersebut diisi nilai(-nilai) karakter yang hendak diintegrasikan dalam pembelajaran. Nilai-nilai yang diisikan tidak hanya terbatas pada nilai-nilai yang telah ditentukan melalui analisis SK/KD, tetapi dapat ditambah dengan nilai-nilai lainnya yang dapat dikembangkan melalui kegiatan pembelajaran (bukan lewat substansi pembelajaran). Setelah itu, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian, dan/atau teknik penilaian, diadaptasi atau dirumuskan ulang dengan penyesuaian terhadap karakter yang hendak dikembangkan. Metode menjadi sangat urgen di sini, karena akan menentukan nilai-nilai karakter apa yang akan ditargetkan dalam proses pembelajaran.
           Sebagaimana langkah-langkah pengembangan silabus, penyusunan RPP dalam rangka pendidikan karakter yang terintegrasi dalam pembelajaran juga dilakukan dengan cara merevisi RPP yang telah ada. Revisi RPP dilakukan dengan langkah-langkah: 
·           Rumusan tujuan pembelajaran direvisi/diadaptasi. Revisi/adaptasi tujuan pembelajaran dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: (1) rumusan tujuan pembelajaran yang telah ada direvisi hingga satu atau lebih tujuan pembelajaran tidak hanya mengembangkan kemampuan kognitif dan psikomotorik, tetapi juga afektif (karakter), dan (2) ditambah tujuan pembelajaran yang khusus dirumuskan untuk karakter. 
·           Pendekatan/metode pembelajaran diubah (disesuaikan) agar pendekatan/metode yang dipilih selain memfasilitasi peserta didik mencapai pengetahuan dan keterampilan yang ditargetkan, juga mengembangkan karakter. 
·           Langkah-langkah pembelajaran juga direvisi. Kegiatan-kegiatan pembelajaran dalam setiap langkah/tahap pembelajaran (pendahuluan, inti, dan penutup), direvisi atau ditambah agar sebagian atau seluruh kegiatan pembelajaran pada setiap tahapan memfasilitasi peserta didik memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang ditargetkan dan mengembangkan karakter. Prinsip-prinsip pendekatan pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning), pembelajaran kooperatif (Cooperatif Learning), dan pembelajaran aktif (misal: PAIKEM/Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan) cukup efektif untuk mengembangkan karakter peserta didik. 
·           Bagian penilaian direvisi. Revisi dilakukan dengan cara mengubah dan/atau menambah teknik-teknik penilaian yang telah dirumuskan. Teknik-teknik penilaian dipilih sehingga secara keseluruhan teknik-teknik tersebut mengukur pencapaian peserta didik dalam kompetensi dan karakter. Di antara teknik-teknik penilaian yang dapat dipakai untuk mengetahui perkembangan karakter adalah observasi, Penilaian kinerja, penilaian antar teman, dan penilaian diri sendiri. Nilai karakter sebaiknya tidak dinyatakan secara kuantitatif, tetapi secara kualitatif, misalnya:
a.         BT: Belum Terlihat,apabila peserta didik belum memperlihatkan tanda-tandaawal perilaku/karakter yang dinyatakan dalam indikator. 
b.        MT: Mulai Terlihat,apabila peserta didik sudah mulai memperlihatkan adanya tandatandaperilaku/karakter  yang  dinyatakan  dalam  indikator  tetapi belum konsisten. 
c.         MB: Mulai Berkembang,apabila peserta didik sudah memperlihatkan berbagai tanda perilaku/karakter yang dinyatakan dalam indikator dan mulai konsisten. 
d.        MK: Menjadi Kebiasaan atau membudaya, apabila peserta didik terus menerus memperlihatkan  perilaku/karakter  yang  dinyatakan  dalam  indikator  secara konsisten (Dit. PSMP Kemdiknas, 2010).
Bahan ajar disiapkan. Bahan ajar yang biasanya diambil dari buku ajar (buku teks) perlu disiapkan dengan  merevisi  atau menambah  nilai-nilai  karakter ke dalam pembahasan  materi  yang ada di dalamnya. Buku-buku yang ada selama ini meskipun telah memenuhi  sejumlah  kriteria kelayakan buku  ajar,  yaitu kelayakan isi,  penyajian,  bahasa,  dan  grafika,  akan  tetapi materinya  masih belum secara memadai mengintegrasikan pendidikan karakter di dalamnya. Apabila guru sekedar mengikuti atau melaksanakan embelajaran dengan berpatokan pada kegiatan kegiatan pembelajaran pada buku-buku  tersebut,  pendidikan  karakter  secara memadai belum berjalan. Oleh karena itu, sejalan dengan apa yang telah dirancang pada silabus dan RPP yang berwawasan pendidikan karakter, bahan ajar perlu diadaptasi. Adaptasi yang paling mungkin dilaksanakan oleh guru adalah dengan cara menambah kegiatan pembelajaran yang sekaligus dapat mengembangkan karakter. Cara lainnya adalah dengan mengadaptasi atau mengubah kegiatan belajar pada buku ajar yang dipakai. Selain  itu, adaptasi dapat dilakukan dengan merevisi substansi pembelajarannya

2.  Pelaksanaan Pembelajaran
Kegiatan  pembelajaran  dari  tahapan  kegiatan  pendahuluan,  inti, dan penutup dipilih  dan dilaksanakan agar peserta didik mempraktikkan nilai-nilai karakter yang ditargetkan.
a.       Pendahuluan
Berdasarkan Standar Proses, pada kegiatan pendahuluan, guru:
1)       menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses pembelajaran.
2)      mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan materi  yang akan dipelajari.
3)      menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang akan dicapai.
4)      menyampaikan cakupan materi dan penjelasan uraian kegiatan sesuai silabus.
Ada sejumlah cara yang dapat dilakukan untuk mengenalkan nilai, membangun kepedulian akan nilai, dan membantu internalisasi nilai atau karakter pada tahap pembelajaran ini. Berikut adalah beberapa contoh. 
a)         Guru datang tepat waktu (contoh nilai yang ditanamkan: disiplin).
b)         Guru mengucapkan salam dengan ramah kepada siswa ketika
memasuki ruang  kelas (contoh nilai yang ditanamkan: santun,
peduli)

c)         Berdoa sebelum membuka pelajaran (contoh nilai yang
ditanamkan: religius)
d)         Mengecek kehadiran siswa (contoh nilai yang ditanamkan: disiplin,
rajin)
e)         Mendoakan siswa yang tidak hadir karena sakit atau karena
halangan lainnya  (contoh nilai yang ditanamkan: religius, peduli)
f)          Memastikan bahwa setiap siswa datang tepat waktu (contoh nilai
yangditanamkan: disiplin)
g)         Menegur siswa yang terlambat dengan sopan (contoh nilai yang
ditanamkan:disiplin, santun, peduli)
h)         Mengaitkan materi/kompetensi yang akan dipelajari dengan
karakter
i)           Dengan merujuk pada silabus, RPP, dan bahan ajar,
menyampaikan butirkarakter yang hendak dikembangkan selain
yang terkait dengan SK/KD.

b.      Inti
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41 Tahun 2007, kegiatan inti pembelajaran terbagi atas tiga tahap, yaitu eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa pada tahap eksplorasi peserta didik difasilitasi untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan dan mengembangkan sikap melalui kegiatan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Pada tahap elaborasi, peserta didik diberi peluang untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan serta sikap lebih lanjut melalui sumber-sumber dan kegiatan-kegiatan pembelajaran lainnya sehingga pengetahuan, keterampilan, dan sikap peserta didik lebih luas dan dalam. Pada tahap konfirmasi, peserta didik memperoleh umpan balik atas kebenaran, kelayakan, atau keberterimaan dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperoleh oleh siswa.
Berikut beberapa ciri proses pembelajaran pada tahap eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi yang potensial dapat membantu siswa menginternalisasi nilai-nilai yang diambil dari Standar Proses.
a).    Eksplorasi
1)      Melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas dan dalam tentang topik/tema materi yang dipelajari dengan menerapkan prinsip alam takambang jadi guru dan belajar dari aneka sumber (contoh nilai yang ditanamkan: mandiri, berfikir logis, kreatif, kerjasama)
2)      Menggunakan beragam pendekatan pembelajaran, media pembelajaran, dan sumber belajar lain (contoh nilai yang ditanamkan: kreatif, kerja keras)
3)      Memfasilitasi terjadinya interaksi antarpeserta didik serta antara peserta didik dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya (contoh nilai yang ditanamkan: kerjasama, saling menghargai, peduli lingkungan)
4)      Melibatkan peserta didik secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran (contoh nilai yang ditanamkan: rasa percaya diri, mandiri)
5)      Memfasilitasi peserta didik melakukan percobaan di laboratorium, studio, atau lapangan (contoh nilai yang ditanamkan: mandiri, kerjasama, kerja keras)

b)        Elaborasi
1)      Membiasakan peserta didik membaca dan menulis yang beragam melalui tugas-tugas tertentu yang bermakna (contoh nilai yang ditanamkan: cinta ilmu, kreatif, logis)
2)   Memfasilitasi peserta didik melalui pemberian tugas, diskusi, dan lain-lain untuk memunculkan gagasan baru baik secara lisan maupun tertulis (contoh nilai yang ditanamkan: kreatif, percaya diri, kritis, saling menghargai, santun)
3)   Memberi kesempatan untuk berpikir, menganalisis, menyelesaikan masalah, dan bertindak tanpa rasa takut (contoh nilai yang ditanamkan: kreatif, percaya diri, kritis)
4)   Memfasilitasi peserta didik dalam pembelajaran kooperatif dan kolaboratif (contoh nilai yang ditanamkan: kerjasama, saling menghargai, tanggung jawab)
5)   Memfasilitasi peserta didik berkompetisi secara sehat untuk meningkatkan prestasi belajar (contoh nilai yang ditanamkan: jujur, disiplin, kerja keras, menghargai)
6)   Memfasilitasi peserta didik membuat laporan eksplorasi yang dilakukan baik lisan maupun tertulis, secara individual maupun kelompok (contoh nilai yang ditanamkan: jujur, bertanggung jawab, percaya diri, saling menghargai, mandiri, kerjasama)
7)   Memfasilitasi peserta didik untuk menyajikan hasil kerja individual maupun kelompok (contoh nilai yang ditanamkan: percaya diri, saling menghargai, mandiri, kerjasama)
8)   Memfasilitasi peserta didik melakukan pameran, turnamen, festival, serta produk yang dihasilkan (contoh nilai yang ditanamkan: percaya diri, saling menghargai, mandiri, kerjasama)
9)   Memfasilitasi peserta didik melakukan kegiatan yang menumbuhkan kebanggaan dan rasa percaya diri peserta didik (contoh nilai yang ditanamkan: percaya diri, saling menghargai, mandiri, kerjasama)
c)        Konfirmasi
1)      Memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan, tulisan, isyarat, maupun hadiah terhadap keberhasilan peserta didik (contoh nilai yang ditanamkan: saling menghargai, percaya diri, santun, kritis, logis)
2)      Memberikan konfirmasi terhadap hasil eksplorasi dan elaborasi peserta didik melalui berbagai sumber (contoh nilai yang ditanamkan: percaya diri, logis, kritis)
3)      Memfasilitasi peserta didik melakukan refleksi untuk memperoleh pengalaman belajar yang telah dilakukan (contoh nilai yang ditanamkan: memahami kelebihan dan kekurangan)
4)      Memfasilitasi peserta didik untuk lebih jauh/dalam/luas memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap, antara lain dengan guru:
·         berfungsi sebagai narasumber dan fasilitator dalam menjawab pertanyaan peserta didik yang menghadapi kesulitan, dengan menggunakan bahasa yang baku dan benar (contoh nilai yang ditanamkan: peduli, santun);
·         membantu menyelesaikan masalah (contoh nilai yang ditanamkan: peduli);
·         memberi acuan agar peserta didik dapat melakukan pengecekan hasil eksplorasi (contoh nilai yang ditanamkan: kritis);
·         memberi informasi untuk bereksplorasi lebih jauh (contoh nilai yang ditanamkan: cinta ilmu); dan
·         memberikan motivasi kepada peserta didik yang kurang atau belum berpartisipasi aktif (contoh nilai yang ditanamkan: peduli, percaya diri).
c.         Penutup
            Dalam kegiatan penutup, guru:
1)        Bersama-sama dengan peserta didik dan/atau sendiri membuat rangkuman/simpulan pelajaran (contoh nilai yang ditanamkan: mandiri, kerjasama, kritis, logis);
2)        Melakukan penilaian dan/atau refleksi terhadap kegiatan yang sudah dilaksanakan secara konsisten dan terprogram (contoh nilai yang ditanamkan: jujur, mengetahui kelebihan dan kekurangan);
3)        Memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajaran (contoh nilai yang ditanamkan: saling menghargai, percaya diri, santun, kritis, logis);
4)        Merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remedi, program pengayaan, layanan konseling dan/atau memberikan tugas baik tugas individual maupun kelompok sesuai dengan hasil belajar peserta didik; dan
5)        Menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya.
Ada beberapa hal lain yang perlu dilakukan oleh guru untuk mendorong dipraktikkannya nilai-nilai diantaranya :
Pertama, guru harus merupakan seorang model dalam karakter. Dari awal hingga akhir pelajaran, tutur kata, sikap, dan perbuatan guru harus merupakan cerminan dari nilai-nilai karakter yang hendak ditanamkannya.
Kedua, pemberian reward kepada siswa yang menunjukkan karakter yang dikehendaki dan pemberian punishment kepada mereka yang berperilaku dengan karakter yang tidak dikehendaki. Reward dan punishment yang dimaksud dapat berupa ungkapan verbal dan non verbal, kartu ucapan selamat (misalnya classroom award) atau catatan peringatan, dan sebagainya. Untuk itu guru harus menjadi pengamat yang baik bagi setiap siswanya selama proses pembelajaran.
Ketiga, harus dihindari olok-olok ketika ada siswa yang datang terlambat atau menjawab pertanyaan dan/atau berpendapat kurang tepat/relevan. Pada sejumlah sekolah ada kebiasaan diucapkan ungkapan Hoo … oleh siswa secara serempak saat ada teman mereka yang terlambat dan/atau menjawab pertanyaan atau bergagasan kurang berterima. Kebiasaan tersebut harus dijauhi untuk menumbuhkembangkan sikap bertanggung jawab, empati, kritis, kreatif, inovatif, rasa percaya diri, dan sebagainya.



3.  Evaluasi Pembelajaran
Evaluasi  atau  penilaian  merupakan  bagian  yang  sangat  penting  dalam  proses pendidikan. Dalam pendidikan karakter, penilaian harus dilakukan dengan baik dan benar. Penilaian tidak hanya menyangkut pencapaian kognitif peserta didik, tetapi juga pencapaian afektif dan psikomorotiknya.
Penilaian karakter lebih mementingkan pencapaian afektif dan psikomotorik peserta didik dibandingkan pencapaian kognitifnya. Agar hasil penilian yang dilakukan guru bisa benardan objektif, guru harus memahami prinsipprinsip  penilaian  yang  benar  sesuai  dengan  standar  penilaian  yang sudah ditetapkan oleh para ahli penilaian. Pemerintah (Kemdiknas/Kemdikbud) sudah menetapkan Standar Penilaian Pendidikan yang dapat  dipedomani  oleh  guru  dalam melakukan penilaian di sekolah, yakni Permendiknas RI Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan.
Dalam standar ini banyak teknik dan bentuk penilaian yang ditawarkan untuk melakukan penilaian, termauk dalam penilaian karakter. Dalam penilaian karakter, guru hendaknya membuat instrumen penilaian yang dilengkapi dengan rubrik penilaian untuk menghindari penilaianyang subjektif, baik dalam bentuk instrumen penilaian pengamatan (lembar pengamatan) maupun instrumen penilaian skala sikap (misalnya skala Likert)

B. Strategi Mengembangkan Pembelajaran Berbasis Karakter
1. Strategi Peningkatan Tahap Perkembangan Moral
a.  Konsep Strategi Pembelajaran Karakter
Strategi Pembelajaran karakter pada dasarnya adalah merupakan cara, pola, metode, atau upaya yang dilakukan oleh pendidik (fasilitator) dengan cara memberi kemudahan-kemudahan agar peserta didik mudah belajar, dan dalam konteks pendidikan karakter, pemberian kemudahan tersebut dalam kerangka untuk mengembangkan karakter baik, atau agar peserta didik dapat mengembangkan karakter baiknya sendiri.
Pilihan strategi pada pembelajaran karakter, sangat tergantung pada pendekatan pendidikan karakter yang mana yang dikembangkan.Ketika sebuah lembaga pendidikan cenderung memilih pendekatan kognitivistik maka strategi pembelajarannya cenderung kognitivistik, ketika pendekatan behavioristik yang dipilih maka strateginya cenderung berorientasi pada behavioristik, dan ketika memilih pendekatan komprehenship maka cenderung menggunakan komprehenship pula, dimana berbagai pendekatan dapat dipakai secara saling melengkapi.
Berikut ini disajikan, pertama, strategi yang berorientasi pada pendekatan kognitif, dimana pembelajaran diarahkan pada peningkatan perkembangan moral peserta didik, pembelajaran diarahkan dalam kerangka meningkatkan pertimbangan moral peserta didik; kedua, strategi yang berorientasi pada pendekatan komprehenship.Pendekatan kognitif ini diperkenalkan oleh Kohlberg.
1). Strategi yang Berorientasi pada Perkembangan Moral (Moral Cognitive Development)
Strategi ini dikembangkan berangkat dari sebuah teori perkembangan moral yang dikemukakan oleh Piaget dan Kohlberg.Piaget dan Kohlberg, 1975, melakukan studi yang lama tentang mencuri, berbohong, dan curang. Kesimpula studinya adalah: (1) tidak ada korelasi antara pendidikan budi pekerti dengan tingkah laku yang sebenarnya; (2) tingkah laku moral seseorang tidak konsisten dari satu situasi ke situasi lainseseorang yang pada saat tertentu tidak berbuat curang dapat saja pada saat yang lain berbuat curang; (3) kecurangan biasanya tersebar secara merata.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan budi pekerti yang diajarkan dengan member contoh, menasehati, memberi hadiah dan hukuman, tidak menghasilkan tingkah laku yang diharapkan. Perkembangan moral itu, menurut Piaget dan Kohlberg (1975) bukanlah suatu proses menanamkan macam-macam peraturan dan sifat-sifat baik tetapi suatu proses yang membutuhkan perubahan struktur kognitif yang sangat ditentukan oleh perkembangan kognitif dan rangsangan dari lingkungan social.
Piaget mengadakan penyelidikan selama lebih 50 tahun tentang asal usul dan perkembangan struktur kognitif dan pertimbangan moral pada usia-usia permulaan.Pisget menyimpulkan bahwa ada dua tahapan besar dalam perkembangan moral.Pertama, tahap heteronomy, pada tahap ini peraturan adalah merupakan hokum yang bersifat suci karena ditetapkan oleh orang-orang dewasa.Larangan-larangan mencuri, menipu, dan lainnya dipandangnya sebagai larangan yang dibuat semau-maunya oleh orang dewasa seperti undang-undang yang dibuat oleh pada dewa.Tahapan ini berangsur-angsur berkurang, dan digantikan oleh tahap yang, kedua, yaitu tahap otonomi dimana peraturan-peraturan itu dipandangnya sebagai hasil keputusan yang harus dihormati karena merupakan hasil kesepakatan bersama.Kemudian peraturan-peraturan tentang hak milik, larangan menipu, larangan mencuri, dipandangnya sebagai syarat hubungan-hubungan dalam kelompok.Jika seluruh moralitas terkandung pada peraturan (norma-norma) dan hakekat seluruh moralitas harus dicari dalam sikap hormat kepada peraturan, maka pendidikan moral harus diarahkan sampai pada bagaimana pikiran manusia sampai pada sikap hormat kepada peraturan.
Kohlberg, mengidentifikasi adanya enam tahapan perkembangan moral menjadi:
Tingkat Pra-konvensional:
Tahap-1: Orientasi pada hukuman dan kepatuhan, di mana akibat-akibat fisik menentukan baik buruknya suatu tindakan.
Tahap-2: Orientasi Relativis Instrumental. Tindakan benar adalah ibarat ala tang dapat memenuhi kebutuhan sendiri, atau kadang-kadang juga untuk memenuhi kebutuhan orang lain, hubungannya seperti hubungan orang di pasar bersifat transaksional.
Tingkat Konvensional
Pada tingkatan ini memenuhi harapan-harapan keluarga, kelompok atau bangsa dianggap sebagai suatu yang berharga bagi dirinya.Ada sikap ingin menjaga, member perlindungan, dan loyal. Tingkatan ini terdiri atas dua tahap:
Tahap-3: Orientasi ke kelompok anak baik, atau anak manis. Tingkah laku yang baik adalah tingkah laku yang menyenangkan orang lain dan yang mendapat persetujuan mereka. Orang ingin diterima di lingkungannya dengan sikap manis.
Tahap-4: Orientasi hukum dan ketertiban. Ada orientasi pada otoritas, peraturan-peraturan yang sudah pasti, dan usaha memelihara ketertiban social.Tingkah laku yang benar berupa melakukan kewajiban, hormat kepada otoritas, dan memelihara ketertiban social demi ketertiban.
Tingkat Pascakonvensional, Otonom, atau Berprinsip.
Pada tingkatan ini ada usaha yang jelas untuk mengartikan nilai-nilai moral dan prinsip yang sahih serta dapat dilaksanakan, terlepas dari otoritas kelompok. Tingkatan ini ada dua tahapan:
Tahap-5: Orientasi Kontrak Sosial Legalitas. Tindakan benar dipahami sebagai hak-hak individual yang umum dan dari segi patokan-patokan yang sudah di kaji secara kritis dan disetujui oleh masyarakat.Ada kesadaran bahwa hukum itu harus ditaati tetapi hukum juga dapat saja diubah.
Tahap-6: Orientasi Azas Etika Universal. Benar diartikan sebagai keputusan suara hati, sesuai dengan prinsip-prinsip etika yang dipilih sendiri, dengan berpedoman kepada kekomprehenshifan logis, universalitas dan konsistensi.
Prinsip-prinsip yang berlaku pada perkembangan moral (Kohlberg) di atas adalah:
1.      Perkembangan tahap selalu sama.
2.       Dalam perkembangan tahap, subjek tidak dapat memahami penalaran moral tahap di atasnya lebih dari satu tahap.
3.       Dalam perkembangan tahap, subjek secara kognitif tertarik pada cara berpikir satu tahap di atas tahapnya sendiri.
4.      Dalam perkembangan tahap, peraliham dari tahap ke tahap terjadi jika diciptakan disequilibrium kognitif, yaitu bila pandangan kognitif seseorang tidak mampu lagi menyelesaikan suatu dilemma moral yang dihadapinya.
Mengacu kepada tingkatan dan tahapan perkembangan moral di atas, maka Kohlberg menunjukkan cara untuk meningkatkan tingkatan dan tahapan perkembangan moral seseorang dengan Diskusi Dilemma Moral. Diskusi dilemma moral adalah diskusi dengan memanfaatkan bahan diskusi yang berupa ceritera-ceritera, atau issue-issue yang sangat dilemmatis (rumit), peserta diskusi/peserta didik diminta untuk menanggapi issue yang dilemmatis tersebut. Dengan mencermati tanggapan peserta didik tersebut seorang guru/pendidik dapat menempatkan posisi pandangan peserta didik tersebut ke dalam tingkatan/tahapan perkembangan moral.Kemudian siswa dilibatkan pada diskusi berikutnya untuk pencapaian tingkat/tahapan perkembangan moral yang lebih tinggi.
Dalam satu kelompok diskusi dilemma moral, sangat dimungkinkan peserta diskusi mempunyai pandangan-pandangan yang menggambarkan tingkat/tahapan perkembangan yang bervariasi.Bisa saja tingkat perkembangan moral peserta diskusi berbeda-beda.Ada yang tinggi, ada pula yang rendah tingkat perkembangan moralnya. Untuk meningkatkan tingkat perkembangan moral peserta diskusi yang masih rendah tingkat perkembangan moralnya, maka, peserta diskusi yang tingkat perkembangan moralnya rendah dilukir/digabungkan dengan peserta diskusi yang tingkat perkembangan moralnya sudah mencapai tingkatan yang lebih tinggi, tujuannya adalah agar yang tingkat perkembangan moralnya masih rendah dapat terangkat/ditingkatkan kearah tingkatan/tahapan yang lebih tinggi.
Contoh
Sebagaimana dicontohkan oleh Kohlberg, teks ceritera erikut ini adalah contoh bahan untuk diskusi dilemma moral.
Di Eropa, ada seorang wanita yang mendekati ajalnya karena mengidap kangker. Para dokter berpendapat, hanya ada satu macam obat yang mungkin dapat menyelamatkannya. Obat itu sejenis Radium yang ditemukan oleh seorang Apoteker di kota itu belum lama berselang. Biaya pembuatan obat itu sangat mahal, dan apoteker itu melipatkangandakan harga obat itu sampai mencapai 10 kali lipat dari biaya pembuatannya.Satu butir obat yang dibuat dengan biaya 200 dolar dijual 2000 dolar.
Hein suami seorang wanita yang sakit itu tidak punya uang yang cukup. Setelah pinjam kesana kemari ia hanya dapat mengumpulkan uang pinjaman 1000 dolar yang hanya mendapat butir obat. Hein mengatakan kepada Apoteker bahwa isterinya hamper meninggal, dan memintanya agar harga obat diturunkan, atau, kalau boleh dibayar kemudian. Apoteker itu berkata, jangan begitu, saya sudah menemukan obat itu dan saya ingin juga memperoleh keuntungan dari penemuan saya itu. Heins menjadi putus harapan, dan kemudian menggedor took obat itu dan mencuri obat itu untuk isterinya.
Beberapa pertanyaan yang dapat ditanyakan kepada peserta didik adalah:
(1) Haruskan Heins mencuri obat itu, mengapa?
(2) Manakah yang lebih buruk, membiarkan seseorang meninggal atau
mencuri, mengapa?
(3) Apa arti nilai hidup bagi manusia menurutmu?
(4) Apakah ada alas an yang kuat bagi seorang suami untuk mencuri jika 
tidak mencintai istrinya?
(5) Apakah mencuri untuk orang lain sama benarnya dengan mencuri 
dengan orang lain?
(6) Jika Heins tertangkap, haruskah Dia di penjarakan?
(7) Apabila Ia diadili, apakah hakim harus menjatuhkan hukuman
kepadanya, mengapa?
(8) Apa tanggung jawab hakim dalam masyarakat dalam hal ini?
Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti dicontohkan di atas, maka tingkat perkembangan moral peserta didik dapat dideteksi, kemudian, diarahkan melalui diskusi yang lain dalam rangka meningkatkan tingkat perkembangan moralnya.
2) Strategi Pengungkapan Nilai dengan Value Clarification Techniq (VCT)
Value Clarification Tehnique (VCT) adalah teknik pengungkapan nilai. Melalui VCT peserta didik dibina kesadaran emosional nilainya melalui cara yang kritis rasional melalui pengujian kebenaran, kebaikan, kelayakan, keadilan, dan ketepatannya. Dimuka sudah dipaparkan bahwa pendidikan karakter, pada dasarnya adalah pendidikan nilai, nilai-nilai lah yang akan menentukan karakter seseorang. Dalam karangka untuk mengarahkan pada pencapaian nilai-nilai/tingkatan perkembangan moral yang lebih tinggi, maka nilai-nilai yang sudah ada pada diri peserta didik untuk diungkap, dengan terungkapnya niliai-nilai yang ada pada diri peserta didik, maka seorang pendidik karakter perlu mengetahui nilai-nilai yang ada pada peserta didik dengan cara mengungkap dan membawanya kearah tingkatan nilai-nilai/perkembangan moral yang lebih tinggi.
Langkah-langkah VCT
Dalam melaksanakan VCT, Djahiri (1985) menyatakan bahwa terdapat langkah-langkah dalam VCT. Langkah-langkah dalam VCT dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Penentuan situasi yang bersifat dilemmatic.
2. Penyajian situasi (pengalaman belajar) melalui membacakan atau peragaan dengan melibatkan peserta didik, dengan cara: pengungkapan pokok masalah, identifikasi fakta, menentukan kesamaan pengertian, dan menentukan masalah utama yang akan dipecahkan.
3. Penentuan posisi/pendapat melalui: penentuan pilihan individual, penentuan pilihan kelompok dan kelas, klarifikasi atas pilihan-pilihan tersebut.
4. Menguji alas an dengan: meminta argumentasi, memantapkan argument dengan analogi, mengkaji akibat-akibat, dan kemungkinan-kemungkinan dari kenyataan.
5. Penyimpulan dan pengarahan.
6. Tindak lanjut.
Model Pembelajaran VCT
Model pembelajaran adala pola yang dianut untuk mendesain pembelajaran; atau, model pembelajaran adalah langkah-langkah pembelajaran dan perangkatnya untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Djahiri (1985) mengidentifikasi model-model pembelajaran VCT menjadi: (1) model percontohan; (2) model analisis nilai; (3) VCT dengan menggunakan daftar matrik; (4) VCT dengan klarifikasi nilai dengan kartu keyakinan; (5) VCT dengan teknik wawancara; (6) VCT dengan teknik Yurisprudensial; (7) VCT dengan teknik inkuiri dengan pertanyaan acak.
VCT Model Percontohan
Langkah-langkah pembelajaran:
1. Ciptakan situasi dengan Contoh Keadaan yang memuat nilai-nilai kontras sesuai dengan pokok bahasan.
2. Pengalaman Belajar
a. Lontarkan situasi melalui pembacaan oleh guru.
b. Berikan kesempatan kepada peserta didik berdialog sendiri atau dengan sesame.
c. Lakukan dialog terbimbing dengan pertanyaan-pertanyaan yang sudah dipersiapkan guru secara individu, kemudian kelompok, dan disusul klasikal.
d. Menentukan argument dan klarifikasi pendirian, dengan pertanyaan yang bersifat individual, kelompok, dan klasikal.
e. Pembahasan/pembuktian argument dengan mengembangkan target nilai.
f. Penyimpulan.
Contoh Ceritera Keadaan (Dikutip dari Djahiri, 1985)
Sebuah Truk bermuatan pasir tadi malam melaju dengan cepat disebuah jalan desa daerah Depok.Di jalan tersebut, kebetulan sedang dilaksanakan kenduri besar di rumah Haji Sanusi.Sebuah orkes melayu kesenangan penduduk sedang hangat membawakan lagu Dangdut kesenangan masyarakat umum.Penonton melimpah ruah dari segala penjuru daerah sekitar, memadati halaman dan jalan desa itu.Tiba-tiba, tanpa diketahui penonton, truk yang sarat bermuatan pasir itu dengan penerangan kecil, melaju dengan kenang.
Sejumlah penonton masih ada yang sempat menyelamatkan diri, namun sejumlah besar lainnya tidak sempat lagi mengelakkan diri.Tanpa ampun, diantara para penonton tertabrak, terseret, dan tergilas Truk Maut itu.Truk it uterus melaju, bahkan mempercepat larinya, karena Sang Sopir ketakutan.Truk itu baru berhenti di sebuah perkampungan di daerah Cibinong sekitar 10 km dari tempat kejadian.Sopir dan kernetnya segera melarikan diri. Setelah diteliti, kurban Truk Maut itu mencapai: 10 orang mati seketika, 12 orang luka berat dan ringan, dan seorang wanita yang sedang hamil terseret truk sampai tempat pemberhentiannya, tentunya wanita ini sudah mati dan berkeping-keping.
Pertanyaan guru: guru dapat menanyakan tentang:
(1) Kesan emosi siswa.
(2) Masalah apa yang dimuat dalam ceritera itu.
(3) Siapa pelakunya, apa kesalahan dan ketidaklayakannya?
(4) Hal apa saja yang dilanggar?
(5) Angkatlah objektivitas berpikir peserta didik: bahwa dari pihak pembuat dosa (sopir dan kernet pelaku) ada juga aspek baiknya agar peserta didik belajar fair)
(6) Buat pertanyaan analogi atau personifikasi: misalnya, kamu Udin menyatakan bahwa Sopir itu biadab dan harus dihukum berat. Nah, seandainya yang menjadi sopir itu ayahmu sendiri, bagaimana pendapat dan perasaanmu? Pertanyaan ini akan menetralisir sentiment dan mengembalikan nilai kemanusiaan secara wajar.
Model Analisis Nilai
Pengungkapan nilai dapat juga dilakukan dengan media: Reportasi/liputan, analisis sebuah tulisan (teks), dan analisis Ceritera yang tidak selesai.
Langkah-langkah:
(1) Tentukan target nilai yang dikaji dalam pembelajaran.
(2) Siapkan media pembelajaran dalam bentuk, liputan misalnya: gambar, foto, ceritera, teks, kliping Koran, atau ceritera yang dipotong (ceritera tidak selesai).
(3) Proses Pembelajaran:
a. Pasang media, monitor raut wajah peserta didik.
b. Identifikasi liputan peserta didik jangan dikomentari dulu.
c. Analisis/Klarifikasi masalah
d. Penyimpulan.
e. Tindak lanjut.
3). Strategi Pembelajaran Nilai dan Karakter yang Berorientasi pada Pendekatan Komprehenshif.
Strategi yang Mementingkan keseimbangan Moral Knowing, Moral feeling, dan Moral Action.
Strategi ini dikembangkan, terinspirasi dengan pandangan Lickona (1991) bahwa untuk mengembangkan karakter, komponen-komponen karakter yang perlu dikembangkan secara bersama-sama (tidak boleh salah satunya) adalah komponen moral knowing, moral feeling, dan moral action. Persoalan utamanya adalah bagaimana pendidik nilai dan karakter dapat memberi pengalaman belajar melalui strategi tertentu sehingga ketiga komponen karakter itumuncul semua dalam satu pengalaman belajar


Langkah-langkah Pembelajaran:
Pengembangan strategi pembelajaran yang berorientasi pada pendekatan komprehensif ini setidak-tidaknya dilakukan dengan langkah-langkah: (1) peserta didik dilibatkan untuk mengalami/melakukan tindakan moral tertentu (moral action) dalam situasi kehidupan riil; (2) refleksi dan diskusi terhadap tindakan moral tertentu dalam rangka untuk meningkatkan kesadaran diri atau mempertajam perasaan moral (moral feeling); (3) melalui tindakan moral dan refleksi terhadap tindakan moral tersbut pengetahuan moral (moral knowing) peserta didik juga berkembang. Jika langkah-langkah pembelajaran tersebut dilakukan, maka pelaksanaan pembelajaran akan berlaku secara konstruktivistik.
Model Komprehensif yang Memadukan Pikiran dan Hati
Model ini dilandasi oleh sebuah pandangan bahwa, perilaku baik akan terjadi pada diri peserta didik jika perilaku itu merupakan perwujudan dengan pertimbangan pikiran (ilmu pengetahuan empiric) dan dikendalikan dengan hati (ajaran agama-agama). Jika seseorang menggunakan pertimbangan rasionalnya dan dikendalikan dengan ajaran Tuhan maka akan terwujud perilaku baik (menggambarkan perilaku orang-orang yang berakal).
Prinsip pembelajaran yang mementingkan keseimbangan aspek piker dan hati dilakukan dengan prinsip/langkah-langkah:
1.      Libatkan siswa dalam pengalaman belajaran secara otentik   (melakukan) langsung atau melalui simulasi.
2.      Lakukan refleksi terhadap pengalaman belajar siswa secara otentik tersebut dengan mengungkap keadaan nilai yang ada pada diri peserta didik, yang terfokus pada pengakuan akan rendahnya penghargaan pada nilai-nilai, atau pelanggaran pada standard penilaian
3.       Pengakuan kesalahan/pelanggaran pada standard penilaian dan bertobat dan berjanji untuk tidak mengulangi pelanggaran-pelanggaran yang sama.
4.       Ingatkan dan perkuat dengan ajaran agama-agama untuk penguatan nilai-nilai dan karakter.
5.       Berdoa yang bersifat motivasional untuk pencapaian nilai-nilai karakter ideal yang diharapkan.
Model ini banyak dikembangkan oleh Abdullah Gymnastiar, yang dipraktikkan dalam lingkungan Pondok Pesantren Daarut-Tauhied Bandung.

2.    Strategi Pendekatan Kontekstual dalam Penyampaian Kurikulum Pembelajaran berbasis Karakter
Selain pendekatan yang sudah dikemukakan, penulis juga mengemukakan pendekatan lain, yaitu pendekatan kontekstual. Pendekatan konteekstual merupakan konsep belajar yang membantu pendidik mengaitkan antara kurikulum yang diajarkan dengan situasi dunia nyata peserta didi dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan pendekatan ini diharapkan lebih bermakna bagi siswa.
Penyampaian kurikulum dalam proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari pendidik kepada peserta didik. Strategi pembelajaran lebih diutamakan daripada hasil akhir yang berupa angka numerik. Peserta didik perlu mengerti makna belajar, manfaatnya, status mereka sebagai peserta didik dan cara mencapainya. Peserta didik diharapkan menyadari bahwa yang sedang mereka pelajari akan berguna kelak. Jadi, disini peran pendidik hanya sebagai pengarah dan pembimbing.
Kontekstual hanya sebuah pendekatan dan juga sebagai suatu strategi pembelajaran berbasis karakter. Pendekatan kontekstual dikembangkan dengan tujuan agar pembelajaran berjalan lebih produktif, bermakna, dan benar-benar menanamkan karakter pada peserta didik. Dalam hal ini tugas guru adalah membantu peserta didik mencapai tujuannya. Maksudnya, pendidik lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas pendidik mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (peserta didik). Pendekatan pembelajaran kontekstual dapat dijalankan tanpa harus mengubah kurikulum dan tatanan yang sudah ada.
Berbagai alasan mengapa pendekatan kontekstual dapat digunakan adalah bahwa selama ini, pendidikan di Indonesia masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan merupakan perangkat fakta-fakta yang harus dihafalkan. Kelas masih berfokus kepada pendidik sebagai sumber utama pengetahuan. Kemudian ceramah menjadi pilihan strategi utama pembelajaran. Oleh karena itu, diperlukan sebuah strategi pembelajaran yag tidak memaksa siswa untuk menghafalkan semua materi, tetapi sebuah strategi yang mendorong peserta didi untuk mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri dan kemudian mengamalkannya di kehidupan sehari-hari.
Alasan lain adalah bahwa pengetahuan bukan merupakan seperangkat fakta dan konsep yang siap diterima, tetapi sesuatu yang harus dikonstruksikan sendiri oleh peserta didik. Oleh karena itu, diperlukan strategi belajar yang harus diterapkan kepada peserta ddik, yaitu sebagai berikut:
  1. Menekankan pentingnya pemecahan suatu masalah.
  2. Mengakui perlunya kegiatan belajar mengajar dilakukan dalam berbagai konteks seperti rumah dan masyarakat.
  3. Mengajarkan dan memantau peserta didik agar dapat belajar mandiri dan efektif.
  4. Menekankan pelajaran pada konteks kehidupan peserta didik yang berbeda-beda.
  5. Mendorong peserta didik untuk belajar dari sesama dan belajar bersama.
Pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang membantu pendidik mengaitkan antara materi kurikulum yang diajarkan dengan situasi dunia nyata dan peseta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.Hal penting yang perlu diperhatikan adalah perlunya pendidik membekali diri dengan berbagai sikap positif seperti keinginan untuk selalu memperbaiki diri, selalu ingin tahu hal baru, dan bersedia menerima kegagalan ataupun kritikan.
Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual dapat dijadikan sebagai alat untuk membangun karakter bangsa. Model-model pembelajaran dengan pendekatan kontekstual menekankan keterlibatan aktif peserta didik dalam belajar. Baik dalam tugas mandiri maupun kelompok.
Disamping itu, pembelajaran dengan pendekatan kontekstual memiliki tujuan dan komponen yang sangat mendukung bagi terlaksananya nulai-nilai karakter bangsa. Pembelajaran kontekstual dapat diterapkan umtuk membangun nilai-nilai karakter siswa melalui pendekatan pembelajaran yang baik. Pendekatan pembelajaran itu adalah sebagai berikut:
  1. Constructivisme, Pendidik meyakinkan pada pikiran peserta didik bahwa ia akan lebih belajar bermakna jika ia mampu bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan membentuk atau membangun pengetahuan serta ketrampilan barunya sendiri.
  2. Inquiry. Pendidik dan peserta didik melaksanakan proses penemuan pengetahuan secara mandiri, dan menjadi inti dari ppembelajaran kontekstual. Komponen ini sangat mendorong tumbuhnya jiwa kemandirian peserta didik.
  3. Questioning, Pendidik dan peserta didik senantiasa mengembangkan pertanyaan agar menumbuhkan rasa ingin tahu. Komponen ini mendorong terwujudnya nilai orientasi pada keunggulan. Hal ini juga merupakan alat bagi siswauntuk dapat menyelesaikan masalah belajar ketika menghadapi tantangan.
  4. Learning community. Pendidik senantiasa membiasakan membangun belajar kelompok, atau dapat juga dengan berpasangan. Kemudian peserta didik dilatih dan dimantapkan pengetahuannnya untuk bekerja secara perorangan. Komponen itu sangat penting bagi upaya terwujudnya nilai demokratis, menghargai, gotong royong, bertanggung jawab, dan selalu berorientasi pada keunggulan.
  5. Modelling. Dalam sebuah pembelajaran ketrampilan tertentu ada model yang bisa ditiru, baik dari pendidik, peserta didik maupun alat peraga yang dgunakan untuk mempermudah pemahaman siswa. Komponen ini dapat melahirkan nilai-nilai berakhlak mulia, iman dan taqwa, cinta tanah air, dan menumbuhkan jiwa kreatif. Hal ini bisa dipelajari misalnya ketika mata pelajarn Geografi menerangkan tentang kekayaan alam indonesia beserta persebarannya dengan menggunakan media peta.
  6. Reflection. Cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir tentang sesuatu yang sudah dilakukan. Refleksi dapat berupa pernyataanlangsung tentang sesuatu yang diperolehnya pada hari itu, baik berupa ctatan ataujurnal di buku peserta didik. Komponen ini dapat melahirkan kesadaranuntuk senantiasa berintropeksi diri setiap kali telah melakukan suatu hal.
  7. Authentic assessment. Proses pengumpulan data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar peserta didik., baik oleh pendidik maupun oleh peserta didik. Bagi siswa, komponen ini membiasakan siswa untuk mengukur diri apakah sudah lebih baik atau belum, apakah sudah ada kemajuan atau belum, apakah ada hambatan dan bagaimana cara mengatasinya. Peserta didik yang sejak dini terbiasa dengang authentic assessment akan menjadi tulang unggung negara dalam membangun bangsa.
3.    Strategi Pengembangan Karakter Dengan Model Pembelajaran Berbasis Pancasila
a.        Perlunya Model Pembelajaran Berbasis Pancasila
Pendidikan merupakan suatu proses untuk menuju ke arah yang menjadi baik atau lebih baik. Pendidikan juga merupakan sarana dalam membentuk karakter anak sejak dini dalam rangka menyiapkan generasi penerus bangsa yang berkualitas dan berkarakter. Di Indonesia sekarang ini, pendidikan karakter juga berarti melakukan usaha sungguh-sungguh, sitematik dan berkelanjutan untuk membangkitkan dan menguatkan kesadaran serta keyakinan semua orang Indonesia bahwa tidak akan ada masa depan yang lebih baik tanpa membangun dan menguatkan karakter rakyat Indonesia. Dengan kata lain, tidak ada masa depan yang lebih baik yang bisa diwujudkan tanpa kejujuran, tanpa meningkatkan disiplin diri, tanpa kegigihan, tanpa semangat belajar yang tinggi, tanpa mengembangkan rasa tanggung jawab, tanpa memupuk persatuan di tengah-tengah kebinekaan, tanpa semangat berkontribusi bagi kemajuan bersama, serta tanpa rasa optimisme diri. Dalam membangun karakter bangsa harus diawali dari lingkup yang paling kecil, terutama di lingkungan sekolah. Upaya-upaya dalam menerapkan nilai-nilai pendidikan karakter akan lebih mudah ketilka diwujudkan melalui pembelajaran disekolah. Pembelajaran disekolah ini dapat mengadopsi nilai-nilai  karakter bangsa yang luhur terutama yang terdapat pada Pancasila.
b.        Proses Pengimplementasian dan Penerapan Model Pembelajaran Karakter Berbasis Pancasila
Keberagaman nilai pancasila merupakan suatu modal yang sangat besar dalam penerapan dan pengembangan pembelajaran karakter di dunia pendidikan. Nilai-nilai dasar Pancasila sangatlah kompleks dalam peroses pembentukan karakter peserta didik yang kini mulai ditinggalkan. Melalui pendidikan yang di terapkan di sekolah, pembelajaran berbasis karakter Pancasila hendaknya ditanamkan melalui sebuah kebiasaan.
Dalam nilai-nilai sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, dapat diterapkan didalam maupun di luar jam pembelajaran.
Nilai pada sila pertama ini berupa  sikap percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing serta saling menghormati dan bekerjasama antar pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup. Model pembelajaran dari sila ini dapat berupa memberikan jam istirahat kepada peserta didik pada saat jam sholat Dzuhur, agar mereka dapat sholat berjamaah di masjid ataupun mushola sekolah. Selain itu yang terpenting adalah penanaman sikap saling toleransi antar umat beragama agar terjalin suasana yang rukun dan terbebas dari rasa diskriminasi. 
Sila kedua, yaitu Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab memiliki nilai-nilai yang berupa pangakuan persamaan hak dan kewajiban antara sesama manusia serta merasa bahwasannya setiap individu merupakan bagian dari seluruhuman manusia, dimana mereka harus saling menghormati  dan bekerjasama antara satu dengan lainnya. Dalam hal ini, sekolah hendaknya memberikan apresiasi kepada peserta didik dalam membangun dan mengembangkan sikap saling menghargai dan saling menghormati antara peserta didik satu dengan lainnya. Model pembelajaran yang dapat di diterapkan berdasarkan sila ini berupa diskusi dan presentasi dalam pembelajaran guna membentuk pemberadaban sesama. Melalui diskusi, akan muncul berbagai argumen-argumen yang mana akan menimbulkan sikap saling menghargai pendapat antar anggota kelompok. Hal ini juga akan menyadarkan kepada peserta didik bahwa setiap manusia memiliki pendapat yang berbeda-beda.
Sila ketiga, yaitu Persatuan Indonesia memiliki nilai-nilai yang berupa menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi atau golongan, cinta akan tanah air, serta bangga sebagai warga negara Indonesia. Proses pembelajaran pada sila ini dapat situnjukkan dengan banyaknya perbedaan yang terdapat pada setiap peserta  didik. Perbedaan - perbedaan yang ada akan sangan bermanfaat apabila dibarengi dengan tumbuh suburnya rasa persatuan. Untuk menumbuhkan persatuan, setiap peserta didik dibimbing untuk cinta terhadap tanah air. Cinta dengan bahasa daerah, adat, kebudayaannya tetapi tidak untuk diperdebatkan perbedaannya merupakan upaya sederhana dan strategis guna menggapai kekuatan persatuan. Dalam perjalanannya, maka akan muncul pandangan bahwa perbedaan itu akan selalu ada, dan perbedaan itu tidak akan pernah bisa untuk dihilangkan. Oleh karena itu, perbedaan yang ada haruslah disatukan agar menjadi sebuah kekuatan yang besar. 
Sila keempat, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/ Perwakilan memiliki nilai berupa tidak memaksakan kehendak orang lain, selalu menguamakan musyawarah dalam setiap mengambil keputusan, serta keputusa yang di ambil harus dapat dipertanggung jawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Model yang dapat diterapkan dari sila ini adalah dengan cara mengenalkan kebiasaan mentaati tata tertib dengan sungguh-sungguh sehingga terbangun  generasi yang tahu, mau dan mampu berdisiplin. Kebebasan berpendapat memang hak warga negara akan tetapi peserta didik perlu ditumbuhkan pengertian dan pemahaman bahwa kebebasan berpendapat yang dimaksud harus bertanggung jawab. Artinya kebebasan setiap warga negara berada di samping kebebasan berpendapat orang lain.
Silla kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia memiliki nilai-nilai berupa sikap adil terhadap sesama, saling menghormati hak-hak orang lain, serta bersama-sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial. Metode dari sila ini dapat berupa penanaman kepada peserta didik sebuah konsep adil terhadap sosial (orang lain ) sebagaimana orang lain itu seperti dirinya sendiri. Artinya, orang lain harus dirasakan sebagai wahana juang dari seorang individu. Pendek kata, berjuang untuk sesama bukan untuk dirinya sendiri merupakan indikasi dari sikap adil terhadap sosial. Menengok teman yang sakit atau kena musibah dan mengumpulkan dana sosial untuk musibah di tempat lain adalah bentuk-bentuk pembiasaan yang perlu ditumbuh suburkan kepada peserta didik. Pembentukan karakter pada seseorang, khususnya peserta didik akan tertanam kuat dalam pikiran seseorang apabila kebiasaan itu diulang terus menerus setiap harinya selama 21 hari. Setelah lewat dari 21 hari, maka kebiasaan tersebut akan terulang secara otomatis. Dalam proses pembiasaan tersebut, hendaknya dilakukan pengawasan dan bimbingan serta yang terpenting selalu dilakukan evaluasi dalam penerapan kesehariannya.


BAB III
 PENUTUP

A.      Kesimpulan
Indonesia memerlukan sumberdaya manusia dalam jumlah dan mutu yang memadai sebagai pendukung utama dalam pembangunan. Untuk memenuhi sumberdaya manusia tersebut, pendidikan memiliki peran yang
sangat penting.
Hal ini sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang, termasuk di sekolah harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut.
Oleh karena itu, kita harus melaksanakan kurikulum berbasis karakter di dalam proses pembelajaran di sekolah dilaksanakan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi pembelajaran pada semua mata pelajaran serta mempunyai strategi mengembangkan pembelajaran berbasis karakter






















7 komentar: