Rabu, 09 September 2015

PERKEMBANGAN POLITIK DAN PARTISIPASI MASYARAKAT




KATA PENGANTAR
Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini yang berjudul “Perkembangan Politik Dan Partisipasi Masyarakat” dengan baik. Shalawat serta salam kami panjatkan kepada Nabi besar Muhammad SAW kepada keluarganya, sahabatnya dan kepada kita semua selaku umat-Nya..
Kami menyadari bahwa selama penulisan makalah ini kami banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, kami mengucapkan terima kasih kepada :
1.        Ibu Dra. Hj. Nina Sundari, M.Pd selakudosenmatakuliah Pendidikan Sosial dan Budaya yang telahmembantu kami dalammenyusunmakalahini.
2.        Rekan-rekanseangkatan yang telahmemotivasi kami untukmenyelesaikanpenyusunanmakalahini;
3.        Semuapihak yang tidakbisapenulissebutsatu persatu.
Kami mengharapkan tugas makalah ini dapat bermanfaat untuk para pembaca khususnya untuk kami selaku penyusun makalah ini. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami mengharapakan kritik dan saran yang bersifat konstruksif dalam perbaikan dikemudian hari.


                                                                                        Bandung, November 2014 
Penulis,






DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................
DAFTAR ISI.................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................
A.      Latar Belakang.........................................................................................................
B.       Rumusan Masalah....................................................................................................
C.       Tujuan Penulisan......................................................................................................
D.      Sistematika Penulisan..............................................................................................
BAB II PEMBAHASAN..............................................................................................
A.      Sistem Politik di Indonesia .....................................................................................
B.       Konsep Partisipasi Politik........................................................................................
BAB III PENUTUP
A.      Simpulan..................................................................................................................
B.       Saran........................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Dimamika perkembangan politik di Indonesia berkembang melalui yurispudensi mulai dari orde baru hingga saat ini, Indonesia adalah Negara yang menganut trias politika yang artinya pembagian kekuasaan perkembangan politik tersebut berkembang melalui badan-badan petinggi Negara yang dikembangkan secara yudikatif, badan-badan tersebut yaitu Badan Eksekutif yang terdiri dari presiden serta wakil presiden, mentri-mentri, perdana mentri dan kabinet, Badan Legislatif yang dijalankan presiden bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat, dam Majlis Permusyawaratan Rakyat dan Badan Yudikatif yang dijalankan oleh Mahkamah Agung.
Badan eksekutif menjelaskan bahwa perkembangan politik di Indonesia ini dilakukannya perubahan-perubahan politik sehingga sistem politik indonesia menjadi lebih demokratis dan perkembangan politik di Indonesia pada masa-masa orde baru menunjukan peranan presiden soeharto yang semakin dominan sedangkan praktik-praktik yang tidak domokratis dihilangkan dengan melakukan perubahan-perubahan terhadap peraturan perundangan.
Badan Legislatif mengembangkan politik di Indonesia dengan system perwakilan yang dinggap paling wajar. Oleh karena itu, ketika pemilihan umum tahun 1971  mengikutsertakan partai politik dan golongan fungsional. Pada tahun 1973 juga presiden Soeharto mengajak partai politik dan sekber golkar untuk menfungsikan diri sebagai golongan spiritual, golongan nasionalis, dan golongan karya.
Badan Yudikatif sebenarnya lebih bersifat teknis yuridis dan termasuk bidang ilmu hokum daripada bidang ilmu politik.Namun kekuasaan badan yudikatif hubungannya erat dengan kekuasaan badan legislative dan eksekutuf serta dengan hak dan kewajiban individu.
B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sistem politik di Indonesia?
2.      Bagaimana perkembangan politik di Indonesia?
3.      Bagaimana konsep partisipasi politik masyarakat?
4.      Apa pengertian dari partisipasi politik?
C.      Tujuan Penulisan
1.         Mengetahui serta memahami sistem politik di Indonesia
2.         Mengetahui perkembangan politik di Indonesia
3.         Mengetahui konsep partisipasi politik masyarakat
4.         Mengetahui pengertian dari partisipasi politik
D.      Sistematika Penulisan
Makalahinidisusundenganmetodedeskriptif.Data teoritisdalammakalahinidikumpulkandenganteknikstudipustaka, artinyapenulismengambil data melaluikegiatanmembacaberbagai literature danmenggunakan media internet yang relevanuntukmelengkapi data dengantemamakalah.
Makalah ini terdiri dari tiga BAB yang disusun untuk memudahkan para pembaca dalam memahami makalah ini, yaitu:
BAB I Pendahuluan. Di bagian ini, penyusun membaginya menjadi empat bagan yaitu latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II Pembahasan.
BAB III Penutup, bagian ini terdiri dari Simpulan dan Saran dari makalah ini.





BAB II
PEMBAHASAN

A.      Sistem Politik di Indonesia
Indonesia memiliki sistem politik demokrasi, tetapi yang diterapkan tidakseperti negara lain yang menggunakan sistem demokrasi, melainkan demokrasiyang sesuai dengan bangsa Indonesia, yaitu Demokrasi Pancasila. Menurut Dardji
Darmadiharjo, Demokrasi Pancasila merupakan paham demokrasi yang bersumber pada kepribadian dan falsafah hidup bangsa Indonesia yang perwujudannya tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
1.         Perkembangan Sistem Politik di Indonesia
Sistem politik demokrasi di Indonesia mengalami pasang runtuh sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sistem politik Indonesia telah mengalami perubahan-perubahan, baik sebelum amendemen UUD 1945 maupun sesudah adanya amendemen UUD 1945. Sejak merdeka, perkembangan politik di Indonesia dapat disimpulkan sebagai berikut.
a.         Sistem Politik Indonesia sebelum Amendemen UUD 1945
Perkembangan politik dan sistem politik suatu negara dapat disimpulkan, salah satunya, dari perkembangan partai-partai politiknya. Perkembangan partai politik di Indonesia dimulai sejak zaman Belanda. Ini menjadi manifestasi bangkitnya kesadaran nasional. Pola kepartaian pada masa itu menunjukkan keanekaragaman, ada yang bertujuan sosial (Budi Utomo dan Muhammadiyah), ada yang menganut asas politik berdasarkan agama, seperti Masyumi, Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Katolik, dan Partai Kristen Indonesia (Parkindo), dan ada juga partai-partai yang mendasarkan diri pada suatu ideologi tertentu, seperti Partai Nasional Indonesia (PNI) yang berasaskan nasionalisme dan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang berasaskan komunisme. Di masa penjajahan Jepang, kegiatan partai politik tidak diperbolehkan, kecuali pembentuk partai golongan Islam (Masyumi). Menurut Mohammad Mahfud M.D. dalam bukunya Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi perkembangan politik di Indonesia setelah kemerdekaan dapat diklasifikasikan ke dalam tiga periode:
a.         Periode Demokrasi Liberal (1945–1959)
Masa ini ditandai dengan adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik. Peranan partai-partai politik sangat dominan dalam menentukan arah tujuan negara melalui badan perwakilan. Masa ini berakhir dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Indikator demokrasi liberal di Indonesia pada masa itu sebagai berikut:
(1)          partai-partai politik sangat dominan menentukan arah bagi perjalanan negara melalui badan perwakilan.
(2)          eksekutif berada pada posisi yang lemah karena sering jatuh bangun akibat adanya mosi partai.
(3)          adanya kebebasan pers yang relatif cukup baik, bahkan pada periode ini peraturan sensor dan pembredelan yang diberlakukan sejak zamanBelanda dicabut.
b.         Periode Demokrasi Terpimpin (1959–1966)
Masa ini ditandai dengan adanya persaingan (rivalitas) tiga kutub, yaitu antara Soekarno (Presiden RI) yang didukung oleh partai-partai berhaluan nasionalis, PKI yang didukung oleh partai-partai berhaluan sosialis, dan pihak militer yang dimotori oleh TNI AD. Saat itu, partai politik memiliki posisi tawar (bargaining position) yang lemah sehingga kurang menunjukkan aset yang berarti dalam pencaturan politik di Indonesia. Puncak periode ini adalah terjadinya Pemberontakan G-30-S/PKI tanggal 30 September 1965. Indikator Demokrasi Terpimpin saat itu adalah:
(1)          partai-partai politik sangat lemah, kekuatan politik ditandai denganadanya tarik tambang antara Presiden, Angkatan Darat, dan PKI;
(2)          kedudukan (posisi) badan eksekutif yang dipimpin oleh presidensangat kuat, Presiden merangkap sebagai Ketua DPA yang dalampraktiknya menjadi pembuat dan selektor produk legislatif;
(3)          kebebasan pers sangat terkekang, bahkan terjadi suatu tindakanantipers yang jumlahnya sangat spektakuler.
c.         Periode Orde Baru (1966–1998)
Inilah masa pemerintahan Soeharto (Presiden RI yang kedua) yangmelakukan “pembenahan” dalam sistem politik, antara lain, mengenai jumlah partai politik, yaitu melalui penyederhanaan partai politik (fusi) menjadi tiga, yaitu:
(1)     PPP (Partai Persatuan Pembangunan) yang berdasarkan ideologiIslam, merupakan fusi dari partai-partai NU, Parmusi, PSII, danPartai Islam.
(2)     Golkar (Golongan Karya) yang berdasarkan asas kekaryaan dankeadilan sosial.
(3)     PDI (Partai Demokrasi Indonesia) yang berdasarkan demokrasi,nasionalisme, dan keadilan, merupakan fusi dari Parkindo, PartaiKatolik, PNI, dan Murba.
Dengan demikian, kedudukan partai politik lemah karena adanya kontrol yang ketat dari lembaga eksekutif. Hal ini berdampak pada lembaga perwakilan yang penuh dengan intervensi dari kekuasaan eksekutif. Indikator sistem politik Orde Baru sebagai berikut:
(a)    Partai politik lemah karena adanya kontrol yang ketat oleh eksekutifdan lembaga perwakilan penuh dengan intervensi tangan-tanganeksekutif.
(b)   Kedudukan eksekutif (pemerintahan Soeharto) sangat kuat,mengintervensi kehidupan partai-partai politik, serta menentukanspektrum politik nasional.
(c)    Kebebasan pers terkekang dengan adanya lembaga SIT yangselanjutnya diganti dengan SIUPP.
Terlepas dari pasang surutnya peran partai politik dalam menentukanperkembangan sistem politik Indonesia, Sistem Politik Demokrasi Pancasila yang dikehendaki UUD 1945 sebelum terjadi amendemen sebagai berikut:
(i)            Bentuk negara adalah kesatuan dan bentuk pemerintahan republik.
(ii)          MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) merupakan lembaga tertinggi negara yang memiliki wewenang dan tugas menjalankan kedaulatan rakyat, menetapkan UUD, memilih Presiden dan Wakil Presiden, dan mengadakan sidang istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden bila Presiden melanggar UUD.
(iii)        DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) merupakan lembaga tinggi negara yang bertugas menetapkan UU, menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan memberikan persetujuan kepada Presiden atas pernyataan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain.
(iv)        Presiden merupakan lembaga tinggi negara yang berkedudukan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Wewenang dan tugas presiden adalah menetapkan peraturan pemerintah; mensahkan atau menolak untuk mengesahkan RUU yang telah disetujui oleh DPR; mencabut peraturan pemerintah yang tidak disetujui oleh DPR; menyatakan perang dan membuat perdamaian dengan negara lain dengan persetujuan DPR; mengangkat duta dan konsul; memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi; serta mengangkat menteri-menteri.
(v)          DPA (Dewan Pertimbangan Agung) merupakan lembaga tinggi negara yang memiliki kewajiban untuk memberi jawaban atas pertanyaan Presiden dan memiliki hak untuk mengajukan usul kepada pemerintah. Usul atau nasihat DPA hanya mengikat Presiden secara moral dan tidak secara konstitusional, oleh sebab itu, nasihat atau usul tersebut boleh diperhatikan dan dijalankan ataupun sebaliknya. Karena tidak memiliki hak memaksa, kedudukan DPA lemah.
(vi)        BPK (Badan Pemeriksaan Keuangan) merupakan lembaga tinggi negara yang berperan atau bertugas memeriksa jalannya keuangan negara. BPK merupakan lembaga negara yang memiliki kekuasaan terlepas dari pengaruh pemerintah, namun tidak berarti kedudukan BPK di atas pemerintah.
(vii)      MA (Mahkamah Agung) merupakan lembaga tinggi negara dan memegang kekuasan yudikatif. MA dan badan peradilan di bawahnya memegang kekuasaan kehakiman yang merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah.
b.        Sistem Politik Indonesia Setelah Amandemen UUD 1945
Sistem politik hasil amandemen UUD 1945 tidak mengenal adanyalembaga tertinggi negara. Semua lembaga berada pada posisi yang sebanding. Selain itu, ada lembaga negara yang dihapuskan, yaitu DPA (DewanPertimbangan Agung), dan ada pula beberapa lembaga negara yang baru, yaitu DPD (Dewan Perwakilan Daerah), MK (Mahkamah Konstitusi), dan KY (Komisi Yudisial). Sistem politik setelah Amendemen UUD 1945 sebagai berikut:
1)      Bentuk negara adalah kesatuan dan bentuk pemerintah adalah republik yang terdiri dari 33 provinsi dengan asas desentralisasi sehingga terdapat pemerintahan daerah dan pemerintahan pusat.
2)      Parlemen terdiri dari dua kamar (sistem bikameral), yaitu Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui pemilu dan merupakan perwakilan dari rakyat, sedangkan anggota DPD adalah perwakilan provinsi yang anggotanya dipilih oleh rakyat di daerah yang bersangkutan melalui pemilu. Masa jabatannya adalah lima tahun. DPR memiliki kekuasaan membuat undang-undang, menetapkan APBN, dan mengawasi jalannya pemerintahan.
3)      Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah lembaga negara yang berwenang melantik Presiden dan Wakil Presiden, memberhentikan presiden dan wakil presiden, serta mengubah dan menetapkan UUD. Anggota MPR adalah anggota DPR dan anggota DPD yang memiliki masa jabatan lima tahun.
4)      Eksekutif dipegang dan dijalankan oleh Presiden yang berkedudukan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu untuk masa jabatan lima tahun dan dapat dipilih kembali satu kali dalam jabatan yang sama. Presiden sebagai kepala pemerintahan membentuk kabinet yang terdiri dari menteri-menteri. Menteri-menteri bertanggung jawab kepada presiden. Presiden tidak dapat membubarkan parlemen dan tidak bertanggung jawab kepada parlemen.
5)      Kekuasaan yudikatif dipegang dan dijalankan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya bersama Mahkamah Konstitusi. Adapun Komisi Yudisial berwenang memberikan usulan mengenaipengangkatan Hakim Agung.
6)      Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR dan DPD, juga memilih Presiden dan Wakil Presiden dalam satu paket.
7)      Sistem kepartaian adalah multipartai. Jumlah partai yang mengikuti Pemilu pada tahun 2004 adalah 24 partai dan pada tahun 2009 adalah 34 partai politik.
8)      BPK merupakan badan yang memiliki kekuasaan untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara. Hasil pemeriksaan diserahkan kepada DPR. Anggota BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dipilih oleh DPR dengan memerhatikan pertimbangan dari DPD dan selanjutnya diresmikan oleh Presiden.
9)      Pada pemerintahan daerah, yaitu provinsi dan kabupaten/kota dibentuk pula badan/lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
(1)     Kekuasaan legislatif dijalankan oleh DPRD Provinsi di wilayah provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota di wilayah kabupaten/kota. Anggotanya dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilu.
(2)     Kekuasaan eksekutif pada provinsi dipegang oleh gubernur, sedang pada daerah kabupaten/kota dipegang oleh bupati/wali kota yang semuanya dipilih langsung oleh rakyat di daerah masing-masing melalui Pemilu.
(3)     Kekuasaan yudikatif pada provinsi dijalankan oleh pengadilan tinggi dan untuk kabupaten/kota dijalankan oleh pengadilan negeri. Adapun perkembangan partai politik yang mengikuti perubahan sistem politik pada masa ini ditandai dengan adanya gerakan reformasi sehingga disebut Era Reformasi. Era ini berawal pada tahun 1998, yaitu masa setelah jatuhnya pemerintahan Orde Baru. Reformasi membawa perubahan dalam sistem politik, dengan demikian juga terdapat perubahan dalam kedudukan partai politik. Partai politik diberi kesempatan untuk hidup kembali serta mengikuti pemilu yang pertama setelah masa orde baru, yaitu pada tahun 1999 dengan diikuti oleh banyak partai politik.
c.         Sistem Politik Pada Era Reformasi
Sistem politik pada era reformasi biasa diuraikan sebagai berikut :
Penyaluran tuntutan – tinggi dan terpenuhi Pemeliharaan nilai – Penghormatan HAM tinggi Kapabilitas –disesuaikan dengan Otonomi daerah Integrasi vertikal – dua arah, atas bawah dan bawah atasIntegrasi horizontal – nampak, muncul kebebasan (euforia) Gaya politik – pragmatic Kepemimpinan – sipil, purnawiranan, politisi Partisipasi massa – tinggi Keterlibatan militer – dibatasi Aparat negara – harus loyal kepada negara bukan pemerintah Stabilitas – instabil Era Reformasi atau Era Pasca Soeharto di Indonesia disebabkan karena tumbangnya orde baru sehingga membuka peluang terjadinya reformasi politik di Indonesia pada pertengahan 1998, tepatnya saat Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 karena adanya wacana suksesi yang sengaja dibuat oleh Amien Rais untuk menjatuhkan rezim Soeharto dimana didalamnya terdapat tuntutan untuk melakukan reformasi dan juga desakan dari parlemen beserta mendurnya beberapa menteri dari kabinet saat itu. sehingga bangsa Indonesia bersepakat untuk sekali lagi melakukan demokratisasi, yakni proses pendemokrasian sistem politik Indonesia dimana kebebasan rakyat terbentuk, kedaulatan rakyat dapat ditegakkan, dan pengawasan terhadap lembaga eksekutif dapat dilakukan oleh lembaga wakil rakyat (DPR).
Setelah Soeharto mundur maka BJ. Habibie kemudian dilantik sebagai presiden menggantikan presiden Soeharto dan segera membentuk sebuah kabinet. Salah satu hal yang dilakukan oleh Habiebie saat itu adalah mepersiapkan pemilu dan melakukan beberapa langkah penting dalam demokratisasi, seperti : mengesahkan UU partai politik, UU susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Dan hal yang dilakukan oleh Presiden Habibie yang lain adalah pengahapusan dwifungsi ABRI sehingga fungsi sosial-politik ABRI dihilangkan.
Demokrasi di masa pemerintahan BJ. Habibie amat sangat terbuka luas, namun demokrasi yang ditawarkan oleh presiden Habibie ini membuat masyarakat Indonesia bebas untuk melakukan apapun dalam halnya berbicara, bertindak dan melakukan kreativitas yang menunjang untuk dirinya sendiri, masyarakat serta bangsa dan negara. Sehingga masyarakat Timor Leste seakan mendapatkan kebebasan untuk memerdekakan tanah mereka yang selama ini hanya dimanfaatkan oleh Soeharto dalam masa orde baru. Hal ini dikarenakan pada masa orde baru tidak melakukan pembangunan apapun di tanah Timor Leste setelah hasil kekayaan mereka dimanfaatkan oleh pusat sehingga memunculkan rasa ketidakadilan masyarakat Timor Leste.
Penyebab ini yang akhirnya mengakibatkan rakyat Timor Leste menginginkan untuk lepas dari NKRI. B.J Habibie selaku kepala negara saat itu mengadakan jajak pendapat untuk kebaikan kedua belah pihak. Timor Leste akhirnya lepas dari pangkuan ibu pertiwi. dan Seharusnya Pemeritah melakukan terlebih dahulu Pembangunan nilai demokrasi yang diawali dari pemerintahan saat itu guna menjaga dan mensosialisasikan nilai demokrasi sebenarnya dan menggunakannya dengan benar.
Setelah masa Pemerintahan dari Bj.Habibie maka masuklah pasangan Terpilih duet Abdurrahman Wahid-Megawati secara legalitas formal telah lahir periode baru dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Era Orde Baru telah dinyatakan berakhir dan digantikan Orde Reformasi. Hadirnya Orde Reformasi seperti halnya awal-awal kebangkitan Orde Lama dan Orde Baru rakyat menaruh harapan besar bahwa Orde Reformasi dapat mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Pasangan Gus Dur-Megawati sebenarnya dinilai ideal dilihat dari aspek wawasan. Gus Dur adalah seorang santri tradisional yang memiliki wawasan kebangsaan yang tidak diragukan, sementara Megawati adalah seorang nasionalis yang juga memiliki wawasan Islam modern. Duet Gus Dur-Megawati lalu membentuk Kabinet Persatuan Nasional yang dilantik tanggal 28 Oktober 1999. Terlepas dari adanya kekecewaan karena dihapuskannya Departemen Penerangan dan Departemen Sosial, cabinet ini mendapat dukungan dari berbagai kalangan.
Dalam menjalankan pemerintahan, Abdurrahman Wahid mangalami banyak persoalan pada masa Orde Baru. Persoalan yang sangat menonjol adalah masalah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), pemulihan ekonomi, masalah BPPN, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, mempertahankan kurs rupiah, masalah jarinagn pengaman social (JPS), munculnya masalah disintegrasikan, konflik etnis dasar umat beragama, penegakan hokum dan penegakan hak asasi manusia (HAM).
Belum genap 100 hari berkuasa dan belum tuntasnya penyelesaian persoalan-persoalan peninggalan Orde Baru, pemerintahan Gus Dur dihadapan pada persoalan-persoalan kebijakannya yang dinilai banyak kalangan sangat controversial. Kebijakannya antara lain:
1)      Pencopotan Kapolri Jendral Pol. Roesmanhadi yang dianggap sebagai orangnya Habibie.
2)      Pencopotan Kapuspen Hankam Mayjen TNI Sudrajat yang dilatari oleh pernyataannya bahwa Presiden bukan Pangganti TNI. Penggantinya adalah Marsekal Muda TNI Graito. Penggantian ini cukup mengagetkan karena diambilkan dari TNI AU, yang selama 32 tahun terakhir tidak pernah mndapatkan jabatan strategis di jajaran TNI.
3)      Pencopotan Wiranto sebagai Menko Polkan dilatarbelakangi oleh hubungan yang tidak harmonis antara Wiranto dan Gus Dur arena Gus Dur mengijinkan dibentuknya Komisi Penyelidik Penyelanggara (KPP) HAM di Timor Timur.
4)      Mengeluarkan pengumuman tantang adanya menteri-menteri Kabinet Persatuan Nasional yang terlibat KKN. Pengumuman ini sangat mempengaruhi kinerja kabinet. Tampak beberapa menteri merasa sulit melakukan koordinasi di antaranya Laksamana SDukardi dan Kwik Kian Gie. Mereka kesulitan melakukan koordinasi dengan Memperindag Jusuf Kalla yang menghadapi tudingan KKN.
5)      Gus Dur menyetujui nama Papua sebagai ganti Irian Jaya pada akhir Desember 1999. Gus Dur bahkan menyetujui pula pengibaran bendera Bintang Kejora sebagai bendera Papua. Atas kebijakan yang menguntukan ini, Dewan Presidium Papua yang diketuai oleh Theys Hiyo Eluay menyelenggarakan Kongres Rakyat Papua (Mei-Juni 2000)dan menetapakn tanggal 1 Desember (hari berakhirnya pendudukan Belanda 1962) menjadi hari kemerdekaan Papua Barat.
Selain penilaian bahwa kebijakan Gus Dur Kontroversial, berkembang pula pendapat bahwa kebijakan Gus Dur dianggap berjalan sendiri tanpa mau menaati aturan ketatanegaraan, termasuk di dalamnya urusan protokoler. Segala persoalan diselesaikan Gus Dur berdasarkan bisikan kerabat dekatnya, bukan menurut aturan konstitusi negara. Dalam suasana sikap pro dan kontra masyarakat atas kepemimpinan Gus Dur, muncul kasus Bruneigate. Meskipun tidak terbukti melalui pengadilan, skandal Bruneigate mengakibatkan kredibilitas rakyat terhadap Gus Dur semakin turun drastis. Ketua MPR, Amien Rais yang dulu sangat bersemangat mendukung Gus Dur berbalik arah. Skandal Bruneigate dan pengangkatan wakil Kapolri, Kamjen (Pol) Chaeruddin menjadi pemangku sementara jabatan kepala Polri tanpa persetujuan DPR RI telah memicu konflik antara pihak eksekutif dan legislatif. Puncak kekecewaan DPR terbukti dengan dikeluarkannya Memorandum I buat Presiden Gus Dur pada tanggal 1 Februari 2001 yang disusul Memorandum II pada tanggal 30 April 2001. Presiden Gus Dur memang terkenal dengan sikapnya yang controversial, bukan dating memberi laporan pertanggungjawaban , melainkan pada pukul 01.05 WIB mengeluarkan Maklumat Presiden yang isinya antara lain membekukan lembaga MPR dan DPR.
Pada saat yang sama MPR melalui ketua Amien Rais secara tegas menolak dekrit yang dibuat Presiden Gus Dur. Langkah yang diambil Gus Dur menjadikan dirinya semakin tidak popular dan mempercepat proses kejatuhannya dari kursi kepresidenan. Apalagi ternyata dekrit tersebut tidak mendapat dukungan dari TNI dan Polri.
Puncak jatuhnya Gus Dur dari kursi kepresidenan terjadi ketika MPR atas usulan DPR mempercepat Sidang Istimewa MPR. MPR menilai Presiden Gus Dur telah melanggar Tap No. VII/MPR/2000, karena menetapkan Komjen (Pol) Chaeruddin sebagai pemangku sementara jabatan Kapolri.
Kemudian Melalui Sidang Istimewa MPR pada 23 Juli 2001, Megawati secara resmi diumumkan menjadi Presiden Indonesia ke-5. Meski ekonomi Indonesia mengalami banyak perbaikan, seperti nilai mata tukar rupiah yang lebih stabil, namun Indonesia pada masa pemerintahannya tetap tidak menunjukkan perubahan yang berarti dalam bidang-bidang lain.
Popularitas Megawati yang awalnya tinggi di mata masyarakat Indonesia, menurun seiring dengan waktu. Hal ini ditambah dengan sikapnya yang jarang berkomunikasi dengan masyarakat sehingga mungkin membuatnya dianggap sebagai pemimpin yang 'dingin'. Sejak kenaikan Megawati sebagai presiden, aktivitas terorisme di Indonesia meningkat tajam, beberapa peledakan bom terjadi yang menyebabkan sentimen negatif terhadap Indonesia dari kancah internasional.
Setelah masa pemerintahan Megawati berakhir Indonesia menyelenggarakan kembali pemilu presiden secara langsung pertamanya.
Megawati menyatakan pemerintahannya berhasil dalam memulihkan ekonomi Indonesia, dan pada 2004, maju ke Pemilu 2004 dengan harapan untuk terpilih kembali sebagai Presiden. Ujian berat dihadapi Megawati untuk membuktikan bahwa dirinya masih bisa diterima mayoritas penduduk Indonesia. Dalam kampanye, seorang calon dari partai baru bernama Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, muncul sebagai saingan Megawati.
Partai Demokrat yang sebelumnya kurang dikenal, menarik perhatian masyarakat dengan pimpinannya, Yudhoyono, yang karismatik dan menjanjikan perubahan kepada Indonesia. Pemilihan putaran pertama menyisihkan kandidat lainnya sehingga yang tersisa tinggal Megawati dan SBY. dan yang memenangkan pemilu untuk periode 2004-2009 adalah SBY, kemudian untuk periode 2009- hingga sekarang pemerintahan juga masih dipegang oleh SBY dan partainya Demokrat.
d.        Konfigurasi Politik Era Orde Lama
Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya pembubaran konstituante, diundangkan dengan resmi dalam Lembaran Negara tahun 1959 No. 75, Berita Negara 1959 No. 69 berintikan penetapan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950, dan pembentukan MPRS dan DPAS. Salah satu dasar pertimbangan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah gagalnya konstituante melaksanakan tugasnya.
Pada masa ini Soekarno memakai sistem demokrasi terpimpin. Tindakan Soekarno mengeluarkan Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959 dipersoalkan keabsahannya dari sudut yuridis konstitusional, sebab menurut UUDS 1950 Presiden tidak berwenang “memberlakukan” atau “tidak memberlakukan” sebuah UUD, seperti yang dilakukan melalui dekrit. Sistem ini yang mengungkapkan struktur, fungsi dan mekanisme, yang dilaksanakan ini berdasarkan pada sistem “Trial and Error” yang perwujudannya senantiasa dipengaruhi bahkan diwarnai oleh berbagai paham politik yang ada serta disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang cepat berkembang. Maka problema dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berkembang pada waktu itu bukan masalah-masalah yang bersifat ideologis politik yang penuh dengan norma-norma ideal yang benar, tetapi masalah-masalah praktis politik yang mengandung realitas-realitas objektif serta mengandung pula kemungkinan-kemungkinan untuk dipecahkan secara baik, walaupun secara normatif ideal kurang atau tidak benar. Bahkan kemudian muncul penamaan sebagai suatu bentuk kualifikasi seperti “Demokrasi Terpimpin” dan “Demokrasi Pancasila”.Berbagai “Experiment” tersebut ternyata menimbulkan keadaan “excessive” (berlebihan) baik dalam bentuk “Ultra Demokrasi” (berdemokrasi secara berlebihan) seperti yang dialami antara tahun 1950-1959, maupun suatu kediktatoran terselubung (verkapte diktatuur) dengan menggunakan nama demokrasi yang dikualifikasi (gekwalificeerde democratie). Sistem “Trial and Error” telah membuahkan sistem multi ideologi dan multi partai politik yang pada akhirnya melahirkan multi mayoritas, keadaan ini terus berlangsung hingga pecahnya pemberontakan DI/TII yang berhaluan theokratisme Islam fundamental (1952-1962) dan kemudian Pemilu 1955 melahirkan empat partai besar yaitu PNI, NU, Masyumi dan PKI yang secara perlahan terjadi pergeseran politik ke sistem catur mayoritas. Kenyataan ini berlangsung selama 10 tahun dan terpaksa harus kita bayar tingggi berupa :
1)      Gerakan separatis pada tahun 1957
2)      Konflik ideologi yang tajam yaitu antara Pancasila dan ideologi Islam, sehingga terjadi kemacetan total di bidang Dewan Konstituante pada tahun 1959.
Oleh karena konflik antara Pancasila dengan theokratis Islam fundamentalis itu telah mengancam kelangsungan hidup Negara Pancasila 17 Agustus 1945, maka terjadilah Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 dengan tujuan kembali ke UUD 1945 yang kemudian menjadi dialog Nasional yang seru antara yang Pro dan yang Kontra. Yang Pro memandang dari kacamata politik, sedangkan yang Kontra dari kacamata Yuridis Konstitusional.
Akhirnya memang masalah Dekrit Presiden tersebut dapat diselesaikan oleh pemerintah Orde Baru, sehingga Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kelak dijadikan salah satu sumber hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Selanjutnya pada perang revolusi yang berlangsung tahun 1960-1965, yang sebenarnya juga merupakan prolog dari pemberontakan Gestapu/PKI pada tahun 1965, telah memberikan pelajaran-pelajaran politik yang sangat berharga walau harus kita bayar dengan biaya tinggi.
Pada periode awal kemerdekaan, partai politik dibentuk dengan derajat kebebasan yang luas bagi setiap warga negara untuk membentuk dan mendirikan partai politik. Sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia masuk dalam suatu babak kehidupan baru sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat penuh. Dalam perjalanan sejarahnya bangsa Indonesia mengalami berbagai perubahan asas, paham, ideologi dan doktrin dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan melalui berbagai hambatan dan ancaman yang membahayakan perjuangan bangsa indonesia dalam mempertahankan serta mengisi kemerdekaan.
Pada dasarnya, perkembangan situasi politik dan kenegaraan Indonesia pada awal kemerdekaan sangat dipengaruhi oleh pembentukan KNIP serta dikeluarkannya Maklumat Politik 3 November 1945 oleh wakil Presiden Moh. Hatta. Isi maklumat tersebut menekankan pentingnya kemunculan partai-partai politik di Indonesia. Partai politik harus muncul sebelum pemilihan anggota Badan Perwakilan Rakyat yang dilangsungkan pada Januari 1946.
Wujud berbagai hambatan adalah disintegrasi dan instabilisasi nasional sejak periode orde lama yang berpuncak pada pemberontakan PKI 30 September 1945 sampai lahirlah Supersemar sebagai titik balik lahirnya tonggak pemerintahan era Orde Baru yang merupakan koreksi total terhadap budaya dan sistem politik Orde Lama dimana masih terlihat kentalnya mekanisme, fungsi dan struktur politik yang tradisional berlandaskan ideoligi sosialisme komunisme.
Konfigurasi politik, menurut Dr. Moh. Mahfud MD, SH, mengandung arti sebagai susunan atau konstelasi kekuatan politik yang secara dikotomis dibagi atas dua konsep yang bertentangan secara diametral, yaitu konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter.
Konfigurasi politik yang ada pada periode orde lama membawa bangsa Indonesia berada dalam suatu rezim pemerintahan yang otoriter dengan berbagai produk-produk hukum yang konservatif dan pergeseran struktur pemerintahan yang lebih sentralistik melalui ketatnya pengawasan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Pada masa ini pula politik kepartaian sangat mendominasi konfigurasi politik yang terlihat melalui revolusi fisik serta sistem yang otoriter sebagai esensi feodalisme.
Sedangkan dibawah kepemimpinan rezim Orde Baru yang mengakhiri tahapan tradisional tersebut pembangunan politik hukum memasuki era lepas landas lewat proses Rencana Pembangunan Lima Tahun yang berkesinambungan dengan pengharapan Indonesia dapat menuju tahap kedewasaan (maturing society) dan selanjutnya berkembang menuju bangsa yang adil dan makmur.
2.        Perkembangan Badan Eksekutif
Badan eksekutif Negara yang terdiri atas Presiden dan wakil presiden adalah sebagai bagian eksekutif yang tak dapat diganggu gugat, kemudian mentri-mentri yang dipimpin oleh seorang perdana menteri dan yang bekerja atas dasar asas tanggungjawab mentri.Dan kabinet dipimpin oleh wakil presiden.
a.       Orde Baru
Perkembangan politik didindonesia pada masa-masa awal Orde Baru menunjukkan peranan presiden Soeharto yang semakin dominan.Situasi politik Indonesia memberikan kesempatan yang besar bagi presiden soeharto untuk berperan sebagai presiden yang dominant.Kedudukan dominant yang berhasil diduduki oleh soeharto menyebabkan tidak ada satupun diantara elite politik nasional yang dapat dianggap sebagai calon pengganti presiden Soeharto.
Ketika menjelang berakhirnya Orde Baru pada tahun 1998, penyelewengan kekuasaan yang dipimpin oleh soeharto semakin hebat bahkan kebebasan berbicara terutama yang menyinggung presiden soeharto dan keluarganya tidak diperbolehkan sama sekali persaingan politik antar dua partai politik dan golkar menghilang, peranan ABRI yang semakin besar seiring dengan meluasnya dwifungsi ABRI dan timbulnya anggota-anggota keluarga soeharto sebagai pengusaha-pengusaha besar (konglomerat) yang menggunakan kekuasaan, fasilitas, dan keuangan Negara untuk kepentingan bisnis mereka.
b.        Masa Reformasi
Setelah masa orde baru berakhir, munculah masa sesudah orde baru yaitu Orde reformasi.Yang ingin dilalukannya adalah melakukan perubahan-perubahan politik sehingga system politik Indonesia menjadi lebih Demokratis.Praktik-praktik yang tidak demokratis dihilangkan dengan melakukan perubahan-perubahan terhadap peraturan perundangan.
UU poliitik baru dan bersifat lebih demokrasi dikeluarkan pada awal 1999 dan UU tentang pemerintah daerah yang lebih demokratis dikeluarkan pada pertengahan tahun yang sama, UU politik baru menghasilkan PEMILU 1999 yang dianggap sebagai pemilu yang demokratis yang mendapat pujian dari dunia Internasional.
Dalam jabatannya sebagai Presiden, presiden tidak bisa diberhentikan oleh DPR karena masalah-masalah Politik.Sebagaimana yang dijelaskan dari Hasil Amandemen UUD 1945 yang menegaskan bahwa presiden didalam system presidensial yang demokrasi.Ia tidak bisa diberhentikan oleh DPR karena masalah-masalah politik, sebaliknya, presiden tidak dapat membubarkan DPR dengan alasan permasalahan politik.
3.        Perkembangan Badan Legislatif
Badan legislatif yang meliputi DPR dan MPR mencerminkan salah satu fungsi badan yaitu membuat undang-undang.Tidak semua badan legislative mempunyai wewenang untuk menentukan kebijakan umum dan membuat undang-undang.Dengan perkembangan gagasan yang menerangkan bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat, maka badan legislative menjadi badan yang berhak menyelenggarakan kedaulatan itu dengan jalan menentukan kebijakan umum dan menuangkannya dalam Undang-undang maka badan eksekutif hanyalah penyelenggara kebijakan umum itu.
Didalam Badan legislative, ada Dua kategori masalah perwakilan yaitu perwakilan Politik (political reprentation) dan perwakilan Fungsional (Funcional reprentation). Katagore perwakilan fungsional menjelaskan peranan badan legislative sebagai anggota parlemen menjadi trustee, dan perannya sebagai pengemban “mandate” dan mempunyai konsep bahwa seorang atau suatu kelompok mempunyai kemampuan dan kewajiban untuk bicara dan bertindak atas nama suatu kelompok yang lebih besar.
Sedangkan Perwakilan politik, sebagai anggota badan legislative pada umumnya badan ini mewakili rakyat melalui partai politik. Sekalipun asas perwakilan politik telah menjadi sangat umum, tetapi ada beberapa kalangan yang merasa bahwa partai politik dan perwakilan yang berdasarkan kesatuan-kesatuan politik semata-mata, mengabaikan berbagai kepentingan dan kekuatan lain yang ada didalam masyarakat terutama dibidang ekonomi.
Badan-badan legislative di indonesia
a.         Volksraad
Volksraad adalah badan legislative yang diketuai oleh seorang belanda dan beranggotakan 38 orang, volksraad merupakan partisipasi dari organisasi politik indonesia sangat terbatas ketika awalmula berdirinya, namun seiring berkembangnya zaman ada prinsip yang menyatakan ”mayoritas pribumi” yang mengakibatkan anjloknya jumlah anggota volksraad yang mulanya 60 menjadi 30 orang.
b.        Komite Nasional Indonesia Pusat
Komisi Nasional Indonesia Pusat (KNIP) merupakan badan pembantu presiden yang pembentukannya didasarkan pada keputusan sidang PPKI pada tanggal 18 Agurtus 1945.KNIP merupakan pengembangan dari Komite Nasional Indonesia (KNI) yang dilantik oleh presiden soekarno pada tanggal 29 Agustus 1945.
Sebagai badan perwakilan, KNIP mempunyai hak dan kewajiban Adapun  hak dan kewajiban bagi KNIP-BP (badan Pekerja) yaitu mengajukan usul/inesiatif, interpelasi, angket, pertanyaan dan mosi.
c.         Badan Legislatif Republika Indonesia Serikat
Badan legislative Republika Indonesia Serikat terdiri dari dua majlis yaitu Senat dan Badan Legislatif.Badan Legislatif ini berpusat di Yogyakarta, dan dalam badan legislatif Republika Indonesia Serikat menerangkan bahwa DPR mempunyai hak Budget, Inisiatif, dan amandemen.Disamping wewenang untuk menyusun rancangan undang-undang bersama pemerintah, hak-hak lainnya yang dimiliki adalah hak bertanya, hak interpelasi, dan hak angket tetapi DPR tidak diberi hak untuk menjatuhkan cabinet.
d.        Badan Legislatif Sementara
Badan legislative sementara mempunyai hak legislative seperti hak Budget, hak Amandemen, hak Inesiatif, dan hak control seperti bertanya, interpelasi,angket dan mosi. Badan Legislatif sementara telah membicarakan 237 rancangan Undang-undang dan menyetujui 167 diantaranya menjadi undang-undang.
e.         Badan Legislatif Hasil Pemilu 1955
Badan legislative Hasil Pemilu 1955 memiliki wewenang dan control yang sama dengan DPR-sementara. Namun dalam masa DPR ini diajukan 145 Rancangan Undang-undang dan 113 diantaranya disetujui menjadi undang-undang, diusulkan 8 Mosi dan 2 diantaranya disetujui, dan diajukan 8 interpelasi dan 3 diantaranya disetujui.
f.       Badan Legislatif Pemilu berlandaskan UUD 1945 (DPR peralihan)
Dengan berlakunya kembali UUD 1945, maka badan legislative bekerja dalam rangka yang sempit, dalam arti bahwa hak-haknya kurang terperinci dalam UUD 1945 jika dibandingkan dengan UUD RIS 1949 dan UUDS 1950.
Wewenang badan legislative menurut UUD 1945 mencakup ketetapan bahwa tiap undang-undang memerlukan persetujuan DPR.DPR mempunyai hak Inesiatif, hak untuk memprakarsai rancangan undang-undang.
g.        Legislatif Gotong Royong demokrasi terpilih
Badan legislative gotong royong demokarasi terpilih bekerja dalam system pemerintahan yang lain, akan tetapi badan ini bekerja dalam suasana dimana DPR ditonjolkan peranannya sebagai pembantu pemerintah, yang tercermin dalam istilah gotong royong.
Sedangkan kelemahan DPR-GR dibidang legislative ialah DPR-GR kurang sekali memakai hak inisiatifnya untuk mengajukan rencana Undang-undang.Selain itu DPR-GR telah membiarkan badan eksekutif mengadakan penetapan-penetapan presiden atas dasar dekrit 5 Juli 1959.
h.        Badan Legislatif Gotong Royong demokrasi Pancasila
Dalam terbentuknya badan ini, suasana Indonesia dikala itu ialah prosen penegakan orde baru sesudah terdinya G 30 S/PKI yang berakibat perubahan yang dialami oleh DPR-GR baik mengenai keanggotaan maupun wewenangannya.
Didalam badan ini mengusahakan agar tata kerja DPR-GR lebih sesuai dengan ketentuan-ketentuanUUD 1945.untuk pengambilan keputusan, system musyawarah/mufakat masih dipertahankan dengan ketentuan bahwa keputusan harus diambil oleh anggota DPR sendiri (tanpa campur tangan presiden)
i.          Badan Legislatif hasil Pemilu 1971-1977
Badan Legislatif hasil pemilu 1971-1977 merumuskan hasil pemilihan yang diselenggarakan pada tanggal 3 Juli 1971 berdasarkan UU no 15 tahun 1969,sesuai dengan ketentuan UUD 1945, DPR-RI ini disamping bersama-sama pemerintah bertugas membentuk undang-undang dan menetapkan APBN, juga bertugas melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, APBN, dan kebijakan pemerintah.
Sama halnya dengan DPR-GR Demokrasi Pancasila dalam hal pengambilan keputusan, system musyawarah masih tetap diutamakan (tanpa campur tangan presiden) dan baru apabila tidak mungkin maka keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.


j.          Badan Legeslatif Hasil Pemilu 1977-1997
Setelah pemilu 1971, tejadi perubahan secara fundamental dalam sistem kepartaian di Indonesia. Presiden Soeharto pada tahun 1973 mengajak partai politik dan sekber golkaryang bertarung pada pemilu 1971, untuk memfungsikan diri atas dasar golongan spiritual, Golongan Nasionalis, dan Golongan Karya.
k.        Badan Legislatif masa reformasi Hasil pemilu 1999 dan 2004
Pada periode 1999 dan 2004 merupakan DPR pertama yang terpilih dalam masa reformasi. Pemilu ini dilaksanakan setelah terlebih dahulu  mengubah undang-undang tentang partai politik, UU pemilihan umum, UU tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD dengan tujuan mengganti sistem pemilu kearah yang demokratis.
DPR hasil pemilu 1999 berhasil melakukan amandemen terhadap UUD 1945, meskipun hasil amandemen tersebut masih belum ideal, namun ada beberapa perubahan terjadi.
Salah satu perubahan tersebut adalah lahirnya Dewan Perwakilan Daerah (DPD), lahirnya sistem pemilihan presiden secara langsung, dan lahirnya Mahkamah Konsitusi

4.        Perkembangan kekuasaan Badan Yudikatif
Dalam sistem hukum yang berlaku diindonesia, khususnya sistem hukum perdata. Asas kebebasan badan yudikatif dikenal di Indonesia. Akan tetapi dalam masa demokrasi terpimpin telah terjadi penyelewengan-penyelewengan terhadap asas kebebasan badan yudikatif seperti yang ditetapkan oleh UUD 1945.
Kekuasaan yudikatif sebenarnya lebih bersifat teknis yuridis dan termasuk bidang ilmu hukum daripada bidang ilmu politik . khususnya untuk cabang kekuasaan yudikatif, prinsip yang tetap dipegang ialah bahwa dalam tiap negara hukum badan yudikatif haruslah bebas dari campur tangan badan eksekutif.
Pokoknya, baik dalam perlindungan konstitusional maupun dalam hukum administrasi, perlindungan yang utama terhadap indivudu tergantung pada badan kehakiman yang tegas, bebas, berani, dan dihormati. Badan yudikatif yang bebas adalah syarat mutlak dalam suatu masyarakat yang bebas dibawah rule of law. Kebebasan tersebut meliputi kebebasan dari campur tangan badan eksekutif, legislatif, ataupum masyarakat umum.

5.        Perkembangan Partai Politik diIndonesia
Partai politik diIndonesia merupakan bagian dari kehidupan politik selama kurang lebih seratus tahun. Partai politik telah muncul jauh sebelum peradaban di Eropa sebagai sarana partisipasi bagi beberapa kelompok masyarakat, yang kemudian meluas menjadi partisipasi seluruh masyarakat dewasa.
Indonesia mengenal sistem multi-partai, sekalipun gejala partai-tunggal dan dwi-partai tidak asing dalam sejarah Indonesia. Perkembangan politik diIndonesia melalui dan mengikuti perkembangan zaman yaitu pada Zaman kolonial, zaman pendudukan jepang, zaman Demokrasi Indonesia.

B.     Konsep Partisipasi Politik
Dalam ilmu politik, dikenal adanya konsep partisipasi politik untuk memberi gambaran apa dan bagaimana tentang partisipasi politik. Dalam  perkembangannya, masalah partisipasi politik menjadi begitu penting, terutama saat mengemukanya tradisi pendekatan behavioral (perilaku) dan Post Behavioral (pasca tingkah laku). Kajian-kajian partisipasi politik terutama banyak dilakukan di negara-negara berkembang, yang pada umumnya kondisi partisipasi politiknya masih dalam tahap pertumbuhan. Sebelum mendefinisikan partisipasi politik secara komprehensif, terlebih dahulu mendefinisikan secara kosa kata. Ada dua kosa kata yaitu partisipasi dan  politik. Partisipasi adalah perihal turut berperan serta dalam suatu kegiatan; keikutsertaan; peran serta, Miriam Budiardjo mengatakan bahwa Politik adalah usaha menggapai kehidupan yang baik. Politik sangat erat kaitannya dengan masalah kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan publik dan alokasi atau distribusi Partisipasi berasal dari bahsa latin, yaitu pars yang artinya bagian dan capere(sipasi) yang artinya memangambil. Bila dihubungkan “berarti mengambil  bagian”. Dalam bahasa Inggris, participale atau participation berarti mengambil bagian atau mengambil peranan dalam aktivitas atau kegiatan politik suatu negara. Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih  pemimpin negara dan secara langsung atau tidak langsung, memengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, mengadakan hubungan (contacting) atau lobbying dengan pejabat pemerintah atau anggota  parlemen, menjadi anggota partai salah satu gerakan sosial dengan direct actionnya dan sebagainya.
1.      Pengertian Partisipasi Politik dari Para Ahli, diantaranya:
a.         Budiardjo (2009:367) menyatakan partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan Negara dan secara langsung atau tidak langsung, memengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Dengan demikian Partisipasi politik erat kaitanya dengan kesadaran politik, karena semakin sadar bahwa dirinya diperintah, orang kemudian menuntut diberikan hak bersuara dalam penyelenggaraan pemerintah.
b.         Herbert McClosky dalam International encyclopedia of the social sciences (Budiardjo,1996:183) partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukkan kebijakan umum.
c.         Michael Rush Philip Althoff, partisipasi politik adalah keterlibatan individu sampai macam-macam tingkatan di dalam sistem politik.
d.        Kevin R. Hardwic, partisipasi politik memberi perhatian cara-cara warga negara berupaya menyampaikan kepentingan-kepentingan mereka terhadap pejabat-pejabat publik agar mampu mewujudkan kepentingan-kepentingan tersebut.
e.         Herbert McClosky, partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam  proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum.
f.          Ramlan Surbakti, partisipasi politik adalah keikut sertaan warga negara  biasa dalam menentukan segala keputusan menyangkut atau memengaruhi hidupnya. Sesuai dengan istilah partisipasi (politik) berarti keikutsertaan warga negara biasa (yang tidak mempunyai kewenangan) dalam memengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik.
g.         Wahyudi Kumorotomo mengatakan, Partisipasi adalah berbagai corak tindakan massa maupun individual yang memperlihatkan adanya hubungan timbale balik antara pemerintah dan warganya. Partisipasi politik adalah bagian penting dalam kehidupan politik semua negara, terutama bagi negara yang mmenyebut dirinya sebagai negara demokrasi,  partisipasi politik merupakan salah satu indikator utama. Artinya, suatu negara  baru bisa disebut sebagai negara demokrasi jika pemerintah yang berkuasa memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada warga negara untuk  berpartisipasi dalam kegiatan politik, sebaliknya warga negara yang bersangkutan  juga harus memperlihatkan tingkat partisipasi politik yang cukup tinnggi. Jika tidak, maka kadar kedemokratisan negara tersebut masih diragukan
Di negara-negara demokrasi konsep partisipasi politik bertolak dari paham  bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, yang dilaksanakan melalui kegiatan  bersama untuk menetapkan tujuan-tujuan serta masa depam masyarakat itu dan untuk menentukan orang-orang yang akan memegang tampuk pimpinan.
Partisipasi politik erat sekali kaitannya dengan kesadaran politik, karena semakin sadar bahwa dirinya diperintah, orang kemudian menuntut diberikan hak  bersuara dalam penyelenggaraan pemerintah. Di negara-negara demokrasi umumnya dianggap baha lebih banyak partisipasi masyarakat maka lebih baik, sebaliknya tingkat partisipasi yang rendah pada umumnya dianggap sebagai tanda yang kurang baik, karena dapat ditafsirkan bahwa banyak warga tidak menaruh  perhatian terhadap masalah kenegaraan.
Masalah partisipasi politik bukan hanya menyangkut watak atau sifat dari  pemerintahan negara, melainkan sifat, watak atau karakter masyarakat suatu negara dan berpengaruh yang ditimbulkannya.
2.        Partisipasi Masyarakat dalam Politik Sebagai Implementasi Nilai-Nilai Demokrasi Di Indonesia
Di Indonesia berpartisipasi politik dijamin oleh Negara, tercantum dalam UUD 1945 pasal 28 yang berbunyi “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Dan diatur secara jelas dalam dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 mengenai jaminan hak-hak sipil dan politik, dimana poin-poin hak yang harus dilindungi oleh Negara mengenai hak berpendapat, hak berserikat, hak memilih dan dipilih, hak sama dihadapan hukum dan pemerintahan, hak mendapatkan keadilan, dll.
Seperti partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum, ini merupakan salah satu implementasi nilai-nilai  demokrasi di Indonesia, yang mencerminkan nilai Kebebasan , dimana  masyarakat diberi kebebasan penuh untuk memilih, mendukung calon yang di inginkan. Sebagai contoh, dari data KPU pada tanggal 9 mei 2009. Menunjukan masyarakat Indonesia yang ikut berpartisipasi untuk memilih adalah lebih dari 104 juta jiwa.
Dalam hal lain masyarakat Indonesia juga menunjukkan nilai kebebasan demokrasi dalam hal melakukan protes terhadap pemerintah. Ini menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam politik di Indonesia mengalami peningkatan. Budiarjo (1996:185) menyatakan dalam Negara-negara demokratis umumnya dianggap bahwa lebih banyak partisipasi masyarakat lebih baik. Dalam alam pemikiran ini tingginya tingkat partisipasi menunjukkan bahwa warga Negara mengikuti dan memahami masalah politik dan ingin melibatkan diri dalam kegiatan itu.
Sebagai pelaksanaan nilai demokrasi, partisipasi masyarakat dalam politik memiliki peran penting. Karena dalam Negara demokrasi semua bersumber pada rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Saat ini, rata-rata masyarakat dimanapun dia berada, mereka sadar bahwa kehidupan mereka dipengaruhi oleh pemerintah mereka, sehingga masyarakat berpikir bahwa mereka harus melibatkan diri dalam politik. Salah satu yang menyebabkan meningkatnya partisipasi politik yang terjadi belakangan ini adalah penerimaan secara global mengenai konsep popular sovereignity (kedaulatan populis/ kedaulatan rakyat) yang merupakan dasar dari kekuasaan politik yang legitimate. Sejak hampir semua rezim di semua negara mendasarkan kekuasaan mereka pada kedaulatan rakyat, menjadi sebuah hal yang lumrah ketika rakyat melibatkan diri dalam proses politik dengan menggunakan kedaulatan mereka. Bahkan negara-negara otoriter sekalipun berusaha untuk melibatkan rakyatnya dalam perpolitikan (tetapi tetap dalam skema yang dikontrol oleh pemerintahan otoritarian) dengan maksud untuk melegitimasi rezim, peraturan, dan kebijakan yang dibuat oleh rezim otoritarian tersebut.
3.        Tujuan-Tujuan Partisipasi Politik
Keterlibatan politik dapat terjadi dengan berbagai tujuan, diantaranya adalah memberikan rakyat/warga negara kesempatan untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijakan. Hal ini tentu saja merupakan tujuan utama dari partisipasi politik yang dilakukan oleh negara-negara yang demokratis. Partisipasi juga dilakukan untuk mengontrol pemerintah yang akan terpilih, selain itu partisipasi politik juga menjadi alat untuk memilih pemimpin dan mengekspresikan eksistensi individu atau grup yang mempengaruhi pemerintah melalui jalan terlibat dalam politik. Kedua, partisipasi politik juga menjadi alat untuk mengontrol rakyat dan warga negara, terutama di negara-negara otoritarian. Di banyak negara otoritarian, pemerintah mempromosikan pasrtisipasi politik dalam bentuk yang terkontrol oleh rezim ototiter itu sendiri (partisipasi politik yang tidak bebas). Partisipasi politik bahkan hanya secara simbolis, akan menjadi sinyal bagi pemerintah tersebut bahwa rakyat berkomitmen mendukung rezim otoritarian tersebut dan hal ini pada akhirnya akan mencegah terjadinya pemberontakan oleh rakyat. Partisipasi politik menjadi sebuah cara untuk meningkatkan dukungan tanpa bantahan/perlawanan (acquiescence) terhadap kebijakan negara otoritarian.
Ketiga, partisipasi di sisi lain juga membantu meringankan beban pemerintah, seperti terbukanya lapangan kerja baru sebagai pengawas jalannya pemberian suara (voting) yang dilakukan secara sekuarela, sedikit banyak akan meringankan anggaran pemerintah untuk membayar aparat keamanan yang ditugaskan untuk menjaga jalannya voting.
Tujuan keempat adalah partisipasi digunakan untuk melegitimasi rezim dan kebijakan rezim tersebut. Semua negara memiliki semua tujuan partisipasi politik ini. Rezim demokratis pada umumnya menekankan kaidah pengaturan pemerintah oleh kontrol yang dilakukan rakyat. Sedangkan negara-negara nondemokratis menggunakan partisipasi untuk mengontrol rakyatnya dan untuk mendapatkan bantuan pelayanan dari rakyatnya sendiri.
Faktor yang berpengaruh terhadap besar kecilnya partisipasi politik adalah:Di banyak masyarakat, partisipasi politik erat hubugannya dengan tingkat pendidikan. Pada umumnya semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin tinggi pula kecenderungan seorang individu untuk berpartisipasi dalam politik. Sedangkan yang banyak dihadapi oleh negara berkembang adalah tingkat buta huruf yang masih tinggi, partisipasi masih tergolong rendah karena masyarakat masih belum sadar tentang apa yang terjadi dan dampak politik bagi kehidupan mereka. Di negara berkembang, ada hubungan kuat antara pendidikan, kepentingan dan keterlibatan dalam politik.
Faktor lain yang berpengaruh terhadap besar kecilnya partisipasi politik adalah:
a.         Faktor personal, seperti:
a)    Watak masing-masing pribadi serta anggapan mereka terhadap aktifitas sosial
b)   Perasaan seberapa efektif langkah keterlibatan individu untuk mempengaruhi keputusan pemerintah.
c)    Intensitas perilaku politik
d)   Persepsi individu terhadap tugas-tugas sosial dan masyarakat.
Setting politik Kepentingan serta keterlibatan masyarakat pada proses politik juga dapat dipengaruhi oleh hal-hal berikut:
a)      Ekspos media
b)      Kontak personal
c)      Usaha pemerintah untuk membatasi partisipasi
d)     Akses ke institusi politik
b.        Faktor Sosial Ekonomi, seperti:
a)    Kelas sosial
b)    Pekerjaan
c)    Kekayaan/ kesejahteraan
d)   Gender
e)    Etnis
Secara umum, orang yang lebih sejahtera akan lebih aktif daripada orang yang tidak/ belum sejahtera, (dulu) pria lebih aktif berpartisipasi aktif daripada wanita. Etnis grup yang dominan biasanya lebih aktif dibandingkan dengan minoritas, orang-orang dewasa biasanya juga lebih aktif dibandingkan dengan orang yang sangat tua, ataupun anak-anak dan remaja.Political Beliefs Mereka yang memiliki pandangan politik yang kuat akan lebih aktif daripada mereka yang tidak memiliknya.
4.        Bentuk Partisipasi Politik
Satu isu terkadang dapat menstimuli aksi dalam berbagai bentuk. Baik itu pro dan kontra dengan berbagai cara seperti kampanye, poster , aksi legal, petisi, pertemuan publik, demonstrasi, boykot bahkan pembunuhan. Dalam suatu pemerintahan otoriter yang baik pengaturannya, para pemimpinnya tahu bahwa begitu bahayanya menekan semua bentuk partisipasi sehingga mereka mengontrol aksi-aksi politik yang ada.
Beberapa dekade yang lalu, para ilmuwan membagi partisipasi politik menjadi conventional political participation (partisipasi politik yang biasa) dan unconventional political participation (partisipasi politik yang tidak biasa). Partisipasi politik yang biasa adalah sebuah keterlibatan politik dimana individu menyampaikan aspirasi politik melalui pejabat publik menggunakan saluran partisipasi. Seperti pemilu, dan aktifitas kelompok kepentingan. Sedangkan partisipasi politik yang tidak biasa adalah sebuah partisipasi politik yang dilakukan masyarakat tanpa melalui elit politik ataupun melalui aksi langsung.
Kemudian pembedaan ini dikatakan menyesatkan karena hal-hal yang dibedakan diatas tidak dapat digeneralisasikan terhadap semua negara. Seperti halnya petisi merupakan hal yang biasa di Amerika tetapi merupakan hal yang tak biasa di Inggris. Di India demonstrasi mungkin merupakan sebuah langkah anti rezim dan bermaksud untuk menurunkan rezim berkuasa, tetapi di Perancis demonstrasi merupakan hal biasa yang dilakukan untuk mempengaruhi para pejabat publik.
5.      Perkembangan Partisipasi Politik
Studi tentang perkembangan partisipasi politik dalam wataknya yang "modern" di Indonesia tentulah dimulai dengan mengenali peristiwa-peristiwa politik yang terjadi sejak awal abad ini. Sungguhpun menghadapi pemerintahan kolonial, keterlibatan masyarakat di dalam Syarikat Islam, Volksraad, gerakan buruh, petani dan pemuda, sampai kepada kegiatan organisasi dan partai politik, serta berbagai kegiatan politik lainnya adalah bentuk-bentuk awal dari partisipasi politik yang dilakukan oleh para pendahulu dan pejuang bag) perwujudanmasyarakat atau bangsa Indonesia.
Hambatan bagi perkembangan partisipasi politik di masa kolonial berasal dari dua tingkatan kebijaksanaan. Pertama ialah tidak diberikannya pengakuan akan hak berpolitik bagi kaum Bumiputera. Dan kedua yaitu adanya pengawasan yang ketat terhadap kegiatan masyarakat, terutama untuk menghindarkan mereka dari partisipasi politik. Jadi baik secara prinsip maupun secara teknis kesempatan untuk berpartisipasi secara politis amat terbatas. Keadaan ini berawal dari dualisme sistim ekonomi yang menciptakan ketergantungan kaum pribumi terhadap perekonomian golongan Eropa dan Timur Asing. Dualisme politik yang membiarkan kaum pribumi terpaku di dalam kantong-kantong politik tradisi di bawah penguasa tradisional sehingga mereka tidak terkait secara langsung kepada proses politik negara kolonial, merupakan hambatan yang besar bagi penumbuhan partisipasi politik masyarakat luas di masa itu.
Ketertutupan pemerintah kolonial terhadap partisipasi politik mendorong masyarakat lebih berpartisipasi di dalam organisasi dan partai politik ketimbang di dalam proses pemerintahan. Mungkin keterlibatan tokoh masyarakat di dalam Volksraad dapat dikategorikan sebagai semacam partisipasi politik melalui perwakilan. Akan tetapi tujuan pembentukan, kewenangan, aktivitas dan dampak lembaga itu terhadap politik kolonial tidaklah mengizinkan kita untuk menyebutnya sebagai partisipasi politik. Kecuali menguatkan kebijaksanaan pemerintah kolonial, keputusan badan tersebut tidaklah menunjukkan adanya pengaruh kehendak masyarakat luas terhadap kebijaksanaan pemerintah. Dalam beberapa hal watak ini teramati di dalam keputusan badan legislatif setelah kemerdekaan.
Keterbatasan kesempatan yang dibuahkan oleh sistim pengawasan untuk ketertiban umum dan beratnya persyaratan yang harus dipenuhi untuk diperbolehkan melakukan partisipasi politik, di sana-sini muncul kembali di masa kemerdekaan. Di masa kemerdekaan pengakuan akan hak politik dan partisipasi politik dijamin penuh oleh konstitusi. Para penguasa tak pernah lupa menegaskan pengakuan tersebut yang antara lain terlihat dari konsideran atau pertimbangan yang mendasari kebijaksanaan pemerintah. Masyarakat luas telah pula paham akan adanya jaminan atas hak-hak tersebut. Justru kenyataan tersebut bersama warisan tradisi berpartisipasi secara politik dari generasi pendahulu menumbuhkan keinginan mereka untuk menikmati hak tersebut secara nyata.
Di dalarn dua dekade pertama kemerdekaan Indonesia tertangkap dua pola proses partisipasi sebagai realisasi dari hak politik masyarakat. Di masa periode politik kepartaian yang berlangsung kira-kira 10 tahun pertama kemerdekaan, partisipasi politik dapat dikatakan mempunyai kondisi yang terideal secara politis di sepanjang kemerdekaan Indonesia. Pengakuan formal akan hak berpartisipasi di dampingi oleh mekanisme partisipasi yang terbuka. Terdistribusinya kekuasaan secara horisontal dan vertikal, utuh dan dominannya peranan partai politik, terbukanya kompetisi politik, leluasanya masyarakat berorganisasi serta kemanfaatannya bagi partisipasi politik dan tersedianya prasarana sosial seperti media massa yang bebas, merupakan mekanisme yang mewadalu proses partisipasi politik masyarakat luas. Impaknya terhadap posisi jabatan, pemutusan kebijaksanaan dan pelaksanaannya seringkali begitu kuat sehingga terdapat partisipasi politik yang menjadi bagian penting dari proses penjatuhan suatu pemerintahan.
Akan tetapi perlu dicatat bahwa pada urnumnya partisipasi politik di dalam periode ini terseret ke dalam perjuangan partai. Berdasarkan pola politik aliran masa memberikan dukungan kepada partai politik tertentu menghadapi partner koaliasinya di dalam pemerintahan atau sepenuhnya menghadapi partai pemerintah. Tak tampak adanya kemampuan untuk berkompromi dan menahan diri di antara kelompok-kelompok yang berpartisipasi dalam dan atau beberapa kubu yang berhadapan tersebut.
Dalam dekade kedua kemerdekaan partisipasi politik mulai mengalami pembatasan. Pemusalan kekuasaan di tangan presiden menyempitkan area partisipasi politik dari pembuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan negara menjadi hanya di dalam hal melaksanakan kebijaksanaan. Sementara itu pemilihan pejabat telah menjadi hak prerogatif presiden bersama para pembantu dekatnya.
Ada anggapan bahwa keterlibalan masyarakat luas di dalam politik pada masa itu lebih bersifat mobilisasi daripada partisipatif. Alasannya ialah bahwa sifat otoriter politik menghilangkan atau mengecilkan derajat kesukarelaan anggota masyarakat untuk melibatkan diri di dalam proses politik. Mungkin untuk sebagian pandangan itu benar. Dan perlu pula diingat bahwa sistim Politik Demokrasi Terpimpin belumlah mengembangkan organisasi pemerintahan yang kompak dan efektif unluk memobilisasikan massa secara luas dan berkepanjangan.
Suatu gejala baru dari partisipasi politik yang mulai tumbuh di penghujung periode ini ialah mulai lepasnya partisipasi politik dari ikatan perjuangan partai politik. Semula partisipasi seperti itu lahir dalam bentuk kerja sama organisasi-organisasi masyarakat yang berbeda aliran baik atas restu maupun tidak didorong oleh partai yang membinanya. Demikianlah halnya dengan kerja sama mahasiswa dalam partisipasi politik di akhir masa Demokrasi Terpimpin yang kemudian mengorganisir diri di dalam Kerja sama ini kemudian ternyata mengorbitkan peranan mahasiswa di dalam politik sehingga menjadi ujung tombak dari partisipasi politik pemuda yang dalam periode sebelumnya merupakan salah satu pemerintah partisipasi yang utama.
Mendahului pemekaran partisipasi politik mahasiswa dan kemerosotan partai. muncul kekuatan baru di gelanggang partisipasi yaitu golongan fungsional baik sipil maupun militer. Kelompok ini mengisi posisi dan peranan partai di dalam keseluruhan proses politik dan kekuasaan. Perkembangan ini pada dasarnya mengawali pembentukan pola politik masyarakat yang kemudian dikenal dengan Politik di mana partisipasi politik mendapatkan suasana, pola dan wataknya tersendiri.
6.      Stabilitas dan Partisipasi Politik
Dalam dua dekade terakhir kemerdekaan mungkin partisipasi politik sudah dapat dikatakan berada di dalam krisis. Artinya partisipasi politik menempati porsi kecil saja dari keseluruhan proses politik nasional dan lokal. Menyambung perkembangan partisipasi politik dalam periode sebelumnya, dewasa ini wujudnya yang bersifat konvensional adalah dalam bentuk pemilihan sebagian wakil rakyat dalam sekali lima tahun dan pemberian dukungan terhadap kebijaksanaan dan pejabat pemerintah pada saat-saat tertentli pula. Selebihnya politik diproses oleh elit kekuasaan bersama wakil-wakil rakyat yang dipilih melalui sistim pemilihan urnum berimbang di mana calon sangat ditentukan oleh organisasi politik peserta pemilihan umum.
Namun dari segi intensitas partisipasi, jarak yang jauh antar Pemilu itu di samping prosesnya yang kurang langsung karena kukuhnya posisi organisasi politik peserta Pemilu yang mengantarai calon dengan memilih, mendorong tampilnya pemikiran yang melihat perlunya perwujudan bentuk-bentuk partisipasi lain. Di samping itu terlihat adanya kecenderungan mobilisasi dalam keterlibatan masyarakat di dalam Pemilu akhir-akhir ini. Menurut anggapan umum, tingkat keterlibatan kelompok-kelompok masyarakat secara sukarela di dalam Pemilu sejalan dengan tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi masing-rnasing kelompok.
Walaupun bentuk partisipasi yang berwujud mendukung kebijaksanaan dan pejabat muncul di sepanjang sejarah Indonesia merdeka dengan puncak intensitasnya berada pada masa Demokrasi Terpimpin, namun dewasa ini kegiatan tersebut sudah tidak intensif lagi. Kegiatan massa memberikan dukungan kepada kebijaksanaan dan pejabat ini menjadi perdebatan akademik pula. Sebab tidak jarang keterlibatan aparat negara ataupun organisasi politik pendukung pemerintah di dalam pengorganisasiannya. Setidaknya bagian pendukung seperti itu masih dapat digolongkan ke dalam pemerintah partisipasi, sekalipun mungkin secara kuantitas mereka tidaklah sebesar para aktivis yang dimobilisasikan. Di samping bentuk partisipasi politik dukungan yang lebih melibatkan massa tersebut, dikenali pula partisipasi politik yang bertujuan mempengaruhi kebijaksanaan.
Di luar yang di kemukakan di atas, tercatat pula sejumlah wujud partisipasi yang dapat digolongakan ke dalam kegiatan non-konvensional karena kecenderungannya menggunakan kekerasan. Gerakan protes seperti protes Proyek Taman Mini Indonesia dalam tahun 1972, pembacaan puisi protes tahun 1974 yang diwarnai oleh Rendra adalah bentuk yang lunak. Bentuk yang lebih keras antara lain terlihat dalam gerakan anti Cina di Yogya dan Bandung sekitar tahun 1972. Dan gerakan yang amat keras diperlihatkan dalam huru-hara peristiwa Malari 1974, demonstrasi terhadap RUU Perkawinan yang sedang dibahas oleh DPR di akhir tahun 1973, peristiwa Lapangan Banteng 1982 dan peristiwa Tanjung Priok.
Apabila bentuk-bentuk partisipasi politik konvensional di atas diakui dan diterima oleh elite kekuasaan, maka tidaklah demikian halnya dengan partisipasi yang bersifat non-konvensional. Selain dari gerakan mereka tidak diakui dan bahkan dikategorikan sebagai gerakan politik yang terlarang, para pejabat pemerintahnya pun mendapat penindakan dari yang berwajib mulai dari peringatan dan pengucilan sampai kepada penyeretan mereka ke pengadilan.


7.      Partisipasi Politik Stabilitas
Sebaliknya keterlibatan tersebut merupakan bagian dari perangkat usaha untuk menegakkan stabilitas politik. Melalui pengembangan secara berangsur, dewasa ini dikenali tiga pokok kebijaksanaan yang dimaksudkan untuk mempertahankan stabilitas politik. Sejak awal tahun 1970-an sudah dimulai penyusunan kembali struktur politik yang berkaitan dengan partisipasi.
Kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut telah menghasilkan pola partisipasi politik stabilitas dengan cin pokok sebagai berikut. Pertama, individu lebih ditekankan sebagai pemerintah partisipasi. Untuk itu maka motivasi partisipasi yang dikembangkan dan direstui ialah hasil perkapita yang pada hakekatnya merupakan indikator utama dari pembangunan (ekonomi). Sumber daya (resources) bagi partisipasi ialah kemampuan pribadi yang berkaitan dengan pembangunan, yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan pembangunan itu sendiri. Karena teknologi adalah alat utama pembangunan maka kekuatan individu tentulah keteknologian (teknokratik). Kedua hal itu menjadikan partisipasi bersifat fungsional artinya kegiatan tersebut mestilah memberikan dampak positif kepada pembangunan. Kefaedahannya bagi pemerintah itu sendiri haruslah di pandang dari sudut pembangunan.
Kedua, politik massa mengambang menjadi dasar mekanisme partisipasi politik. Itu berarti bahwa untuk berpartisipasi di bidang politik, individu diurai dari kelompok yang sejak lahir telah mewarnai dirinya dengan berbagai nilai dan pandangan hidup. Agama, tradisi (kesukuan) dan bahkan kelas sosial tidak dipakai sebagai basis partisipasi politik. Satu-satunya kelompok yang diperkenankan dan didorong sebagai referensi individu dalam berpartisipasi ialah himpunan profesional.
Semua proses itu telah mendorong pemanfaatan bentuk-bentuk partisipasi politik yang mendukung stabilitas yaitu memberikan suara di dalam Pemilu, mendukung kebijaksanaan, program dan pejabat pemerintah. Sungguhpun begitu, sebagai karya manusia tentulah sistim tersebut tidak lepas sepenuhnya dan kelemahan. Di antaranya berkenaan dengan hakekat partisipasi politik itu sendiri yaitu kegiatan mempengaruhi penguasa ataupun pemerintah. Kecilnya keleluasaan massa berpartisipasi mendorong pertumbuhan peran elit di dalam proses politik. Dengan sendirinya elite merasa kurang aman memanfaatkan lembaga dan organisasi politik yang menghubungkannya dengan massa untuk keperluan politiknya. Sebab keleluasaan tersebut menjadi kecil karena harus mempertimbangkan kepentingan massa di dalam memproses politik. Untuk mendapatkan kekuatan bagi perjuangan politiknya, maka elite cenderung membangun kekuatan berdasarkan hubungan keluarga, teman dan tradisi. Semuanya itu menumbuhkan dualisme proses politik dan mempertajam dualisme budaya politik yaitu elite dan massa.
Gejala tersebut di atas mempengaruhi pertumbuhan lembaga politik mulai dari organisasi politik sampai kepada perwakilan politik (parlemen). Di dalam dan melalui lembaga itu politik berproses dalam dua tingkatan, yaitu formal dan informal. Secara formal proses politik melalui dan di dalam lembaga seperti itu sekaligus mencakup kepentingan massa dan elite. Secara aktual keputusan lembaga lebih membayangkan kepentingan elite, karena merekalah yang menentukan di dalamnya.
Kurang tercerminnya kepentingan massa di dalam proses politik aktual berpangkal kepada sistim perwakilan yang ada. Tidak seimbangnya bobot pertanggungjawaban wakil kepada terwakil dengan bobot kepercayaan yang diberikan oleh terwakil kepada wakilnya justru merupakan pangkal dari kekasipan waktu memperjuangkan kepentingan terwakil.
Pada hakekatnya pelebaran jarak elite massa melemahkan struktur politik. Sebab massa adalah sumber kekuatan bagi elite dan elite adalah pembimbing kekuatan itu untuk dimanfaatkan bagi kepentingan keseluruhan masyarakat. Jauhnya jarak antara elite dengan massa justru mendorong elite untuk mendapatkan sumber kekuatan lain yang lepas dari massa. Dan jarak seperti itu mendorong pihak massa untuk memanfaatkan bentuk partisipasi politik non-konvensional untuk mendapatkan perhatian dari pihak elite. Akhirnya keseluruhan pola partisipasi politik yang telah terbentuk membangun budaya politik non-partisipasi di kalangan masyarakat. Orientasi seperti itu tumbuh karena kenyataan bahwa partisipasi memang kurang berkembang baik dilihat dari segi intensitasnya, maupun dari sudut luas areanya. Terbatasnya pengalaman menyebabkan masyarakat tidak inovativ di bidang partisipasi politik. Sernuanya itu melemahkan nilai-nilai tentang partisipasi sehmgga mengaburkan pandangan mereka tentang hak politik.
8.      Pengembangan Partisipasi Politik
Melihat kebutuhan akan sumbangan dunia politik yang mampu mengimbangi kekuatan ekonomi di dalam menghadapi tinggal landas pembangunan dan menilik pula impak pola partisipasi politik kepada kemajuan politik dewasa ini, maka dianggap sudah pada waktunya untuk memikirkan dan memulai pembaruan politik secara mendasar. Salah satu dari masalah dasar pembangunan politik ialah partisipasi politik.
Pengembangan partisipasi politik dipikirkan dalam rangka kesinambungan kehidupan masyarakat. Dalam hal ini perubahan berlangsung secara bertahap yang di mulai dari segi teknis dan sebagian dari kerangka dasar masyarakat dan sistim politik. Secara teknis penumbuhan partisipasi politik menyangkut struktur masyarakat dan prosedur bagi partisipasi. Sedangkan kerangka dasar struktur masyarakat dan sistim politik menyangkut susunan kekuasaan. Secara teknis langkah-langkah yang perlu diambil ialah mengembalikan partisipasi politik massa melalui kelompok dengan kesamaan dan pemerataan kesempatan sebagai motivasi kelompok sebagai basis kekuatannya dan menekankan sifat struktural dari partisipasi. Pada dasarnya pola seperti itu sejalan dengan sifat masyarakat Indonesia yang plural-komunal. Bentuk ini dapat mendekatkan jarak dari sifat masyarakat yang plural dengan sifat politik yang manunggal dewasa ini. Itu berarti bahwa pola manunggal dari level masyarakat sampai ke tingkat lembaga politik, dirobah dengan menjadikan partisipasi politik secara plural. Dalam pada itu untuk menjamin stabilitas, kesederhanaan organisasi politik tetap dipertahankan. Dengan demikian, partisipasi politik bukan saja dialirkan melalui kelompok profesi, akan tetapi juga melalui semua bentuk pengelompokkan yang terorganisir. Pola ini dapat mengimbangi usaha pemerintah untuk mengatur organisasi masyarakat secara formal.
Pada tingkat lembaga politik, terutama organisasi politik dan lembaga perwakilan rakyat, perubahan yang perlu mendapat perhatian ialah proses hubungan badan-badan tersebut dengan masyarakat. Untuk itu perlu ditingkatkan bobot kekuatan masyarakat terhadap lembaga-lembaga itu. Artinya seluruh aparat organisasi politik dan semua anggota parlemen perlu meningkatkan pertanggungjawabannya secara teknis dan moral kepada masyarakat yang mendukung dan diwakilinya. Bagi organisasi politik itu berarti bahwa sistim kader menjadi mekanisme utama mengembangkan pengaruh di dalam masyarakat. Seluruh daya dan dana tentulah dimanfaatkan untuk mengembangkan kader yang terpilih dan terbatas. Dukungan massa diusahakan oleh kader dan anggota. Karena itu organisasi masyarakat terlepas dari ikatannya yang permanen dengan organisasi politik. Pola ini memungkinkan organisasi masyarakat mengontrol organisasi politik sehingga partai politik tidak dapat mengabaikan mereka. Bagi parlemen peningkatan keterikatan anggota kepada masyarakat yang merupakan kunci dari mutu keterwakilan politik dapat diusahakan melalui pertanggungjawaban langsung anggota kepada masyarakat.
Langkah-langkah di atas amat sulit berkembang mencapai pengembangan partisipasi politik tanpa didukung oleh perubahan di sektor struktur kekuasaan. Seperti dismggung di atas, perubahan itu tidaklah perlu radikal, akan tetapi bersifat sebagian saja dalam rangka mempertahanakan stabilitas politik secara nasional. Oleh karena itu pola yang memadai ialah pemusatan kekuasaan diturunkan sampai sekitar 60 persen. Mekanisme partisipasi politik yang menyalurkan semua perkembangan di atas adalah dalam bentuk keterlibatan organisasi masyarakat dalam politik baik melalui organisasi politik yang bermuara ke lembaga-lembaga perwakilan, maupun secara langsung ke pusat-pusat kekuasaan. Untuk menghindari kekacauan karena partisipasi langsung itu, maka lembaga-lembaga perwakilan tingkat pusat dan daerah perlu membuka diri dengan memanfaatkan lembaga dengan pendapat secara luas. Pihak eksekutif dapat membuka diri dengan meningkatkan peranan hubungan masyarakat dari pemberi keterangan menjadi penerima keluhan dan tuntutan masyaiakat. Dapat pula Direktorat atau bagian Sosial Politik ditugaskan untuk melayani partisipasi politik masyarakat sehingga badan
9.      Bentuk-Bentuk Partisipasi
Dalam tataran praktis, partisipasi politik bisa muncul dalam beberapa  bentuk. Setiap bentuk-bentuk partisipasi politik akan berisikan gaya, tuntunan,  pelaku dan sampai pada tindakan-tindakan yang dilakukan warga negara dalam konteks politik. Selain itu juga berkenaan denganjumlah orang yang terlibat dalam  bentuk-bentuk partisipasi politik, tidak harus selalu dilakukan oleh sekelompok orang, tetapi bisa juga dilakukan oleh hanya satu orang. Perilaku politik seseorang dapat dilihat dari bentuk partisipasi politik yang dilakukannya. Bentuk partisipasi politik dilihat dari segi kegiatan dibagi menjadi dua, yaitu: (a) Partisipasi aktif  bentuk partisipasi ini berorientasi kepada segi masukan dan keluaran suatu sistem politik. Misalnya, kegiatan warga negara mengajukan usul mengenai suatu kebijakana umum, mengajukan alternatif kebijakan umum yang berbeda dengan menghadiri rapat umum anggota partai/kelompok kepentingan, membicarakan masalah politik, mengikuti perkembangan politik melalui media massa, memberikan suara dalam pemilu. Orang-orang yang apolitis Tingkatan partisipasi politik menurut Huntington dan Nelson, Rush dan Althoff . (i) Menduduki jabatan politik atau administratif  (ii) Mencari jabatan politik atau administratif (iii) Keanggotaan aktif suatu organisasi politik (iv) Keanggotaan pasif suatu organisasi politik (v) Keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik (quasi-political). (vi) Keanggotaan pasif suatu organisasi semu politik (quasi-political) (vii). Partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi, dan sebagainya (viii). Partisipasi dalam diskusi politik informal minat umum dalam bidang politik (ix) Voting (pemberian suara) Tingkatan partisipasi politik, mencerminkan kapasistas partisipan dalam  berpartisipasi politik. Semakin tinggi tingkatan yang ditempati, maka semakin tinggi pula tingkatan partisipasi politiknya. Dalam lingkup partisipasi politiknya,  jika semakin tinggi maka semakin sedikit (semakin mengerucut pada jumlah tertentu). Voting merupakan tingkatan partisipasi politik terendah, yang membedakan satu tingkat di atas orang yang apatis total, sementara di atasnya terdapat orang atau sekelompok orang yang sering terlibat dalam diskusi-diskusi  politik informal, yang proporsinya lebih rendah, namun intensitasnya lebih tinggi.
10.  Faktor Pendukung partisipasi Politik
a.         Pendidikan politik menurut Ramdlon Naning, pendidikan politik adalah usaha untuk memasyarakatkan politik, dalam arti mencerdaskan kehidupan politik rakyat, meningkatkan kesadaran setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan  bernegara; serta meningkatkan kepekaan dan kesadaran rakyat terhadap hak, kewajiban, dan tanggung jawabnya terhadap bangsa dan negara.
b.        Kesadaran politik Menurut Drs.M. Taupan,Kesadaran politik adalah suatu proses batin yang menampakkan keinsafan dari setiap warga negara akan urgensi kenegaraan dalam kehidupan masyarakat dan bernegara, kesadaran politik atau keinsafan hidup  bernegara menjadi penting dalam kehidupan kenegaraan, mengingat tugas-tugas negara bersifat menyeluruh dan kompleks sehingga tanpa dukungan positif dari seluruh warga masyarakat, tugas-tugas negara banyak yang terbengkelai.
c.         Sosialisasi politik Sosialisasi politik adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan  proses dengan jalan mana orang belajar tentang politik dan mengembangkan orientasi pada politik. adapun alat yang dapat dijadikan sebagai perantara/sarana dalam sosialisasi politik. antara lain:keluarga(family),sekolah,partai politik
11.    Faktor Penghambat Partisipasi Politik
Ada banyak orang yang tidak berpartisipasi dalam politik, hal ini disebabkan oleh beberapa hal antara lain;
1)        Apatis (masa bodoh) dapat diartikan sebagai tidak punya minat atau tidak  punya perhatian terhadap orang lain, situasi, atau gejala-gejala.
2)        Sinisme menurut Agger diartikan sebagai “kecurigaan yang busuk dari manusia”, dalam hal ini dia melihat bahwa politik adalah urusan yang kotor, tidak dapat dipercaya, dan menganggap partisipasi politik dalam bentuk apa pun sia-sia dan tidak ada hasilnya.
3)        Alienasi menurut Lane sebagai perasaan keterasingan seseorang dari politik dan  pemerintahan masyarakat dan kecenderungan berpikir mengenai pemerintahan dan politik bangsa yang dilakukan oleh orang lain untuk oranng lain tidak adil.
4)        Anomie, yang oleh Lane diungkapkan sebagai suatu perasaan kehidupan nilai dan ketiadaan awal dengan kondisi seorang individu mengalami perasaan ketidakefektifan dan bahwa para penguasa bersikap tidak peduli yang mengakibatkan devaluasi dari tujuan-tujuan dan hilangnya urgensi untuk  bertindak.
12.       Fungsi Partisipasi Politik
Sebagai suatu tindakan atau aktivitas, baik secara individualmaupun kelompok, partisipasi politik memiliki beberapa fungsi. Robert Lane (Rush dan Althoff, 2005) dalam studinya tentang keterlibatan politik , menemukan empat fungsi partisipasi politik bagi individu-individu.
               i.     Sebagai sarana untuk mengejar kebutuhan ekonomis.
             ii.     Sebagai sarana untuk memuaskan suatu kebutuhan bagi penyesuaian sosial.
           iii.     Sebagai saran untuk mengejar nilai-nilai khusus.
           iv.     Sebagai sarana untuk memenuhi keutuhan alam bawah sadar dan kebutuhan psikologis tertentu. Dari sisi lain, Arbit Sanit (Sastroatmodjo, 1995) memandang ada tiga fungsi  partisipasi politik.
Memberikan dukungan kepada penguasa dan pemerintah yang dibentuknya beserta sistem politik yang dibentuknya. 2.Sebagai usaha untuk menunjukkan kelemahan dan kekurangan  pemerintahan 3.Sebagai tantangan terhadap penguasa dengan maksud menjatuhkannya sehingga kemudian diharapkan terjadi perubahan struktural dalam  pemerintahan dan dalam sistem politik, misalnya melalui pemogokan, hura-hura dan kudeta. Partisipasi politik juga mempunyai fungsi bagi kepentingan pemerintahan. Untuk kepentingan pemerintahan, partisipasi politik mempunyai fungsi sebagai  berikut:
(1)          Untuk mendorong program-program pemerintah. Hal ini berarti bahwa  peran serta masyarakat diwujudkan untuk mendukung program politik dan  program pemerintah.
(2)          Sebagai institusi yang menyuarakan kepentingan masyarakat untuk masukan bagi pemerintah dalam mengarahkan dan meningkatkan  pembangunan.
(3)          Sebagai sarana untuk memberikan masukan, saran dan kritik terhadap  pemerintah dalam perencanaan dan pelaksanaan program-program  pembangunan.
13.  Manfaat Partisipasi Politik
Manfaat partisipasi politik menurut beberapa ahli:
a.    Menurut Robert Lane;
a)    sebagai sarana untuk mengejar kebutuhan ekonomi
b)   sebagai saranauntuk memuaskan suatu kebutuhn bagi penyesuaian sosial
c)    sebagai sarana mengejar niai-nilai khusus.
d)   sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan alam bawah sadar dan kebutuhanpsikologis tertentu.
b.    Menurut Arbi Sanit;
a)         Memberikan dukungan kepada penguasadan pemerintah yang dibentuknya  beserta sistem politik yang dibentuknya.
b)        Sebagai usaha untuk menunjukkan kelemahan dan kekurangan pemerintah
c)         Sebagai tantangan terhadap penguasa dengan maksud menjatuhkannya sehinggadiharapkan terjadi perubahan struktural dalam pemerintahan dan dalam sistem  politik Manfaat Partisipasi Politik bagi Pemerintah: (i) Mendorong program-program pemerintah. (ii) Sebagai institusi yang menyuarakan kepentingan masyarakat untuk masukan  bagi pemerintah dalam mengarahkan dan meninngkatkan pembangunan. (iii) Sebagai sarana untuk memberikan masukan, saran dan kritik terhadap  pemerintah dalam perencanaan dan pelaksanaan program-proram pembangunan.


BAB III
PENUTUP

A.      Simpulan
Indonesia sudah mengenal partai politik dari zaman kolonial yaitu pada tahun 1918, sebagai manifestasi bangkitnya kesadaran nasional dan berkembang lagi dizaman pendudukan jepang. Sedangkan pada zaman Demokrasi indonesia mengembangkan politiknya melalulai Badan-badan petinggi negar yaitu Badan Eksekutif yang meliputi Presiden, mentri-mentri dan kabinet. Kemudian badan legislatif yang meliputi MPR dan DPR. Dan Badan Yudikatif yaitu Mahkamah Agung.

B.       Saran



DAFTAR PUSTAKA

Farid, A.M. (2014). Makalah Perkembangan Politik di Indonesia. [Online]. Tersedia: http://faridbloger.blogspot.com/2014/05/makalah-perkembangan-politik-diindonesia.html. (18 November 2014).
Hadi, N. (2013). Sistem Politik di Indonesia. [Online]. Tersedia: http://nyunghadi.blogspot.com/2013/06/sistem-politik-di-indonesia-indonesia.html(18 November 2014).
Komariah. (2013). Perkembangan Politik di Indonesia. [Online]. Tersedia: http://komkomriah.blogspot.com/2013/03/perkembangan-politik-di-indonesia.html. (18 November 2014).
Pakpahan, E. (2013). Politik dan Pemerintahan. [Online]. Tersedia:
Sartika, F. (2010). Makalah Partisipasi Masyarakat dalam Politik Sebagai Implementasi Nilai-Nilai Demokrasi di Indonesia. [Online]. Tersedia: http://febrisartika257.wordpress.com/tugas-media/internet-dan-web-desain/artikel-makalah/partisipasi-masyarakat-dalam-politik-sebagai-implementasi-nilai-nilai-demokrasi-di-indoneisa/. (18 November 2014).
Sujito. (2009). Partisipasi Politik Masyarakat. [Online]. Tersedia: http://jitoum.blogspot.com/2009/05/partisipasi-politik-masyarakat-di.html. (18 November 2014).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar