KATA
PENGANTAR
Puji
Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini
yang berjudul “Perkembangan Politik Dan Partisipasi Masyarakat” dengan baik.
Shalawat serta salam
kami panjatkan
kepada
Nabi besar
Muhammad SAW kepada keluarganya, sahabatnya dan kepada kita semua selaku
umat-Nya..
Kami menyadari bahwa selama penulisan makalah ini kami banyak mendapat bantuan dari
berbagai pihak. Oleh sebab itu, kami mengucapkan terima kasih kepada :
1.
Ibu Dra. Hj. Nina Sundari, M.Pd selakudosenmatakuliah Pendidikan
Sosial dan Budaya yang telahmembantu
kami dalammenyusunmakalahini.
2.
Rekan-rekanseangkatan
yang telahmemotivasi kami untukmenyelesaikanpenyusunanmakalahini;
3.
Semuapihak
yang tidakbisapenulissebutsatu
persatu.
Kami mengharapkan tugas makalah ini dapat bermanfaat untuk
para pembaca khususnya untuk kami selaku penyusun makalah ini. Kami menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami
mengharapakan kritik dan saran yang bersifat konstruksif dalam perbaikan
dikemudian hari.
Bandung,
November 2014
Penulis,
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................
DAFTAR ISI.................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................
A.
Latar
Belakang.........................................................................................................
B.
Rumusan
Masalah....................................................................................................
C.
Tujuan
Penulisan......................................................................................................
D.
Sistematika
Penulisan..............................................................................................
BAB
II PEMBAHASAN..............................................................................................
A.
Sistem Politik di Indonesia .....................................................................................
B. Konsep
Partisipasi Politik........................................................................................
BAB
III PENUTUP
A.
Simpulan..................................................................................................................
B.
Saran........................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dimamika
perkembangan politik di Indonesia
berkembang melalui yurispudensi mulai dari orde baru hingga saat ini, Indonesia adalah Negara yang menganut trias politika
yang artinya pembagian kekuasaan perkembangan politik tersebut berkembang
melalui badan-badan petinggi Negara yang dikembangkan secara yudikatif,
badan-badan tersebut yaitu Badan Eksekutif
yang terdiri dari presiden serta wakil presiden, mentri-mentri, perdana mentri
dan kabinet, Badan Legislatif
yang dijalankan presiden bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat, dam
Majlis Permusyawaratan Rakyat dan Badan
Yudikatif yang dijalankan oleh Mahkamah Agung.
Badan
eksekutif menjelaskan bahwa perkembangan politik di Indonesia ini dilakukannya perubahan-perubahan politik sehingga sistem
politik indonesia menjadi lebih demokratis dan perkembangan politik di Indonesia pada masa-masa orde baru menunjukan peranan presiden soeharto yang
semakin dominan sedangkan praktik-praktik yang tidak domokratis dihilangkan
dengan melakukan perubahan-perubahan terhadap peraturan perundangan.
Badan
Legislatif mengembangkan politik di Indonesia dengan system perwakilan yang dinggap paling wajar. Oleh karena
itu, ketika pemilihan umum tahun 1971 mengikutsertakan partai politik dan
golongan fungsional. Pada tahun 1973 juga presiden Soeharto mengajak partai
politik dan sekber golkar untuk menfungsikan diri sebagai golongan spiritual,
golongan nasionalis, dan golongan karya.
Badan
Yudikatif sebenarnya lebih bersifat teknis yuridis dan termasuk bidang ilmu
hokum daripada bidang ilmu politik.Namun kekuasaan badan yudikatif hubungannya
erat dengan kekuasaan badan legislative dan eksekutuf serta dengan hak dan
kewajiban individu.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana sistem politik di Indonesia?
2.
Bagaimana perkembangan politik di Indonesia?
3.
Bagaimana konsep partisipasi politik masyarakat?
4.
Apa pengertian dari partisipasi politik?
C. Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui serta memahami sistem politik di Indonesia
2.
Mengetahui perkembangan politik di Indonesia
3.
Mengetahui konsep partisipasi politik masyarakat
4.
Mengetahui pengertian dari partisipasi politik
D. Sistematika Penulisan
Makalahinidisusundenganmetodedeskriptif.Data
teoritisdalammakalahinidikumpulkandenganteknikstudipustaka,
artinyapenulismengambil data melaluikegiatanmembacaberbagai literature
danmenggunakan media internet yang relevanuntukmelengkapi data dengantemamakalah.
Makalah
ini terdiri dari tiga BAB yang disusun untuk memudahkan para pembaca dalam
memahami makalah ini, yaitu:
BAB I Pendahuluan.
Di bagian ini, penyusun membaginya menjadi empat bagan yaitu latar belakang,
rumusan masalah, tujuan penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II Pembahasan.
BAB III Penutup,
bagian ini terdiri dari Simpulan dan Saran dari makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sistem
Politik di Indonesia
Indonesia memiliki
sistem politik demokrasi, tetapi yang diterapkan tidakseperti negara lain yang
menggunakan sistem demokrasi, melainkan demokrasiyang sesuai dengan bangsa
Indonesia, yaitu Demokrasi Pancasila. Menurut Dardji
Darmadiharjo, Demokrasi Pancasila
merupakan paham demokrasi yang bersumber pada kepribadian dan falsafah hidup
bangsa Indonesia yang perwujudannya tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
1.
Perkembangan Sistem Politik di Indonesia
Sistem politik
demokrasi di Indonesia mengalami pasang runtuh sejak berdirinya Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Sistem politik Indonesia telah mengalami
perubahan-perubahan, baik sebelum amendemen UUD 1945 maupun sesudah adanya
amendemen UUD 1945. Sejak merdeka, perkembangan politik di Indonesia dapat
disimpulkan sebagai berikut.
a.
Sistem Politik Indonesia sebelum
Amendemen UUD 1945
Perkembangan politik dan sistem politik suatu negara
dapat disimpulkan, salah satunya, dari perkembangan partai-partai politiknya.
Perkembangan partai politik di Indonesia dimulai sejak zaman Belanda. Ini
menjadi manifestasi bangkitnya kesadaran nasional. Pola kepartaian pada masa
itu menunjukkan keanekaragaman, ada yang bertujuan sosial (Budi Utomo dan Muhammadiyah),
ada yang menganut asas politik berdasarkan agama, seperti Masyumi, Partai
Sarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Katolik, dan Partai Kristen Indonesia
(Parkindo), dan ada juga partai-partai yang mendasarkan diri pada suatu
ideologi tertentu, seperti Partai Nasional Indonesia (PNI) yang berasaskan
nasionalisme dan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang berasaskan komunisme. Di
masa penjajahan Jepang, kegiatan partai politik tidak diperbolehkan, kecuali
pembentuk partai golongan Islam (Masyumi). Menurut Mohammad Mahfud M.D. dalam
bukunya Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi perkembangan politik di Indonesia
setelah kemerdekaan dapat diklasifikasikan ke dalam tiga periode:
a.
Periode Demokrasi Liberal (1945–1959)
Masa ini ditandai dengan adanya kebebasan untuk
mendirikan partai politik. Peranan partai-partai politik sangat dominan dalam
menentukan arah tujuan negara melalui badan perwakilan. Masa ini berakhir dengan
dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Indikator demokrasi liberal di Indonesia
pada masa itu sebagai berikut:
(1)
partai-partai politik sangat dominan
menentukan arah bagi perjalanan negara melalui badan perwakilan.
(2)
eksekutif berada pada posisi yang lemah
karena sering jatuh bangun akibat adanya mosi partai.
(3)
adanya kebebasan pers yang relatif cukup
baik, bahkan pada periode ini peraturan sensor dan pembredelan yang
diberlakukan sejak zamanBelanda dicabut.
b.
Periode Demokrasi Terpimpin (1959–1966)
Masa ini ditandai dengan adanya persaingan
(rivalitas) tiga kutub, yaitu antara Soekarno (Presiden RI) yang didukung oleh
partai-partai berhaluan nasionalis, PKI yang didukung oleh partai-partai
berhaluan sosialis, dan pihak militer yang dimotori oleh TNI AD. Saat itu,
partai politik memiliki posisi tawar (bargaining position) yang lemah sehingga kurang
menunjukkan aset yang berarti dalam pencaturan politik di Indonesia. Puncak
periode ini adalah terjadinya Pemberontakan G-30-S/PKI tanggal 30 September
1965. Indikator Demokrasi Terpimpin saat itu adalah:
(1)
partai-partai politik sangat lemah,
kekuatan politik ditandai denganadanya tarik tambang antara Presiden, Angkatan
Darat, dan PKI;
(2)
kedudukan (posisi) badan eksekutif yang
dipimpin oleh presidensangat kuat, Presiden merangkap sebagai Ketua DPA yang
dalampraktiknya menjadi pembuat dan selektor produk legislatif;
(3)
kebebasan pers sangat terkekang, bahkan
terjadi suatu tindakanantipers yang jumlahnya sangat spektakuler.
c.
Periode Orde Baru (1966–1998)
Inilah masa pemerintahan Soeharto (Presiden RI yang
kedua) yangmelakukan “pembenahan” dalam sistem politik, antara lain, mengenai jumlah
partai politik, yaitu melalui penyederhanaan partai politik (fusi) menjadi
tiga, yaitu:
(1) PPP
(Partai Persatuan Pembangunan) yang berdasarkan ideologiIslam, merupakan fusi
dari partai-partai NU, Parmusi, PSII, danPartai Islam.
(2) Golkar
(Golongan Karya) yang berdasarkan asas kekaryaan dankeadilan sosial.
(3) PDI
(Partai Demokrasi Indonesia) yang berdasarkan demokrasi,nasionalisme, dan
keadilan, merupakan fusi dari Parkindo, PartaiKatolik, PNI, dan Murba.
Dengan demikian,
kedudukan partai politik lemah karena adanya kontrol yang ketat dari lembaga eksekutif.
Hal ini berdampak pada lembaga perwakilan yang penuh dengan intervensi dari
kekuasaan eksekutif. Indikator sistem politik Orde Baru sebagai berikut:
(a)
Partai politik lemah karena adanya
kontrol yang ketat oleh eksekutifdan lembaga perwakilan penuh dengan intervensi
tangan-tanganeksekutif.
(b)
Kedudukan eksekutif (pemerintahan
Soeharto) sangat kuat,mengintervensi kehidupan partai-partai politik, serta
menentukanspektrum politik nasional.
(c)
Kebebasan pers terkekang dengan adanya
lembaga SIT yangselanjutnya diganti dengan SIUPP.
Terlepas dari pasang
surutnya peran partai politik dalam menentukanperkembangan sistem politik
Indonesia, Sistem Politik Demokrasi Pancasila yang dikehendaki UUD 1945 sebelum
terjadi amendemen sebagai berikut:
(i)
Bentuk negara adalah kesatuan dan bentuk
pemerintahan republik.
(ii)
MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat)
merupakan lembaga tertinggi negara yang memiliki wewenang dan tugas menjalankan
kedaulatan rakyat, menetapkan UUD, memilih Presiden dan Wakil Presiden, dan mengadakan
sidang istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden bila Presiden
melanggar UUD.
(iii)
DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) merupakan
lembaga tinggi negara yang bertugas menetapkan UU, menetapkan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan memberikan persetujuan kepada
Presiden atas pernyataan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara
lain.
(iv)
Presiden merupakan lembaga tinggi negara
yang berkedudukan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Wewenang dan
tugas presiden adalah menetapkan peraturan pemerintah; mensahkan atau menolak untuk
mengesahkan RUU yang telah disetujui oleh DPR; mencabut peraturan pemerintah
yang tidak disetujui oleh DPR; menyatakan perang dan membuat perdamaian dengan
negara lain dengan persetujuan DPR; mengangkat duta dan konsul; memberi grasi,
amnesti, abolisi, dan rehabilitasi; serta mengangkat menteri-menteri.
(v)
DPA (Dewan Pertimbangan Agung) merupakan
lembaga tinggi negara yang memiliki kewajiban untuk memberi jawaban atas
pertanyaan Presiden dan memiliki hak untuk mengajukan usul kepada pemerintah.
Usul atau nasihat DPA hanya mengikat Presiden secara moral dan tidak secara
konstitusional, oleh sebab itu, nasihat atau usul tersebut boleh diperhatikan
dan dijalankan ataupun sebaliknya. Karena tidak memiliki hak memaksa, kedudukan
DPA lemah.
(vi)
BPK (Badan Pemeriksaan Keuangan) merupakan
lembaga tinggi negara yang berperan atau bertugas memeriksa jalannya keuangan
negara. BPK merupakan lembaga negara yang memiliki kekuasaan terlepas dari pengaruh
pemerintah, namun tidak berarti kedudukan BPK di atas pemerintah.
(vii) MA
(Mahkamah Agung) merupakan lembaga tinggi negara dan memegang kekuasan
yudikatif. MA dan badan peradilan di bawahnya memegang kekuasaan kehakiman yang
merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah.
b.
Sistem Politik Indonesia Setelah
Amandemen UUD 1945
Sistem politik hasil amandemen
UUD 1945 tidak mengenal adanyalembaga tertinggi negara. Semua lembaga berada
pada posisi yang sebanding. Selain itu, ada lembaga negara yang dihapuskan,
yaitu DPA (DewanPertimbangan Agung), dan ada pula beberapa lembaga negara yang
baru, yaitu DPD (Dewan Perwakilan Daerah), MK (Mahkamah Konstitusi), dan KY
(Komisi Yudisial). Sistem politik setelah Amendemen UUD 1945 sebagai berikut:
1) Bentuk
negara adalah kesatuan dan bentuk pemerintah adalah republik yang terdiri dari
33 provinsi dengan asas desentralisasi sehingga terdapat pemerintahan daerah
dan pemerintahan pusat.
2) Parlemen
terdiri dari dua kamar (sistem bikameral), yaitu Dewan Perwakilan Rakyat dan
Dewan Perwakilan Daerah. Anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui pemilu dan merupakan
perwakilan dari rakyat, sedangkan anggota DPD adalah perwakilan provinsi yang
anggotanya dipilih oleh rakyat di daerah yang bersangkutan melalui pemilu. Masa
jabatannya adalah lima tahun. DPR memiliki kekuasaan membuat undang-undang,
menetapkan APBN, dan mengawasi jalannya pemerintahan.
3) Majelis
Permusyawaratan Rakyat adalah lembaga negara yang berwenang melantik Presiden
dan Wakil Presiden, memberhentikan presiden dan wakil presiden, serta mengubah
dan menetapkan UUD. Anggota MPR adalah anggota DPR dan anggota DPD yang
memiliki masa jabatan lima tahun.
4) Eksekutif
dipegang dan dijalankan oleh Presiden yang berkedudukan sebagai kepala negara
dan kepala pemerintahan. Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung
oleh rakyat melalui pemilu untuk masa jabatan lima tahun dan dapat dipilih
kembali satu kali dalam jabatan yang sama. Presiden sebagai kepala pemerintahan
membentuk kabinet yang terdiri dari menteri-menteri. Menteri-menteri
bertanggung jawab kepada presiden. Presiden tidak dapat membubarkan parlemen
dan tidak bertanggung jawab kepada parlemen.
5) Kekuasaan
yudikatif dipegang dan dijalankan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di
bawahnya bersama Mahkamah Konstitusi. Adapun Komisi Yudisial berwenang
memberikan usulan mengenaipengangkatan Hakim Agung.
6) Pemilu
diselenggarakan untuk memilih anggota DPR dan DPD, juga memilih Presiden dan
Wakil Presiden dalam satu paket.
7) Sistem
kepartaian adalah multipartai. Jumlah partai yang mengikuti Pemilu pada tahun
2004 adalah 24 partai dan pada tahun 2009 adalah 34 partai politik.
8) BPK
merupakan badan yang memiliki kekuasaan untuk memeriksa pengelolaan dan
tanggung jawab tentang keuangan negara. Hasil pemeriksaan diserahkan kepada DPR.
Anggota BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dipilih oleh DPR dengan memerhatikan
pertimbangan dari DPD dan selanjutnya diresmikan oleh Presiden.
9) Pada
pemerintahan daerah, yaitu provinsi dan kabupaten/kota dibentuk pula
badan/lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
(1) Kekuasaan
legislatif dijalankan oleh DPRD Provinsi di wilayah provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota
di wilayah kabupaten/kota. Anggotanya dipilih langsung oleh rakyat melalui
Pemilu.
(2) Kekuasaan
eksekutif pada provinsi dipegang oleh gubernur, sedang pada
daerah kabupaten/kota dipegang oleh bupati/wali kota yang semuanya dipilih
langsung oleh rakyat di daerah masing-masing melalui Pemilu.
(3) Kekuasaan
yudikatif pada provinsi dijalankan oleh pengadilan tinggi dan untuk
kabupaten/kota dijalankan oleh pengadilan negeri. Adapun perkembangan partai
politik yang mengikuti perubahan sistem politik pada masa ini ditandai dengan
adanya gerakan reformasi sehingga disebut Era Reformasi. Era ini berawal pada
tahun 1998, yaitu masa setelah jatuhnya pemerintahan Orde Baru. Reformasi
membawa perubahan dalam sistem politik, dengan demikian juga terdapat perubahan
dalam kedudukan partai politik. Partai politik diberi kesempatan untuk hidup
kembali serta mengikuti pemilu yang pertama setelah masa orde baru, yaitu pada
tahun 1999 dengan diikuti oleh banyak partai politik.
c.
Sistem Politik Pada Era Reformasi
Sistem politik pada era reformasi
biasa diuraikan sebagai berikut :
Penyaluran tuntutan –
tinggi dan terpenuhi Pemeliharaan nilai – Penghormatan HAM tinggi Kapabilitas
–disesuaikan dengan Otonomi daerah Integrasi vertikal – dua arah, atas bawah
dan bawah atasIntegrasi horizontal – nampak, muncul kebebasan (euforia) Gaya
politik – pragmatic Kepemimpinan – sipil, purnawiranan, politisi Partisipasi
massa – tinggi Keterlibatan militer – dibatasi Aparat negara – harus loyal
kepada negara bukan pemerintah Stabilitas – instabil Era Reformasi atau Era
Pasca Soeharto di Indonesia disebabkan karena tumbangnya orde baru sehingga
membuka peluang terjadinya reformasi politik di Indonesia pada pertengahan
1998, tepatnya saat Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 karena
adanya wacana suksesi yang sengaja dibuat oleh Amien Rais untuk menjatuhkan
rezim Soeharto dimana didalamnya terdapat tuntutan untuk melakukan reformasi
dan juga desakan dari parlemen beserta mendurnya beberapa menteri dari kabinet
saat itu. sehingga bangsa Indonesia bersepakat untuk sekali lagi melakukan
demokratisasi, yakni proses pendemokrasian sistem politik Indonesia dimana
kebebasan rakyat terbentuk, kedaulatan rakyat dapat ditegakkan, dan pengawasan
terhadap lembaga eksekutif dapat dilakukan oleh lembaga wakil rakyat (DPR).
Setelah Soeharto mundur
maka BJ. Habibie kemudian dilantik sebagai presiden menggantikan presiden
Soeharto dan segera membentuk sebuah kabinet. Salah satu hal yang dilakukan
oleh Habiebie saat itu adalah mepersiapkan pemilu dan melakukan beberapa
langkah penting dalam demokratisasi, seperti : mengesahkan UU partai politik,
UU susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Dan hal yang dilakukan oleh
Presiden Habibie yang lain adalah pengahapusan dwifungsi ABRI sehingga fungsi
sosial-politik ABRI dihilangkan.
Demokrasi di masa
pemerintahan BJ. Habibie amat sangat terbuka luas, namun demokrasi yang
ditawarkan oleh presiden Habibie ini membuat masyarakat Indonesia bebas untuk
melakukan apapun dalam halnya berbicara, bertindak dan melakukan kreativitas
yang menunjang untuk dirinya sendiri, masyarakat serta bangsa dan negara.
Sehingga masyarakat Timor Leste seakan mendapatkan kebebasan untuk memerdekakan
tanah mereka yang selama ini hanya dimanfaatkan oleh Soeharto dalam masa orde
baru. Hal ini dikarenakan pada masa orde baru tidak melakukan pembangunan
apapun di tanah Timor Leste setelah hasil kekayaan mereka dimanfaatkan oleh
pusat sehingga memunculkan rasa ketidakadilan masyarakat Timor Leste.
Penyebab ini yang
akhirnya mengakibatkan rakyat Timor Leste menginginkan untuk lepas dari NKRI.
B.J Habibie selaku kepala negara saat itu mengadakan jajak pendapat untuk
kebaikan kedua belah pihak. Timor Leste akhirnya lepas dari pangkuan ibu
pertiwi. dan Seharusnya Pemeritah melakukan terlebih dahulu Pembangunan nilai
demokrasi yang diawali dari pemerintahan saat itu guna menjaga dan
mensosialisasikan nilai demokrasi sebenarnya dan menggunakannya dengan benar.
Setelah masa
Pemerintahan dari Bj.Habibie maka masuklah pasangan Terpilih duet Abdurrahman
Wahid-Megawati secara legalitas formal telah lahir periode baru dalam sejarah
perjalanan bangsa Indonesia. Era Orde Baru telah dinyatakan berakhir dan
digantikan Orde Reformasi. Hadirnya Orde Reformasi seperti halnya awal-awal
kebangkitan Orde Lama dan Orde Baru rakyat menaruh harapan besar bahwa Orde
Reformasi dapat mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Pasangan Gus
Dur-Megawati sebenarnya dinilai ideal dilihat dari aspek wawasan. Gus Dur
adalah seorang santri tradisional yang memiliki wawasan kebangsaan yang tidak
diragukan, sementara Megawati adalah seorang nasionalis yang juga memiliki
wawasan Islam modern. Duet Gus Dur-Megawati lalu membentuk Kabinet Persatuan
Nasional yang dilantik tanggal 28 Oktober 1999. Terlepas dari adanya kekecewaan
karena dihapuskannya Departemen Penerangan dan Departemen Sosial, cabinet ini
mendapat dukungan dari berbagai kalangan.
Dalam menjalankan
pemerintahan, Abdurrahman Wahid mangalami banyak persoalan pada masa Orde Baru.
Persoalan yang sangat menonjol adalah masalah korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN), pemulihan ekonomi, masalah BPPN, kinerja BUMN, pengendalian inflasi,
mempertahankan kurs rupiah, masalah jarinagn pengaman social (JPS), munculnya
masalah disintegrasikan, konflik etnis dasar umat beragama, penegakan hokum dan
penegakan hak asasi manusia (HAM).
Belum genap 100 hari
berkuasa dan belum tuntasnya penyelesaian persoalan-persoalan peninggalan Orde
Baru, pemerintahan Gus Dur dihadapan pada persoalan-persoalan kebijakannya yang
dinilai banyak kalangan sangat controversial. Kebijakannya antara lain:
1) Pencopotan
Kapolri Jendral Pol. Roesmanhadi yang dianggap sebagai orangnya Habibie.
2) Pencopotan
Kapuspen Hankam Mayjen TNI Sudrajat yang dilatari oleh pernyataannya bahwa
Presiden bukan Pangganti TNI. Penggantinya adalah Marsekal Muda TNI Graito.
Penggantian ini cukup mengagetkan karena diambilkan dari TNI AU, yang selama 32
tahun terakhir tidak pernah mndapatkan jabatan strategis di jajaran TNI.
3) Pencopotan
Wiranto sebagai Menko Polkan dilatarbelakangi oleh hubungan yang tidak harmonis
antara Wiranto dan Gus Dur arena Gus Dur mengijinkan dibentuknya Komisi
Penyelidik Penyelanggara (KPP) HAM di Timor Timur.
4) Mengeluarkan
pengumuman tantang adanya menteri-menteri Kabinet Persatuan Nasional yang
terlibat KKN. Pengumuman ini sangat mempengaruhi kinerja kabinet. Tampak
beberapa menteri merasa sulit melakukan koordinasi di antaranya Laksamana
SDukardi dan Kwik Kian Gie. Mereka kesulitan melakukan koordinasi dengan
Memperindag Jusuf Kalla yang menghadapi tudingan KKN.
5) Gus
Dur menyetujui nama Papua sebagai ganti Irian Jaya pada akhir Desember 1999.
Gus Dur bahkan menyetujui pula pengibaran bendera Bintang Kejora sebagai
bendera Papua. Atas kebijakan yang menguntukan ini, Dewan Presidium Papua yang
diketuai oleh Theys Hiyo Eluay menyelenggarakan Kongres Rakyat Papua (Mei-Juni
2000)dan menetapakn tanggal 1 Desember (hari berakhirnya pendudukan Belanda
1962) menjadi hari kemerdekaan Papua Barat.
Selain penilaian bahwa
kebijakan Gus Dur Kontroversial, berkembang pula pendapat bahwa kebijakan Gus
Dur dianggap berjalan sendiri tanpa mau menaati aturan ketatanegaraan, termasuk
di dalamnya urusan protokoler. Segala persoalan diselesaikan Gus Dur
berdasarkan bisikan kerabat dekatnya, bukan menurut aturan konstitusi negara.
Dalam suasana sikap pro dan kontra masyarakat atas kepemimpinan Gus Dur, muncul
kasus Bruneigate. Meskipun tidak terbukti melalui pengadilan, skandal
Bruneigate mengakibatkan kredibilitas rakyat terhadap Gus Dur semakin turun
drastis. Ketua MPR, Amien Rais yang dulu sangat bersemangat mendukung Gus Dur
berbalik arah. Skandal Bruneigate dan pengangkatan wakil Kapolri, Kamjen (Pol)
Chaeruddin menjadi pemangku sementara jabatan kepala Polri tanpa persetujuan
DPR RI telah memicu konflik antara pihak eksekutif dan legislatif. Puncak
kekecewaan DPR terbukti dengan dikeluarkannya Memorandum I buat Presiden Gus
Dur pada tanggal 1 Februari 2001 yang disusul Memorandum II pada tanggal 30
April 2001. Presiden Gus Dur memang terkenal dengan sikapnya yang
controversial, bukan dating memberi laporan pertanggungjawaban , melainkan pada
pukul 01.05 WIB mengeluarkan Maklumat Presiden yang isinya antara lain
membekukan lembaga MPR dan DPR.
Pada saat yang sama MPR melalui ketua
Amien Rais secara tegas menolak dekrit yang dibuat Presiden Gus Dur. Langkah
yang diambil Gus Dur menjadikan dirinya semakin tidak popular dan mempercepat
proses kejatuhannya dari kursi kepresidenan. Apalagi ternyata dekrit tersebut
tidak mendapat dukungan dari TNI dan Polri.
Puncak jatuhnya Gus Dur
dari kursi kepresidenan terjadi ketika MPR atas usulan DPR mempercepat Sidang
Istimewa MPR. MPR menilai Presiden Gus Dur telah melanggar Tap No.
VII/MPR/2000, karena menetapkan Komjen (Pol) Chaeruddin sebagai pemangku
sementara jabatan Kapolri.
Kemudian Melalui Sidang
Istimewa MPR pada 23 Juli 2001, Megawati secara resmi diumumkan menjadi
Presiden Indonesia ke-5. Meski ekonomi Indonesia mengalami banyak perbaikan,
seperti nilai mata tukar rupiah yang lebih stabil, namun Indonesia pada masa
pemerintahannya tetap tidak menunjukkan perubahan yang berarti dalam
bidang-bidang lain.
Popularitas Megawati
yang awalnya tinggi di mata masyarakat Indonesia, menurun seiring dengan waktu.
Hal ini ditambah dengan sikapnya yang jarang berkomunikasi dengan masyarakat
sehingga mungkin membuatnya dianggap sebagai pemimpin yang 'dingin'. Sejak
kenaikan Megawati sebagai presiden, aktivitas terorisme di Indonesia meningkat
tajam, beberapa peledakan bom terjadi yang menyebabkan sentimen negatif
terhadap Indonesia dari kancah internasional.
Setelah masa pemerintahan Megawati
berakhir Indonesia menyelenggarakan kembali pemilu presiden secara langsung
pertamanya.
Megawati menyatakan
pemerintahannya berhasil dalam memulihkan ekonomi Indonesia, dan pada 2004,
maju ke Pemilu 2004 dengan harapan untuk terpilih kembali sebagai Presiden.
Ujian berat dihadapi Megawati untuk membuktikan bahwa dirinya masih bisa
diterima mayoritas penduduk Indonesia. Dalam kampanye, seorang calon dari
partai baru bernama Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, muncul sebagai
saingan Megawati.
Partai Demokrat yang
sebelumnya kurang dikenal, menarik perhatian masyarakat dengan pimpinannya,
Yudhoyono, yang karismatik dan menjanjikan perubahan kepada Indonesia.
Pemilihan putaran pertama menyisihkan kandidat lainnya sehingga yang tersisa
tinggal Megawati dan SBY. dan yang memenangkan pemilu untuk periode 2004-2009
adalah SBY, kemudian untuk periode 2009- hingga sekarang pemerintahan juga
masih dipegang oleh SBY dan partainya Demokrat.
d.
Konfigurasi Politik Era Orde Lama
Presiden Soekarno pada
tanggal 5 Juli 1959 mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya pembubaran
konstituante, diundangkan dengan resmi dalam Lembaran Negara tahun 1959 No. 75,
Berita Negara 1959 No. 69 berintikan penetapan berlakunya kembali UUD 1945 dan
tidak berlakunya lagi UUDS 1950, dan pembentukan MPRS dan DPAS. Salah satu
dasar pertimbangan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah gagalnya
konstituante melaksanakan tugasnya.
Pada masa ini Soekarno
memakai sistem demokrasi terpimpin. Tindakan Soekarno mengeluarkan Dekrit pada
tanggal 5 Juli 1959 dipersoalkan keabsahannya dari sudut yuridis
konstitusional, sebab menurut UUDS 1950 Presiden tidak berwenang
“memberlakukan” atau “tidak memberlakukan” sebuah UUD, seperti yang dilakukan
melalui dekrit. Sistem ini yang mengungkapkan struktur, fungsi dan mekanisme,
yang dilaksanakan ini berdasarkan pada sistem “Trial and Error” yang
perwujudannya senantiasa dipengaruhi bahkan diwarnai oleh berbagai paham
politik yang ada serta disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang cepat
berkembang. Maka problema dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara yang berkembang pada waktu itu bukan masalah-masalah yang bersifat
ideologis politik yang penuh dengan norma-norma ideal yang benar, tetapi
masalah-masalah praktis politik yang mengandung realitas-realitas objektif
serta mengandung pula kemungkinan-kemungkinan untuk dipecahkan secara baik,
walaupun secara normatif ideal kurang atau tidak benar. Bahkan kemudian muncul
penamaan sebagai suatu bentuk kualifikasi seperti “Demokrasi Terpimpin” dan
“Demokrasi Pancasila”.Berbagai “Experiment” tersebut ternyata menimbulkan
keadaan “excessive” (berlebihan) baik dalam bentuk “Ultra Demokrasi” (berdemokrasi
secara berlebihan) seperti yang dialami antara tahun 1950-1959, maupun suatu
kediktatoran terselubung (verkapte diktatuur) dengan menggunakan nama demokrasi
yang dikualifikasi (gekwalificeerde democratie). Sistem “Trial and Error” telah
membuahkan sistem multi ideologi dan multi partai politik yang pada akhirnya
melahirkan multi mayoritas, keadaan ini terus berlangsung hingga pecahnya
pemberontakan DI/TII yang berhaluan theokratisme Islam fundamental (1952-1962)
dan kemudian Pemilu 1955 melahirkan empat partai besar yaitu PNI, NU, Masyumi
dan PKI yang secara perlahan terjadi pergeseran politik ke sistem catur
mayoritas. Kenyataan ini berlangsung selama 10 tahun dan terpaksa harus kita
bayar tingggi berupa :
1) Gerakan
separatis pada tahun 1957
2) Konflik
ideologi yang tajam yaitu antara Pancasila dan ideologi Islam, sehingga terjadi
kemacetan total di bidang Dewan Konstituante pada tahun 1959.
Oleh karena konflik
antara Pancasila dengan theokratis Islam fundamentalis itu telah mengancam
kelangsungan hidup Negara Pancasila 17 Agustus 1945, maka terjadilah Dekrit
Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 dengan tujuan kembali ke UUD 1945 yang
kemudian menjadi dialog Nasional yang seru antara yang Pro dan yang Kontra.
Yang Pro memandang dari kacamata politik, sedangkan yang Kontra dari kacamata
Yuridis Konstitusional.
Akhirnya memang masalah
Dekrit Presiden tersebut dapat diselesaikan oleh pemerintah Orde Baru, sehingga
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kelak dijadikan salah satu sumber hukum dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Selanjutnya pada perang
revolusi yang berlangsung tahun 1960-1965, yang sebenarnya juga merupakan
prolog dari pemberontakan Gestapu/PKI pada tahun 1965, telah memberikan
pelajaran-pelajaran politik yang sangat berharga walau harus kita bayar dengan
biaya tinggi.
Pada periode awal
kemerdekaan, partai politik dibentuk dengan derajat kebebasan yang luas bagi
setiap warga negara untuk membentuk dan mendirikan partai politik. Sejak
proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia masuk dalam suatu babak
kehidupan baru sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat penuh. Dalam
perjalanan sejarahnya bangsa Indonesia mengalami berbagai perubahan asas,
paham, ideologi dan doktrin dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara dan melalui berbagai hambatan dan ancaman yang membahayakan
perjuangan bangsa indonesia dalam mempertahankan serta mengisi kemerdekaan.
Pada dasarnya,
perkembangan situasi politik dan kenegaraan Indonesia pada awal kemerdekaan
sangat dipengaruhi oleh pembentukan KNIP serta dikeluarkannya Maklumat Politik
3 November 1945 oleh wakil Presiden Moh. Hatta. Isi maklumat tersebut
menekankan pentingnya kemunculan partai-partai politik di Indonesia. Partai
politik harus muncul sebelum pemilihan anggota Badan Perwakilan Rakyat yang
dilangsungkan pada Januari 1946.
Wujud berbagai hambatan adalah disintegrasi dan instabilisasi nasional sejak periode orde lama yang berpuncak pada pemberontakan PKI 30 September 1945 sampai lahirlah Supersemar sebagai titik balik lahirnya tonggak pemerintahan era Orde Baru yang merupakan koreksi total terhadap budaya dan sistem politik Orde Lama dimana masih terlihat kentalnya mekanisme, fungsi dan struktur politik yang tradisional berlandaskan ideoligi sosialisme komunisme.
Wujud berbagai hambatan adalah disintegrasi dan instabilisasi nasional sejak periode orde lama yang berpuncak pada pemberontakan PKI 30 September 1945 sampai lahirlah Supersemar sebagai titik balik lahirnya tonggak pemerintahan era Orde Baru yang merupakan koreksi total terhadap budaya dan sistem politik Orde Lama dimana masih terlihat kentalnya mekanisme, fungsi dan struktur politik yang tradisional berlandaskan ideoligi sosialisme komunisme.
Konfigurasi politik, menurut
Dr. Moh. Mahfud MD, SH, mengandung arti sebagai susunan atau konstelasi
kekuatan politik yang secara dikotomis dibagi atas dua konsep yang bertentangan
secara diametral, yaitu konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik
otoriter.
Konfigurasi politik
yang ada pada periode orde lama membawa bangsa Indonesia berada dalam suatu
rezim pemerintahan yang otoriter dengan berbagai produk-produk hukum yang
konservatif dan pergeseran struktur pemerintahan yang lebih sentralistik
melalui ketatnya pengawasan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Pada
masa ini pula politik kepartaian sangat mendominasi konfigurasi politik yang
terlihat melalui revolusi fisik serta sistem yang otoriter sebagai esensi
feodalisme.
Sedangkan dibawah
kepemimpinan rezim Orde Baru yang mengakhiri tahapan tradisional tersebut
pembangunan politik hukum memasuki era lepas landas lewat proses Rencana
Pembangunan Lima Tahun yang berkesinambungan dengan pengharapan Indonesia dapat
menuju tahap kedewasaan (maturing society) dan selanjutnya berkembang menuju
bangsa yang adil dan makmur.
2.
Perkembangan Badan Eksekutif
Badan
eksekutif Negara yang terdiri atas Presiden dan wakil presiden adalah sebagai
bagian eksekutif yang tak dapat diganggu gugat, kemudian mentri-mentri yang
dipimpin oleh seorang perdana menteri dan yang bekerja atas dasar asas
tanggungjawab mentri.Dan kabinet dipimpin oleh wakil presiden.
a.
Orde Baru
Perkembangan
politik didindonesia pada masa-masa awal Orde Baru menunjukkan peranan presiden
Soeharto yang semakin dominan.Situasi politik Indonesia memberikan kesempatan
yang besar bagi presiden soeharto untuk berperan sebagai presiden yang
dominant.Kedudukan dominant yang berhasil diduduki oleh soeharto menyebabkan
tidak ada satupun diantara elite politik nasional yang dapat dianggap sebagai
calon pengganti presiden Soeharto.
Ketika
menjelang berakhirnya Orde Baru pada tahun 1998, penyelewengan kekuasaan yang
dipimpin oleh soeharto semakin hebat bahkan kebebasan berbicara terutama yang
menyinggung presiden soeharto dan keluarganya tidak diperbolehkan sama sekali
persaingan politik antar dua partai politik dan golkar menghilang, peranan ABRI
yang semakin besar seiring dengan meluasnya dwifungsi ABRI dan timbulnya
anggota-anggota keluarga soeharto sebagai pengusaha-pengusaha besar
(konglomerat) yang menggunakan kekuasaan, fasilitas, dan keuangan Negara untuk
kepentingan bisnis mereka.
b.
Masa Reformasi
Setelah masa
orde baru berakhir, munculah masa sesudah orde baru yaitu Orde reformasi.Yang
ingin dilalukannya adalah melakukan perubahan-perubahan politik sehingga system
politik Indonesia menjadi lebih Demokratis.Praktik-praktik yang tidak
demokratis dihilangkan dengan melakukan perubahan-perubahan terhadap peraturan
perundangan.
UU poliitik
baru dan bersifat lebih demokrasi dikeluarkan pada awal 1999 dan UU tentang
pemerintah daerah yang lebih demokratis dikeluarkan pada pertengahan tahun yang
sama, UU politik baru menghasilkan PEMILU 1999 yang dianggap sebagai pemilu yang demokratis yang mendapat
pujian dari dunia Internasional.
Dalam
jabatannya sebagai Presiden, presiden tidak bisa diberhentikan oleh DPR karena masalah-masalah Politik.Sebagaimana yang
dijelaskan dari Hasil Amandemen UUD 1945 yang menegaskan bahwa presiden didalam
system presidensial yang demokrasi.Ia tidak bisa diberhentikan oleh DPR karena masalah-masalah politik, sebaliknya,
presiden tidak dapat membubarkan DPR dengan alasan permasalahan politik.
3.
Perkembangan Badan Legislatif
Badan
legislatif yang meliputi DPR dan MPR mencerminkan salah satu fungsi badan yaitu
membuat undang-undang.Tidak semua badan legislative mempunyai wewenang untuk menentukan kebijakan umum dan membuat undang-undang.Dengan perkembangan
gagasan yang menerangkan bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat, maka badan
legislative menjadi badan yang berhak menyelenggarakan kedaulatan itu dengan
jalan menentukan kebijakan umum dan menuangkannya dalam Undang-undang maka
badan eksekutif hanyalah penyelenggara kebijakan umum itu.
Didalam
Badan legislative, ada Dua kategori masalah perwakilan yaitu perwakilan Politik
(political reprentation) dan perwakilan Fungsional (Funcional reprentation).
Katagore perwakilan fungsional menjelaskan peranan badan legislative sebagai
anggota parlemen menjadi trustee, dan perannya sebagai pengemban “mandate” dan
mempunyai konsep bahwa seorang atau suatu kelompok mempunyai kemampuan dan kewajiban
untuk bicara dan bertindak atas nama suatu kelompok yang lebih besar.
Sedangkan Perwakilan
politik, sebagai anggota badan legislative pada umumnya badan ini mewakili
rakyat melalui partai politik. Sekalipun asas perwakilan politik telah menjadi
sangat umum, tetapi ada beberapa kalangan yang merasa bahwa partai politik dan
perwakilan yang berdasarkan kesatuan-kesatuan politik semata-mata, mengabaikan
berbagai kepentingan dan kekuatan lain yang ada didalam masyarakat terutama
dibidang ekonomi.
Badan-badan
legislative di indonesia
a.
Volksraad
Volksraad adalah badan
legislative yang diketuai oleh seorang belanda dan beranggotakan 38 orang,
volksraad merupakan partisipasi dari organisasi politik indonesia sangat
terbatas ketika awalmula berdirinya,
namun seiring berkembangnya zaman ada prinsip yang menyatakan ”mayoritas
pribumi” yang mengakibatkan anjloknya jumlah anggota volksraad yang mulanya 60
menjadi 30 orang.
b.
Komite Nasional Indonesia Pusat
Komisi Nasional Indonesia
Pusat (KNIP) merupakan badan
pembantu presiden yang pembentukannya
didasarkan pada keputusan sidang PPKI pada tanggal 18 Agurtus 1945.KNIP merupakan pengembangan dari Komite Nasional Indonesia (KNI) yang dilantik oleh
presiden soekarno pada tanggal 29 Agustus 1945.
Sebagai badan perwakilan, KNIP
mempunyai hak dan kewajiban Adapun hak dan kewajiban bagi KNIP-BP (badan
Pekerja) yaitu mengajukan usul/inesiatif, interpelasi, angket, pertanyaan dan
mosi.
c.
Badan Legislatif Republika Indonesia Serikat
Badan legislative Republika
Indonesia Serikat terdiri dari dua majlis yaitu Senat dan Badan
Legislatif.Badan Legislatif ini berpusat di Yogyakarta, dan dalam badan
legislatif Republika Indonesia Serikat menerangkan bahwa DPR mempunyai hak
Budget, Inisiatif, dan amandemen.Disamping wewenang untuk menyusun rancangan
undang-undang bersama pemerintah, hak-hak lainnya yang dimiliki adalah hak bertanya,
hak interpelasi, dan hak angket tetapi DPR tidak diberi hak untuk menjatuhkan
cabinet.
d.
Badan Legislatif Sementara
Badan legislative sementara mempunyai hak legislative seperti hak Budget, hak Amandemen, hak
Inesiatif, dan hak control seperti bertanya, interpelasi,angket dan mosi. Badan
Legislatif sementara telah membicarakan 237 rancangan Undang-undang dan
menyetujui 167 diantaranya menjadi undang-undang.
e.
Badan Legislatif Hasil Pemilu 1955
Badan legislative Hasil Pemilu
1955 memiliki wewenang dan control yang sama dengan DPR-sementara. Namun dalam
masa DPR ini diajukan 145 Rancangan Undang-undang dan 113 diantaranya disetujui menjadi undang-undang, diusulkan 8 Mosi dan 2 diantaranya disetujui, dan diajukan 8 interpelasi dan 3 diantaranya
disetujui.
f. Badan Legislatif Pemilu berlandaskan UUD 1945
(DPR peralihan)
Dengan berlakunya kembali UUD
1945, maka badan legislative bekerja dalam rangka yang sempit, dalam arti bahwa
hak-haknya kurang terperinci dalam UUD 1945 jika dibandingkan dengan UUD RIS
1949 dan UUDS 1950.
Wewenang badan legislative
menurut UUD 1945 mencakup ketetapan bahwa tiap undang-undang memerlukan
persetujuan DPR.DPR mempunyai hak Inesiatif, hak untuk memprakarsai rancangan
undang-undang.
g.
Legislatif Gotong Royong demokrasi terpilih
Badan legislative gotong
royong demokarasi terpilih bekerja dalam system pemerintahan yang lain, akan
tetapi badan ini bekerja dalam suasana dimana DPR ditonjolkan peranannya
sebagai pembantu pemerintah, yang tercermin dalam istilah gotong royong.
Sedangkan kelemahan DPR-GR
dibidang legislative ialah DPR-GR kurang sekali memakai hak inisiatifnya untuk
mengajukan rencana Undang-undang.Selain itu DPR-GR telah membiarkan badan
eksekutif mengadakan penetapan-penetapan presiden atas dasar dekrit 5 Juli
1959.
h.
Badan Legislatif Gotong Royong demokrasi Pancasila
Dalam terbentuknya badan ini,
suasana Indonesia dikala itu ialah prosen penegakan orde baru sesudah terdinya
G 30 S/PKI yang berakibat perubahan yang dialami oleh DPR-GR baik mengenai
keanggotaan maupun wewenangannya.
Didalam badan ini mengusahakan agar tata kerja DPR-GR lebih sesuai dengan ketentuan-ketentuanUUD
1945.untuk pengambilan keputusan, system musyawarah/mufakat masih dipertahankan
dengan ketentuan bahwa keputusan harus diambil oleh anggota DPR sendiri (tanpa
campur tangan presiden)
i.
Badan Legislatif hasil Pemilu 1971-1977
Badan Legislatif hasil pemilu 1971-1977 merumuskan hasil pemilihan yang diselenggarakan pada tanggal 3 Juli 1971 berdasarkan
UU no 15 tahun 1969,sesuai dengan
ketentuan UUD 1945, DPR-RI ini disamping bersama-sama pemerintah bertugas
membentuk undang-undang dan menetapkan APBN, juga bertugas melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan undang-undang, APBN, dan kebijakan pemerintah.
Sama halnya dengan DPR-GR
Demokrasi Pancasila dalam hal pengambilan keputusan, system musyawarah masih
tetap diutamakan (tanpa campur tangan presiden) dan baru apabila tidak mungkin
maka keputusan diambil
berdasarkan suara terbanyak.
j.
Badan Legeslatif Hasil Pemilu 1977-1997
Setelah pemilu 1971, tejadi perubahan
secara fundamental dalam sistem kepartaian di Indonesia. Presiden Soeharto pada
tahun 1973 mengajak partai politik dan sekber golkaryang bertarung pada pemilu
1971, untuk memfungsikan diri atas dasar golongan spiritual, Golongan
Nasionalis, dan Golongan Karya.
k.
Badan Legislatif masa reformasi Hasil pemilu 1999 dan 2004
Pada periode 1999 dan 2004
merupakan DPR pertama yang terpilih dalam masa reformasi. Pemilu ini
dilaksanakan setelah terlebih dahulu mengubah undang-undang tentang
partai politik, UU pemilihan umum, UU tentang
susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD dengan tujuan mengganti sistem pemilu
kearah yang demokratis.
DPR hasil pemilu 1999 berhasil
melakukan amandemen terhadap UUD 1945, meskipun hasil amandemen tersebut masih
belum ideal, namun ada beberapa perubahan terjadi.
Salah satu perubahan tersebut
adalah lahirnya Dewan Perwakilan Daerah (DPD), lahirnya sistem pemilihan
presiden secara langsung, dan lahirnya Mahkamah Konsitusi
4.
Perkembangan kekuasaan Badan Yudikatif
Dalam sistem
hukum yang berlaku diindonesia, khususnya sistem hukum perdata. Asas kebebasan
badan yudikatif dikenal di Indonesia. Akan
tetapi dalam masa demokrasi
terpimpin telah terjadi penyelewengan-penyelewengan terhadap asas kebebasan
badan yudikatif seperti yang ditetapkan oleh UUD 1945.
Kekuasaan
yudikatif sebenarnya lebih bersifat teknis yuridis dan termasuk bidang ilmu
hukum daripada bidang ilmu politik . khususnya untuk cabang kekuasaan
yudikatif, prinsip yang tetap dipegang ialah bahwa dalam tiap negara hukum badan
yudikatif haruslah bebas dari campur tangan badan eksekutif.
Pokoknya, baik
dalam perlindungan konstitusional maupun dalam hukum administrasi, perlindungan
yang utama terhadap indivudu tergantung pada badan kehakiman yang tegas, bebas,
berani, dan dihormati. Badan yudikatif yang bebas adalah syarat mutlak dalam
suatu masyarakat yang bebas dibawah rule of law. Kebebasan tersebut
meliputi kebebasan dari campur tangan badan eksekutif, legislatif, ataupum
masyarakat umum.
5.
Perkembangan Partai Politik diIndonesia
Partai politik
diIndonesia merupakan bagian dari kehidupan politik selama kurang lebih seratus
tahun. Partai politik telah muncul jauh sebelum peradaban di Eropa sebagai sarana partisipasi bagi beberapa kelompok masyarakat, yang
kemudian meluas menjadi partisipasi seluruh masyarakat dewasa.
Indonesia
mengenal sistem multi-partai, sekalipun gejala partai-tunggal dan dwi-partai
tidak asing dalam sejarah Indonesia. Perkembangan politik diIndonesia melalui
dan mengikuti perkembangan zaman yaitu pada Zaman kolonial, zaman pendudukan
jepang, zaman Demokrasi Indonesia.
B.
Konsep
Partisipasi Politik
Dalam ilmu politik, dikenal adanya konsep partisipasi politik untuk memberi
gambaran apa dan bagaimana tentang partisipasi politik. Dalam
perkembangannya, masalah partisipasi politik menjadi begitu penting,
terutama saat mengemukanya tradisi pendekatan behavioral (perilaku) dan Post
Behavioral (pasca tingkah laku). Kajian-kajian partisipasi politik terutama
banyak dilakukan di negara-negara berkembang, yang pada umumnya kondisi
partisipasi politiknya masih dalam tahap pertumbuhan. Sebelum mendefinisikan partisipasi
politik secara komprehensif, terlebih dahulu mendefinisikan secara kosa kata.
Ada dua kosa kata yaitu partisipasi dan politik. Partisipasi adalah
perihal turut berperan serta dalam suatu kegiatan; keikutsertaan; peran serta,
Miriam Budiardjo mengatakan bahwa Politik adalah usaha menggapai kehidupan yang
baik. Politik sangat erat kaitannya dengan masalah kekuasaan, pengambilan
keputusan, kebijakan publik dan alokasi atau distribusi Partisipasi berasal
dari bahsa latin, yaitu pars yang artinya bagian dan capere(sipasi) yang
artinya memangambil. Bila dihubungkan “berarti mengambil bagian”. Dalam
bahasa Inggris, participale atau participation berarti mengambil bagian atau
mengambil peranan dalam aktivitas atau kegiatan politik suatu negara. Partisipasi
politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara
aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pemimpin
negara dan secara langsung atau tidak langsung, memengaruhi kebijakan
pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan
suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, mengadakan hubungan
(contacting) atau lobbying dengan pejabat pemerintah atau anggota
parlemen, menjadi anggota partai salah satu gerakan sosial dengan direct
actionnya dan sebagainya.
1. Pengertian Partisipasi Politik dari
Para Ahli, diantaranya:
a.
Budiardjo (2009:367) menyatakan partisipasi politik
adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif
dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan Negara dan
secara langsung atau tidak langsung, memengaruhi kebijakan pemerintah (public
policy). Dengan demikian Partisipasi politik erat kaitanya dengan
kesadaran politik, karena semakin sadar bahwa dirinya diperintah, orang kemudian
menuntut diberikan hak bersuara dalam penyelenggaraan pemerintah.
b.
Herbert McClosky dalam International encyclopedia
of the social sciences (Budiardjo,1996:183) partisipasi politik adalah
kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil
bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung
dalam proses pembentukkan kebijakan umum.
c.
Michael Rush Philip Althoff, partisipasi politik
adalah keterlibatan individu sampai macam-macam tingkatan di dalam sistem
politik.
d.
Kevin R. Hardwic, partisipasi politik memberi
perhatian cara-cara warga negara berupaya menyampaikan kepentingan-kepentingan
mereka terhadap pejabat-pejabat publik agar mampu mewujudkan
kepentingan-kepentingan tersebut.
e.
Herbert McClosky, partisipasi politik adalah
kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil
bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak
langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum.
f.
Ramlan Surbakti, partisipasi politik adalah keikut
sertaan warga negara biasa dalam menentukan segala keputusan menyangkut
atau memengaruhi hidupnya. Sesuai dengan istilah partisipasi (politik) berarti
keikutsertaan warga negara biasa (yang tidak mempunyai kewenangan) dalam memengaruhi
proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik.
g.
Wahyudi Kumorotomo mengatakan, Partisipasi adalah
berbagai corak tindakan massa maupun individual yang memperlihatkan adanya
hubungan timbale balik antara pemerintah dan warganya. Partisipasi politik adalah
bagian penting dalam kehidupan politik semua negara, terutama bagi negara yang
mmenyebut dirinya sebagai negara demokrasi, partisipasi politik merupakan
salah satu indikator utama. Artinya, suatu negara baru bisa disebut
sebagai negara demokrasi jika pemerintah yang berkuasa memberi kesempatan yang
seluas-luasnya kepada warga negara untuk berpartisipasi dalam kegiatan
politik, sebaliknya warga negara yang bersangkutan juga harus
memperlihatkan tingkat partisipasi politik yang cukup tinnggi. Jika tidak, maka
kadar kedemokratisan negara tersebut masih diragukan
Di negara-negara demokrasi konsep
partisipasi politik bertolak dari paham bahwa kedaulatan ada di tangan
rakyat, yang dilaksanakan melalui kegiatan bersama untuk menetapkan
tujuan-tujuan serta masa depam masyarakat itu dan untuk menentukan orang-orang
yang akan memegang tampuk pimpinan.
Partisipasi politik erat sekali
kaitannya dengan kesadaran politik, karena semakin sadar bahwa dirinya
diperintah, orang kemudian menuntut diberikan hak bersuara dalam
penyelenggaraan pemerintah. Di negara-negara demokrasi umumnya dianggap baha
lebih banyak partisipasi masyarakat maka lebih baik, sebaliknya tingkat
partisipasi yang rendah pada umumnya dianggap sebagai tanda yang kurang baik,
karena dapat ditafsirkan bahwa banyak warga tidak menaruh perhatian
terhadap masalah kenegaraan.
Masalah partisipasi politik bukan
hanya menyangkut watak atau sifat dari pemerintahan negara, melainkan
sifat, watak atau karakter masyarakat suatu negara dan berpengaruh yang
ditimbulkannya.
2.
Partisipasi Masyarakat dalam Politik Sebagai Implementasi Nilai-Nilai
Demokrasi Di Indonesia
Di Indonesia berpartisipasi politik dijamin oleh
Negara, tercantum dalam UUD 1945 pasal 28 yang berbunyi “kemerdekaan berserikat
dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan sebagainya ditetapkan
dengan undang-undang”. Dan diatur secara jelas dalam dalam Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2005 mengenai jaminan hak-hak sipil dan politik, dimana poin-poin hak
yang harus dilindungi oleh Negara mengenai hak berpendapat, hak berserikat, hak
memilih dan dipilih, hak sama dihadapan hukum dan pemerintahan, hak mendapatkan
keadilan, dll.
Seperti partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum, ini
merupakan salah satu implementasi nilai-nilai demokrasi di Indonesia,
yang mencerminkan nilai Kebebasan , dimana masyarakat diberi kebebasan
penuh untuk memilih, mendukung calon yang di inginkan. Sebagai contoh, dari data
KPU pada tanggal 9 mei 2009. Menunjukan masyarakat Indonesia yang ikut
berpartisipasi untuk memilih adalah lebih dari 104 juta jiwa.
Dalam hal lain masyarakat Indonesia juga menunjukkan nilai
kebebasan demokrasi dalam hal melakukan protes terhadap pemerintah. Ini
menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam politik di Indonesia mengalami
peningkatan. Budiarjo (1996:185) menyatakan dalam Negara-negara demokratis
umumnya dianggap bahwa lebih banyak partisipasi masyarakat lebih baik. Dalam
alam pemikiran ini tingginya tingkat partisipasi menunjukkan bahwa warga Negara
mengikuti dan memahami masalah politik dan ingin melibatkan diri dalam kegiatan
itu.
Sebagai pelaksanaan nilai demokrasi, partisipasi masyarakat
dalam politik memiliki peran penting. Karena dalam Negara demokrasi semua
bersumber pada rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Saat ini, rata-rata masyarakat dimanapun dia berada, mereka
sadar bahwa kehidupan mereka dipengaruhi oleh pemerintah mereka, sehingga
masyarakat berpikir bahwa mereka harus melibatkan diri dalam politik. Salah
satu yang menyebabkan meningkatnya partisipasi politik yang terjadi belakangan
ini adalah penerimaan secara global mengenai konsep popular sovereignity
(kedaulatan populis/ kedaulatan rakyat) yang merupakan dasar dari kekuasaan
politik yang legitimate. Sejak hampir semua rezim di semua negara mendasarkan
kekuasaan mereka pada kedaulatan rakyat, menjadi sebuah hal yang lumrah ketika
rakyat melibatkan diri dalam proses politik dengan menggunakan kedaulatan
mereka. Bahkan negara-negara otoriter sekalipun berusaha untuk melibatkan
rakyatnya dalam perpolitikan (tetapi tetap dalam skema yang dikontrol oleh
pemerintahan otoritarian) dengan maksud untuk melegitimasi rezim, peraturan,
dan kebijakan yang dibuat oleh rezim otoritarian tersebut.
3.
Tujuan-Tujuan Partisipasi Politik
Keterlibatan politik dapat terjadi dengan berbagai tujuan,
diantaranya adalah memberikan rakyat/warga negara kesempatan untuk mempengaruhi
proses pembuatan kebijakan. Hal ini tentu saja merupakan tujuan utama dari
partisipasi politik yang dilakukan oleh negara-negara yang demokratis.
Partisipasi juga dilakukan untuk mengontrol pemerintah yang akan terpilih,
selain itu partisipasi politik juga menjadi alat untuk memilih pemimpin dan
mengekspresikan eksistensi individu atau grup yang mempengaruhi pemerintah
melalui jalan terlibat dalam politik. Kedua, partisipasi politik juga menjadi
alat untuk mengontrol rakyat dan warga negara, terutama di negara-negara
otoritarian. Di banyak negara otoritarian, pemerintah mempromosikan
pasrtisipasi politik dalam bentuk yang terkontrol oleh rezim ototiter itu
sendiri (partisipasi politik yang tidak bebas). Partisipasi politik bahkan
hanya secara simbolis, akan menjadi sinyal bagi pemerintah tersebut bahwa
rakyat berkomitmen mendukung rezim otoritarian tersebut dan hal ini pada
akhirnya akan mencegah terjadinya pemberontakan oleh rakyat. Partisipasi
politik menjadi sebuah cara untuk meningkatkan dukungan tanpa
bantahan/perlawanan (acquiescence) terhadap kebijakan negara otoritarian.
Ketiga, partisipasi di sisi lain juga membantu meringankan beban pemerintah, seperti terbukanya lapangan kerja baru sebagai pengawas jalannya pemberian suara (voting) yang dilakukan secara sekuarela, sedikit banyak akan meringankan anggaran pemerintah untuk membayar aparat keamanan yang ditugaskan untuk menjaga jalannya voting.
Ketiga, partisipasi di sisi lain juga membantu meringankan beban pemerintah, seperti terbukanya lapangan kerja baru sebagai pengawas jalannya pemberian suara (voting) yang dilakukan secara sekuarela, sedikit banyak akan meringankan anggaran pemerintah untuk membayar aparat keamanan yang ditugaskan untuk menjaga jalannya voting.
Tujuan keempat adalah partisipasi digunakan untuk
melegitimasi rezim dan kebijakan rezim tersebut. Semua negara memiliki semua
tujuan partisipasi politik ini. Rezim demokratis pada umumnya menekankan kaidah
pengaturan pemerintah oleh kontrol yang dilakukan rakyat. Sedangkan negara-negara
nondemokratis menggunakan partisipasi untuk mengontrol rakyatnya dan untuk
mendapatkan bantuan pelayanan dari rakyatnya sendiri.
Faktor yang berpengaruh terhadap besar kecilnya partisipasi
politik adalah:Di banyak masyarakat, partisipasi politik erat hubugannya dengan
tingkat pendidikan. Pada umumnya semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin
tinggi pula kecenderungan seorang individu untuk berpartisipasi dalam politik.
Sedangkan yang banyak dihadapi oleh negara berkembang adalah tingkat buta huruf
yang masih tinggi, partisipasi masih tergolong rendah karena masyarakat masih
belum sadar tentang apa yang terjadi dan dampak politik bagi kehidupan mereka.
Di negara berkembang, ada hubungan kuat antara pendidikan, kepentingan dan
keterlibatan dalam politik.
Faktor
lain yang berpengaruh terhadap besar kecilnya partisipasi politik adalah:
a.
Faktor personal, seperti:
a) Watak
masing-masing pribadi serta anggapan mereka terhadap aktifitas sosial
b) Perasaan
seberapa efektif langkah keterlibatan individu untuk mempengaruhi keputusan
pemerintah.
c) Intensitas
perilaku politik
d) Persepsi
individu terhadap tugas-tugas sosial dan masyarakat.
Setting
politik Kepentingan serta keterlibatan masyarakat pada proses politik juga
dapat dipengaruhi oleh hal-hal berikut:
a) Ekspos
media
b) Kontak
personal
c) Usaha
pemerintah untuk membatasi partisipasi
d) Akses
ke institusi politik
b.
Faktor Sosial Ekonomi, seperti:
a) Kelas
sosial
b) Pekerjaan
c) Kekayaan/
kesejahteraan
d) Gender
e) Etnis
Secara
umum, orang yang lebih sejahtera akan lebih aktif daripada orang yang tidak/
belum sejahtera, (dulu) pria lebih aktif berpartisipasi aktif daripada wanita.
Etnis grup yang dominan biasanya lebih aktif dibandingkan dengan minoritas,
orang-orang dewasa biasanya juga lebih aktif dibandingkan dengan orang yang
sangat tua, ataupun anak-anak dan remaja.Political Beliefs Mereka yang memiliki
pandangan politik yang kuat akan lebih aktif daripada mereka yang tidak
memiliknya.
4.
Bentuk Partisipasi Politik
Satu
isu terkadang dapat menstimuli aksi dalam berbagai bentuk. Baik itu pro dan
kontra dengan berbagai cara seperti kampanye, poster , aksi legal, petisi,
pertemuan publik, demonstrasi, boykot bahkan pembunuhan. Dalam suatu
pemerintahan otoriter yang baik pengaturannya, para pemimpinnya tahu bahwa
begitu bahayanya menekan semua bentuk partisipasi sehingga mereka mengontrol
aksi-aksi politik yang ada.
Beberapa
dekade yang lalu, para ilmuwan membagi partisipasi politik menjadi conventional
political participation (partisipasi politik yang biasa) dan unconventional
political participation (partisipasi politik yang tidak biasa). Partisipasi
politik yang biasa adalah sebuah keterlibatan politik dimana individu
menyampaikan aspirasi politik melalui pejabat publik menggunakan saluran
partisipasi. Seperti pemilu, dan aktifitas kelompok kepentingan. Sedangkan
partisipasi politik yang tidak biasa adalah sebuah partisipasi politik yang
dilakukan masyarakat tanpa melalui elit politik ataupun melalui aksi langsung.
Kemudian pembedaan ini dikatakan menyesatkan karena hal-hal yang dibedakan diatas tidak dapat digeneralisasikan terhadap semua negara. Seperti halnya petisi merupakan hal yang biasa di Amerika tetapi merupakan hal yang tak biasa di Inggris. Di India demonstrasi mungkin merupakan sebuah langkah anti rezim dan bermaksud untuk menurunkan rezim berkuasa, tetapi di Perancis demonstrasi merupakan hal biasa yang dilakukan untuk mempengaruhi para pejabat publik.
Kemudian pembedaan ini dikatakan menyesatkan karena hal-hal yang dibedakan diatas tidak dapat digeneralisasikan terhadap semua negara. Seperti halnya petisi merupakan hal yang biasa di Amerika tetapi merupakan hal yang tak biasa di Inggris. Di India demonstrasi mungkin merupakan sebuah langkah anti rezim dan bermaksud untuk menurunkan rezim berkuasa, tetapi di Perancis demonstrasi merupakan hal biasa yang dilakukan untuk mempengaruhi para pejabat publik.
5. Perkembangan Partisipasi Politik
Studi
tentang perkembangan partisipasi politik dalam wataknya yang "modern"
di Indonesia tentulah dimulai dengan mengenali peristiwa-peristiwa politik yang
terjadi sejak awal abad ini. Sungguhpun menghadapi pemerintahan kolonial,
keterlibatan masyarakat di dalam Syarikat Islam, Volksraad, gerakan buruh, petani
dan pemuda, sampai kepada kegiatan organisasi dan partai politik, serta
berbagai kegiatan politik lainnya adalah bentuk-bentuk awal dari partisipasi
politik yang dilakukan oleh para pendahulu dan pejuang bag) perwujudanmasyarakat
atau bangsa Indonesia.
Hambatan
bagi perkembangan partisipasi politik di masa kolonial berasal dari dua
tingkatan kebijaksanaan. Pertama ialah tidak diberikannya pengakuan akan hak
berpolitik bagi kaum Bumiputera. Dan kedua yaitu adanya pengawasan yang ketat
terhadap kegiatan masyarakat, terutama untuk menghindarkan mereka dari
partisipasi politik. Jadi baik secara prinsip maupun secara teknis kesempatan
untuk berpartisipasi secara politis amat terbatas. Keadaan ini berawal dari
dualisme sistim ekonomi yang menciptakan ketergantungan kaum pribumi terhadap
perekonomian golongan Eropa dan Timur Asing. Dualisme politik yang membiarkan
kaum pribumi terpaku di dalam kantong-kantong politik tradisi di bawah penguasa
tradisional sehingga mereka tidak terkait secara langsung kepada proses politik
negara kolonial, merupakan hambatan yang besar bagi penumbuhan partisipasi
politik masyarakat luas di masa itu.
Ketertutupan
pemerintah kolonial terhadap partisipasi politik mendorong masyarakat lebih
berpartisipasi di dalam organisasi dan partai politik ketimbang di dalam proses
pemerintahan. Mungkin keterlibatan tokoh masyarakat di dalam Volksraad dapat
dikategorikan sebagai semacam partisipasi politik melalui perwakilan. Akan
tetapi tujuan pembentukan, kewenangan, aktivitas dan dampak lembaga itu terhadap
politik kolonial tidaklah mengizinkan kita untuk menyebutnya sebagai
partisipasi politik. Kecuali menguatkan kebijaksanaan pemerintah kolonial,
keputusan badan tersebut tidaklah menunjukkan adanya pengaruh kehendak
masyarakat luas terhadap kebijaksanaan pemerintah. Dalam beberapa hal watak ini
teramati di dalam keputusan badan legislatif setelah kemerdekaan.
Keterbatasan
kesempatan yang dibuahkan oleh sistim pengawasan untuk ketertiban umum dan
beratnya persyaratan yang harus dipenuhi untuk diperbolehkan melakukan
partisipasi politik, di sana-sini muncul kembali di masa kemerdekaan. Di masa
kemerdekaan pengakuan akan hak politik dan partisipasi politik dijamin penuh
oleh konstitusi. Para penguasa tak pernah lupa menegaskan pengakuan tersebut
yang antara lain terlihat dari konsideran atau pertimbangan yang mendasari
kebijaksanaan pemerintah. Masyarakat luas telah pula paham akan adanya jaminan
atas hak-hak tersebut. Justru kenyataan tersebut bersama warisan tradisi
berpartisipasi secara politik dari generasi pendahulu menumbuhkan keinginan
mereka untuk menikmati hak tersebut secara nyata.
Di
dalarn dua dekade pertama kemerdekaan Indonesia tertangkap dua pola proses
partisipasi sebagai realisasi dari hak politik masyarakat. Di masa periode
politik kepartaian yang berlangsung kira-kira 10 tahun pertama kemerdekaan,
partisipasi politik dapat dikatakan mempunyai kondisi yang terideal secara
politis di sepanjang kemerdekaan Indonesia. Pengakuan formal akan hak
berpartisipasi di dampingi oleh mekanisme partisipasi yang terbuka.
Terdistribusinya kekuasaan secara horisontal dan vertikal, utuh dan dominannya
peranan partai politik, terbukanya kompetisi politik, leluasanya masyarakat
berorganisasi serta kemanfaatannya bagi partisipasi politik dan tersedianya
prasarana sosial seperti media massa yang bebas, merupakan mekanisme yang
mewadalu proses partisipasi politik masyarakat luas. Impaknya terhadap posisi
jabatan, pemutusan kebijaksanaan dan pelaksanaannya seringkali begitu kuat
sehingga terdapat partisipasi politik yang menjadi bagian penting dari proses penjatuhan
suatu pemerintahan.
Akan
tetapi perlu dicatat bahwa pada urnumnya partisipasi politik di dalam periode
ini terseret ke dalam perjuangan partai. Berdasarkan pola politik aliran masa
memberikan dukungan kepada partai politik tertentu menghadapi partner
koaliasinya di dalam pemerintahan atau sepenuhnya menghadapi partai pemerintah.
Tak tampak adanya kemampuan untuk berkompromi dan menahan diri di antara
kelompok-kelompok yang berpartisipasi dalam dan atau beberapa kubu yang
berhadapan tersebut.
Dalam
dekade kedua kemerdekaan partisipasi politik mulai mengalami pembatasan.
Pemusalan kekuasaan di tangan presiden menyempitkan area partisipasi politik
dari pembuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan negara menjadi hanya di dalam hal
melaksanakan kebijaksanaan. Sementara itu pemilihan pejabat telah menjadi hak
prerogatif presiden bersama para pembantu dekatnya.
Ada
anggapan bahwa keterlibalan masyarakat luas di dalam politik pada masa itu
lebih bersifat mobilisasi daripada partisipatif. Alasannya ialah bahwa sifat
otoriter politik menghilangkan atau mengecilkan derajat kesukarelaan anggota
masyarakat untuk melibatkan diri di dalam proses politik. Mungkin untuk
sebagian pandangan itu benar. Dan perlu pula diingat bahwa sistim Politik
Demokrasi Terpimpin belumlah mengembangkan organisasi pemerintahan yang kompak
dan efektif unluk memobilisasikan massa secara luas dan berkepanjangan.
Suatu
gejala baru dari partisipasi politik yang mulai tumbuh di penghujung periode
ini ialah mulai lepasnya partisipasi politik dari ikatan perjuangan partai
politik. Semula partisipasi seperti itu lahir dalam bentuk kerja sama
organisasi-organisasi masyarakat yang berbeda aliran baik atas restu maupun
tidak didorong oleh partai yang membinanya. Demikianlah halnya dengan kerja
sama mahasiswa dalam partisipasi politik di akhir masa Demokrasi Terpimpin yang
kemudian mengorganisir diri di dalam Kerja sama ini kemudian ternyata
mengorbitkan peranan mahasiswa di dalam politik sehingga menjadi ujung tombak
dari partisipasi politik pemuda yang dalam periode sebelumnya merupakan salah
satu pemerintah partisipasi yang utama.
Mendahului
pemekaran partisipasi politik mahasiswa dan kemerosotan partai. muncul kekuatan
baru di gelanggang partisipasi yaitu golongan fungsional baik sipil maupun
militer. Kelompok ini mengisi posisi dan peranan partai di dalam keseluruhan
proses politik dan kekuasaan. Perkembangan ini pada dasarnya mengawali
pembentukan pola politik masyarakat yang kemudian dikenal dengan Politik di
mana partisipasi politik mendapatkan suasana, pola dan wataknya tersendiri.
6. Stabilitas dan Partisipasi Politik
Dalam
dua dekade terakhir kemerdekaan mungkin partisipasi politik sudah dapat
dikatakan berada di dalam krisis. Artinya partisipasi politik menempati porsi
kecil saja dari keseluruhan proses politik nasional dan lokal. Menyambung perkembangan
partisipasi politik dalam periode sebelumnya, dewasa ini wujudnya yang bersifat
konvensional adalah dalam bentuk pemilihan sebagian wakil rakyat dalam sekali
lima tahun dan pemberian dukungan terhadap kebijaksanaan dan pejabat pemerintah
pada saat-saat tertentli pula. Selebihnya politik diproses oleh elit kekuasaan
bersama wakil-wakil rakyat yang dipilih melalui sistim pemilihan urnum
berimbang di mana calon sangat ditentukan oleh organisasi politik peserta
pemilihan umum.
Namun
dari segi intensitas partisipasi, jarak yang jauh antar Pemilu itu di samping
prosesnya yang kurang langsung karena kukuhnya posisi organisasi politik
peserta Pemilu yang mengantarai calon dengan memilih, mendorong tampilnya
pemikiran yang melihat perlunya perwujudan bentuk-bentuk partisipasi lain. Di
samping itu terlihat adanya kecenderungan mobilisasi dalam keterlibatan
masyarakat di dalam Pemilu akhir-akhir ini. Menurut anggapan umum, tingkat
keterlibatan kelompok-kelompok masyarakat secara sukarela di dalam Pemilu sejalan
dengan tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi masing-rnasing kelompok.
Walaupun
bentuk partisipasi yang berwujud mendukung kebijaksanaan dan pejabat muncul di
sepanjang sejarah Indonesia merdeka dengan puncak intensitasnya berada pada
masa Demokrasi Terpimpin, namun dewasa ini kegiatan tersebut sudah tidak
intensif lagi. Kegiatan massa memberikan dukungan kepada kebijaksanaan dan
pejabat ini menjadi perdebatan akademik pula. Sebab tidak jarang keterlibatan
aparat negara ataupun organisasi politik pendukung pemerintah di dalam
pengorganisasiannya. Setidaknya bagian pendukung seperti itu masih dapat
digolongkan ke dalam pemerintah partisipasi, sekalipun mungkin secara kuantitas
mereka tidaklah sebesar para aktivis yang dimobilisasikan. Di samping bentuk
partisipasi politik dukungan yang lebih melibatkan massa tersebut, dikenali
pula partisipasi politik yang bertujuan mempengaruhi kebijaksanaan.
Di
luar yang di kemukakan di atas, tercatat pula sejumlah wujud partisipasi yang
dapat digolongakan ke dalam kegiatan non-konvensional karena kecenderungannya
menggunakan kekerasan. Gerakan protes seperti protes Proyek Taman Mini
Indonesia dalam tahun 1972, pembacaan puisi protes tahun 1974 yang diwarnai
oleh Rendra adalah bentuk yang lunak. Bentuk yang lebih keras antara lain
terlihat dalam gerakan anti Cina di Yogya dan Bandung sekitar tahun 1972. Dan
gerakan yang amat keras diperlihatkan dalam huru-hara peristiwa Malari 1974,
demonstrasi terhadap RUU Perkawinan yang sedang dibahas oleh DPR di akhir tahun
1973, peristiwa Lapangan Banteng 1982 dan peristiwa Tanjung Priok.
Apabila
bentuk-bentuk partisipasi politik konvensional di atas diakui dan diterima oleh
elite kekuasaan, maka tidaklah demikian halnya dengan partisipasi yang bersifat
non-konvensional. Selain dari gerakan mereka tidak diakui dan bahkan
dikategorikan sebagai gerakan politik yang terlarang, para pejabat
pemerintahnya pun mendapat penindakan dari yang berwajib mulai dari peringatan
dan pengucilan sampai kepada penyeretan mereka ke pengadilan.
7. Partisipasi Politik Stabilitas
Sebaliknya
keterlibatan tersebut merupakan bagian dari perangkat usaha untuk menegakkan
stabilitas politik. Melalui pengembangan secara berangsur, dewasa ini dikenali
tiga pokok kebijaksanaan yang dimaksudkan untuk mempertahankan stabilitas
politik. Sejak awal tahun 1970-an sudah dimulai penyusunan kembali struktur
politik yang berkaitan dengan partisipasi.
Kebijaksanaan-kebijaksanaan
tersebut telah menghasilkan pola partisipasi politik stabilitas dengan cin
pokok sebagai berikut. Pertama, individu lebih ditekankan sebagai pemerintah
partisipasi. Untuk itu maka motivasi partisipasi yang dikembangkan dan direstui
ialah hasil perkapita yang pada hakekatnya merupakan indikator utama dari
pembangunan (ekonomi). Sumber daya (resources) bagi partisipasi ialah kemampuan
pribadi yang berkaitan dengan pembangunan, yaitu segala sesuatu yang
berhubungan dengan pembangunan itu sendiri. Karena teknologi adalah alat utama
pembangunan maka kekuatan individu tentulah keteknologian (teknokratik). Kedua
hal itu menjadikan partisipasi bersifat fungsional artinya kegiatan tersebut
mestilah memberikan dampak positif kepada pembangunan. Kefaedahannya bagi
pemerintah itu sendiri haruslah di pandang dari sudut pembangunan.
Kedua,
politik massa mengambang menjadi dasar mekanisme partisipasi politik. Itu
berarti bahwa untuk berpartisipasi di bidang politik, individu diurai dari
kelompok yang sejak lahir telah mewarnai dirinya dengan berbagai nilai dan
pandangan hidup. Agama, tradisi (kesukuan) dan bahkan kelas sosial tidak
dipakai sebagai basis partisipasi politik. Satu-satunya kelompok yang
diperkenankan dan didorong sebagai referensi individu dalam berpartisipasi
ialah himpunan profesional.
Semua
proses itu telah mendorong pemanfaatan bentuk-bentuk partisipasi politik yang
mendukung stabilitas yaitu memberikan suara di dalam Pemilu, mendukung
kebijaksanaan, program dan pejabat pemerintah. Sungguhpun begitu, sebagai karya
manusia tentulah sistim tersebut tidak lepas sepenuhnya dan kelemahan. Di
antaranya berkenaan dengan hakekat partisipasi politik itu sendiri yaitu
kegiatan mempengaruhi penguasa ataupun pemerintah. Kecilnya keleluasaan massa
berpartisipasi mendorong pertumbuhan peran elit di dalam proses politik. Dengan
sendirinya elite merasa kurang aman memanfaatkan lembaga dan organisasi politik
yang menghubungkannya dengan massa untuk keperluan politiknya. Sebab
keleluasaan tersebut menjadi kecil karena harus mempertimbangkan kepentingan massa
di dalam memproses politik. Untuk mendapatkan kekuatan bagi perjuangan
politiknya, maka elite cenderung membangun kekuatan berdasarkan hubungan
keluarga, teman dan tradisi. Semuanya itu menumbuhkan dualisme proses politik
dan mempertajam dualisme budaya politik yaitu elite dan massa.
Gejala
tersebut di atas mempengaruhi pertumbuhan lembaga politik mulai dari organisasi
politik sampai kepada perwakilan politik (parlemen). Di dalam dan melalui
lembaga itu politik berproses dalam dua tingkatan, yaitu formal dan informal.
Secara formal proses politik melalui dan di dalam lembaga seperti itu sekaligus
mencakup kepentingan massa dan elite. Secara aktual keputusan lembaga lebih
membayangkan kepentingan elite, karena merekalah yang menentukan di dalamnya.
Kurang
tercerminnya kepentingan massa di dalam proses politik aktual berpangkal kepada
sistim perwakilan yang ada. Tidak seimbangnya bobot pertanggungjawaban wakil
kepada terwakil dengan bobot kepercayaan yang diberikan oleh terwakil kepada
wakilnya justru merupakan pangkal dari kekasipan waktu memperjuangkan
kepentingan terwakil.
Pada
hakekatnya pelebaran jarak elite massa melemahkan struktur politik. Sebab massa
adalah sumber kekuatan bagi elite dan elite adalah pembimbing kekuatan itu
untuk dimanfaatkan bagi kepentingan keseluruhan masyarakat. Jauhnya jarak
antara elite dengan massa justru mendorong elite untuk mendapatkan sumber
kekuatan lain yang lepas dari massa. Dan jarak seperti itu mendorong pihak
massa untuk memanfaatkan bentuk partisipasi politik non-konvensional untuk
mendapatkan perhatian dari pihak elite. Akhirnya keseluruhan pola partisipasi
politik yang telah terbentuk membangun budaya politik non-partisipasi di
kalangan masyarakat. Orientasi seperti itu tumbuh karena kenyataan bahwa
partisipasi memang kurang berkembang baik dilihat dari segi intensitasnya,
maupun dari sudut luas areanya. Terbatasnya pengalaman menyebabkan masyarakat
tidak inovativ di bidang partisipasi politik. Sernuanya itu melemahkan
nilai-nilai tentang partisipasi sehmgga mengaburkan pandangan mereka tentang
hak politik.
8. Pengembangan Partisipasi Politik
Melihat
kebutuhan akan sumbangan dunia politik yang mampu mengimbangi kekuatan ekonomi
di dalam menghadapi tinggal landas pembangunan dan menilik pula impak pola
partisipasi politik kepada kemajuan politik dewasa ini, maka dianggap sudah
pada waktunya untuk memikirkan dan memulai pembaruan politik secara mendasar.
Salah satu dari masalah dasar pembangunan politik ialah partisipasi politik.
Pengembangan
partisipasi politik dipikirkan dalam rangka kesinambungan kehidupan masyarakat.
Dalam hal ini perubahan berlangsung secara bertahap yang di mulai dari segi
teknis dan sebagian dari kerangka dasar masyarakat dan sistim politik. Secara
teknis penumbuhan partisipasi politik menyangkut struktur masyarakat dan
prosedur bagi partisipasi. Sedangkan kerangka dasar struktur masyarakat dan
sistim politik menyangkut susunan kekuasaan. Secara teknis langkah-langkah yang
perlu diambil ialah mengembalikan partisipasi politik massa melalui kelompok dengan
kesamaan dan pemerataan kesempatan sebagai motivasi kelompok sebagai basis
kekuatannya dan menekankan sifat struktural dari partisipasi. Pada dasarnya
pola seperti itu sejalan dengan sifat masyarakat Indonesia yang plural-komunal.
Bentuk ini dapat mendekatkan jarak dari sifat masyarakat yang plural dengan
sifat politik yang manunggal dewasa ini. Itu berarti bahwa pola manunggal dari
level masyarakat sampai ke tingkat lembaga politik, dirobah dengan menjadikan
partisipasi politik secara plural. Dalam pada itu untuk menjamin stabilitas,
kesederhanaan organisasi politik tetap dipertahankan. Dengan demikian,
partisipasi politik bukan saja dialirkan melalui kelompok profesi, akan tetapi
juga melalui semua bentuk pengelompokkan yang terorganisir. Pola ini dapat
mengimbangi usaha pemerintah untuk mengatur organisasi masyarakat secara
formal.
Pada
tingkat lembaga politik, terutama organisasi politik dan lembaga perwakilan
rakyat, perubahan yang perlu mendapat perhatian ialah proses hubungan
badan-badan tersebut dengan masyarakat. Untuk itu perlu ditingkatkan bobot
kekuatan masyarakat terhadap lembaga-lembaga itu. Artinya seluruh aparat
organisasi politik dan semua anggota parlemen perlu meningkatkan
pertanggungjawabannya secara teknis dan moral kepada masyarakat yang mendukung
dan diwakilinya. Bagi organisasi politik itu berarti bahwa sistim kader menjadi
mekanisme utama mengembangkan pengaruh di dalam masyarakat. Seluruh daya dan
dana tentulah dimanfaatkan untuk mengembangkan kader yang terpilih dan
terbatas. Dukungan massa diusahakan oleh kader dan anggota. Karena itu
organisasi masyarakat terlepas dari ikatannya yang permanen dengan organisasi
politik. Pola ini memungkinkan organisasi masyarakat mengontrol organisasi
politik sehingga partai politik tidak dapat mengabaikan mereka. Bagi parlemen
peningkatan keterikatan anggota kepada masyarakat yang merupakan kunci dari
mutu keterwakilan politik dapat diusahakan melalui pertanggungjawaban langsung
anggota kepada masyarakat.
Langkah-langkah
di atas amat sulit berkembang mencapai pengembangan partisipasi politik tanpa
didukung oleh perubahan di sektor struktur kekuasaan. Seperti dismggung di
atas, perubahan itu tidaklah perlu radikal, akan tetapi bersifat sebagian saja
dalam rangka mempertahanakan stabilitas politik secara nasional. Oleh karena
itu pola yang memadai ialah pemusatan kekuasaan diturunkan sampai sekitar 60
persen. Mekanisme partisipasi politik yang menyalurkan semua perkembangan di
atas adalah dalam bentuk keterlibatan organisasi masyarakat dalam politik baik
melalui organisasi politik yang bermuara ke lembaga-lembaga perwakilan, maupun
secara langsung ke pusat-pusat kekuasaan. Untuk menghindari kekacauan karena
partisipasi langsung itu, maka lembaga-lembaga perwakilan tingkat pusat dan
daerah perlu membuka diri dengan memanfaatkan lembaga dengan pendapat secara
luas. Pihak eksekutif dapat membuka diri dengan meningkatkan peranan hubungan
masyarakat dari pemberi keterangan menjadi penerima keluhan dan tuntutan
masyaiakat. Dapat pula Direktorat atau bagian Sosial Politik ditugaskan untuk
melayani partisipasi politik masyarakat sehingga badan
9. Bentuk-Bentuk
Partisipasi
Dalam
tataran praktis, partisipasi politik bisa muncul dalam beberapa bentuk.
Setiap bentuk-bentuk partisipasi politik akan berisikan gaya, tuntunan,
pelaku dan sampai pada tindakan-tindakan yang dilakukan warga negara
dalam konteks politik. Selain itu juga berkenaan denganjumlah orang yang
terlibat dalam bentuk-bentuk partisipasi politik, tidak harus selalu
dilakukan oleh sekelompok orang, tetapi bisa juga dilakukan oleh hanya satu
orang. Perilaku politik seseorang dapat dilihat dari bentuk partisipasi politik
yang dilakukannya. Bentuk partisipasi politik dilihat dari segi kegiatan dibagi
menjadi dua, yaitu: (a) Partisipasi aktif bentuk partisipasi ini
berorientasi kepada segi masukan dan keluaran suatu sistem politik. Misalnya,
kegiatan warga negara mengajukan usul mengenai suatu kebijakana umum,
mengajukan alternatif kebijakan umum yang berbeda dengan menghadiri
rapat umum anggota partai/kelompok kepentingan, membicarakan masalah politik,
mengikuti perkembangan politik melalui media massa, memberikan suara dalam
pemilu. Orang-orang yang apolitis Tingkatan partisipasi politik menurut
Huntington dan Nelson, Rush dan Althoff . (i) Menduduki jabatan
politik atau administratif (ii) Mencari jabatan
politik atau administratif (iii) Keanggotaan aktif suatu
organisasi politik (iv) Keanggotaan pasif
suatu organisasi politik (v) Keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik (quasi-political). (vi) Keanggotaan pasif suatu organisasi semu
politik (quasi-political) (vii). Partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi, dan sebagainya (viii).
Partisipasi dalam diskusi politik
informal minat umum dalam bidang politik (ix) Voting (pemberian suara) Tingkatan partisipasi politik,
mencerminkan kapasistas partisipan dalam berpartisipasi politik. Semakin
tinggi tingkatan yang ditempati, maka semakin tinggi pula tingkatan partisipasi
politiknya. Dalam lingkup partisipasi politiknya, jika semakin tinggi
maka semakin sedikit (semakin mengerucut pada jumlah tertentu). Voting
merupakan tingkatan partisipasi politik terendah, yang membedakan satu tingkat
di atas orang yang apatis total, sementara di atasnya terdapat orang atau
sekelompok orang yang sering terlibat dalam diskusi-diskusi politik
informal, yang proporsinya lebih rendah, namun
intensitasnya lebih tinggi.
10. Faktor
Pendukung partisipasi Politik
a.
Pendidikan
politik menurut Ramdlon Naning, pendidikan politik adalah usaha untuk
memasyarakatkan politik, dalam arti mencerdaskan kehidupan politik rakyat,
meningkatkan kesadaran setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara; serta meningkatkan kepekaan dan kesadaran rakyat terhadap hak,
kewajiban, dan tanggung jawabnya terhadap bangsa dan negara.
b.
Kesadaran
politik Menurut Drs.M. Taupan,Kesadaran politik adalah suatu proses batin yang
menampakkan keinsafan dari setiap warga negara akan urgensi kenegaraan dalam
kehidupan masyarakat dan bernegara, kesadaran politik atau keinsafan hidup
bernegara menjadi penting dalam kehidupan kenegaraan, mengingat
tugas-tugas negara bersifat menyeluruh dan kompleks sehingga tanpa dukungan
positif dari seluruh warga masyarakat, tugas-tugas negara banyak yang
terbengkelai.
c.
Sosialisasi politik
Sosialisasi politik adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
proses dengan jalan mana orang belajar tentang politik dan mengembangkan
orientasi pada politik. adapun alat yang dapat dijadikan sebagai
perantara/sarana dalam sosialisasi politik. antara lain:keluarga(family),sekolah,partai
politik
11. Faktor
Penghambat Partisipasi Politik
Ada banyak orang yang tidak
berpartisipasi dalam politik, hal ini disebabkan oleh beberapa hal antara lain;
1)
Apatis (masa
bodoh) dapat diartikan sebagai tidak punya minat atau tidak punya
perhatian terhadap orang lain, situasi, atau gejala-gejala.
2)
Sinisme menurut
Agger diartikan sebagai “kecurigaan yang busuk dari manusia”, dalam hal ini dia
melihat bahwa politik adalah urusan yang kotor, tidak dapat dipercaya, dan
menganggap partisipasi politik dalam bentuk apa pun sia-sia dan tidak ada
hasilnya.
3)
Alienasi menurut
Lane sebagai perasaan keterasingan seseorang dari politik dan
pemerintahan masyarakat dan kecenderungan berpikir mengenai pemerintahan
dan politik bangsa yang dilakukan oleh orang lain untuk oranng lain tidak adil.
4)
Anomie, yang oleh Lane
diungkapkan sebagai suatu perasaan kehidupan nilai dan ketiadaan awal dengan
kondisi seorang individu mengalami perasaan ketidakefektifan dan bahwa para
penguasa bersikap tidak peduli yang mengakibatkan devaluasi dari tujuan-tujuan
dan hilangnya urgensi untuk bertindak.
12. Fungsi
Partisipasi Politik
Sebagai suatu tindakan atau aktivitas,
baik secara individualmaupun kelompok, partisipasi politik memiliki beberapa
fungsi. Robert Lane (Rush dan Althoff, 2005) dalam studinya tentang
keterlibatan politik , menemukan empat fungsi partisipasi politik bagi
individu-individu.
i. Sebagai
sarana untuk mengejar kebutuhan ekonomis.
ii. Sebagai
sarana untuk memuaskan suatu kebutuhan bagi penyesuaian sosial.
iii. Sebagai
saran untuk mengejar nilai-nilai khusus.
iv. Sebagai
sarana untuk memenuhi keutuhan alam bawah sadar dan kebutuhan psikologis
tertentu. Dari sisi lain, Arbit Sanit (Sastroatmodjo, 1995) memandang ada tiga
fungsi partisipasi politik.
Memberikan
dukungan kepada penguasa dan pemerintah yang dibentuknya beserta sistem politik
yang dibentuknya. 2.Sebagai usaha untuk menunjukkan kelemahan dan kekurangan
pemerintahan 3.Sebagai tantangan terhadap penguasa dengan maksud
menjatuhkannya sehingga kemudian diharapkan terjadi perubahan struktural dalam
pemerintahan dan dalam sistem politik, misalnya melalui pemogokan,
hura-hura dan kudeta. Partisipasi politik juga mempunyai fungsi bagi
kepentingan pemerintahan. Untuk kepentingan pemerintahan, partisipasi politik
mempunyai fungsi sebagai berikut:
(1)
Untuk mendorong
program-program pemerintah. Hal ini berarti bahwa peran serta masyarakat
diwujudkan untuk mendukung program politik dan program pemerintah.
(2)
Sebagai
institusi yang menyuarakan kepentingan masyarakat untuk masukan bagi pemerintah
dalam mengarahkan dan meningkatkan pembangunan.
(3)
Sebagai sarana untuk
memberikan masukan, saran dan kritik terhadap pemerintah dalam
perencanaan dan pelaksanaan program-program pembangunan.
13. Manfaat
Partisipasi Politik
Manfaat
partisipasi politik menurut beberapa ahli:
a. Menurut
Robert Lane;
a) sebagai
sarana untuk mengejar kebutuhan ekonomi
b) sebagai
saranauntuk memuaskan suatu kebutuhn bagi penyesuaian sosial
c) sebagai
sarana mengejar niai-nilai khusus.
d) sebagai
sarana untuk memenuhi kebutuhan alam bawah sadar dan kebutuhanpsikologis
tertentu.
b. Menurut
Arbi Sanit;
a)
Memberikan dukungan
kepada penguasadan pemerintah yang dibentuknya beserta sistem politik
yang dibentuknya.
b)
Sebagai usaha untuk
menunjukkan kelemahan dan kekurangan pemerintah
c)
Sebagai
tantangan terhadap penguasa dengan maksud menjatuhkannya sehinggadiharapkan
terjadi perubahan struktural dalam pemerintahan dan dalam sistem politik
Manfaat Partisipasi Politik bagi Pemerintah: (i) Mendorong program-program
pemerintah. (ii) Sebagai institusi yang menyuarakan kepentingan masyarakat
untuk masukan bagi pemerintah dalam mengarahkan dan meninngkatkan
pembangunan. (iii) Sebagai sarana
untuk memberikan masukan, saran dan kritik terhadap pemerintah dalam
perencanaan dan pelaksanaan program-proram pembangunan.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Indonesia sudah
mengenal partai politik dari zaman kolonial yaitu pada tahun 1918, sebagai
manifestasi bangkitnya kesadaran nasional dan berkembang lagi dizaman
pendudukan jepang. Sedangkan pada zaman Demokrasi indonesia mengembangkan
politiknya melalulai Badan-badan petinggi negar yaitu Badan Eksekutif yang
meliputi Presiden, mentri-mentri dan kabinet. Kemudian badan legislatif yang
meliputi MPR dan DPR. Dan Badan Yudikatif yaitu Mahkamah Agung.
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Farid, A.M. (2014). Makalah Perkembangan Politik di Indonesia.
[Online]. Tersedia: http://faridbloger.blogspot.com/2014/05/makalah-perkembangan-politik-diindonesia.html. (18 November 2014).
Hadi, N. (2013). Sistem
Politik di Indonesia. [Online]. Tersedia: http://nyunghadi.blogspot.com/2013/06/sistem-politik-di-indonesia-indonesia.html(18 November 2014).
Komariah.
(2013). Perkembangan Politik di Indonesia.
[Online]. Tersedia: http://komkomriah.blogspot.com/2013/03/perkembangan-politik-di-indonesia.html.
(18 November 2014).
http://elpakpahantampan.wordpress.com/2013/09/19/partisipasi-masyarakat-dalam-politik/. (18 November 2014).
Refka.
(2014). Makalah Partisipasi Politik.
[Online]. Tersedia: https://www.academia.edu/7698270/MAKALAH_PARTISIPASI_POLITIK_Makalah_Ini_Disusun_untuk_Tugas_Ujian_Tengah_Semester_Mata_Kuliah_Pengantar_Ilmu_Politik_Semester_Pendek_2014_Oleh_REFKA_1310862013. (18 November 2014).
Sartika,
F. (2010). Makalah Partisipasi Masyarakat
dalam Politik Sebagai Implementasi Nilai-Nilai Demokrasi di Indonesia.
[Online]. Tersedia: http://febrisartika257.wordpress.com/tugas-media/internet-dan-web-desain/artikel-makalah/partisipasi-masyarakat-dalam-politik-sebagai-implementasi-nilai-nilai-demokrasi-di-indoneisa/. (18 November 2014).
Sujito.
(2009). Partisipasi Politik Masyarakat.
[Online]. Tersedia: http://jitoum.blogspot.com/2009/05/partisipasi-politik-masyarakat-di.html. (18 November 2014).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar