Selasa, 12 Oktober 2021

IMPLEMENTASI KARAKTER BERPIKIR ARGUMENTATIF DI SEKOLAH

 BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar belakang masalah
Pendidikan merupakan suatu kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia, karena dengan pendidikan, manusia bisa mengolah akal pikirannya dengan pola yang terarah. Pada hakikatnya pendidikan dilakukan sepanjang hayat, dalam arti lain bahwa pendidikan diperoleh manusia dari semenjak dilahirkan sampai akhir hayat. Selama rentang waktu tersebut pula manusia menjalani proses pembelajaran baik melalu pendidikan formal maupun non formal (Saputra, 2016). Salah satu pendidikan yang sudah lama menjadi perhatian pemerintah adalah pendidikan karakter.
Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui pengajaran dan latihan (Jalil, 2012, hlm. hlm. 179; Kaimuddin, 2014, hlm. 48). Karakter adalah cara berpikir dan berprilaku yang khas tiap individu untuk hidup bekerjasama, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara (Kaimuddin, 2014, hlm. 52; Suradi, 2017, hlm. 524). Sehingga dapat disimpulkan jika pendidikan karakter adalah usaha sadar dan terencana melalui lingkungan pembelajaran untuk tumbuh kembangnya seluruh potensi manusia yang agar memiliki kepribadian baik, bermoral-berakhlak, dan memberikan dampak baik pada alam dan masyarakat. Pendidikan karakter bertujuan mengembangkan nilai-nilai yang membentuk karakter bangsa sehingga mampu mewujudkan masyarakat yang berketuhanan, berkemanusiaan, berjiwa, berjiwa kerakyatan serta berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Alawiyah, 2012, hlm. 92).
Selain itu, pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila (Wathoni, 2011, hlm. 141; Alawiyah, 2012, hlm. 89). Salah satu nilai yang terdapat dalam pendidikan karakter adalah karakter berpikir argumentatif. Menurut Reason dalam Sanjaya (2014) berpikir (thinking) adalah proses mental seseorang yang lebih dari sekedar mengingat
(remembering) dan memahami (comprehending). Sedangkan menurut Keraf (2007) dalam Syaifudin (2011) Argumentasi adalah suatu bentuk retorika yang berusaha untuk mempengaruhi sikap dan pendapat orang lain, agar mereka itu percaya dan akhirnya bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pembicara. Sehingga dapat disimpulkan bahwa berpikir argumentatif adalah proses berkembangnya suatu ide, konsep, pemikiran yang baru yang keluar dari dalam diri seseorang yang berusaha mempengaruhi orang lain agar bertindak sesuai dengan yang diintruksikan.
Berpikir argumentatif didasari dari sifat kritis dan logis. Artinya ketika berpikir argumentatif dibarengi berpikir secara kritis yaitu penilaian yang bertujuan untuk menghasilkan penafsiran, analisa, evaluasi dan kesimpulan, serta penjelasan atas bukti, konsep, metodologi dan kriteria atau pertimbangan-pertimbangan yang menjadi dasar dari penilaian tadi (Facione, 1990). Berpikir argumentatif dapat diterapkan di sekolah dalam berbagai pembelajaran. Tujuannya agar siswa dapat terbiasa untuk memecahkan berbagai persoalan dengan kemampuan nalar mereka. Bertemali dengan berbagai permasalahan yang telah dibahas pada paragraf sebelumnya, maka penulis mencoba menelusuri akar dari permasalahan yang terjadi saat ini khususnya mengenai implementasi karakter argumentatif di sekolah.

1.2  Rumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka yang menjadi fokus masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana implementasi karakter berpikir argumentative di sekolah?”
Untuk menjawab masalah umum di atas maka perlu solusi pemecahan masalah melalui rumusan masalah khusus sebagai berikut:
1.   Bagaimanakah konsep dari karakter?
2.   Bagaimanakah konsep dari berpikir argumentatif?
3.   Bagaimanakah implementasi karakter berpikir argumentatif?

1.3  Tujuan Penelitian
Mengacu pada rumusan masalah, maka tujuan umum yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk memotret situasi dan memperoleh gambaran secara menyeluruh, luas, dan mendalam tentang integrasi pribadi religius di sekolah dasar.
Tujuan khusus penelitian ini adalah menemukan hasil dari integrasi pribadi religius di sekolah dasar yang meliputi:
1.   Konsep dari karakter.
2.   Konsep dari berpikir argumentatif.
3.   Implementasi berpikir argumentatif di sekolah.

1.4  Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
a. Teoritis
Secara teoritis penelitian ini akan memperkaya dan mengembangkan ilmu atau teori. Secara akademik penelitian ini dapat memperkaya cara implementasi karakter berpikir argumentatif di sekolah.
b.  Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis, yaitu:
1)      Bagi guru, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu cara dalam implementasi karakter berpikir argumentatif di sekolah.
2)      Bagi sekolah, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar dalam perencanaan program sekolah, penyediaan dan peningkatan mutu sarana pembelajaran, serta pelaksanaan supervisi pendidikan.
3)      Bagi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai landasan untuk menentukan kebijakan dalam menyusun kurikulum dalam berbagai jenjang pendidikan.

1.5  Struktur Organisasi Makalah
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas dan terarah, maka penulis membuat struktur organisasi makalah. Struktur organisasi makalah merupakan sistematika penulisan serta rincian mengenai urutan penulisan makalah. Makalah ini terdiri dari tiga bab, yaitu bab pertama berisi tentang pemaparan latar belakang penelitian, rumusan masalah penelitian, tujun penelitian, manfaat penelitian, serta struktur organisasi makalah. Bab kedua berisi kajian teoritis yang meliputi kajian tentang karakter berpikir argumentatif, kritis dan logis, dan implementasi karakter berpikir argumentatif di sekolah. Bab membahas simpulan, implikasi, serta rekomendasi sesuai dengan hasil yang diperoleh dalam penelitian.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1  Karakter
Karakter adalah cara berpikir dan berprilaku yang khas tiap individu untuk hidup bekerjasama, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara (Kaimuddin, 2014, hlm. 52; Suradi, 2017, hlm. 524). Menurut Listyarti (2012, hlm. 5-8) terdapat 18 pendidikan karakter bangsa yang harus disisipkan dalam pendidikan, yaitu:
1.         Religius
Religius adalah sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
2.         Jujur
Jujur adalah perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
3.         Toleransi
Toleransi adalah sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
4.         Disiplin
Disiplin adalah suatu tindakan yang menunjukkan sikap atau perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan yang ada.
5.         Kerja keras
Kerja keras adalah suatu perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan guna menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
6.         Kreatif
Kreatif adalah berfikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
7.         Mandiri
Mandiri adalah sikap dan perilaku yang tidak mudah bergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
8.         Demokratis
Demokratis adalah cara berpikir, bersikap dan bertindak yang menilai mengenai hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
9.         Rasa ingin tahu
Rasa ingin tahu adalah sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan luas dari hal yang telah dipelajari, dilihat, dan didengar.
10.     Semangat Kebangsaan
Semangat Kebangsaan adalah cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan diri sendiri dan kelompoknya.
11.     Cinta Tanah Air
Cinta Tanah Air adalah cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan, fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.
12.     Menghargai Prestasi
Menghargai Prestasi dalah sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
13.     Bersahabat/Komunikatif
Bersahabat/Komunikatif adalah tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.
14.     Cinta Damai
Cinta Damai adalah sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.
15.     Gemar Membaca
Gemar Membaca adalah kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
16.     Peduli lingkungan
Peduli lingkungan adalah sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dsn mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
17.     Peduli sosial
Peduli sosial adalah sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
18.     Tanggung jawab
Tanggung jawab adalah sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap dirinya maupun orang lain dan lingkugan sekitarnya.

2.2  Berpikir Argumentatif
Menurut Reason dalam Sanjaya (2014) berpikir (thinking) adalah proses mental seseorang yang lebih dari sekedar mengingat (remembering) dan memahami (comprehending). Sedangkan Mussen, & Rossenzweig dalam Hamzah, &  Muhlisrarini (2014) berpikir adalah yang mengacu pada banyak macam aktivitas yang melibatkan manipulasi konsep dan lambing serta penyajian objek. Dalam arti yang terbatas berpikir itu tidak dapat didefinisikan. Tiap kegiatan jiwa yang menggunakan kata-kata dan pengertian selalu mengandung  hal  berpikir. 
Berpikir  adalah  satu  keaktifan  pribadi manusia yang mengakibatkan penemuan yang terarah kepada suatu tujuan. Berpikir erat hubungannya dengan daya-daya jiwa yang lain, seperti dengan tanggapan, ingatan, pengertian, dan perasaan. Tanggapan memberikan  peranan  penting  dalam  berpikir,  meskipun  adakalanya dapat mengganggu jalannya berpikir. Ingatan merupakan syarat pengalaman dari pengamatan yang telah lampau. Pengertian, meskipun merupakan hasil berpikir dapat memberi bantuan yang besar pula dalam suatu proses berpikir. Perasaan selalu menyertai pula, ia merupakan dasar yang mendukung suasana hati, atau sebagai pemberi keterangan dan ketekunan yang dibutuhkan untuk   memecahkan masalah atau persoalan Hamzah, &  Muhlisrarini (2014).
Sedangkan Argumentasi menurut Keraf (2007) dalam Syaifudin (2011) adalah suatu bentuk retorika yang berusaha untuk mempengaruhi sikap dan pendapat orang lain, agar mereka itu percaya dan akhirnya bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pembicara. Sebuah argumentasi yang baik dan lengkap bukan sekadar sebuah pernyataan, tetapi menuntut sebuah alasan dengan mengemukakan bukti-bukti dan contoh-contoh. Argumentasi harus selalu berorientasi pada data, fakta atau bukti-bukti yang objektif sehingga dapat diterima kebenarannya. Oleh karenanya untuk berargumentasi seseorang akan melakukan kegiatan analisis dan berpikir kritis. Lebih jauh lagi argumentasi juga memiliki sifat persuasif atau dapat mengubah mau pun mempengaruhi  pikiran orang lain.  Hal ini sejalan dengan pendapat Driver, dkk (2000) bahwa argumentasi adalah proses yang digunakan seseorang untuk menganalisis informasi kemudian dikomunikasikan kepada orang lain. Sehingga dapat disimpulkan bahwa berpikir argumentatif adalah proses berkembangnya suatu ide, konsep, pemikiran yang baru yang keluar dari dalam diri seseorang yang berusaha mempengaruhi orang lain agar bertindak sesuai dengan yang diintruksikan.
Dasar dari berpikir argumentatif adalah  kritis dan logis. Hal tersebut menjadikan sebuah argumentasi harus didasarkan pada fakta-fakta yang logis (Syaifudin, 2011). Menurut Keraf dalam Syaifudin (2011) menyatakan bahwa penalaran harus menjadi landasan sebuah tulisan argumentasi. Penalaran adalah suatu proses berpikir yang berusaha menghubungkan fakta-fakta atau evidensi-evidensi yang diketahui menuju kepada suatu kesimpulan. Berpikir yang berusaha menghubungkan untuk mencapai suatu kesimpulan yang logis. Evidensi adalah semua fakta yang ada, semua kesaksian, semua informasi, atau autoritas, dan sebagainya yang dihubung-hubungkan untuk membuktikan suatu kebenaran.

2.2.1   Kritis dan logis
Dalam berpikir argumentatif dibutuhkan sifat kritis dan logis. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) kritis adalah dalam keadaan yang paling menentukan berhasil atau gagalnya suatu usaha. Pendapat lain dikemukakan oleh Halpern (1998), Larsson (2017) dalam Sulaiman, & Syakarofath (2018) yakni kritis dapat diartikan sebagai upaya seseorang untuk memeriksa kebenaran dari suatu informasi menggunakan ketersediaan bukti, logika, dan kesadaran akan bias. Berpikir kritis merujuk pada penilaian yang bertujuan untuk menghasilkan penafsiran, analisa, evaluasi dan kesimpulan, serta penjelasan atas bukti, konsep, metodologi dan kriteria atau pertimbangan-pertimbangan yang menjadi dasar dari penilaian tadi (Facione, 1990). Berpikir kritis, yaitu aktivitas mental yang dilakukan menggunakan langkah-langkah dalam metode ilmiah, yaitu: memahami dan merumuskan masalah, mengumpulkan dan menganalisis informasi yang diperlukan dan dapat dipercaya, merumuskan praduga dan hipotesis, menguji hipotesis secara logis, mengambil kesimpulan secara hati-hati, melakukan evaluasi dan memutuskan sesuatu yang akan diyakini atau sesuatu yang akan dilakukan, serta meramalkan konsekuensi yang mungkin terjadi (Abdullah, 2013). Berpikir kritis sangat diharapkan setia individu untuk menyikapi permasalahan kehidupan yang dihadapi. Aktivitas berpikir kritis akan mendorong setiap individu untuk dapat mengatur, menyesuaikan, mengubah, atau memperbaiki pikirannya sehinga dapat bertindak secara tepat.
Sedangkan sifat logis diperlukan karena semua yang dipikirkan harus masuk akal. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) logis adalah sesuai dengan logika; benar menurut penalaran; masuk akal. Menurut Mukhayat (2004) dalam Saragih (2017) kata logis mengandung makna besar atau tepat berdasarkan aturan-aturan berpikir dan kaidah-kaidah atau patokan-patokan umum yang digunakan untuk dapat berpikir tepat. Berpikir logis tidak terlepas dari dasar realitas, sebab yang dipikirkan adalah realitas, yaitu hukum realitas yang selaras dengan aturan berpikir. Dari dasar realitas yang jelas dan dengan menggunakan hukum-hukum berpikir akhirnya akan dihasilkan putusan yang dilakukan. Menurut Albrecht (1992) dalam Saragih (2017), agar seseorang sampai pada berpikir logis, dia harus memahami dalil logika yang merupakan peta verbal yang terdiri dari tiga bagian dan menunjukkan gagasan progresif, yaitu: (1) dasar pemikiran atau realitas tempat berpijak, (2) argumentasi atau cara menempatkan dasar pemikiran bersama, dan (3) simpulan atau hasil yang dicapai dengan menerapkan argumentasi pada dasar pemikiran.

2.3  Implementasi berpikir argumentatif di sekolah
Berpikir argumentatif merupakan hal yang harus dimiliki oleh siswa, karena akan membantu mereka dalam mengkritisi berbagai pengetahuan atau pembelajaran yang tidak sesuai, tidak cocok serta tidak ada dasar pemikirannya. Implementasi berpikir argumentatif dapat diterapkan salah satunya dalam pembelajaran. Contohnya dalam pelajaran matematika. Matematika merupakan ilmu pengetahuan eksak dan terorganisir secara sistematik. Sebagai ilmu pengetahuan, matematika memiliki aspek logis dan kritis yang tersusun secara konsisten (Nani, 2016).  Soal-soal dalam matematika cenderung mendorong siswa agar berpikir argumentatif disertai kritis dan logis.
Dengan berpikir argumentatif disertai kritis dan logis, siswa akan mampu mengidentifikasi, mengevaluasi, dan mengkontruksi argumen serta mampu memecahkan masalah dengan tepat (Nugraha, & Mahmudi, 2015). Pekerjaan mendasar bagi guru dewasa ini adalah mengembangkan proses pembelajaran yang mampu menfasilitasi terbentuknya situasi belajar yang menyenangkan sehingga siswa dapat mengembangkan daya berpikir argumentatif, kritis dan memiliki penalaran logis. Menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan, dengan semangat kerjasama yang bijaksana dan kreatif dapat dilakukan melalui pembelajaran. Contoh soal:
·         Diketahui garis dengan persamaan y = 2x melalui titik pusat koordinat.
·         Garis dengan persamaan y = 5x melalui titik pusat koordinat.
·         Maka, garis dengan persamaan y = mx untuk suatu bilangan real m
melalui titik pusat koordinat.

BAB III
SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI

3.1 Simpulan
Berdasarkan hasil analisis, temuan, dan pembahasan yang telah diuraikan dan dibahas pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.
1.     Karakter adalah cara berpikir dan berprilaku yang khas tiap individu untuk hidup bekerjasama, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
2.    Berpikir argumentatif adalah proses berkembangnya suatu ide, konsep, pemikiran yang baru yang keluar dari dalam diri seseorang yang berusaha mempengaruhi orang lain agar bertindak sesuai dengan yang diintruksikan.
3.    Implementasi karakter berpikir argumentatif di sekolah salah satunya melalui mata pelajaran matematika, dimana siswa dituntun untuk dapat berpikir argumentatif disetai kritis dan logis agar mampu menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi.

3.2 Implikasi
Hasil penelitian, pembahasan, dan kesimpulan menunjukkan bahwa implementasi karakter berpikir argumentatif di sekolah merupakan kegiatan yang dapat membentuk karakter siswa menjadi lebih baik dan manusia yang berwawasan dan berpengetahuan dengan didasari kemampuan berpikir tingkat tinggi.

3.3 Rekomendasi
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan, secara keseluruhan hasil penelitian ini memberikan beberapa rekomendasi yang dapat dijadikan pertimbangan bahwa integrasi pribadi religius merupakan salah satu upaya
menginternalisasikan nilai karakter di sekolah. Melalui hasil penelitian, secara khusus rekomendasi juga diberikan sebagai berikut.
1.   Bagi Program Studi Pendidikan Umum dan Karakter
Hasil penelitian dapat dijadikan bahan kajian bagi mahasiswa program studi Pendidikan Umum dan Karakter dalam mengimplementasikan karakter berpikir argumentatif di sekolah.
2.   Bagi Sekolah
Hasil penelitian dapat dijadikan rujukan bagi sekolah dalam mempertahankan dan meningkatkan implementasi karakter berpikir argumentatif di sekolah.
3.   Bagi guru
Hasil penelitian dapat dijadikan rujukan dalam membuat program dan kegiatan yang lebih baik dan sempurna.
4.   Bagi peneliti berikutnya
Hasil penelitian dapat dijadikan rujukan untuk penelitian lebih lanjut dalam aspek penerapan, esplorasi pokok bahasan dan/atau mata kuliah lain.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, I. H. (2013). Berpikir Kritis Matematik. Delta-Pi: Jurnal Matematika
dan Pendidikan Matematika, 2 (1), 66-75.
Alawiyah, F. (2012). Kebijakan dan Pengembangan Pembangunan Karakter
melalui Pendidikan di Indonesia: Aspirasi, 3 (1), 87-101.
Driver, R., dkk. (2000). Establishing the norms of scientific argumentation in
Classrooms. Science Education, 84(3), 287-312. https://doi.org/10.1002/(SICI)1098-237X(200005)84:3%3C287::AID-SCE1%3E3.0.CO;2-A.
Facione, P. A. (1990). Critical Thinking: A Statement of Expert Consensus
for Purposes of Educational Assessment andInstruction. Research Findings  and Recommendations. [Online]. Tersedia di: https://www.researchgate.net/profile/Peter_Facione/publication/242279575_Critical_Thinking_A_Statement_of_Expert_Consensus_for_Purposes_of_Educational_Assessment_and_Instruction.
Faqihi, dkk. (2015) Eksperimentasi Model Pembelajaran Problem Based Learning
(PBL) dan Kooperatif Tipe Group Investigasi (GI) Pada Materi Peluang Ditinjau Dari Kemandirian Belajar Siswa. Jurnal Elektronik Pembelajaran Matematika, 3 (10), 1048-1056.
Hamzah, A., &  Muhlisrarini. (2014). Perencanaan dan Strategi Pembelajaran
Matematika. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Jalil, A. (2012). Karakter Pendidikan untuk Membentuk Pendidikan Karakter:
Jurnal Pendidikan Islam, 6 (2), 176-192.
Kaimuddin. (2014). Implementasi Pendidikan Karakter dalam Kurikulum 2013:
Dinamika Ilmu Vol. 14. No.1, hlm. 47-63
Listyarti, R. 2012.  Pendidikan Karakter dalam Metode Aktif, Inovatif, & Kreatif.
Jakarta: Esensi.
Nani, K. L. (2016). Pengembangan Pembelajaran Kooperatif Dalam
Mengkonstruksi Kemampuan Berpikir Kritis Dan Penalaran Logis Matematis Siswa. Delta-Pi: Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika, 5 (2), 79-89.
Nugraha, T. S., & Mahmudi, A. (2015). Keefektifan Pembelajaran Berbasis
Masalah Dan Problem Posing Ditinjau Dari Kemampuan Berpikir Logis Dan Kritis. Jurnal Riset Pendidikan Matematika, 2 (1), 107-120.
Purwanto, N. (2010).  Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sanjaya, W. (2014).  Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses
Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.
Saputra, D. S. (2016). Pengaruh Metode Pembelajaran Dan Berpikir Kritis
Terhadap Kemampuan Menulis Argumentasi. Jurnal Pendidikan
Dasar, 7 (1), 1-12.
Saragih, S. (2017). Menumbuhkembangkan Berpikir Logis dan Sikap Positif
terhadap Matematika melalui Pendekatan Matematika Realistik.
[Online]. Tersedia di:
https://www.researchgate.net/publication/255671760.
Sulaiman, A., & Syafarofath, N. A. (2018). Berpikir Kritis: Mendorong Introduksi
dan Reformulasi Konsep dalam Psikologi Islam. Buletin Psikologi
2018, 26 (2), 86-96.
Suradi, (2017). Pembentukan Karakter Siswa melalui Penerapan Disiplin Tata
Tertib Sekolah : Jurnal Riset dan Konseptual, 2 (4), 522-533.
Syaifudin, A. (2011). Penalaran Argumen Siswa Dalam Wacana Tulis
Argumentatif Sebagai Upaya Membudayakan Berpikir Kritis Di SMA. Lingua Jurnal Bahasa dan Sastra, VII (1), 65-76.

Senin, 21 Desember 2020

implementasi kebijakan mata kuliah Pendidikan Agama Islam sebagai pendidikan karakter

 

BAB I

PENDAHULUAN 
A.    Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia saat ini diyakini sedang mengalami berbagai kemerosotan akibat dari krisis moral. Parahnya lagi adalah hampir pada semua segmen kehidupan dan seluruh lapisan masyarakat dan tak terkecuali  sampai kepada segmen pendidikan. Keadaan pendidikan akhir-akhir ini di Indonesia semakin memprihatinkan dan meresahkan masyarakat.Krisis yang paling menonjol dari dunia pendidikan adalah krisis pendidikan moral/akhlak atau dalam pengertian sekarang adalah krisis karakter.
Menurut Sudewo dalam bukunya Best Practice Character Building bahwa kemelut Indonesia yang semakin carut marut ini diyakini karena ketiadaan karakter. Kenihilan karakter pada suatu bangsa tentu akan menjadi masalah besar dan menjadikan bangsa ini ibarat layangan putus dan limbung diterpa angin, sehingga akan menghilangkan martabat sebagai suatu negara.
Thomas Lickona (dalam Barnawi dan M. Arifin, 2016: 12-13), tentang sepuluh tanda zaman yang kini terjadi, yakni sebagai berikut : a) Meningkatnya kekerasan di kalangan remaja ( atau bahkan anak-anak). b) Membudayanya ketidakjujuran. c) Sikap fanatik terhadap kelompok/grup (geng) tertentu. d) Rendahnya rasa hormat terhadap orang tua atau guru. e) Semakin kaburnya moral baik dan buruk. f) Penggunaan tutur bahasa yang kian memburuk ( makian, cacian, ejekan, hujatan, fitnah, mesoh, alay) tanpa memperhatikan perasaan orang lain. g) Meningkatnya perilaku yang merusak diri seperti penggunaan narkoba, alkohol, judi dan seks bebas. H) Rendahnya rasa tanggung jawab sebagai individu dan sebagai warga negara. i) Menurunnya etos kerja dan adanya rasa saling curiga. j) Kurangnya kepedulian diantara sesama.
Fenomena inilah yang membuat betapa dunia pendidikan di Indonesia tidak dapat menahan kemerosoton karakter yang terjadi.Ini merupakan akibat dari titik berat pendidikan yang masih lebih banyak pada masalah kognitif.Penentu kelulusanpun masih lebih banyak pada prestasi akademik dan kurang memperhitungkan akhlak dan budi pekerti siswa.Bahkan jika dilihat dari sudut global, munculnya banyak masalah yang mendera bangsa Indonesia adalah akibat rendahnya moral dan karakter para pelaku kebijakan yang juga diikuti oleh rendahnya etos kerja masyarakat. Sederhananya solusi yang tepat adalah menerapkan pendidikan yang berlandaskan karakter.
Munculnya pendidikan karakter memberikan warna tersendiri terhadap dunia pendidikan khususnya di Indonesia, meskipun dalam kenyataannya pendidikan karakter itu telah ada seiring dengan lahirnya sistem pendidikan Islam karena pendidikan karakter itu merupakan ruh dari pada pendidikan Islam itu sendiri. Pendidikan Islam merupakan sebuah sistem. Definisi tradisional menyatakan bahwa sistem adalah seperangkat komponen atau unsur unsur yang saling berinteraksi untuk mencapai suatu tujuan (Ramayulis, 2010: 19).
Berdasarkan uraian di atas, maka terdapat dua hal yang harus mendapat perhatian. Pertama, munculnya fenomena menurunnya budi pekerti luhur di kalangan siswa. Kedua, belum adanya model pendidikan karakter di sekolah yang sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya yang dapat membentuk  karakter siswa. Perlu dicari dan dirumuskan model pendidikan karakter  yang efektif untuk dapat dilaksanakan di sekolah.
Dari latar belakang inilah pemerintah memutuskan pada setiap satuan pendidikan diminta melakukan penanaman nilai-nilai karakter sebagai usaha menjadikan peserta didik yang memiliki karakter berakhlakul karimah. Hal ini didasari dengan ditetapkannya pendidikan karakter, UU No. 20 th 2003 tentang SISDIKNAS agar peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab, dan kurikulum 2006 yang didalamnya memuat tentang pengembangan diri dan latihan pembiasaan merupakan usaha pemerintah memaksimalkan sekolah dalam menanamkan nilai-nilai moral anak didik serta menciptakan perilaku yang baik. 
Sebagai seorang muslim siswa  diharapkan dapat memiliki religiusitas  yang baik di sekolah dengan cara  melaksanakan rutinitas keagamaan di  sekolah tidak hanya sekedar mematuhi  peraturan. Namun kenyataannya, belum  semua siswa yang mengaku beragama  Islam mau untuk menjalankan ibadah  dengan baik ketika berada di sekolah,  hanya sebagian siswa saja yang mau  melaksanakan ibadah disekolah, seperti  mengerjakan sholat sunnat, maupun  sholat wajib di masjid sekolah (data dari  Dinas Pendidikan dan kebudayaan,  2004). 
Upaya yang bisa dilakukan untuk pembinaan karakter siswa di sekolah di antaranya adalah dengan memaksimalkan fungsi mata pelajaran pendidikan agama di sekolah. Pendidikan agama dapat dijadikan basis untuk pembinaan karakter siswa tersebut. Guru agama bersama-sama para guru yang lain dapat merancang berbagai aktivitas sehari-hari bagi siswa di sekolah yang diwarnai nilai-nilai ajaran agama. Dengan cara ini, siswa diharapkan terbiasa untuk melakukan aktivitas-aktivitas keagamaan yang pada akhirnya dapat membentuk karakternya.

B.       Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian pendidikan karakter?

2.      Bagaimana pendidikan karakter menurut perspektif agama Islam?

3.      Apa kebijakan pendidikan agama Islam?

4.      Bagaimana implementasi kebijakan mata kuliah Pendidikan Agama Islam sebagai pendidikan karakter?


C.       Tujuan Masalah

1.      Mengetahui pengertian pendidikan karakter.

2.      Mengetahui pendidikan karakter menurut perspektif agama Islam.

3.      Mengetahui kebijakan pendidikan agama Islam.

4.      Mengetahui implementasi kebijakan mata kuliah Pendidikan Agama Islam sebagai pendidikan karakter.

D.    Metode dan Teknik Pemecahan Masalah

Komponen yang juga sangat penting dalam pendidikan Islam yang sekaligus merupakan ruang lingkup pendidikan Islam adalah metode. Dalam pandangan filosofis pendidikan, metode merupakan alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan pendidikan (Ramayulis, 2012: 3). Sedangkan metode pendidikan Islam adalah jalan, atau cara yang dapat ditempuh untuk menyampaikan bahan atau materi pendidikan Islam kepada anak didik agar terwujud kepribadian muslim (Uhbiyati, 2005: 133).
Abdur Rahman An-Nahlawi (1996: 284) diantara metode-metode yang paling penting dan menonjol ialah:
1. Metode Khiwar(percakapan) Qurani dan Nabawi.
2. Mendidik dengan kisah-kisab Qurani dan Nabawi.
3. Mendidik dengan Amtsal (perumpamaan) Qurani dan Nabawi.
4. Mendidik dengan memberi teladan.
5. Mendidik dengan pembiasaan diri dan pengamalan.

6.Mendidik dengan mengambil ‘ibrah(pelajaran) dan mau’izhah (peringatan).

 7. Mendidik dengan Targhib (membuat senang) dan Tarhib (membuat takut)

Menurut Riyanto (2010), Dalam rangka mengimplementasikan pendidikan karakter di sekolah terdapat empat (4) tawaran model penerapan, yaitu : a) Model otonomi dengan menempatkan pendidikan karakter sebagai mata      pelajaran tersendiri, b) Model integrasi dengan menyatukan nilai-nilai dan karakterkarakter yang akan dibentuk dalam setiap mata pelajaran, c) Model ekstrakurikuler melalui sebuah kegiatan tambahan yang berorintasi pembinaan karakter siswa, d) Model kolaborasi dengan menggabungkan ketiga model tersebut dalam seluruh kegiatan sekolah.
Pendidikan Islam yang dilalui oleh peserta didik menanamkan nilai-nilai agama secara utuh terhadap anak didik setelah proses pendidikan itu berlangsung. Nilai-nilai agama yang telah terbentuk pada pribadi anak didik tidak dapat diketahui oleh pendidik muslim tanpa melalui proses evaluasi. Kemudian evaluasi dalam pendidikan Islam merupakan cara atau teknik penilaian terhadap tingkah laku anak didik bedasarkan standar perhitungan yang bersifat komprehensif dari seluruh aspek-aspek kehidupan mental-psikologis dan spiritual-religius, karena manusia bukan saja sosok pribadi yang tidak hanya bersikap religius, melainkan berilmu dan keterampilan yang sanggup beramal dan berbakti kepada Tuhan dan masyarakatnya (Arifin, 2006: 162).

BAB II
KAJIAN TEORI

 

A.       Pendidikan karakter

Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun berkarakter, adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, dan berwatak.
Secara linguistik oleh Anas Salahuddin & Irwanto dalam Setiawan (2014) memberikan beberapa pengertian diantaranya:
a.       Karakter adalah bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, atau watak.

b.      Karakter mengacu pada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan.

c.        Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan yang diyakini dan digunakan sebagai landasan cara pandang, berpikir, bersikap dan bertindak.

d.      Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu untuk hidup dan bekerja sama baik keluarga, masyarakat atau bangsa

Berdasarkan Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa (2010) merumuskan definisi karakter sebagai nilai-nilai yang khas-baik (tahu nilai kebaikan, mau berbuat baik, nyata berkehidupan baik, dan berdampak baik terhadap lingkungan) yang terpatri dalam diri dan terejawantahkan dalam perilaku.

Pendidikan karakter dimaknai sebagai pendidikan yang mengem-bangkan nilai-nilai   karakter pada diri peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat dan warganegara yang religius, nasionalis, produktif, dan kreatif (Pusat Kurikulum, 2010). Sedangkan menurut Lickona, karakter berkaitan dengan konsep moral (moral knowing), sikap moral (moral feeling), dan perilaku moral (moral behavior)

Menurut Samani (2011:41) mengemukakan bahwa karakter dapat dimaknai sebagai cara berpikir dan berperilaku yang khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, maupun bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang dapat membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan setiap akibat dari keputusannya.

Pendidikan Karakter adalah pendidikan yang mendukung perkembangan sosial, emosional, dan etis siswa. Dirjen Dikti (dalam Barnawi & Arifin, 2013) menyebutkan bahwa pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, mewujudkan, dan menebar kebaikan itu dalam kehidupan seharihari dengan sepenuh hati. Semantara secara sederhana pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai hal postif apa saja yang dilakukan guru.

Menurut Hasanah pendidikan karakter adalah pemberian pandangan mengenai berbagai jenis nilai hidup yang akan menunjukkan jati diri sebagai manusia yang sadar diri sebagai makhluk, warga negara, dan pria atau wanita. Karakter seseorang merupakan ukuran martabat dirinya sehingga berpikir objektif, terbuka, kritis, serta memiliki harga diri yang tidak mudah diperjualbelikan


B.   Pendidikan Agama Islam.

Pendidikan Agama Islam merupakan salah satu materi yang bertujuan meningkatkan akhlak mulia serta nilai-nilai spiritual dalam diri anak. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan agama mempunyai peranan yang penting dalam melaksanakan pendidikan karakter disekolah. Oleh karena itu Pendidikan agama menjadi salah satu mata pelajaran wajib baik dari sekolah tingkat dasar, menengah dan perguruan tinggi. Maka sekolah harus mampu menyelenggarakan pendidikan agama secara optimal dengan cara mengaplikasikan nilainilai agama dalam lingkungan sekolah yang dilakukan oleh seluruh guru dan peserta didik secara bersama-sama serta berkesinambungan.

Kemudian masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama. Oleh karena itu, kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama dan kepercayaannya. Secara politis, kehidupan kenegaraan pun didasari pada nilai-nilai yang berasal dari agama. Atas dasar pertimbangan itu, maka nilainilai pendidikan  karakter harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah yang berasal dari agama.

Selanjutnya berdasarkan betapa pentingnya akhlak atau karakter dalam pendidikan sehingga Allah mengabadikannya dalam al-Qur’an surah Al-Qalam: 4 yang terjemahnya: “Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al-Qalam: 4). Ayat tersebut menjadi kunci betapa Allah sangat menekankan kepada ummat manusia untuk memiliki akhlak atau karakter dalam berbagai aspek kehidupan, hal ini terbukti dengan diutusnya Nabi Muhammad SAW untuk menyempurnakan akhlak manusia, dan dalam praktik kehidupan beliau dikenal sebagai berakhlak yang agung dan pantas untuk diteladani.

 Menurut Sukro Muhab yang dikutip oleh Anas Salahudin dalam bukunya Pendidikan Karakter, Oleh karena keteladanan dan akhlak Nabi Muhammad SAW ini sampai menggugah seorang Mahatma Gandi dengan menyatakan:“Saya lebih dari yakin bukanlah pedang yang memberikan kesadaran pada Islam pada masanya, Tapi, ia datang dari kesederhanaan, kebersahajaan, kehati-hatian Muhammad serta pengabdian luar biasa kepada teman dan pengikutnya, tekadnya, keberaniannya serta keyakinannya pada Tuhan dan tugasn

Selanjutnya Menurut An-Nahlawi (1996: 41) pendidikan Islam adalah penataan individual dan sosial yang dapat menyebabkan seseorang tunduk taat pada Islam dan menerapkannya secara sempurna di dalam kehidupan individu dan masyarakat. Selain itu menurut Imam Al-Ghazali menganggap karakter lebih dekat kepada akhlak, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap, atau melakukan perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan lagi.

Berdasarkan konsep tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan karakter sangat erat berkaitan dengan pendidikan Islam, bahwasanya kekayaan pendidikan Islam dengan ajaran initinya tentang moral akan sangat menarik untuk dijadikan content dari konsep pendidikan karakter. Namun demikian, pada tataran operasional, pendidikan Islam belum mampu mengolah content ini menjadi materi yang menarik dengan metode dan teknik yang efektif (Majid dan Andayani, 2012: 59).

Hal tersebut mengisyaratkan bahwa ada keterkaitan bahkan kesamaan antara pendidikan karakter dengan pendidikan Islam. Hal ini terlihat dari pilar-pilar dalam pendidikan karakter menjadi indikator keberhasilan yang harus dicapai dalam pendidikan Islam.

Pendidikan Islam sebagai sebuah sistem tentunya memiliki ruang lingkup tersendiri yang dapat membedakannya dengan sistem-sistem yang lain. Ruang lingkup kependidikan Islam adalah mencakup segala bidang kehidupan manusia di dunia di mana manusia mampu memanfaatkan sebagai tempat menenm benih-benih amaliah yang buahnya akan dipetik di akhirat nanti, maka pembentukan sikap dan nilai-nilai amaliah dalam pribadi manusia baru dapat efektif bilamana dilakukan melalui proses kependidikan yang berjalan di atas kaidah-kaidah ilmu pengetahuan kependidikan (Uhbiyati, 2005: 18).

Lebih lanjut, Uhbiyati (2005: 14-15) menyebutkan bahwa ruang lingkup pendidikan Islam adalah sebagai berikut: a. Perbuatan mendidik b. Anak didik c. Dasar dan tujuan pendidikan Islam d. Pendidik e. Materi pendidikan Islam f. Metode pendidikan Islam g. Evaluasi pendidikan  h. Alat-alat pendidikan Islam i. Lingkungan sekitar atau milieu pendidikan Islam.

Para filsuf muslim sedari awal telah mengemukakan pentingnya pendidikan karakter. Ibnu Maskawih menulis buku khusus tentang akhlak dan mengemukakan rumusan karakter utama seorang manusia. Demikian pula Al-Ghazali, Ibnu Sina, Al-Farabi, dan banyak filsuf lainnya. Sebelum hasil penelitian para ulama Islam terhadap Al-Qur’an dan Al-Hadits menunjukkan bahwa hakikat agama Islam adalah akhlak dan mental spiritual (Nata, 1996)

Menurut Arifin (2006: 162) sasaran pendidikan Islam secara garis besar meliputi empat kemampuan dasar anak didik, yaitu: 1. Sikap dan pengamalan pribadinya, hubungannya dengan Tuhan; 2. Sikap dan pengamalan dirinya, hubungannya dengan masyarakat.; 3. Sikap dan pengamalan kehidupannya, hubungannya dengan alam sekitar; 4. Sikap dan pandangannya terhadap dirinya sendiri selaku hamba Allah dan selaku anggota masyarakatnya, serta selaku khalifah di muka bumi.

Dari pembahasan tersebut terlihat jelas bahwa manusia itu dididik agar memilikikarakter yang baik dalam berbagai bidang. Bukan hanya terhadap Tuhannya saja melainkan juga terhadap sesama makhluk yang berada di bumi ini.

C.    Kebijakan Mata kuliah Pendidikan Agama Islam

Para pendiri bangsa telah menetapkan kebijakan arah pendidikan bangsa sejak ditetapkannya Undang-Undang Dasar 1945 sebagai undang-undang dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945. Kebijakan arah pendidikan bangsa Indonesia dirumuskan sebagai salah satu tujuan dibentuknya Negara Indonesia merdeka seperti yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat yaitu: “mencerdasakan kehidupan bangsa … yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pola kebijakan pendidikan di Indonesia harus didasarkan pada nilainilai luhur bangsa Indonesia seperti yang tertuang pada Pancasila.

Pendidikan di Indonesia harus diarahkan untuk menghasilkan sumber daya manusia Indonesia yang berilmu dan cakap yang dilandasi kepribadian yang kuat, berakhlak mulia, serta beriman dan bertakwa kepa Tuhan Yang Maha Esa. Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 hasil amandemen mempertegas kebijakan arah pendidikan bangsa Indonesia yaitu, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.” Surakhmad (2009: 188) mengatakan, “Pendidikan nasional diciptakan … untuk menjadi kekuatan yang menentukan dalam membangun bangsa berdasarkan cita-cita berbangsa sesuai dengan amanah Pancasila dan UUD 1945.”

Berdasarkan hal tersebut, maka sudah jelas bahwa arah pendidikan yang harus dikembangkan di Indonesia yaitu pendidikan yang tidak hanya sekedar menghasilkan sumber daya manusia yang cerdas intelektualnya saja, melaikan juga harus disertai dengan cerdas sosial, cerdas pribadi (kejiwaan), dan cerdas spiritualnya. Untuk maksud ini, Muhyidin (2012) mengatakan, Dalam menjalankan sistem pendidikan nasional haruslah dirancang mekanisme yang baik, terencana, terarah dan terintegrasi dalam misi peningkatan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia, atau pembangunan moral. Jadi kebijakan arah pendidikan nasional bangsa Indonesia yaitu untuk meningkatkan kualitas akhlak mulia serta keimanan dan ketakwaan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.  

Berdasarkan kebijakan arah pendidikan tersebut, selanjutnya dalam UndangUndang nomor 20 tahun 2003 tentang sisdiknas ditetapkan tujuan pendidikan nasional bangsa Indonesia. Pasal 3 Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Masa Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, menjadi warga Negara yang demokratis, dan bertanggung jawab.”

Kesembilan karakter manusia Indonesia ini telah mencakup kelima ranah/potensi pendidikan. Pengembangan potensi pikir (kecerdasan intelektual) yaitu ditandai dengan dihasilkannya sumber daya manusia Indonesia yang berilmu dan kreatif. Pengembangan potensi rasa (kecerdasan sosial) ditandai dengan dihasilkannya sumber daya manusia Indonesia yang berakhlak mulia dan menjadi warga Negara yang demokratis. Pengembangan potensi karsa (kecerdasan psikis/jiwa) ditandai dengan dihasilkannya sumber daya manusia Indonesia yang mandiri dan bertanggung jawab. Pengembangan potensi religi (kecerdasan spiritual) ditandai dengan dihasilkannya sumber daya manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Pengembangan potensi raga (kecerdasan kinestetik) ditandai dengan dihasilkannya sumber daya manusia Indonesia yang sehat dan cakap.

Kurikulum merupakan bagian dari sistem pembelajaran yang berfungsi untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. oleh karena itu didalam undang-undang no 20 tahun 2003 pasal 36 kurikulum di Indonesia disusun dalam kerangka peningkatan iman dan takwa, peningkatan akhlak mulia,peningkatan potensi, kecerdasan,dan minat peserta didik, keragaman potensi, daerah dan lingkungan, tuntutan pembangunan daerah dan nasional, tuntutan dunia kerja, tuntutan iptek dan seni,agama, dinamika perkembangan global, persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.

Untuk mendukung keterlaksanaan kerangka kurikulum tersebut diatas, maka dalam pasal selanjutnya (UU No. 20 tahun 2003 pasal 37) dijelaskan bahwa didalam kurikulum wajib memuat: pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olahraga,ketrampilan/kejuruan, muatan lokal.

Muatan kurikulum pendidikan agama dijelaskan dalam Lampiran UU no 22 tahun 2006, termasuk didalamnya kurikulum pendidikan agama Islam dengan tujuan pembelajarannya adalah menghasilkan manusia yang selalu berupaya menyempurnakan iman, takwa, dan akhlak, serta aktif membangun peradaban dan keharmonisan kehidupan, khususnya dalam memajukan peradaban bangsa yang bermartabat. Manusia seperti itu diharapkan tangguh dalam menghadapi tantangan, hambatan, dan perubahan yang muncul dalam pergaulan masyarakat baik dalam lingkup lokal, nasional, regional maupun global. Selanjutnya ruang lingkup dari pendidikan agama Islam meliputi aspek-aspek sebagai berikut: Al-Qur’an dan Hadis, Aqidah, Akhlak, Fiqih, Tarikh dan Kebudayaan Islam.

Keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, diharapkan dapat membawa perubahan pada sisi menajerial dan proses pendidikan Islam. PP tersebut secara eksplisit mengatur bagaimana seharusnya pendidikan keagamaan Islam (bahasa yang digunakan PP untuk menyebut pendidikan Islam), dan keagamaan lainnya diselenggarakan.

Dalam pasal 9 ayat (1) disebutkan, “Pendidikan keagamaan meliputi pendidikan keagamaan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu.” Pasal ini merupakan pasal umum untuk menjelaskan ruang lingkup pendidikan keagamaan. Selanjutnya pada ayat (2) pasal yang sama disebutkan tentang siapa yang menjadi pengelola pendidikan keagamaan baik yang formal, non-formal dan informal tersebut, yaitu Menteri Agama.

Untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah, lembaga penyelenggara pendidikan keagamaan Islam adalah MI, MTs dan MA. Meski sebenarnya penyebutan lembagalembaga tersebut tidak secara eksplisit, namun sebagai penjelasan tentang kemungkinan perpindahan peserta didik dalam jenjang pendidikan yang setara (Pasal 11). Dalam UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 Pasal 17 ayat (2) juga memang disebutkan untuk jenjang pendidikan dasar, yaitu MI, MTs, dan Pasal 18 ayat (3) jenjang pendidikan menengah bagi pendidikan Islam adalah MA dan MAK. Hanya saja khusus untuk pendidikan keagamaan, baik dalam UU Sisdiknas Pasal 30 ayat (4) ataupun PP No. 55 pasal 14 ayat (1) berbentuk pendidikan diniyah, dan pesantren. Ayat (2) dan ayat (3) menjelaskan bahwa kedua model pendidikan tersebut dapat diselenggarakan pada jalur formal, nonformal dan informal.

Kemudian pada pasal 16 UU Sisdiknas disebutkan bentuk kelembagaan dari proses pendidikan diniyah juga menggunakan nama MI, MTs dan MA/ MAK untuk menyebut pendidikan diniyah dasar, dan pendidikan diniyah menengah. Tema menarik lain dalam PP 55 tahun 2007 ini adalah kemandirian dan kekhasan pendidikan keagamaan sebagaimana tercantum dalam pasal 12 ayat (2) yaitu: “Pemerintah melindungi kemandirian dan kekhasan pendidikan keagamaan selama tidak bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional”. Sejak dahulu kekhasan pendidikan diniyah dan pesantren adalah hanya mengajarkan materi agama Islam saja, dan tidak materi lain.

Dari sini jelas bahwa tanggungjawab dalam proses pembinaan dan pengembangan pendidikan Islam/dan atau keagamaan Islam menjadi tanggungjawab menteri agama. Tentunya mengingat posisi menteri agama bukan hanya untuk kalangan Islam saja, maka beban menteri agama juga melebar pada penyelenggaraan pendidikan agama lain non Islam, di samping beban administratif lain terkait dengan ruang lingkup penyelenggaraan agama dan prosesi keagamaan untuk seluruh agama-agama yang diakui di Indonesia.


D.    Implementasi Kebijakan Mata Kuliah Sebagai Pendidikan Karakter

Muhyiddin (2012) menyatakan, “Dalam prakteknya, arah pendidikan nasional yang sudah berjalan selama ini 95% hanya menitik beratkan pada unsur kepandaian dan intelektual saja, sedangkan unsur pembangunan moral hanya menjadi pendidikan skunder belaka.” Pendidikan yang terjadi dan dilakukan di sekolah masih timpang. Pengembangan ranah pikir (kognitif) lebih mendapat perhatian dan porsi yang lebih besar, sementara ranah rasa, karsa dan religi terabaikan. Terlebih lagi dengan adanya sistem ujian nasional untuk beberapa mata pelajaran pada tingkat sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengaha atas atau sederajat. Secara tidak sadar, keberadaan ujian nasional telah menggiring para peserta didik, guru, atau masyarakat (orang tua) untuk mengutamakan olah pikir atau pengembangan intelektualitas (kognitif) semata dalam pendidikan.  

Dalam upaya mengimplementasikan kebijakan arah pendidikan nasional seperti yang tertuang dalam UUD 1945 dan undang-undang sisdiknas nomor 20 tahun 2003, perlu dilakukan pengakajian keilmuan yang tepat dalam pengembangan persekolahan untuk level pendidikan menengah dan tinggi. Pembukaan dan pengembangan SMK dan program studi di perguruan tinggi harus disesuaikan dengan kebutuhan dan potensi daerah.

Ada beberapa pendekatan dalam pendidikan karakter. Pendekatan tersebut dalam rangka memudahkan untuk mengembangkan pendidikan karakter sehingga memberikan hasil yang baik. Daryanto dan Suryatri Darmiatun dalam bukunya “Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah” mengembangkan pendidikan karakter dengan 4 pendekatan, yaitu keteladanan, pembelajaran, pemberdayaan dan pembudayaan, penguatan.

Pendidikan karakter di perguruan tinggi bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter diharapkan mahasiswa  mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.


BAB III
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter bukanlah berupa materi yang hanya bisa dicatat dan dihafalkan serta tidak dapat dievaluasi dalam jangka waktu yang pendek, tetapi pendidikan karakter merupakan sebuah pembelajaran yang teraplikasi dalam semua kegiatan siswa baik disekolah, lingkungan masyarakat dan dilingkungan dirumah melalui proses pembiasaan, keteladanan, dan dilakukan secara berkesinambungan. Oleh karena itu keberhasilan pendidikan karakter ini menjadi tanggung jawab bersama antara sekolah, masyarakat dan orangtua. Pendidikan karakter telah menjadi perhatian berbagai negara dalam rangka mempersiapkan generasi yang berkualitas, bukan hanya untuk kepentingan individu warga negara, tetapi juga untuk warga masyarakat secara keseluruhan.

Kemudian pengertian karakter banyak dikaitkan dengan pengertian budi pekerti, akhlak mulia, moral, dan bahkan dikaitkan dengan kecerdasan ganda (meliputi kecerdasan intelektual, kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan sosial). Karakter bukan terbentuk dengan sendirinya, melainkan sejauh mana lingkungan keluarga, masyarakat, dan sekolah mampu mempengaruhi diri seseorang. Pembentukan karakter seorang anak sangat dipengaruhi oleh peran orang tua sebagai pendidik di dalam lingkungan keluarga serta peran pendidik di dalam lingkungan institusi pendidikan.

Evaluasi dari Keberhasilan pendidikan karakter ini tentunya tidak dapat dinilai dengan tes formatif atau sumatif yang dinyatakan dalam skor. Tetapi tolak ukur dari keberhasilan pendidikan karakter adalah terbentuknya peserta didik yang berkarakter; berakhlak, berbudaya, santun, religius, kreatif, inovatif yang teraplikasi dalam kehidupan disepanjang hayatnya. Oleh karena itu tentu tidak ada alat evaluasi yang tepat dan serta merta dapat menunjukkan keberhasilan pendidikan karakter.

Lebih lanjut Majid dan Andayani (2012: 31-36) menyatakan bahwa pendidikan karakter memiliki beberapa pilar antara lain:

1.      Moral knowing

Moral knowing sebagai aspek pertama memiliki enam unsur yaitu:

a. Kesadaran moral (moral awareness);

b. Pengetahuan tentang nilai-nilai moral (knowing moral values);

c. Penetuan sudut pandang (perspective taking);

d. Logika moral (moral reasoning);

e. Kebenaran mengambil menentukan sikap (dicision making);

 f. Dan pengenalan diri (self knowledge); 

2. Moral loving atau moral feeling

Moral loving merupakan penguatan aspek emosi siswa untuk menjadi manusia berkarakter. Penguatan ini berkaitan dengan bentuk-bentuk sikap yang harus dirasakan oleh siswa, yaitu kesadaran akan jati diri yaitu:

a. Percaya diri (self esteem);

b. Kepekaan terhadap derita orang lain (emphaty);

c. Cinta kebenaran (loving the good);

d. Pengendalian diri (self control);

e. Kerendahan hati (humility) 

3. Moral doing/ Acting

Moral acting sebagai outcome akan dengan mudah muncul dari para siswa setelah dua pilar di atas terwujud. Moral acting menunjukan kesempuranaan daripada kompetensi yang dimiliki oleh siswa setelah melalui proses pembelajaran. Kemampuan yang dimiliki para siswa bukan hanya bermanfaat bagi dirinya melainkan mampu memberikan manfaat kepada orang lain yang berada disekitarnya.

Bagaimana cara menumbuhkan karakter yang baik dalam diri anak-anak disimpulkannya menjadi tujuh cara yang harus dilakukan anak untuk menumbuhkan kebajikan utama (karakter yang baik), yaitu empati, hati nurani, kontrol diri, rasa hormat, kebaikan hati, toleransi, dan keadilan. Ketujuh macam kebajikan inilah yang dapat membentuk manusia berkualitas di mana pun dan kapan pun. Meskipun sasaran buku ini adalah anak-anak, namun bukan berarti tidak berlaku untuk orang dewasa, termasuk para siswa di SD hingga SMA. Dengan kata lain, tujuh kebajikan yang ditawarkan oleh Michele Borba ini berlaku untuk siapa pun dalam rangka membangun kecerdasan moralnya.

Karakter seseorang tidak terlepas dari pendidikan  dan pola asuh orang tua di rumah. Karakter seseorang dibentuk dari apa yang dipelajarinya di sekolah, dalam keluarga di rumah, dan di masyarakat. Ketiga wilayah tersebut merupakan sebuah  sistem. Seseorang siswa tidak akan memiliki karakter yang baik jika salah satu dari tempat beraktualisasinya bermasalah. Sekolah yang kondusif dalam penyemaian pendidikan karakter tidak akan efektif  membentuk karakter siswa jika situasi rumah tidak kondusif dan terjadi chaos moral masyarakat. Seseorang yang berasal dari keluarga yang baik berpotensi rusak karakternya jika lingkungan sekolah kacau dan teman bergaul salah, begitu juga dengan kondisi yang lain yang tidak saling bersinergi dalam penyemaian karakter anak.

Untuk tulah pembudayaan dan pemberdayaan  menjadi hal yang penting untuk dilaksanakan secara bersama. Proses pembudayaan yang dilakukan oleh pihak luar terhadap seseorang sejatinya sebuah intervensi. Intervensi mutlak diperlukan untuk menghindari kesalahan tafsir dan dalam mempermudah dan mempercepat pendidikan karakter.

B.     Pendidikan Agama Islam

Pendidikan agama Islam merupakan salah satu materi yang bertujuan meningkatkan akhlak mulia serta nilai-nilai spiritual dalam diri anak. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan agama mempunyai peranan yang penting dalam melaksanakan pendidikan karakter disekolah. Oleh karena itu Pendidikan agama menjadi salah satu mata pelajaran wajib baik dari sekolah tingkat dasar, menengah dan perguruan tinggi. Maka sekolah harus mampu menyelenggarakan pendidikan agama secara optimal dengan cara mengaplikasikan nilainilai agama dalam lingkungan sekolah yang dilakukan oleh seluruh guru dan peserta didik secara bersama-sama serta berkesinambungan.Dari pembahasan tersebut terlihat jelas bahwa manusia itu dididik agar memiliki karakter yang baik dalam berbagai bidang. Bukan hanya terhadap Tuhannya saja melainkan juga terhadap sesama makhluk yang berada di bumi ini.

Kemudian adanya mata kuliah Pendidikan Agama Islam untuk menumbuhkan kepribadian manusia yang seimbang dalam berbagai aspek, dan mampu mengantarkan manusia untuk menyerahkan diri kepada Allah  baik secara individual ataupun kolektif. Adapun kurikulum (subject matter) dapat dipahami sebagai kurikulum atau dalam makna yang lebih sempit adalah mata pelajaran/mata kuliah yang diberikan kepada peserta didik.

Pendidikan Agama Islam diharapkan menghasilkan manusia yang selalu berupaya menyempurnakan iman, taqwa dan ahlak, serta aktif membangun peradaban dan keharmonisan kehidupan, khususnya dalam memajukan peradaban bangsa yang bermartabat. Manusia seperti itu diharapkan tangguh dalam menghadapi tantangan, hambatan dan perubahan yang muncul dalam pergaulan masyarakat baik dalam lingkup lokal, regional maupun global.

Pendidik diharapkan dapat mengembangkan metode pembelajaran sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar. Pencapaian seluruh kompetensi dasar perilaku terpuji dapat dilakukan tidak beraturan. Peran semua unsur sekolah, orangtua siswa, dan masyarakat sangat penting dalam mendukung keberhasilan pencapaian tujuan Pendidikan Agama Islam.

Dalam Islam, tidak ada disiplin ilmu yang terpisah dari etika-etika Islam. Dan pentingnya komparasi antara akal dan wahyu dalam menentukan nilai-nilai moral terbuka untuk diperdebatkan. Bagi kebanyakan muslim segala yang dianggap halal dan haram dalam Islam, dipahami sebagai keputusan Allah tentang benar dan baik. Dalam Islam terdapat tiga nilai utama, yaitu akhlak, adab, dan keteladanan.

 Akhlak merujuk kepada tugas dan tanggung jawab selain syari'ah dan ajaran Islam secara umum. Sedangkan term adab merujuk kepada sikap yang dihubungkan dengan tingkah laku yang baik. Dan keteladanan merujuk kepada kualitas karakter yang ditampilkan oleh seorang muslim yang balk yang mengikuti keteladanan Nabi Muhammad SAW. Ketiga inilai inilah yang menjadi pilar pendidikan karakter dalam Islam

Sebagai usaha yang identik dengan ajaran agama, pendidikan karakter dalam Islam memiliki keunikan dan perbedaan dengan pendidikan karakter di dunia Barat. Perbedaan-perbedaan tersebut mencakup penekanan terhadap prinsip-prinsip agama yang abadi, aturan dan hukum dalam memperkuat moralitas, perbedaan pemahaman tentang kebenaran, penolakan terhadap otonomi moral sebagai tujuan pendidikan moral, dan penekanan pahala di akhirat sebagai motivasi perilaku bermoral. Inti dari perbedaan-perbedaan ini adalah keberadaan wahyu Ilahi sebagai sumber dan rambu-rambu pendidikan karakter dalam Islam. Akibatnya, pendidikan karakter dalam Islam lebih sering dilakukan secara doktriner dan dogmatis, tidak secara demokratis dan logis.

Keberhasilan pembelajaran PAI disekolah salah satunya juga ditentukan oleh penerapan metode pembelajaran yang tepat. Sejalan dengan hal ini Abdullah Nasih Ulwan memberikan konsep pendidikan inluentif dalam pendidikan akhlak anak yang terdiri dari 1) Pendidikan dengan keteladanan, 2) Pendidikan dengan adat kebiasaan, 3) Pendidikan dengan nasihat,4) pendidikan dengan memberikan perhatian, 5) pendidikan dengan memberikan hukuman.

C.    Kebijakan mata kuliah pendidikan agama Islam

Pendidikan formal tidak pernah lepas dari kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Salah satu kebijakan tersebut adalah mengenai struktur kurikulum, kompetensi yang harus dicapai, sistem evaluasi, dan lain sebagainya. Berkaitan dengan pendidikan karakter, ada beberapa kebijakan yang diundangkan sebagai pijakan hukum pelaksanaan pendidikan karakter di tanah air.

Kurikulum merupakan bagian dari sistem pembelajaran yang berfungsi untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. oleh karena itu didalam undang-undang no 20 tahun 2003 pasal 36 kurikulum di Indonesia disusun dalam kerangka peningkatan iman dan takwa, peningkatan akhlak mulia,peningkatan potensi, kecerdasan,dan minat peserta didik, keragaman potensi, daerah dan lingkungan, tuntutan pembangunan daerah dan nasional, tuntutan dunia kerja, tuntutan iptek dan seni,agama, dinamika perkembangan global, persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan. Untuk mendukung keterlaksanaan kerangka kurikulum tersebut diatas, maka dalam pasal selanjutnya (UU No. 20 tahun 2003 pasal 37) dijelaskan bahwa didalam kurikulum wajib memuat: pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olahraga,ketrampilan/kejuruan, muatan lokal.

Di era kurikulum 2004-2008 yang menggunakan kurikulum KBK dan KTSP, pembelajaran lebih mendapatkan penegasan pada kewenangan guru untuk menentukan indikator, pengalaman belajar, dan rangkaian belajar yang bisa mengantarkan tercapainya Kompetensi Dasar dan Standar Kompetensi yang sudah dibuat oleh pemerintah pusat. Bahkan pendidikan agama (PAI) dan pendidikan kewarganegaraan sudah mendapatkan pembobotan yang jelas, yakni PAI dengan akhlak mulia atau budi pekerti dan PPKN terkonsentrasi pada kepribadian. Kalau saja mata pelajaran ini bisa diturunkan dalam pembelajaran nyata di sekolah/madrasah, dengan fokus dan pendekatan yang jelas pada akhlak mulia, budi pekerti, dan kepribadian, seharusnya sudah bisa memberi harapan yang jauh lebih baik untuk memperbaiki akhlak siswa dibanding dengan harapan pada kurikulum sebelumnya. Namun untuk melakukan penguatan bagi perubahan perilaku peserta didik yang semakin berakhlak yang mengarah pada perolehan nilai-nilai hidup, bukan semata-mata nilai angka yang hanya menggambarkan prestasi akademik, bukan belajar untuk berprestasi dalam kehidupan.

Jika memang ada keinginan pemerintah untuk memberi pilihan kemandirian dan kekhasan pada “sekolah” di lingkup pendidikan Islam, tentunya tidak akan ada lagi narasi sebagaimana pada pasal 18 ayat (1). Di sinilah terjadi benturan yang perlu disikapi secara lebih bijak. Sebab, sejak awal hadirnya pendidikan Islam tampaknya lebih kuat ke arah pendidikan non-formal, dan bukan formal sebagaimana pada pasal-pasal di atas. Selain itu, materi yang banyak diajarkan adalah berkisar tema-tema agama, dan tidak membicarakan mata pelajaran sebagaimana yang dimaksud.

Jika yang dimaksud adalah MI, MTs, dan MA/MAK sebagai wujud dari sekolah formal pendidikan Islam, maka sejarah telah mencatat saat ini proporsi kurikulum bidang agama dengan kurikulum bidang kajian umum di madrasah dapat dinyatakan telah meninggalkan ciri madrasah sebagai pendidikan keagamaan Islam. Proporsi 70% bidang umum dan 30% bidang agama, lebih dimaksudkan untuk penyetaraan pendidikan di madrasah dengan sekolah pada jenjang yang sama.

Sejak mula hadir sebenarnya madrasah lebih berfokus pada pendidikan keagamaan dan keislaman. Dengan perubahan orientasi tersebut justru madrasah saat ini kehilangan jati dirinya, dan lebih parah lagi kesulitan pula untuk merebut peran dalam konteks pendidikan nasional, jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah umum di bawah pembinaan Kementerian Pendidikan Nasional.

Di lihat dari sisi manapun, pendidikan Islam memiliki peran dalam konteks pendidikan nasional. Hanya saja harus pula dimaklumi dan dipahami jika hingga hari ini secara kelembagaan pendidikan Islam kerap menempati posisi kedua dalam banyak situasi. Sebagai misal, jurusan yang menawarkan pendidikan Islam kurang banyak peminatnya jika dibandingkan dengan jurusan lain yang dianggap memiliki orientasi masa depan yang lebih baik. Dalam hal pengembangan kelembagaan akan pula terlihat betapa program studi/ sekolah yang berada di bawah pengelolaan dan pengawasan Kementerian Agama tidak selalu yang terjadi di bawah pembinaan Kementerian Pendidikan Nasional, bahkan harus dengan tertatih untuk menyesuaikan dengan yang terjadi di sekolah-sekolah umum tersebut.

Pada masa-masa yang akan datang, dalam hal pengembangan kurikulum, tampaknya madrasah masih akan terus dihadapkan pada dilema dikotomi keilmuan. Setia dengan tujuan awal hadirnya sebagai pengembang ilmu-ilmu keislaman, atau sesuai dengan tuntutan kebutuhan pasar untuk melakukan perubahan kurikulum yang ukurannya adalah pragmatism sebagai upaya pemenuhan kebutuhan hidup peserta didik. Tentu saja , pilihan atas itu semua akan memiliki resiko yang tidak sama dalam pengembangan materi pembelajaran, orientasi serta proses pembelajarannya.

D.    Implementasi kebijakan mata kuliah Pendidikan Agama Islam sebagai pendidikan karakter.

Implementasi pendidikan karakter di perguruan tinggi harus disesuaikan dengan visi dan misi perguruan tinggi tersebut dengan berbasis jurusan dan atau program studi. Penyelenggaraan pendidikan karakter di perguruan tinggi dilakukan secara terpadu melalui tiga jalur, yaitu pembelajaran, manajemen perguruan tinggi, dan kegiatan kemahasiswaan. Nilai-nilai karakter yang diterapkan adalah dengan memilih nilai-nilai inti (core values) yang akan dikembangkan dan diimplementasikan pada masing-masing jurusan atau program studi tersebut.

Menurut Riyanto (2010), Dalam rangka mengimplementasikan pendidikan karakter di sekolah terdapat empat (4) tawaran model penerapan, yaitu : a) Model otonomi dengan menempatkan pendidikan karakter sebagai mata      pelajaran tersendiri, b) Model integrasi dengan menyatukan nilai-nilai dan karakterkarakter yang akan dibentuk dalam setiap mata pelajaran, c) Model ekstrakurikuler melalui sebuah kegiatan tambahan yang berorintasi pembinaan karakter siswa, d) Model kolaborasi dengan menggabungkan ketiga model tersebut dalam seluruh kegiatan sekolah.

Islam selalu memposisikan pembentukan akhlak atau karakter anak pada pilar utama tujuan pendidikan. Untuk mewujudkanpembentukan akhlak pada anak al Ghazali menawarkan sebuah konsep pendidikan yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah. Menurutnya mendekatkan diri kepada Allah merupakan tolak ukur kesempurnaan manusia, dan untuk menuju kesana ada jembatan yang disebut ilmu pengetahuan. Ibn miskawaih menambahkan tidak ada materi yang spesfik untuk mengajarkan akhlak, tetapi materi dalam pendidikan akhlak dapat diimplementasikan ke dalam banyak ilmu asalkan tujuan utamanya adalah sebagai pengabdian kepada Tuhan.

Implementasi nilai-nilai karakter tersebut diatas, dimulai dari nilai esensial, sederhana dan mudah dilaksanakan sesuai kondisi pada masing-masing perguruan tinggi. Pendidikan karakter perlu dimplementasikan dan dimantapkan di perguruan tinggi sebagai pendidikan berkelanjutan, dari pendidikan tingkat menengah dan merupakan pilihan yang tepat untuk memantapkan karakter bangsa. Perguruan tinggi diharapkan mampu mencetak mahasiswa yang memiliki integritas, kejujuran, kreativitas, dan perbuatan yang menunjukkan produktivitas. Pendidikan yang dapat meningkatkan semua potensi kecerdasan anak bangsa yang dilandasi oleh pendidikan karakter diharapkan mampu menjadi pilar kebangkitan bangsa.

BAB IV

PENUTUP

A.    Simpulan

Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut:

a.       Pendidikan karakter merupakan pemberian pandangan mengenai berbagai jenis nilai hidup yang akan menunjukkan jati diri sebagai manusia yang sadar diri sebagai makhluk, warga negara, dan pria atau wanita. Karakter seseorang merupakan ukuran martabat dirinya sehingga berpikir objektif, terbuka, kritis, serta memiliki harga diri yang tidak mudah diperjualbelikan

b.      Pendidikan Agama Islam merupakan penataan individual dan sosial yang dapat menyebabkan seseorang tunduk taat pada Islam dan menerapkannya secara sempurna di dalam kehidupan individu dan masyarakat.

c.       Kebijakan mata kuliah Pendidikan Agama Islam salah satunya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, diharapkan dapat membawa perubahan pada sisi menajerial dan proses pendidikan Islam.

d.      Implementasi Kebijakan mata kuliah Pendidikan Agama Islam sebagai pendidikan karakter. Kekayaan pendidikan Islam dengan ajaran initinya tentang moral akan sangat menarik untuk dijadikan content dari konsep pendidikan karakter karena islam selalu memposisikan pembentukan akhlak atau karakter anak pada pilar utama tujuan pendidikan.

B.     Saran

Demikian makalah ini saya buat semoga dapat bermanfaat bagi pembaca khususnya rekan-rekan mahasiswa dalam mempelajari mata kuliah Wirausaha Jasa Pendidikan ini, sebagai acuan atau referensi ilmu bagi kita semua.

Kemudian jika dalam penulisan baik secara isi atau kontennya masih ada yang keliru, mohon maaf sebesar-besarnya. Demi memperbaiki makalah ini saya meminta kritik dan sarannya. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.

 

DAFTAR PUSTAKA 

Lickona, Thomas. 2012. Mendidik untuk membentuk Karakter. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Zubaedi. 2011. Desain Pendidikan Karakter. Jakarta: Prenamedia Group.

Sudewo, Erie. 2011. Best Practice Character Building. Jakarta: Republika Penerbit.

Supardi. 2011. Arah Pendidikan di Indonesia dalam Tataran Kebijakan dan Implementasi. Jurnal Formatif.

Judiani, Sri. 2010. Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar Melalui Penguatan Pelaksanaan Kurikulum. Jurnal pendidikan.

Maesaroh, Siti. 2013. Peranan Metode Pembelajaran terhdap Minat dan Prestasi Belajar Pendidikan Agama Islam. Jurnal kependidikan.

Dalyon, Bambang. 2017. Implementasi Penguatan Pendidikan Karakter di Sekolah. Jurnal pendidikan.

Sudrajat, Ajat. 2013. Pembentukan Karakter Terpuji di Sekolah dasar Muhammadiyah Condongcatur. Jurnal pendidikan karakter.

Mardlotillah, Faridatul. 2013. Implementasi Kebijakan Sekolah dalam Upaya Pengembangan Pendidikan Karakter melalui Program Pembiasaan  Membaca Al-Qur’an. Jurnal Kebijakan dan Pengembangan Pendidikan.

Azizah,Nur.2005.Perilaku Moral dan Religiusitas Siswa  Berlatar Belakang Pendidikan Umum dan Agama. Jurnal Psikologi.

Akhwan, Muzhoffar. 2014. Pendidikan Karakter: Konsep dan Implementasinya Dalam Pembelajaran di Sekolah/Madrasah. Jurnal pendidikan.

Setiawan, Agus. 2014. Prinsip Pendidikan Karakter dalam Islam. Jurnal Pendidikan

Marzuki, M. Murdiono, dan Samsuri. 2010. Pembinaan Karakter Siswa Berbasis Pendidikan Agama di Sekolah dasar dan Menengah Pertama di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Pendidikan.

Ainissyifa, Hilda. 2014. Pendidikan Karakter dalam Perspektif Pendidikan Islam. Jurnal Pendidikan.

Ainiyah, Nur. 2013. Pembentukan Karakter Melalui Pendidikan Agama Islam. Jurnal Pendidikan.

Nur Aeni, Ani. 2014. Pendidikan Karakter untuk Siswa SD dalam Perspektif Islam. Jurnal Pendidikan.

Marzuki, M. Murdiono, Samsur. 2014. Pembinaan Karakter Siswa Berbasis Pendidikan Agama. Jurnal Kependidikan.