 
SIAPAKAH yang mampu hidup tanpa cinta?  
 
 
 
 
 
 
 
            Perempuan manakah yang bisa membangun singgasana rumah tangganya tanpa cinta? Ia bertanya pada dirinya sendiri dengan hati pilu.
            Tak ada! Jawabnya sendiri.
            Kecuali,
 manusia yang hidup tanpa hati dan nurani, seperti pelacur yang biasa 
hidup nista dan mendustakan cinta. Bahkan seekor merpati yang tiada 
dikaruniai akal pikiran menerima pasangan hidupnya atas dasar cinta. 
Tuhan menciptakan mahklukNya di semesta raya ini juga atas dasar 
kehendak dan cintaNya. Matahari, rembulan dan bintang bersinar karena 
cinta. Lautan menampung segala sisa dan kotoran yang mengalir dari 
daratan dengan penuh cinta. Sungai mengalir 
karena cinta. Angin bertiup karena cinta. Pohon berbuah karena cinta. 
Bunga-bunga bermekaran karena cinta. Lebah meneteskan madu karena cinta.
 Dan hidup ini pada asalnya adalah aliran cinta. Sumbernya adalah 
samudra cinta Allah yang meliputi semesta. Dan segala benda dalam alam 
raya tunduk patuh menyembah Allah juga atas dasar cinta. Bukankah 
kesejatian penyembahan dan kepatuhan itu terlahir dari kedahsyatan 
cinta? Lalu kenapa selalu saja ada yang mengusik hukum cinta?
            Ia masih terduduk diatas sajadahnya. Kedua matanya terpejam. Dari dua sudut matanya keluar tetesan bening seperti embun.
            Oh, haruskah aku gadaikan hidupku ini? Pasrah tercampak tanpa mimpi mulia seperti pelacur hina yang kalah oleh nafsunya. Hampa,
 pahit dan getir tanpa cinta. Oh! Bukankah lebih baik aku mati saja jika
 harus menyerahkan mahkota kehormatan tanpa cinta. Menerima pasangan 
hidup dengan hati perih tersiksa. Merentas hidup baru hanya untuk 
mereguk nestapa selamanya. Melayani suami tanpa cinta. Terpaksa dan 
tersiksa. Melahirkan anak tanpa rasa bangga. Hidup selamanya diatas 
derita batin tiada tara.
            Oh,
 jika demikian adanya, bukankah aku lebih kalah dari pelacur itu. Mereka
 mereguk hidupnya atas kehendaknya, atas pilihannya, bahkan mereka bisa 
begitu menikmati hidup yang dijalani meskipun menistakan cinta. Tapi 
aku, aku akan hidup dalam bara belenggu keterpaksaan dan pemerkosaan 
sampai akhir hayat! Kenapa aku mesti mereguk kekalahan ini? Kekalahan 
untuk hidup ditinggal cinta, dipeluk kebencian dan kehinaan. Kenapaa!? 
Bukankah ini azab yang tiada tara perihnya? Apakah aku memang berhak 
menerima azab sepedih ini? Dosa apakah yang telah aku perbuat?
            Pertanyaan-pertanyaan
 itu mencerca dan menusuk-nusuk ulu hatinya. Merajam-rajam batok 
kepalanya. Sakit, nyeri, perih dan pedih. Air matanya meleleh.
            Ia
 baca sekali lagi surat penting dari ayahnya yang dikirim dengan kilat 
khusus dari Sidempuan. Surat yang membuatnya kehilangan gairah untuk 
hidup. Dan membuat ia begitu membenci dirinya sendiri. Surat yang ia 
rasakan bagaikan vonis masuk neraka selam-lamanya. Padahal, saat itu ia 
sedang menunggu hari terindah dalam hidupnya, yaitu di wisuda sebagai 
dokter. Saat ia ingin mereguk manisnya madu kebahagiaan dari hasil 
belajarnya selama ini. Saat ia membayangkan akan bisa merenda hari-hari 
indah di depan dengan gelar yang ia peroleh. Namun, isi surat dari 
ayahnya itu bagai petir yang menghanguskan semua harapannya. Memberangus
 mimpi-mimpinya dan meluluhlantakkan istana cinta yang ia bangun dengan 
curahan jiwa untuk menyongsong masa depannya. Kalau
 saja surat itu bukan dari ayahnya. Kalau saja surat itu bukan itu 
isinya, Kalau saja calon yang disebut itu bukan Roger orangnya. Oh, 
kalau saja ia bukan ia, tapi ia adalah debu yang tak mungkin terbebani 
oleh segala bentuk tidak suka. Dadanya sesak, namun ia tetap menekuri 
kata demi kata surat itu,
            Anakku Niyala
               Di Jakarta
Assalamu’alaikum,
            Ayah
 di Sidempuan sehat berkecukupan, demikian juga kakakmu, Herman. Kakakmu
 kini bahkan telah bekerja di kantor kelurahan. Tidak lagi menjadi buruh
 tani. Sebentar lagi anaknya yang kedua akan lahir. Ayah berharap kau di
 Jakarta sehat dan baik-baik saja.
            Anakku Niyala,
            Ayah
 bahagia membaca suratmu satu bulan yang lalu. Saat kau kabarkan 
sebentar lagi akan di wisuda jadi dokter, ayah menangis haru. Juga 
bahagia. Meski ayah tidak iku andil apa-apa, kecuali sepotong doa. 
Kakakmu sangat bahagia. Dia langsung membuat acara syukuran 
kecil-kecilan di rumahnya. Berita bahagia ini akhirnya menyebar. 
Orang-orang sekampung ikut bahagia, sebab akhirnya dari kampung 
terpencil di pedalaman Sumatra ini ada yang bisa meraih gelar dokter 
dari sebuah universitas negeri ternama di Jakarta.
            Anakku Niyala,
            Dalam
 suasana bahagia ini ayah minta tolong kepadamu. Dan ayah yakin anakku 
yang shalehah bisa menolong ayahnya. Begini anakku, kabar engkau tak 
lama lagi menjadi dokter ternyata membuat bahagia Pak Haji Cosmas, 
kepala desa kita. Beberapa hari yang lalu beliau datang menemui ayah dan
 melamarmu untuk diminta menjadi istri anak bungsunya, Roger. Kau tentu 
kenal Roger. Sebab waktu kecil kau pernah sekolah satu SD dengannya. 
            Anakku Niyala,
            Behadapan
 dengan Haji Cosmas ayah tiada berdaya apa-apa kecuali mengangguk iya. 
Sebab terlalu banyak ayah berhutang budi padanya. Kakakmu Herman bisa 
bekerja di kelurahan juga karena jasanya. Dan ada satu jasa besar Haji 
Cosmas pada keluarga kita, yang mungkin baru kamu ketahui lewat surat 
ini.
            Begini anakku,
            Saat
 ibumu meninggal kau masih kelas empat SD. Ketahuilah, ibumu meninggal 
setelah mengidap kangker otak. Seluruh harta yang ayah punya saat itu 
habis untuk biaya perawatan ibumu di rumah sakit. Ayah berjuang 
habis-habisan untuk menyelamatkan nyawa ibumu. Pada saa kritis, Pak 
Cosmas yang saat itu menjadi Sintua (pembantu pastor), datang
 menawarkan pinjaman. Ayah tidak bisa berpikir panjang kecuali menerima 
tawaran itu sepenuhnya. Yang ada dalam pikiran ayah saat itu adalah 
bagaimana ibumu yang sangat ayah cintai itu selamat. Ayah dipinjami dua 
petak sawah. Sawah itu ayah jual untuk pengobatan ibumu. Namun takdir 
menentukan lain, ibumu tetap tak bisa diselamatkan. Saat itu ayah sudah 
tidak memiliki apa-apa, bahkan rumah pun sudah ayah gadaikan. Dan Haji 
Cosmas datang lagi untuk menawarkan pinjaman, ayah terima.
            Ketahuilah
 anakku, sampai saat ini pinjaman ini belum mampu ayah lunasi. Total 
hutang ayah delapan puluh juta. Pak Cosmas masih berbuat baik tidak 
meminta bunga sama sekali. Namun dari mana ayah bisa mendapat uang 
segitu banyaknya. Jika dihitung-hitung sudah 13 tahun lebih hutang itu 
belum bisa ayah lunasi. Ayah sudah tak kepalang tanggung malunya pada 
Haji Cosmas, namun apa daya ayah tidak memiliki apa-apa. Beban hutang 
itu bagai paku yang menancap di ubun-ubun kepala ayah, meskipun Pak 
Cosmas tidak pernah menagihnya. Ketika kau berprestasi di Jakarta dan 
masuk fakultas Kedokteran, kau lah harapan yang akan menyelamatkan ayah 
dari derita batin yang berat ini. Kakakmu Herman tidak bisa berbuat 
banyak, ia sendiri susah menghidupi anak istrinya.
            Anakku Niyala,
           Ketika
 Pak Cosmas melamar dirimu pada ayah, beliau bilang, jika kau nanti 
benar-benar menjadi istri Roger, anak bungsunya, maka seluruh hutang 
ayah dianggap lunas. Bahkan ayah dijanjikan akan dihajikan tahun depan 
bersama beliau. Anakku, perkataan Pak Cosmas itu adalah gerbang 
kemerdekaan bagi ayah. Maka dengan penuh harap, ayah minta keikhlasanmu 
untuk memerdekakan ayahmu yang tidak berdaya ini. Pada hari wisudamu, 
insyaAllah ayah akan datang bersama kakakmu. Dan pada saat itu pula ayah
 akan dengar jawabanmu secara langsung. Jika kau ikhlas dan setuju, ayah
 akan sangat bahagia dan kita akan langsung pulang bersama ke Sidempuan 
untuk merembug masalah ini dengan keluarga Haji Cosmas. Di tanah 
kelahiranmu kau bisa mengabdi dan mengamalkan ilmumu. Dan orang-orang 
Sidempuan akan menyambutmu dengan penuh suka cita dan kehangatan.
            Mengingat
 pentingnya surat ini, maka ayah mengirimkannya dengan kilat khusus. 
Ayah tidak memaksamu, namun kemerdekaan ayah ada ditanganmu. Anakku, ini
 bisa jadi pilihan yang sulit bagimu, tapi apa yang ayah bisa lakukan? 
Padahal awal bulan depan adalah jatuh tempo hutang ayah setelah 
berkali-kali ayah minta kelonggaran dan penangguhan pada Pak Cosmas.
            Sekian dulu. Maafkan ayahmu, jika surat ini tidak berkenan di hatimu.
            Wassalamu’alaikum,
            Ayahmu
            Rusli Hasibuan
            Ia memejamkan mata.
            Sakit.
            Seperti ada belati menghujam ke dalam ulu hatinya.
            Perih.
            Seolah ada paku berkarat tertancap di batok kepalanya.
            Tulang-tulang
 terasa ngilu bagaikan diremuk-remuk dengan palu godam. Dan 
langit-langit seakan-akan runtuh menimpa dirinya. Ia merasa menjadi 
perempuan yang paling menderita didunia. Biasakah ia menolak isi surat 
itu? Mampukah ia melihat ayahnya hidup tanpa kemerdekaan?
            Tidak! Tidak mungkin aku mau berlaku durhaka! Jeritnya dalam hati.
            Namun
 memenuhi isi surat itu dan menerima menjadi istri Roger tak ada bedanya
 dengan hidup terhina dan sengsara selamanya. Tak ada bedanya dengan 
melacurkan diri. Menggadaikan jiwa raga untuk menebus materi delapan 
puluh juta demi kemerdekaan ayah. Oh alangkah nistanya! Ia merasa lebih 
pelacur dari pelacur. Lebih terhina dari perempuan yang diperkosa seribu
 durjana.
            Bisa
 jadi niatnya suci, menikah dengan terpaksa. Tapi nuraninya terdalam 
mengingkari itu bukanlah pernikahan tapi pelacuran. Bukankah imbalan 
pernikahan itu adalah lunasnya hutang delapan puluh juta rupiah.
            ”Oh
 celakalah diriku, aku akan melacurkan diriku dengan kedok pernikahan!” 
Ia meratap sedih. Ia belum bisa mengakui itu pernikahan, sebab tak ada 
nurani cinta dan keikhlasan yang mengiringinya. Bukankah pernikahan 
adalah ibadah? Dan bukankah ibadah harus disertai kecintaan dan 
keikhlasan agar diterima.
            Rasanya ia mau membenci ayahnya.
            “Ini semua gara-gara ayah!” Serapahnya.
            Namun
 buru-buru nuraninya mengingatkan bahwa ayahnya lebih menderita dari 
dirinya. Ayahnya rela menggadaikan kemerdekaannya demi ketulusan cinta 
pada almarhumah ibunya. Kalau bukan karena kekuatan 
cinta mustahil ayahnya mengorbankan semua yang dimilikinya, termasuk 
kemerdekaannya. Bukankah semua yang berhutang pada dasarnya menggadaikan
 kemerdekaannya? Tiba-tiba wajah ayahnya yang tirus, tua, tulang 
menonjol dan mata berkaca-kaca hadir dalam batinnya. Tidak ayah, ayah 
tidak bersalah! Tegasnya dalam hati. 
            Lalu
 siapa yang bertanggungjawab atas nestapa yang sedang mengintainya 
bagaikan seekor serigala buas ini? Oh, andai saja nama itu bukan Cosmas 
dan Roger, tentu ia tidak akan terpuruk membenci keadaan seperti ini. 
Cosmas! Siapa yang tidak kenal nama itu. Sintua yang kini masuk islam. 
Ya, hampir semua orang di desanya bergembira karena Sintua kaya itu 
masuk Islam, dan setahun kemudian langsung naik haji. Tapi dirinya 
tidak. Biasa saja. Ia hanya merasa cukup mengucapkan hamdalah mendengar
 ayah Roger itu ber-syahadat. Meski ia tidak tahu persis motif 
keislamannya. Namun yang jelas mantan Sintua itu masuk islam menjelang 
pemilihan kepala desa berlangsung. Dan ternyata, setelah itu ia terpilih
 menjadi kepala desa. Tapi ia merasa tidak perlu melihat apa motifnya. 
Yang penting masuk islam dan ia mengucapkan hamdalah. Itu saja. Titik. Dan tidak ada perasaan apapun dalam hatinya. Gembira atau tidak, sama. Biasa saja.
            Lalu
 Roger. Nama brengsek itu. Nama yang selalu menghidupkan bara kebencian 
dan kemarahan dalam hatinya. Bagaimana mungkin ia akan menyerahkan jiwa 
raganya pada manusia tengik itu, meskipun Roger katanya 
kini telah akrab dengan remaja mesjid di desa kelahirannya. Apakah ia 
terlalu berlebihan membenci Roger, ia tidak tahu. Yang jelas apapun yang
 akan dilakukan Roger tidak akan mengubah pandangannya. Roger itu tengik, bajingan
 yang paling bajingan di dunia ini. Titik! Entah kalau Tuhan menurunkan 
mukjizat pada Roger sehingga bisa mengubah pandangan hatinya atas 
dirinya.
            Ia
 masih ingat, waktu kecil dulu, saat masih duduk di kelas empat SD, 
bagaimana Roger yang saat itu sudah kelas enam nyaris menggagahinya di 
kebun sekolah. Ia nyaris kehilangan kesuciannya. Untung ada penjaga 
sekolah yang menolong dan menyelamatannya. Dan kejahatan Roger itu tidak
 pernah ia lupakan seumur hidup. Kebenciannya pada Roger telah mendarah 
daging dan tak akan luntur meskipun Roger menjelma menjadi seorang nabi 
sekalipun. Itulah kebencian seorang perempuan pada lelaki yang telah 
mencoba berbuat kurang ajar dan merenggut kehormatannya. 
            Apalagi
 saat ia pulang ke Sidempuan dua tahun yang lalu, ia mendapatkan berita 
yang sangat menyakitkan. Ia berkunjung ke rumah sahabat karibnya, Hesti.
 Namun Hesti tidak ada. Yang ia jumpai justru kisah tragis yang menimpa 
Hesti. Dari Bibi Hesti mengalirlah cerita yang membuat perih hatinya. 
Hesti kini menjual diri di Brastagi. Dan Rogerlah yang membuat Hesti 
melacur. Hesti dihamili Roger dengan iming-iming akan dinikahi dan 
dibuatkan rumah mewah. Ternyata Roger tak lain adalah serigala berkepala
 manusia, ia tidak mau bertanggungjawab setelah menodai Hesti. Keluarga 
Hesti tidak berani menggugat atas apa yang dilakukan roger. Mereka semua
 takut pada monster-monster yang berdiri di belakang bungsu Sintua itu. 
Untuk menutup aib, Hesti mengaborsi kandungannya. Ia membawa lari 
lukanya ke Brastagi dan mengobati lukanya dengan melacuran diri. 
            Kalau
 memang Roger kini telah masuk Islam dan bertaubat, tentunya yang 
pertama kali harus ia lakukan adalah memperlihatkan tangungjawabnya 
dengan mengentaskan Hesti dari lembah hitam itu. Ia tidak bisa 
membayangkan pedihnya luka Hesti, teman sebangkunya di SD yang manis dan
 lugu itu. 
            Jika ia pasrah  mau
 menjadi istri Roger, apakah luka Hesti tidak akan semakin parah? 
Kepedihan hati Hesti mungkin bukan karena si bajingan itu berhasil 
memperistri perempuan berjilbab yang tak lain adalah teman setia Hesti 
sendiri. Tapi kepedihan Hesti mungkin lebih dikarenakan melihat betapa 
bodohnya seorang Niyala yang telah mengecap pendidikan tinggi di 
ibukota, bahkan tertinggi di kampungnya, sampai jatuh ke dalam pelukan 
makhluk tengik Roger. Dan yang menjadi ganjalan pedih 
dalam pikirannnya, apakah ayah dan kakaknya tidak tahu ini semua? Apakah
 mereka tidak tahu siapa Roger dan apa yang telah dilakukannya?
            Ia
 masih bingung mencari dalang penyebab datangnya nestapa yang siap 
menerkamnya itu. Tiba-tiba ia merasa dirinyalah penyebabnya. Ya, 
dirinyalah penyebabnya. Kenapa ia mesti terlahir sebagai perempuan? 
Perempuan yang sering harus pasrah pada nasib. Dan kenapa ia harus 
berwajah cantik menawan, sehingga banyak serigala mengincarnya, termasuk
 Roger.
            Pelan
 ia bangkit dan berdiri didepan cermin. Ia memandangi dirinya sendiri. 
Tiba-tiba bara amarahnya membucah dalam dada, “Tidak! Bajingan seperti 
Roger tidak berhak menyentuh Niyala!”
            Namun
 pada saat yang sama bayangan ayahnya hadir dengan wajah tirus dan mata 
berkaca seolah berkata, “Tolong, merdekakan ayah Nak! Dan bukankah 
menikahi Roger itu dakwah? Jangan berprasangka buruk atas motif 
keislaman Roger dan ayahnya. Dengan menikahi Roger mungkin kamu 
berpeluang untuk mengislamkan banyak orang. Mereka kaya raya dan 
terpandang. Kau bisa berdakwah dengan baik di tanah kelahiranmu. Dan kau
 juga bisa membantu orang-orang kecil yang kesusahan.”
            Pikirannya beku. Bibirnya kelu. Ubun-ubunnya bagaikan ditancap paku.
            Namun
 tiba-tiba ia memberontak, “Bukankah dakwawh adalah sumber cinta, Ayah!?
 Apakah menikah dengan selain Roger, menikah dengan lelaki yang lebih 
bersih dalam pandangannya, tidak juga dakwah!?”
            Di pelupuk matanya ayahnya menangis tersedu-sedu. Ia merasa sangat berdosa telah berani mebantah ayahnya. Apalagi tiba-tiba tadzkirah (nasihat untuk diingat) Ustadz Hasbiyallah terngiang di telinganya,
            “Jalan
 dakwah tidak mudah dan mulus, jalan dakwah itu terjal penuh hambatan, 
penuh onak dan duri, badai sering datang menghadang. Berjalan di jalan 
dakwah memerlukan ketabahan dan pengorbanan yang besar!”
            Ia terus tergugu sendirian di kamar, perang batinnya terus berkecamuk sampai alunan azan subuh terdengar mendayu-dayu. 
DUA
SEJAK menerima
 surat dari ayahnya itu, Niyala tidak memiliki semangat hidup. Ia 
berpikir keras berhari-hari. Mencari-cari jalan keluar terbaik yang bisa
 melepaskan dirinya dan ayahnya dari keadaan yang menyesakkan dada itu. 
Namun tidak juga ia temukan. Ia yang harus berkorban, atau ayahnya yang 
harus ia korbankan dengan cara menolak mentah-mentah permintaan itu. 
Namun nurani terdalam sebagai seorang anak yang mencintai ayahnya tidak 
sampai hati melakukan itu. Saat-saat wisuda yang semestinya menjadi 
saat-saat yang sangat membahagiakan akan berubah menjadi saat-saat 
paling menyakitkan. Ketekunan belajarnya selama ini tidak akan 
menjadikan dirinya bahagia. Tiba-tiba ia merasa putus asa untuk 
melanjutkan hidup. Ah, andai ia punya delapan puluh juta tentu semuanya 
akan mudah baginya. Tapi dari mana ia bisa mendapatkan uang sebanyak 
itu. Ia hanya punya tabungan dua juta, itupun sudah ia janjikan akan ia 
pinjamkan pada Azizah, adik kelasnya, untuk membayar semesterannya. 
Niyala
 termenung di kamarnya. Sejak kedatangan surat itu, ia jarang keluar 
kamar. Ia mengisolasi diri dari dunia luar. Belasan sms masuk namun 
tidak ia balas. Memang manusia sangatlah lemah. Ia merasakan hal itu 
sekarang. Ada saatnya manusia benar-benar tidak bisa berdaya apa-apa. 
Seperti dirinya. Seperti mereka, ribuan gadis yang tengah diperkosa para
 durjana. Biasanya Cuma merintih dan mengumpat dengan perasaan sedih 
tidak terkira. Tangan, kaki dan tubuh semua telah terkunci. Dunia gelap.
Ia merasakan ada tangan lembut mengusap air matanya yang meleleh di pipi. 
“Ada
 apa Anakku? Kenapa kau menangis? Umi lihat sudah empat hari ini kau 
tampak sedih dan memendam masalah. Ada yang bisa Umi bantu Anakku?”
Suaranya yang lembut itu menyadarkan dirinya. Ia tergagap. Ia mencoba tersenyum meskipun bibirnya terasa kaku.
“Em...tidak ada apa-apa kok Umi. Niyala tidak apa-apa. Hanya sedikit sedih teringat Maesarah.”
”Maesarah teman kuliahmu yang meninggal sebulan yang lalu itu?”
Ia menganggukkan kepala.
”Oh Umi kira ada apa. Memang
 kematian datang begitu saja tidak pandang usia. Katanya Maesarah tidak 
sakit apa-apa. Ia meninggal begitu saja usai shalat subuh dengan tangan 
masih memegang mushaf.” 
”Maesarah
 mati dengan usia yang sangat muda. Saat ia berada di puncak 
prestasinya, menunggu diwisuda sebagai lulusan terbaik Fakultas 
Kedokteran tahun ini. Iya menghadap Allah pada waktu melakukan perbuatan
 mulia. Usai shalat dan membaca Al-qur’an. Aku iri padanya Umi. 
Tiba-tiba aku rindu padanya. Aku ingin menyusulnya Umi. Entah kenapa 
hari-hari aku ingin mati seperti dia.”
Suaranya bergetar. Saat itu ia memang ingin mati. Sebab
 terkadang kematian memang menjadi solusi atas banyak persoalan manusia.
 Dan sering kali kematian menjadi pilihan yang dianggap paling tepat dan
 membahagiakan.
”Kau
 jangan berkata begitu, Anakku! Hidup dan mati ada ditangan Allah. 
Mengingat kematian memang baik. Tapi kau jangan mengharap yang 
tidak-tidak seperti itu. Masa depanmu masih panjang. Hidupmu masih 
diperlukan oleh banyak orang. Masih banyak hamba Allah yang akan 
memerlukan bantuanmu setelah kau jadi dokter nanti. Maka mintalah kepada
 Allah agar kau dikaruniai umur panjang yang penuh berkah. Sebab itulah 
sebaik-baik umur manusia.”
Kata-kata
 perempuan setengah baya yang ia panggil Umi itu membuatnya tak bisa 
membendung air mata. Dalam hati ia menjawab, ”Umi benar. Saat ini ada 
yang sedang menanti uluran tanganku, yaitu ayah kandungku sendiri. Dan 
justru karena aku merasa tidak mampu untuk mengulurkan tanganku, maka 
aku lebih memilih mati dengan damai menyusul Maesarah. Dan karena aku 
takut dengan umur panjang yang tidak berkah maka aku memilih mati 
secepatnya!”
”Kau malah menangis, Anakku. Apakah perkataan Umi salah?”
”Tidak, Umi benar. Terima kasih Umi.”
Telepon di ruang tamu berdering.
”Biar Umi yang mengangkat. Sekalian Umi mau keluar ke rumah bu Sanwar mengantar kue pesanannya.”
Perempuan
 setengah baya itu melangkah menuju keluar kamar. Niyala memandanginya 
dengan mata berkucuran. Jika ia mati yang paling berat baginya adalah 
berpisah dengan perempuan berhati mulia yang ia panggil Umi itu. 
Baginya, Umi tidak ada bedanya dengan ibu kandungnya sendiri. Dari Umi 
lah ia merasakan kasih sayang yang luar biasa. Umi sebenarnya bukan 
siapa-siapa baginya. Umi adalah orang lain. Tak ada hubungan kekerabatan
 dengan dirinya. Umi adalah teman ibu kandungnya saat belajar di Diniyah
 Puteri Padang Panjang. Ibunya mendapatkan jodoh orang Sidempuan yaitu 
ayahnya. Sedangkan Umi mendapatkan suami orang Betawi. Keduanya lantas 
hidup ikut suaminya masing-masing. Kata Umi, saat ibu kandungnya sakit 
keras, diam-diam ibu kandungnya menulis surat wasiat kepada Umi. Isinya 
minta tolong agar jika dirinya meninggal, Umi mau mengasuh puterinya 
Niyala dan menganggapnya seperti anaknya sendiri. Ibunya lebih percaya 
pada Umi daripada perempuan manapun yang mengasuh puterinya. Mendapat 
surat wasiat itu Umi langsung terbang ke Sidempuan. Dan sampai disana 
tepat saat ibunya dimakamkan. Ia pun langsung melaksanakan wasiat itu 
sebaik-baiknya. Kebetulan Umi tidak punya anak perempuan. 
Umi
 benar-benar menganggap dirinya sebagai anaknya sendiri. Niyala 
merasakan itu. Ia pun menganggap Umi sebagai ibunya sendiri. Ia belum 
pernah mendapatkan bentakan atau kata-kata keras dari Umi. Umi teramat 
sayang padanya. Kalaulah bukan karena pengorbanan dan kerja keras Umi ia
 tidak akan bisa menyelesaikan kuliah di fakultas Kedokteran. Sejak ia 
datang ke rumah itu, Umi hidup hanya berdua dengan anak lelakinya Faiq 
yang baru kelas enam SD. Suami Umi meninggal saat tugas di Timor-Timur. 
Umi bekerja keras dengan kedua tangannya membesarkan Faiq dan dirinya. 
Umi sebenarnya wanita yang cantik. Banyak lelaki yang datang melamarnya,
 termasuk adik kandung suaminya sendiri. Tapi ia seorang wanita yang 
setia dan berkarakter. Ia tidak bisa menerima lamaran itu. ”Cinta sejati
 Cuma sekali, dan itu akan aku bawa sampai mati. Aku hanya mau jadi 
istri suamiku, ayah Faiq, di dunia sampai di akhirat!” Itulah Umi yang 
telah mengajarinya hidup menjadi wanita salehah. Itulah Umi yang telah 
mengorbankan segala yang dimilikinya untuk dirinya. Padahal dia bukan 
puterinya, bukan anak kandungnya.
Ia
 masih ingat saat diterima di fakultas Kedokteran. Umi tidak memiliki 
uang sepeserpun. Sawah mendiang suaminya telah dijual untuk membiayai 
kuliah Faiq di Mesir. Akhirnya Umi terpaksa meminjam uang ke bank. 
Sertifikat tanah dimana berdiri rumah tempat ia dan Umi tinggal 
dijadikan jaminan. Padahal itulah satu-satunya harta yang tersisa. Ia 
tidak bisa membayangkan andaikan Umi tidak bisa menyicil angsuran ke 
bank. Entah apa jadinya jika rumah itu disita oleh bank. Namun Umi 
seakan ingin memberikan teladan baginya bagaimana menjadi manusia yang 
ulet. Manusia yang tidak hanya mengeluh saja. Manusia yang bisa 
memanfaatkan kesempitan menjadi kelapangan. Sebagian uang pinjaman dari 
bank digunakan untuk membiayai kuliahnya selama satu tahun. Dan sebagian
 lainnya digunakan untuk usaha. Umi menyalurkan bakat dan ketrampilannya
 membuat kue. Dia menjual kue di pasar. Kue Umi laris. Perlahan Umi 
mengembangkan usahanya membuat kue dan roti. Pesanan terus mengalir. 
Angsuran bank bisa ditutup setiap bulannya. Dengan usaha keras itulah 
Umi bisa membiayai kuliahnya dan sesekali mengirimkan uang ke Mesir 
untuk Faiq. Saat ia membuka privat bimbingan belajar, Umi mendukungnya. 
Kamar Faiq yang terletak disebelah ruang tamu dijadikan kelas. Umi tidak
 mau menerima hasil yang ia dapat dari privat. Umi hanya bilang,
”Anakku,
 Umi sudah sangat berbahagia kau menjadi anak yang salehah dan 
berprestasi. Hasil yang kau dapat saat ini tabunglah. Nanti kau akan 
memerlukannya. Sebab Umi tidak tahu ketika kau nanti menikah apakah 
tangan Umi masih bisa mencarikan dananya apa tidak. Jangan kau pikirkan 
Umi, Anakku.”
Ia
 menangis mengingat ketulusan Umi mendidik dan membesarkannya. Umi yang 
telah ia anggap sebagai ibunya sendiri. Ia ingin hidup selamanya bersama
 Umi. Mendampingi Umi di hari-hari tuanya. Menyayangi Umi kala ia telah 
renta. Tapi surat dari Sidempuan itu menghapus semua impiannya. Saat ini
 ia merasa yang terbaik adalah malaikat Izrail datang menyelamatkannya 
dari buah simalakama ini.
***
Tiga
 hari lagi wisuda. Dua hari lagi ayahnya akan datang. Ia menghitung sisa
 hari seperti seorang tahanan yang telah di vonis hukum mati menghitung 
sisa-sisa hidupnya. Kenapa malaikat Izrail tidak juga datang menemuinya?
 Rasanya ia lebih bahagia bertemu Izrail daripada harus bertemu ayahnya.
 Ia bangkit dari duduknya dan membuka jendela kamarnya. Sinar matahari dhuha
 tak sehangat biasanya. Entah kenapa? Bunga-bunga itu seperti layu. 
Entah kenapa? Cericit burung-burung ia rasakan bagaikan senandung 
kematian. Entah kenapa? Tak ada lagi gairah hidup yang ia rasakan. Entah
 kenapa?
”Niyala Anakku, mau ikut Umi tidak?”
Suara
 lembut perempuan setengah baya yang amat ia cintai itu kembali 
menyadarkan dirinya dari kekosongan jiwa. Ia membalikkan badan perlahan.
 Mencoba tersenyum.
”Kemana Umi?”
”Ke bandara.”
”Ada apa?”
”Kakakmu Faiq pulang.”
”Kak Faiq pulang?!” Ia kaget.
”He eh. Kaget ya?”
”Kok mendadak Mi? Kenapa tidak memberitahu jauh-jauh hari?”
”Umi yang minta dia pulang seminggu yang lalu.”
”Kenapa Mi?”
”Sudah, nanti saja di jalan Umi ceritakan. Sana cepat bersiap-siap. Pesawatnya landing jam sepuluh.”
Mata
 Niyala berbinar. Ada sedikit cahaya di dadanya. Sudah tiga tahun ia 
tidak melihat kakaknya. Terakhir dia melihat saat pulang usai 
menyelesaikan S1 dari Al-azhar. Setelah itu kembali lagi ke Mesir. Lalu 
kabarnya terbang ke Inggeris. Tiba-tiba dia mau datang. Oh, apakah dia 
datang untuk melihatnya terakhir kali sebelum ia pergi untuk selamanya.
Dengan
 menumpangi taksi keduanya meluncur ke bandara. Sang sopir begitu gesit 
memilih jalur-jalur yang tidak macet. Namun tetap saja sesekali macet. 
Setidaknya dengan keahlian sang sopir mereka berdua tidak terjebak 
kemacetan yang fatal.
”Katanya Umi mau menceritakan kenapa kak Faiq disuruh pulang?”
”Begini,
 yang menyuruh Faiq pulang itu Umi. Karena banyak hal yang harus ia 
lakukan disini. Minggu-minggu ini adalah minggu-minggu bersejarah. 
Pertama. Kamu akan di wisuda. Kalian berdua adalah kakak beradik yang 
harus saling menghargai sejarah masing-masing. Kakakmu harus pulang, 
sebab ia mampu untuk  pulang. Kakakmu harus 
menyaksikan adiknya mengenakan toga dan mengawali hidup sebagai seorang 
dokter. Inilah momen paling bersejarah bagi Umi, juga bagimu. Umi sangat
 bahagia. Umi sudah lama menunggunya. Kedua, kau kenal sama Diah kan?”
”Diah yang mana Umi?”
”Itu Diah Pramestaningrum, saudara sepupu Faiq, puterinya tante Astrid.”
”Oh...mbak Diah yang sekolah di Australia itu?”
”Iya.”
”Terus hubungannya apa Mi dengan kepulangannya kak Faiq?”
”Diah sudah selesai S2 nya. Setengah bulan yang lalu dia pulang. Dia sudah pakai jilbab sekarang?”
”Alhamdulillah.”
”Tante Astrid beberapa waktu yang lalu menelpon. Diah ingin bertemu Faiq. Katanya, Diah diam-diam mencintai Faiq, sejak mereka bertemu satu tahun yang lalu.”
“Setahun yang lalu? Dimana mereka bertemu Mi?”
”Di
 London. Saat itu Diah sedang mengumpulkan data untuk penulisan Tesisnya
 dibeberapa perpustakaan disana. Satu bulan setengah Diah disana. Dan 
selama disana, Diah dibantu sama Faiq. Disitulah rupanya diam-diam 
tumbuh bibit-bibit cinta dalam hati Diah.”
”Kok kak Faiq nggak cerita ya Mi?”
“Iya,
 Umi baru tahu juga kemarin dari Tante Astrid. Jadi begitulah, kakakmu 
aku suruh pulang. Aku ingin dia cepat berkeluarga. Aku ingin menimang 
cucu. Menurut Umi, Diah cocok untuk Faiq. Sama-sama sudah S2 dan sama-sama dari luar negeri. Menurutmu bagaimana Niya?”
Niyala tersenyum. Cerita dari Umi membuat hatinya gembira. Ia melupakan sesaat nestapanya.
“Cocok
 sekali Mi. Kak Faiq kan gagah, tampan dan cerdas. Terus mbak Diah itu 
kan cantik dan cerdas. Sebelum ke Australia saja pernah jadi foto model.
 Sekarang pakai jilbab lagi. Pasangan yang serasi Mi. Aku malah jadi 
penasaran ingin bertemu mbak Diah, seperti apa dia kalau pakai jilbab?”
Umi tersenyum dengan hati berbunga-bunga.
”Aku bawa fotonya, kau mau lihat?”
”Benarkah Mi. Mana?”
Umi membuka tasnya. Dan mengambil selembar foto lalu menyerahkan pada Niyala.
“Wah,
 sangat cantik dan anggun Mi. Sangat cocok untuk kak Faiq. Sangat pas 
jadi mantu Umi. Dulu saja, waktu masih jadi foto model dan belum ke 
Australia mbak Diah itu orangnya ramah, santun dan enak diajak bicara. 
Apalagi sekarang dia sudah pakai jilbab.”
“Umi memang berharap keduanya saling cocok. Umi
 akan sangat berbahagia jika Faiq menikah dengannya. Kemarin Umi sudah 
main ke rumah Tante Astrid dan sudah bertemu dengan Diah. Dia sangat 
baik, lembut dan santun. Penampilannya anggun, jilbabnya rapat.”
”Kenapa Umi tidak mengajak Niya?”
”Saat itu kau tidur pulas dikamarmu Nak. Umi tak mau mengganggu tidurmu. Kalau mau main kesana lain kali juga masih ada waktu. Jangan Kuatir.”
Jawaban
 polos itu mengingatkan Niyala pada dukanya. Yah....Surat dari Sidempuan
 itu yang membuatnya beberapa hari ini kehilangan gairah hidup. Ia
 lebih sering tidur. Ia memang suka melarikan masalah dengan tidur. 
Biasanya, setelah tidur kepalanya akan terasa lebih enteng. Tapi, untuk 
masalah kali ini, semakin banyak tidur kepalanya semakin berat. Ia 
meneteskan air mata. Ia memandangi foto Diah di tangannya lekat-lekat,
”Kau gadis yang sangat beruntung mbak Diah. Oh, andai aku seberuntung dan secantik dirimu.” Lirihnya sambil memejamkan mata.
Perkataannya itu ternyata didengar Umi.
”Kenapa kau menangis Niya? Kenapa
 kau berkata begitu, Anakku? Ada apa sebenarnya? Kau itu gadis yang 
sangat cantik Anakku. Sejatinya kau lebih cantik dari Diah. Kau juga 
sangat cerdas. Sebentar lagi kau jadi dokter. Dan kau menangis merasa 
masih kurang beruntung. Kau masih memiliki impian apalagi Anakku? Jika 
Umi mampu, maka Umi akan mewujudkannya. Kau adalah anakku. Umi tidak mau
 kau merasa tidak beruntung. Kalau Umi masih kurang dalam memberikan 
sesuatu kepadamu, Umi mohon maaf Anakku. Memang hanya seperti ini Umi 
mampu.
Jawaban
 Umi yang disertai isak itu membuat jiwa Niyala terasa diremas-remas. Ia
 sangat takut perkataannya yang lirih itu melukai hati perempuan yang 
sangat ia cintai melebihi siapa saja itu.
”Maafkan
 Niya Umi. Bukan itu maksud Niya. Niya sangat bersyukur dan merasa 
sangat beruntung hidup dalam asuhan dan bimbingan Umi. Umi telah 
memberikan segalanya pada Niya. Tadi itu Niya hanya sedikit iri pada 
mbak Diah. Mbak Diah akan mendapatkan seorang suami yang baik, saleh, 
setia dan bertanggungjawab. Niyala juga ingin mendapatkan suami yang 
baik, saleh, setia dan bertanggungjawab seperti kak Faiq. Wajar kan Mi?”
Umi langsung menarik Niyala ke dalam pelukannya. Dan dengan suara pelan penuh kasih sayang ia berkata,
”Umi
 percaya kau akan mendapatkan suami yang saleh. Kakakmu pernah bilang 
pada Umi, bahwa dia memiliki banyak teman yang saleh dan pintar. Nanti 
kalau kakakmu sudah pulang, Umi akan minta padanya untuk menunjukkan 
temannya yang paling saleh, pintar, gagah dan bertanggungjawab. Dan kau 
akan jadi gadis yang sangat beruntung. Memang benar, gadis yang 
beruntung adalah yang mendapatkan seorang suami saleh yang baik, setia, 
bertanggungjawab dan patut diteladani oleh istri dan anak-anaknya.
Tangis Niyala semakin menjadi-jadi. Ia
 ingin membuka segala yang menimpanya. Tapi ia tidak tega pada Umi. Umi 
sudah terlalu besar berkorban untuk dirinya. Ia tahu bahwa Umi rela 
mengorbankan apa saja untuk dirinya. Nyawa sekalipun. Namun, ia tidak 
mungkin meminta pengorbanan yang lebih lagi. Ia hanya menangis dan 
menyimpan lukanya dalam hati, sedalam-dalamnya.
TIGA
            KEPULANGAN Faiq memang membuat Umi sangat berbahagia. Anak lelakinya itu benar-benar gagah dan tampan seperti almarhum ayahnya.
 Senyumnya memikat. Nada bicaranya enak. Bacaan Al-qurannya saat 
mengimami shalat magrib sangat indah dan enak di dengar. Malam itu Umi 
memanjakan putranya itu dengan memasak menu favoritnya, yaitu nasi tim, 
semur ayam, dan sambal ikan tenggiri. Faiq makan dengan lahapnya seperti
 seorang pengungsi yang belum makan selama tiga hari. Umi tersenyum 
bangga anaknya menyukai masakannya. Niyala juga tersenyum melihat cara 
makan kakaknya yang tidak berubah. Yaitu langsung dengan tangan kanan, 
tanpa sendok.
            “Entah
 kenapa, kalau makan semur ayam pakai sambal ikan tenggiri rasanya tidak
 mantap kalau tidak langsung dengan tangan.” Seloroh Faiq disela-sela 
makannya.
            Usai
 makan mereka bertiga menuju ruang ke tamu. Meskipun tadi sore sudah 
berbincang panjang kesana kemari. Dan Faiq juga sudah banyak 
menceritakan pengalamannya yang mengasyikkan, tapi Umi dan Niyala masih 
ingin mendengarkan Faiq bercerita lagi. Faiq
 pun kembali bercerita, kali ini tentang pengalaman liburannya ke 
Istambul, Turki. Tentang indahnya teluk Bosporus. Masjid Aya Shofia. 
Universitas Istambul. Makam Abu Ayyub Al-Anshari. Tarian kaum tarekat 
Jalaluddi Ar-rumi. Dan lain sebagainya.
            “Oh ya lupa. Ini Faiq belikan jilbab sutera asl dari Turki. Yang hijau muda untuk Niyala. Dan yang hijau tua untuk Umi.”
            Niyala menerima jilbab berbatik emas khas Turki itu dengan mata berbinar-binar. “Wah, jazakallah Kak. Indah sekali.” Niyala langsung memakai jilbab itu menutupi jilbab putihnya. “Gimana Kak? Bagus nggak?”
            “Wah anggun sekali, Anakku!” Puji Umi dengan pandangan takjub.
            “Dasar
 orangnya sudah cantik ditambah dengan jilbab Turki itu, wow luar biasa,
 dikau tampak seumpama bidadari yang turu dari surga Niyala. Cahaya 
pesonamu mengalahkan cahaya yang dipantulkan oleh mentari siang hari!” 
Sahut Faiq. Wajah Niyala merona mendengar pujian kakak angkatnya itu. 
Kesukaan kakaknya bercanda dengan nada puitis tidak juga hilang. Namun 
entah kenapa ia sangat suka dengan pujian-pujian kakaknya yang seperti 
menggombal itu. Atau mungkin pada dasarnya semua wanita suka dipuji, 
meskipun dengan sedikit menggombal.
            “Duhai,
 siapakah gerangan pangeran yang akan menikmati kesejukan cahayamu? 
Siapakah dia yang akan berbahagia mendapatkan kesucian jiwa ragamu? 
Duhai, alangkah bahagianya di!” Sambung Faiq dengan senyum mengembang.
            Umi
 pun tersenyum melihat polah puteranya yang beraksi seperti bintang 
sinetron kasmaran itu. Namun Niyala mendengarkan pujian terakhir 
kakaknya itu justru bagaikan disengat kalajengking. Seketika 
kebahagiannya pudar. Wajahnya pucat. Air matanya meleleh, Ia teringat 
kembali dengan isi surat dari ayahnya. Ia
 teringat dengan Roger yang akan menari-nari kegirangan jika di sampai 
mau jadi istrinya. Perubahan wajah dan air mata Niyala ditangkap oleh 
Faiq. Seketika Faiq tergagap.
            Lho Niyala, kenapa? Apakah ada yang salah dengan kata-kata kakak? Apakah gurauan kakak menyinggung perasaanmu?” Tanyanya pelan.
            Niyala
 mengusap air mata dengan punggung tangannya. Ia mencoba tersenyum. 
”Tidak kak. Niyala tidak apa-apa. Niyala tidak tersinggung. Niyala 
justru bahagia sekali dengan pujian yang kakak berikan. Sangat bahagia 
sampai Niyala menangis.”
            ”Alhamdulillah kalau begitu. Kirain kau tersinggung. Kau bahagia dengan pujian kakak. Maka kebahagiaan itu tidak gratis. Ada harganya.”
            ”Maksud kakak?”
            ”Kau harus membayar pujian kakak yang membuatmu bahagia dengan melakukan sesuatu yang membuat kakak senang. Begitu.”
            ”Apa yang ingin Niyala lakukan sehingga kakak senang?”
            ”Umi
 sudah membuatkan menu istimewanya. Kamu juga harus membuatkan menu 
istimewa untuk kakak. Kau tahu kan, sudah tiga tahun kakak tidak 
merasakan nasi goreng spesial buatanmu. Kakak ingin besok pagi sarapan 
dengan nasi goreng spesial buatanmu. Gimana?”
            ”Oh itu. Beres bos. Jangan kuatir!”
            Mereka
 terus berbincang dan bercanda sampai larut malam. Malam itu Umi dan 
Niyala menerima cukup banyak oleh-oleh dari Faiq. Ada tas tangan yang 
bagus yang sempat ia beli di Paris. Leontin kristal dari Italia. Jilbab 
Turki. Cincin cantik. Sandal kulit warna putih gading yang modis. Dan 
kebaya khas Malaysia. Selain itu Faiq membelikan gaun pengantin khas 
Turki yang sangat indah untuk Niyala.
            ”Ini kakak belikan spesial untuk dirimu Dik. Untuk kau pakai suatu saat nanti, saat kau jadi pengantin.” Kata Faiq sambil tersenyum.
            ”Wow indah sekali Kak. Rapat menutup aurat dan islami. Kakak sepertinya tahu saja seleraku. Terus, untuk calon istri kakak mana?” Tanya Niyala.
            ”Jangan kuatir. Kakak sudah mempersiapkan gaun pengantin yang tak kalah indahnya.”
            Umi
 tersenyum bahagia mendengar dialog itu. Dua anaknya memang telah dewasa
 dan sudah saatnya menikah. Niyala merasa sangat bahagia menerima hadiah
 dari kakaknya itu. Karena ternyata, kemana pun Faiq pergi tidak pernah 
melupakan Umi dan dirinya..
            Tiba-tiba telpon berdering. Faiq yang paling dekat langsung mengangkatnya.
            ”Hallo? Ya? Wa’alaikum salam. Oh Mas Herman. Dimana
 sekarang Mas? Oh ya ya. Ba’da Subuh? Ya ya. Tapi agak siangan dikit 
nggak apa-apa Mas ya? Saya jemput jam delapan lah, iInsya Allah. 
Wa’alaikum salam!”
              Mendengar
 suara Faiq menjawab telpon itu wajah Niyala langsung pucat. Herman itu 
pasti kakaknya. Dan dia menelpon minta dijemput. Ia merasa detik-detik 
kematiannya semakin dekat.
            “Siapa Iq?” Tanya Umi.
            “Masya Allah
 Mi. Kebahagiaan kita rasanya memang lengkap. Ini pak Rusli, ayahnya 
Niyala dan Herman kakaknya mau datang. Mereka tadi menelpon dari 
Bakauhuni. Nanti subuh mereka, insya Allah akan sampai di terminal Pulau Gadung. Mereka lupa caranya ke rumah kita ini, jadi minta dijemput. Ya saya bilang, insya Allah jam delapan sampai di pulau Gadung.”
            “Baguslah
 kalau begitu. Memang itu yang kuharap. Aku ingin Pak Rusli Hasibuan 
menyaksikan puterinya di wisuda jadi dokter. Kalau begitu kita istirahat
 dulu, sudah larut.” Tukas Umi sambil bangkit dari duduknya.
            “Lha
 aku tidur dimana dong? Kamarku jadi kelas. Masak aku harus tidur di 
kelas? Bu guru harus bertanggung jawab dong!” Rajuk Faiq pada Niyala 
yang sedang bergulat dengan rasa sedihnya. Niyala menundukkan kepala 
seolah tidak mendengar gurauan Faiq.
            ”Malam ini Niyala biar tidur sama Umi. Kau tidur saja di kamar Niyala.” Seloroh Umi sambil melangkah ke kamarnya.
            Niyala
 masih menunduk diam. Faiq memperhatikan dengan seksama kelakuan gadis 
berjilbab putih yang telah dianggapnya seperti adiknya sendiri itu. 
Sepertinya ada sesuatu didalam diri Niyala. Ia mendekati Niyala dan 
berkata,
            ”Kok
 diam saja. Ada apa? Nggak ikhlas ya kakak tidur di kamarmu. Ya sudah, 
kalau tidak ikhlas kakak tidur di ruang tamu saja. Jangan sedih, santai 
saja!”
            Niyala
 mengangkat mukanya dan memandang kakaknya dengan senyum yang ia 
paksakan. ”Hanya adik yang jelek yang tidak ikhlas. Sudahlah, kakak 
tidur saja di kamar Niya, kakak kan capek, perlu tempat istirahat yang 
nyaman, Niya biar sama Umi. Dan... jangan kuatir, Bu guru akan 
bertanggung jawab. Besok kelas itu akan kembali menjadi kamar yang 
nyaman seperti sedia kala.”
            Jam
 dinding menunjukkan pukul setengah satu malam. Umi sudah merebahkan 
badannya. Kedua matanya telah terpejam. Niyala rebah disampingnya, namun
 matanya tidak mau dipejamkan sedikitpun jua. Sementara Faiq memasang 
jam beker lalu rebah di kamar Niyala dan langsung terlelap.
***
            Air
 mata Niyala terus mengalir membasahi kedua pipinya. Ia tak bisa 
memejamkan matanya sedikitpun. Ia juga tidak tahu apa yang harus 
dilakukannya. Selain menangisi nasibnya, ia benar-benar tidak bisa 
mengambil keputusan. Ia tidak bisa menyerahkan dirinya menjadi istri 
Roger yang pernah mencoba memperkosanya dan telah menodai teman 
karibnya. Ia tidak bisa memaafkannya meskipun Roger datang menyembah 
dihadapannya. Namun ia tidak kuat melihat ayahnya disiksa oleh 
hutang-hutangnya. Ia tidak tega kalau sampai ayahanya diperkarakan oleh 
Haji Cosmas dan dipenjarakan. Ia ingin menjadi anak yang berbakti pada 
orang tua. Juga istri yang berbakti pada suaminya. Istri yang 
mencurahkan segenap cinta dan kasih sayang pada suaminya. 
            Apa
 jadinya kalau dirinya sampai menjadi istri sei bangsat Roger itu. Ia 
tidak bisa membayangkan jika hidup dalam bara neraka selama hayatnya. 
Orang bijak mengatakan, ’Jika malam telah memuncak pekatnya, tak lama 
lagi fajar akan terbit’. Apakah kepedihan yang ia rasakan ini adalah 
puncak pekatnya malam yang tak lama lagi fajar akan terbit? Ataukah baru
 tenggelamnya matahari dan ia masih akan menemui saat-sat kelam yang 
paling mengerikan? Saat-saat itu adalah saat-saat ia terpasung dalam 
ketidakberdayaan menjadi bulan-bulanan Roger. Saat-saat ia dalam situasi
 yang mengerikan, bagaikan seekor Domba yang sedang sekarat dalam 
belitan ular Phyton yang kelaparan. Dan pada saat fajar terbit, dirinya 
telah kehilangan segalanya. Bahkan kemanusiaan dan keimanannya.
            Ia
 takut sekali hal itu akan terjadi. Ia takut sekali akan kedatangan 
ayahnya, ia tak kuasa untuk menolak permintaan ayahnya. Entah kenapa 
kedatangan ayahnya ia rasakan sebagai kedatangan seorang algojo yang 
akan melemparkannya ke alam yang menakutkan. Ayahnya akan menyeretnya ke
 Sidempuan seumpama tawanan perang yang tiada berdaya apa-apa. Keringat 
dinginnya keluar. ”Ya Rabbi, ampunilah segala dosaku. Janganlah hamba-Mu
 yang lemah ini Engkau coba dengan ujian yang hamba tidak kuat 
memikulnya. Ya Mughitsu, aghitsni (wahai Tuhan Yang Mahamenolong tolonglah aku).
            Jam beker di kamarnya berdering keras. Lalu
 mati. Ia mendengar suara derit pintu. Lalu kecipak air. Ia menatap jam 
dinding. Pukul tiga. Tak lama kemudian ia mendengar suara alunan surat 
Fatihah dan lantunan ayat-ayat suci Alquran. Suaranya begitu jernih. 
Fasih. Tartil. Indah. Menyentuh hati yang mendengarnya. Setelah empat 
tahun di Mesir, bacaan Alquran kakaknya itu semakin indah. Ah, kak Faiq 
dalam keadaan lelah dari perjalan jauh masih juga bangun tengah malam. 
Alangkah bahagianya dia yang menjadi istrimu. Tiap malam bisa tahajjud 
bersama. Menangis bersama di hadapan Allah. Lalu anakmu sesekali diajak 
ikut serta. Rumahmu penuh cahaya Qurani. Baunya harun wangi kesturi. 
Alangkah indahnya. Air mata Niyala  tiada henti 
mengalir. Bantalnya basah. Dan diriku. Ia kembali berkata pada dirinya 
sendiri dalam hati. Alangkah malangnya jika menjadi istri Roger yang 
pernah jadi mucikari itu, yang mungkin sampai sekarang masih jadi 
mucikari. Hidup dalam kegelapan. Hidup akan teramat malang jika rumahku 
pada akhirnya dijadikan rumah bordil. Aku dipaksa menjadi primadonanya. 
Sungguh mengerikan. Hidup tanpa cinta. Rumah pengap penuh bau busuk dan 
daging para pezina. Na’udzubillah.
            Suara
 Faiq yang merdu dan tartil menarik Niyala untuk bangkit. Ia berdiri dan
 melangkah keluar kamar untuk mengambil wudhu. Lalu ke kamar Umi untuk 
memakai mukena Umi. Lantas mengambil sajadah dan menggelar didepan pintu
 kamarnya yang sedikit terbuka. Faiq masih berdiri dalam shalatnya. Ia 
larut dalam tadabbur ayat-ayat yang ia baca. Ia sama sekali tidak tahu 
bahwa diluar kamar Niyala ikut makmum dan menyimak bacaannya dengan 
penuh khusyuk.
            Faiq
 selesai membaca surat An-nuur. Ia tetap berdiri dan langsung 
melanjutkan dengan membaca surat Al-Furqan. Ayat demi ayat ia baca. 
Sesekali terdengar isak tangisnya. Niyala yang makmum dibelakangnya ikut
 menangis. Sampailah ia pada ayat enam puluh lima dan enam puluh enam :
            Wal ladziina yaquuluuna Rabbanashrif ‘anna’ adzaaba jahannam. Inna ‘adzaabaha kaana gharaama. Innahaa saa’at mustaqarraw wamuqaama! (”Dan
 orang-orang yang berkata ’Ya Tuhan kami jauhkan azab jahannam dari 
kami, seungguhnya azab itu adalah kebinasaan yang kekal. Sesungguhnya 
jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman.”)
            Ia
 mengulang-ngulang ayat itu dan menangis tersedu-sedu. Niyala juga 
terisak-isak. Ayat itu sungguh menggetarkan hati. Faiq meneruskan 
bacaannya. Huruf demi huruf ia baca dengan tartil. Ketika sampai pada 
ayat tujuh puluh empat :
            Wal ladziina yaquuluna Rabbana hab lana min azwaajina dzurriyatina qurrata a’yuniw waj’alna lil muttaqiina imaama (”Dan
 orang-orang berkata ’Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami 
istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penenang hati (kami) dan 
jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa.”)
            Faiq membacanya dengan penuh pengahayatan. Dan mengulang-ulangnya dengan penuh perasaan. Lagunya
 terkadang seperti merayu pada Tuhan. Terkadang seperti merengek-rengek.
 Dan terkadang terdengar sangat mengharukan sekali. Niyala tahu persis 
makna ayat yang dibacakan Faiq. Tak ayal ia terisak-isak sampai nafasnya
 tersengal-sengal. Ayat itu begitu dahsyat mengambil seluruh 
perasaannya. Faiq meneruskan perasaannya. Begitu
 selesai surat Al-Furqan ia rukuk. Lalu sujud dengan air mata berderai. 
Pada rakaat kedua ia membaca surat Asy-Syuara lima puluh ayat. Setelah 
salam ia duduk istirahat. Hatinya tiada henti bertasbih. Ia menghentikan
 tasbihnya kala daun telinganya mendengar isak tangis di luar kamar. Ia 
bangkit dan membuka pintu kamar. Ia terhenyak melihat Niyala duduk 
diatas sajadah dengan menutup kedua tangan pada mukanya. Isaknya 
tersedu-sedu. Ia terhenyak sesaat, hatinya tersentuh dengan apa yang 
dilihatnya. Ternyata adiknya juga bangun malam dan shalat dibelakangnya.
 Ia kembali ke tempatnya semula. Dan bermunajat kepada Rabbnya. Selesai 
munajat ia berkata pada adiknya dengan suara halus, 
            “Dik Niya!”
            “Ya Kak!” Jawabnya dengan suara bergetar.
            “Masih mau makmum?”
            “Insya Allah.”
            “Sekarang witir. Dua rakaat lalu satu rakaat!”
            Faiq takbiratul Ikhram. Niyala
 mengikutinya. Untuk shalat witir ia tidak membaca surat yang panjang 
seperti tahajjud. Tak lama kemudian shalat witir itupun selesai. Setelah
 berdoa sesaat, faiq kembali merebahkan badannya. Sementara Niyala terus
 menangis di atas sajadahnya.
***
            Usai shalat subuh Umi memanggil Faiq dan Niyala untuk berkumpul di ruang tamu. Umi membuka pembicaraan,
            ”Ini
 adalah hari-hari bahagia bagi Umi. Puteraku Faiq sudah selesai S2nya di
 London dan puteriku Niyala besok pagi, InsyaAllah akan diwisuda. Di 
hari yang penuh kebahagiaan ini Umi ingin membicarakan hal penting pada 
kalian.”
            “Apa itu Umi?” tanya Faiq.
            ”Faiq, apakah kau tahu kenapa kau kuminta pulang?”
            ”Pasti untuk melihat wisuda Dik Niyala. Iya kan Mi?”
            ”Ada yang lebih penting dari itu.”
            ”Apa itu Mi?”
            Umi
 lalu menceritakan masalah Diah panjang lebar. Setelah dianggap jelas 
lalu Umi bertanya, ”Bagaimana pendapatmu Anakku? Apakah kau bisa 
menerima Diah sebagai pendampingmu?”
            Faiq
 terdiam sesaat lalu dengan menundukkan kepala ia menjawab, ”Ananda ikut
 Umi. Jika menurut Umi baik maka menurut Ananda juga baik. Yang paling 
penting bagi Ananda adalah ridha Umi.”
            Umi meneteskan air mata.
           “Aku bahagia sekali mendengar jawabanmu, Anakku. Tiga
 hari lagi Tante Astrid dan Diah akan dolan kemari. Untuk selanjutnya 
nanti bisa dibicarakan bersama dengan lebih matang. Yang kedua ini 
masalah Niyala.”
            ”Ada apa dengan aku Umi?” Tanya Niyala sedikit kaget.
            ”Begini.
 Kau sudah Umi anggap seperti anakku sendiri. Dan kau sudah bisa 
mengerti apa yang Umi rasa. Aku ingin kau menemani Umi di rumah ini 
sampai akhir hayat Umi. Kau nanti bisa buka praktek di rumah ini. Kaulah
 yang Umi harap merawat hari tua Umi. Apakah kau mau Niyala?”
            Niyala terhenyak, “Insya Allah. Jika Allah menghendaki dan jika Kak Faiq mengizinkan.”
            “Bagaimana
 Faiq? Rumah dan tanah sepetak ini memang hakmu. Kaulah ahli waris 
ayahmu. Jika nanti ditempati Niyala bagaimana, apakah kau ikhlas?”
            “Aduh
 Umi. Sudahlah, pokoknya apa yang paling baik menurut Umi, yang paling 
membahagiakan Umi, Ananda akan patuhi dan Ananda penuhi. Ananda ikhlas 
lahir batin. Niyala bukan orang lain lagi.”
            “Alhamdulillah. Kalau begitu masalahnya selesai.”
            Setelah
 itu Niyala ke dapur untuk membuatkan nasi goreng. Sementara Faiq 
mengutak-atik laptopnya. Tak lama kemudian sarapan siap. Mereka bertiga 
menyantapnya dengan santai. Berulang kali Faiq memuji kehebatan Niyala 
membuat nasi goreng. Ia sampai tambah tiga kali. Hati Niyala senang 
melihat kakaknya makan masakannya dengan begitu rakusnya. Usai sarapan 
Faiq dan Niyala meluncur dengan taksi ke Pulo Gadung. 
            Selama
 dalam perjalanan ke Pulo Gadung Niyala tidak bisa menahan tangisnya. 
Mukanya tampak begitu pucat dan sedih. Sebelum sampai di Pulo Gadung, 
Niyala mengajak Faiq turun. Faiq pun menurut dengan perasaan bingung. 
Apa sebenarnya yang terjadi pada Niyala? Firasatnya menangkap sesuatu 
telah terjadi pada Niyala. Dan tangisnya bukan tangis bahagia.
            “Niyala,
 kakak merasa kau sedang menyimpan masalah besar yang kau tidak kuat 
menanggungnya. Kau telah menyembunyikan sesuatu dari kakak. Kau menangis
 sedih tapi kau tidak mau mangakuinya.”
            Niyala
 diam. Ia sesunggukan. Ia tidak tahu harus berbuat apa dan harus berkata
 apa pada orang yang telah ia anggap sebagai kakaknya.
            “Kalau
 kau masih menganggap kakak sebagai orang lain ya pendamlah masalahmu 
itu. Karena kau tidak lagi percaya bahwa kakak bisa membantumu atau 
setidaknya meringankan bebanmu. Kakak ingin kau bahagia dan tidak sedih,
 sebab Umi sangat ingin kau bahagia. Tapi kalau kau tidak memberikan 
kesempatan pada kakak untuk membantumu, kakak bisa berbuat apa?”
            Kata-kata
 Fiaq mulai masuk ke dalam hati Niyala. Gadis berjilbab biru pun merasa 
tidak sanggup lagi menanggung beban pikiran ini sendirian. Akhirnya ia 
buka suara,
            ”Niyala
 punya masalah serius dan Niyala tidak kuasa lagi menanggungnya. Niyala 
juga belum menemukan jalan keluar yang tepat. Niyala sangat sedih, sebab
 ini menyangkut hidup mati Niyala.”
            ”Masalah apakah itu? Apakah Umi benar-benar tidak tahu?”
            ”Niyala tidak ingin Umi tahu. Pengorbanan Umi sudah terlalu besar pada Niyala. Niyala tidak mau lagi menyusahkan beliau.”
            ”Apakah kakak boleh tau masalahnya?”
            ”Dengan satu syarat.”
            ”Apa itu?”
            ”Tidak memberitahukan masalah ini pada Umi.”
            ”Baiklah.”
            Niyala
 lalu menceritakan perihal surat dari ayahnya secara terperinci. Juga 
tentang Haji Cosmas dan anak bungsunya Roger. Siapa mereka dan apa yang 
telah mereka perbuat. Lalu dengan terisak Niyala meluapkan segala 
kecemasan, kekuatiran, ketakutan dan kebingungan. Ia tidak bisa 
memberikan keputusan yang tepat. Ia tidak mau jadi istri Roger, namun 
juga tidak mau menjadi anak durhaka. Faiq mendengarkan segala penuturan 
adiknya dengan mata berkaca-kaca. Adiknya dalam kesulitan yang serius. 
            ”Selepas
 shalat tahajjud tadi malam, terlintas dalam benak Niyala sebuah solusi 
yang mungkin bisa mengatasi masalah ini. Namun itu perlu bantuan kakak.”
 kata Niyala.
            ”Solusinya bagaimana?”
            ”Niyala
 sudah menemukan cara untuk mendapatkan uang delapan puluh juta. Namun 
perlu waktu. Dan Niyala perlu bantuan kakak untuk menolak lamaran Pak 
Cosmas. Kalau Niyala sendiri yang ngomongnya, Niyala tidak sampai hati. 
Niyala minta tolong pada kakak agar bersedia menjelaskan pada ayah, 
bahwa saya tidak mungkin menikah dengan Roger.”
            ”Terus, kalau ditanya alasannya kenapa bagaimana?”
            ”Bilang
 saja Niyala sudah punya calon sendiri. Pokoknya dengan bahasa yang 
sebijaksana mungkin dan jangan sampai ayah terluka. Juga jelaskan kalau 
Niyala akan mengusahakan pelunasan uang delapan puluh juta itu sebelum 
tanggal jatuh tempo.”
            ”Kalau boleh kakak ingin tanya bagaimana kau akan mendapatkan uang sebanyak itu?”
            ”Terus
 terang kak, Niyala belum tahu. Tapi Niyala akan berusaha sekuat tenaga.
 Untuk masalah ini, sekali lagi Niyala tidak mau menjadi pikiran Umi 
atau kakak. Biarlah Niyala nanti berusaha sebaik-baiknya.”
            ”Tapi kakak tidak bisa berbohong, Adikku.”
            ”Maksud kakak?”
            ”Tidak
 mungkin kakak mengatakan kau punya calon, padahal selama ini kakak tahu
 kau tidak punya calon. Apakah kau benar-benar punya calon tanpa 
sepengetahuan kakak?”
            ”Bohong untuk kebaikan kan tidak apa-apa?”
            ”Maaf kakak tidak bisa Dik.”
            ”Tolonglah kak, sekali ini.”
            ”Soalnya
 ini nanti bohongnya akan banyak sekali. Sebab pasti akan ditanya 
calonnya siapa? Orang mana? Dan lain sebagainya. Ayo bagaimana?”
            ”Pokoknya
 terserah kakak bagaimana jawabnya. Tapi tolonglah Niyala kak. Apakah 
kakak rela Niyala menjadi istri seorang mucikari?”
            ”Baiklah, kakak akan menolongmu. Tapi ada dua syaratnya, bagaimana?”
            ”Apa itu?”
            ”Pertama, kau harus mencucikan pakaian kakak selama satu bulan kakak di Jakarta. Kedua, kau harus memijit kakak nanti malam?”
            ”Hah, kakak gila apa? Kalau mencuci pakaian sih oke. Tapi kalau memijit kakak? Na’udzubillah. Apakah kakak lupa itu tidak boleh? Kita bukan mahram. Bagaimana mungkin aku akan memijit kakak?”
            ”Kakak
 tidak lupa. Nanti kakak pakai jaket, sehingga tanganmu tidak akan 
menyentuh kulit kakak. Terus, pijitnya nanti malam di ruang tamu sambil 
ngobrol santai bersama Umi, ayahmu dan kakakmu. Kan tidak akan ada 
bahayanya. Kalau tidak mau ya sudah. Kakak juga tidak mau menolongmu!”
            Niyala
 menggeleng-geleng kepala. Kakaknya ini ada-ada saja. Ia masih teringat 
terakhir kali ia memijit kakaknya saat ia kelas dua SMP. Itupun cuma 
mijit kakinya yang terkilir saat main bola dengan para remaja masjid. 
Setelah itu, ia tidak pernah lagi bersentuhan dengan kakaknya itu.
            ”Tapi Cuma sekali itu kan?”
            Faiq menganggukkan kepala.
            ”Baiklah, Niyala terima syarat kakak.”
            ”Okey,
 kalau begitu nanti kakak akan atur bahasanya dan lain sebagainya dengan
 sebaik-baiknya. Sekarang tersenyumlah, jangan sedih begitu.”
            Niyala
 tersenyum. Faiq menatap wajah adik angkatnya dengan seksama. Niyala 
tersipu. ”Yuk kita lanjutkan perjalanan. Ayahmu sudah menunggu di masjid
 terminal.” Faiq menghentikan taksi yang lewat. Ia dan Niyala lalu naik 
taksi dan meluncur ke Pulo Gadung.
EMPAT
            KEDATANGAN Pak
 Rusli Hasibuan dan Herman disambut hangat oleh Umi. Pak Rusli banyak 
bercerita tentang perkembangan Sidempuan. Beliau juga banyak mengenang almarhumah istrinya
 yang tak lain adalah teman karib Umi selama belajar di Diniyah Puteri 
Padang Panjang. Umi banyak menceritakan prestasi dan segala kebaikan 
Niyala. 
            ”Niyala
 sangat halus perasaannya, sabar, tekun, penuh pengertian dan tutur 
bahasanya membuat siapa yang diajak bicara akan menyukainya. Persis 
seperti almurhamah ibunya.” ucap Umi mengenang.
”Yah,
 sifat almarhumah yang sangat mulia itulah yang membuat saya tidak 
pernah luntur mencintainya. Sudah hampir empat belas tahun dia tiada 
namun saya tidak bisa melupakannya. Dan saya pun tidak pernah berpikir 
sampai sekarang untuk mencari penggantinya.” Seloroh pak Rusli Hasibuan 
dengan mata berkaca-kaca.
Diam-diam Niyala sangat bangga dengan kesetiaan dan rasa cinta ayahnya pada almarhumah ibunya.
Perbincangan
 yang bernuansa nostalgia yang terkadang terasa melankolis berubah warna
 menjadi ceria tatkala Faiq nimbrung bicara. Faiq yang pandai melucu dan
 menyegarkan suasana kembali bercerita panjang lebar tentang hidupnya 
selama belajar di Mesir dan Inggris. Juga tentang pengalamannya singgah 
di Perancis, Italia, Turki dan malaysia. Pak Rusli dan Herman sangat 
senang medengarnya. Setelah cukup lama berbincang-bincang, Pak Rusli 
meminta waktu pada Umi untuk melakukan perbincangan serius usai makan 
malam. Dia minta Niyala dan Faiq turut serta.
Dan malam itu. Di
 ruang makan tampak lima orang duduk mengitari meja bundar. Umi duduk 
dekat pintu ruang tamu. Di samping kanannya Niyala. Dan di samping 
kirinya Pak Rusli. Sementara Faiq duduk tepat di samping kanan Niyala 
sedangkan Herman duduk di samping kiri Pak Rusli. Mereka semua telah 
selesai makan. Semuanya tampak tenang, ceria dan menikmati pertemuan di 
meja makan itu, kecuali Niyala . Ia sangat tegang. Keringat dinginnya 
telah keluar. Sebentar lagi ayahnya pasti akan membicarakan masalah yan 
ditakutinya itu.
”Pak
 Rusli, katanya ada yang mau diperbincangkan. Silahkan mumpung terlihat 
masih segar dan masih sore.” Umi mengawali pembicaraan.
”Iya
 ini ada hal yang ingin saya sampaikan. Karena ini menyangkut dua 
keluarga. Yaitu keluaraga saya dan keluarga Umi maka kita perlu 
bermusyawarah dengan sebaik-baiknya.”
”Apakah masalahnya menyangkut Niyala?”
”Benar
 Umi. Begini, saya tahu Umi sangat menyayangi dan mencintai Niyala 
layaknya anak kandung sendiri. Dan kami sangat berterima kasih atas 
segala kebaikan Umi. Namun dengan berat hati kalau Umi memperbolehkan 
kami ingin mengajak Niyala pulang pulang ke Sidempuan selepas wisuda. 
Dia sangat dibutuhkan masyarakat sana. Biarlah dia mengabdikan diri dan 
mengamalkan ilmunya di tanah kelahirannya. Apalagi kebetulan sekali ada 
seorang tokoh  masyarakat yang melamar Niyala 
untuk anak lelakinya. Dan terus terang saya sangat susah untuk menolak 
lamaran itu. Kami yakin ini masalah yang berat bagi Umi. Umi tentu berat
 melepas Niyala. Namun kami dengan segala hormat mohon kebijaksanaan 
Umi.”
Mendengar
 permintaan Pak Rusli yang to the point itu hati Umi bergetar. Setelah 
sedemikian dalam hatinya terikat pada anak angkatnya itu apakah harus ia
 melepaskannya begitu saja. Memang ini tidak mudah baginya. Ia sudah 
terlanjur sangat mencintai Niyala. Ia merasa tidak ada orang yang 
sehalus dan sepengertian Niyala. Dan tadi pagi baru saja ia memberikan 
rumah ini pada Niyala. Kini Niyala diminta kembali oleh ayahnya. Memang 
jika mengikuti isi wasiah dari almarhumah ibu kandung 
Niyala maka tugas Umi sudah selesai begitu Niyala telah tumbuh dewasa 
menjadi gadis yang salehah. Tak terasa ada yang meleleh dari sudut mata 
Umi. Dengan suara yang terbata-bata dia berkata,
“Tidak
 mudah memang untuk ikhlas. Juga tidak mudah untuk ditinggal oleh 
sesuatu atau seseorang yang sangat dicintai. Sesuai dengan wasiat almarhumah
 ibundanya Niyala tugas saya sudah selesai. Saya tidak bisa menahan atau
 meminta Niyala untuk harus tinggal di sini. Dia memiliki kebebasan 
untuk menentukan jalan hidupnya. Maka  yang paling
 bijaksana menurutku ialah menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada 
Niyala. Apakah dia akan tetap tinggal di sini atau tinggal di tanah 
kelahirannya, Sidempuan. Juga masalah pasangan hidupnya, Niyalalah yang 
paling berhak memilih.”
“Umi sungguh bijaksana. Anakku  Niyala
 kau sudah dengar sendiri apa yang dikatakan Umi. Sekarang kaulah yang 
memutuskan, dimana kau akan tinggal dan mengabdikan diri?”
Niyala
 diam seribu bahasa. Kepalanya menunduk. Ia berharap Faiq akan bicara 
menggantikan dirinya dan membereskan semuanya. Suasana menjadi hening 
beberapa saat lamanya. Faiq tak juga angkat bicara. Perasaan Niyala tak 
karuan kacaunya.
“Ayilah
 Anakku Niyala. Bicaralah. Kau bebas menentukan pilihanmu. Seandainya 
pun kau memilih Sidempuan Umi ikhlas kok. Umi tetap menganggapmu sebagai
 anak Umi. Umi tidak akan berubah. Kau jangan bimbang menentukan pilihan
 yang kau anggap paling membuat dirimu bahagia. Di Sidempuan sana kau akan berkumpul dengan keluarga besarmu yang sangat mencintaimu.” Ujar Umi memecah keheningan sambil mengusap kepala Niyala.
Mata
 Niyala berkaca-kaca. Keringat dinginnya keluar. Kaki kanannya dengan 
halus menyepak kaki kiri Faiq. Ia ingin Faiq angkat bicara. Namun Faiq 
tetap diam tak bergeming dan tak bersuara. Rasanya Niyala ingin 
menangis. Ia sudah tidak tahan. Bibirnya 
benar-benar kelu dan tak mungkin bisa bicara dengan baik. Ia menurunkan 
tangan kanannya dan mencubit paha Faiq dengan sekeras-kerasnya. Tak ayal
 Faiq tersentak namun ia berusaha menahan rasa sakitnya. Faiq berdehem. 
Niyala melepaskan cubitannya.
”Boleh ananda bicara Pak Rusli dan Umi?”
”O silahkan Nak Faiq. Silahkan. Kita memang sedang bermusyawarah.” Sahut Pak Rusli, sedangkan Umi diam saja.
”Begini,
 ananda bicara atas nama kemaslahatan dua keluarga. Masalah ini 
sesungguhnya pernah diutarakan Niyala pada ananda. Baik selama ananda 
ada di rumah, maupun selama ananda di luar negeri. Kami tak pernah 
berhenti berkomunikasi. Sebenarnya Niyala ingin sekali untuk pulang ke 
kampung halamannya. Niyala sangat mencintai keluarga besarnya dan tanah 
kelahirannya. Namun perlu Pak Rusli, Mas Herman dan Umi ketahui bahwa 
Niyala telah mencintai seseorang. Dan ia berkali-kali berterus terang 
pada saya, baik secara langsung maupun melalui surat, bahwa Niyala 
sangat susah hidup jika tidak bersamanya. Dan orang yang ia cintai 
mungkin juga akan sangat sengsara dan bahkan bisa mati jika tidak 
memperistri Niyala. Cinta keduanya telah terjalin tak kurang dari 
sebelas tahun. Tepatnya sejak Niyala masuk SMP. Apakah mungkin kiranya 
cinta yang telah terjalin selama sebelas tahun lamanya ini akan diputus 
begitu saja? Siapakah orang yang tega memutuskannya? Dan saya tahu 
persis bahwa Niyala sangat menjaga kesucian dirinya dan kesucian 
cintanya. Ia tidak melakukan maksiat dengan cintanya. Menurut ananda, 
tindakan yang paling bijak diambil oleh Pak Rusli dan Umi adalah 
merestui dan menyegerakan pernikahan adik Niyala dengan orang yang 
sangat dicintainya itu. Dan saya berani menjamin bahwa orang yang 
dicintainya dan mencintai Niyala akan berusaha sekuat tenaganya untuk 
membahagiakan Niyala. Sebab saya tahu cinta mereka berdua sangat tulus. 
Ini menurut pendapat ananda.”
            Muka
 pak Rusli pucat. Umi menangkap perubahan itu. Umi kuatir Pak Rusli 
kecewa dengan dirinya. Karena dirinya tidak bisa mengasuh Niyala. 
Bagaimana mungkin ia membiarkan anak SMP menjalin cinta. Umi sendiri 
kaget dengan penjelasan Faiq. Ia belum yakin dengan apa yang diutarakan 
anaknya itu. Dengan nada yang halus, ia bertanya pada Niyala,
            ”Anakku Niyala, benarkah apa yang dikatakan oleh kakakmu Faiq?”
            Niyala mengangguk. Mata Umi berkaca-kaca. Dengan terisak ia berkata,
            ”Sebenarnya
 Umi sangat kecewa mengetahui kenyataan ini. Kenapa masalah sepenting 
ini kau sembunyikan dari Umi? Apakah kau tidak percaya pada Umi? Selama 
ini Umi tidak pernah menyembunyikan sesuatu darimu Anakku. Umi sangat 
mempercayaimu. Apakah masih kurang bijaksana Umi mengasuhmu, Anakku? 
Sekarang coba katakanlah pada Umi siapa lelaki yang kau cintai sejak SMP
 sampai saat ini itu? Siapakah dia Anakku?”
            Niyala
 bingung. Ia tidak tahu harus mengatakan apa-apa. Permasalahannya 
menjadi begitu rumit. Ia benar-benar tidak punya jawaban. Mukanya pucat.
 Tubuhnya gemetar. Keringat dingin mengalir. Kaki kanannya menyodok kaki
 kiri Faiq. Sesaat lamanya Umi menunggu jawaban dari mulut Niyala tapi 
tidak juga keluar. 
            ”Anakku
 jawablah! Siapa dia? Masalah ini tidak akan tuntas jika Umi dan Ayahmu 
tidak tahu siapa orang yang kau cintai itu. Jika lelaki itu memang 
pilihanmu, maka Umi akan merestuinya. Katakanlah siapa dia?”
            Niyala tidak menjawab, ia kembali mencubit paha Faiq. Ia minta kakak angkatnya itu harus bicara. Sebab ini semua yang membuat skenarionya dia. Jadi dia yang harus menuntaskannya.
            ”Begini
 Umi. Niyala sangat pemalu untuk masalah seperti ini. Kalau boleh, biar 
ananda saja yang menjelaskan siapa orang yang di cintai Niyala. Namun 
sebelumnya ananda minta Umi tidak marah bila mendengar namanya. Apakah 
Umi bersedia berjanji tidak akan marah? Sebab ananda takut Umi akan 
marah.” kata Faiq.
            ”Baiklah, Umi berjanji tidak akan marah.”
            ”Nama lengkap lelaki yang dicintai Niyala sejak SMP sampai sekarang adalah Muhammad Faiq bin Saiful Anam.”
            ”Apa!? Jadi yang dicintai dan mencintai Niyala itu kau sendiri Faiq?”
            Semua
 mata tertuju pada Faiq, termasuk mata Niyala. Semuanya terkejut dengan 
pengakuan Faiq itu. Niyala sendiri tidak habis pikir, kakaknya sampai 
nekad bersandiwara seperti itu. Ia sama sekali tidak mengira kakak 
angkatnya akan segila itu membelanya.
          ’Benar Umi. Kami saling mencintai. Aku sangat mencintai dan menyayangi Niyala demikian pula sebaliknya.”
            ”Aku
 tidak percaya dengan apa yang aku dengar. Aku tahu kau mencintai 
Niyala, tapi itu cinta seorang kakak pada adiknya. Itu bukan cinta 
sepasang kekasih.”
            ”Tidak Umi. Ananda mencintai adik Niyala seperti seorang kakak pada adiknya juga sekaligus seperti Yusuf mencintai Zulaikha,  atau
 Romeo mencintai Juliet. Ini ananda berkata dengan sejujurnya dan 
sebenar-benarnya. Kalau Umi tidak percaya, silahkan Umi bertanya sendiri
 pada Dik Niyala.”
            ”Benarkah yang dikatakan kakakmu Niyala?”
            Untuk kali ini Niyala membuka suara,
            ”Benar
 Umi. Apakah Umi lupa, sebenarnya kami bukan kakak dan adik. Dan kami 
bukan mahram. Kami saling mencintai, namun kami tidak pernah melakukan 
hal-hal yang dapat menodai kesucian diri, hati dan jiwa. Kami telah 
menitipkan rasa cinta kami kepada Dzat Yang Maha Pengasih dan Maha 
Penyayang. Dan biarlah malam ini menjadi malam yang menentukan, apakah 
cinta suci kami akan berlanjut ataukah akan terputus ditengah jalan.”
            ”Bagaimana ini Umi? Saya tidak mengerti apa yang terjadi.” Tukas Pak Rusli bingung berbaur cemas.
            ”Saya
 juga seperti dalam mimpi Pak. Bagaimana mungkin saya yang sering tidur 
satu kasur dengan Niyala sampai tidak tahu apa yang terjadi pada 
dirinya.” Jawab Umi.
            Niyala sendiri tidak akan tahu seperti apa akhir dari skenario yang dirancang kakaknya itu. Yang
 jelas ia sedikit merasa lega, kakaknya itu benar-benar membelanya. 
Untuk sementara ia merasa selamat dari kenistaan hidup yang akhir-akhir 
ini menghantuinya.
            ”Pak
 Rusli, yang terjadi adalah ananda mencintai Niyala puteri Bapak. Dan 
Niyala mencintai ananda. Kami sangat memohon Bapak berkenan merestui 
kami untuk melaksanakan akad nikah secepatnya. Dan Umi tidak bermimpi. 
Ini kenyataan Umi.” Ucap Faiq.
            Tiba-tiba Herman yang sedari tadi diam saja akhirnya berbicara juga,
            ”Sebaiknya
 ayah tidak usah pikir panjang lagi. Restui dan ridhai saja mereka 
berdua. Adik Faiq ini jelas jauh lebih baik daripada Si Roger puteranya 
Pak Cosmas itu. Yang paling penting adalah kebahagiaan Dik Niyala. Jika 
ia menikah dengan Dik Faiq, kebahagiaan itu jelas ada di depan mata. 
Mereka saling mencintai dan telah saling mengenal dan memahami. 
Sedangkan jika menikah dengan Si Roger, saya tidak tahu bahagia apa 
tidak Dik Niyala nanti.”
            ”Saya pasrah. Saya ikut pada kebijaksanaan Umi.” Lirih Pak Rusli.
            ”Saya belum bisa menerima kenyataan ini. Ini benar-benar sesuatu yang sangat mengagetkan.” Kata Umi.
            ”Umi,
 ananda mohon terimalah kenyataan ini. Apakah saling mencintai itu dosa?
 Perasaan cinta itu datang dengan sendirinya. Masuk begitu saja kedalam 
hati kami. Kami berdua saling mencintai Umi. Apakah Umi rela kami hidup 
menderita? Apakah Umi tidak melihat bagaimana akhir-akhir ini Dik Niyala
 sering menangis? Dia sangat ketakutan dan kuatir akan kehilangan orang 
yang dicintainya. Adik Niyala sangat mencintai dan menghormati Umi 
sehingga tidak berani untuk mengutarakan isi hatinya. Sebab orang yang 
dicintainya adalah anak laki-laki Umi satu-satunya. Umi, ananda yakin 
seyakin-yakinnya Umi tidak akan mendapatkan mantu yang lebih baik dari 
Adik Niyala. Apakah Umi akan menyia-nyiakan kebaikan yang telah dibangun
 bersama sejak lama ini?” Desak Faiq dengan nada serius. Niyala 
terkesima melihat akting kakaknya yang begitu serius. Ia pun lantas 
mengimbangi,
            ”Saya
 sudah bersumpah tidak akan menikah kecuali dengan Kak Faiq. Biarlah 
cinta ini cukup sekali dan akan aku bawa sampai mati. Bukankah Umi telah
 mengajarkan dan mencontohkan hal seperti ini?”
            Kalimat
 yang diucapkan Niyala dengan tegas ini membuat perempuan separuh baya 
itu tersentak. Ia sadar, yang tengah ia hadapi kini adalah gelombang 
cinta yang dahsyat. Ia harus berlaku bijak. Jika tidak, maka penyesalan 
yang akan ia petik. 
            ”Kalau
 memang sudah demikian bulat dan kuat cinta kalian, Umi tidak bisa 
berbuat apa-apa kecuali merestui kalian. Umi sangat mencintai kalian 
berdua. Meskipun Umi sangat terkejut adanya kenyataan ini, namun Umi 
tetap merasa sangat bahagia bahwa kalian akan tetap hidup satu atap 
dalam ikatan suci yang kuat yaitu pernikahan. Kalau begitu, malam ini 
juga kita musyawarahkan hal-hal mengenai pelaksanaan pernikahan kalian.”
            ”Mereka
 berdua adalah orang-orang yang terpelajar. Pasti mereka telah membuat 
rencana yang matang. Jadi kita serahkan saja sepenuhnya masalah 
pelaksanaan pernikahan mereka pada mereka. Bukankah begitu ayah?” sahut 
Herman.
            Pak
 Rusli mengangguk pasrah. Perasaan bahagia dan sedih bercampur baur 
dalam hatinya. Bahagia karena puterinya sebentar lagi akan menjadi 
dokter dan memiliki seorang suami yang baik dan berpendidikan tinggi. 
Sedih jika mengingat hutangnya delapan puluh juta pada Pak Cosmas dan ia
 akan bilang apa pada Pak Cosmas. Padahal seluruh ongkos ke Jakarta ini 
pun diberi oleh Pak Cosmas.
            ”Apa
 kalian sudah punya rencana?” Tanya Umi dengan memandang Niyala dan Faiq
 bergantian. Niyala tidak menjawab apa-apa. Sebab ia tidak tahu skenario
 ini sama sekali. Ia hanya yakin kakaknya sedang berusaha menyelamatkan 
dirinya.
            ”Alhamdulillah Umi,
 kami sudah membuat rencana yang matang sekali. Dan kami berharap Umi, 
Pak Rusli dan Mas Herman menyetujui dan merestui rencana kami. Kami akan
 melangsungkan akad nikah secepat mungkin.” Jawab Faiq tenang. Hati 
Niyala tiba-tiba berdesir mendengar akad nikah secepatnya. Apakah
 kakaknya sudah gila? Apa kakaknya tidak sadar sedang bebicara dengan 
siapa? Ia melirik Faiq. Pada saat yang sama Faiq juga melirik Niyala. 
Lirikan mereka bertemu. Faiq mengerdipkan mata sambil tersenyum. Niyala 
tidak mengerti. Ia hanya mengangguk setuju. Ia hanya berpikir, pokoknya 
jika dibelakang nanti ada masalah yang bertanggung jawab adalah 
kakaknya,Faiq.
            ”Kapan rencana kalian mau akad nikah?” Tanya Umi.
            ”Secepatnya.” Sahut faiq.
            ”Ya, pastinya kapan?”
            ”Sebelum
 Ananda menjawab waktunya. Terlebih dahulu ananda menanyakan kembali, 
apakah Umi, Pak Rusli dan Mas Herman benar-benar merestui pernikahan 
kami lahir batin? Kami ingin pernikahan kami penuh berkah, berlimpah doa
 dari orang-orang terdekat yang kami cintai. Jika ada satu zarrah rasa tidak ikhlas, lebih baik kami berdua tidak menikah selamanya.”
            ”Umi ikhlas lahir dan batin, anakku.”
            ”Bapak juga ikhlas lahir batin.”
            ”Saya juga ikhlas adik perempuanku satu-satunya menikah dengan pemuda yang baik sepertimu, Faiq.”
            ”Alhamdulillah.
 Kami sangat bahagia mendengarnya. Dik niyala, kau sudah mantap kan 
dengan rencana pernikahan kita. Sudah mantap lahit batin kan Dik?” Kata 
Faiq sambil menyentuh pundak Niyala. Hati Niyala bergetar hebat 
mendengar pertanyaan itu. Nadanya begitu mantap meyakinkan. Ia menatap 
wajah Faiq dalam-dalam. Ia ingin mencari kepastian ini main-main apa 
sungguhan. Ia tidak menemukan apa-apa kecuali mata Faiq yang jernih 
bersinar dan senyumnya yang manis mengembang.
            ”Kenapa tiba-tiba kau ragu Adikku? Apa kau masih menyangsikan kebulatan niat kakak untuk membahagiakanmu??”
            Mata Niyala berkaca-kaca, ”Apakah ini sungguhan ataukah cuma sandiwara? Ataukah Cuma mimpi?” Tanyanya dengan terisak.
            ”Ini
 sungguh dan serius. Kita akan menikah secepatnya. Dan kita akan tetap 
tinggal bersama di rumah mungil ini dengan penuh cinta. Kita
 akan mereda masa depan bersama. Dan akan membesarkan anak-anak kita 
nanti bersama. Apakah kau tidak mau mewujudkan impian ini?”
            Tangis Niyala meledak, dengan suara terbata-bata ia bertanya, ”Benarkah kita a...kan menikah kak?”
            Ruangan
 itu diselimuti rasa haru yang luar biasa. Umi sesengukan menangis. Ia 
menangis seolah merasakan kebahagiaan Niyala. Cintanya yang terpendam 
sebelas tahun yang masih dalam impian akan menjadi kenyataan. Umi tidak 
tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pak Rusli juga menangis. Ia menangis 
karena melihat secara lahir anaknya menangis dan bertanya seperti itu 
karena luapan bahagia yang luar biasa. Juga Herman. Mereka bertiga 
berpikiran dan berperasaan sama. Mereka tidak tahu bahwa Niyala menangis
 karena masih mencari-cari satu kepastian, apakah yang dilakukan 
kakaknya Faiq itu cuma sekedar sandiwara untuk menyelamatkannya 
sementara. Ataukah Faiq bersungguh-sungguh hendak menikahinya sebagai 
istrinya selamanya. Sebab ia merasa masalahnya sudah tidak sekedar 
main-main lagi. Kalaulah main-main, apakah permainan ini tidak akan 
menyakitkan semuanya?. Menyakitkan Umi, ayahnya dan Mas Herman.
            ”Kak Faiq, jelaskan padaku...apa arti semua ini? Kakak sedang bersandiwara bukan?” Lanjut Niyala dengan terisak dan air mata berkucuran.
            ”Adikku
 Niyala, dengarkan baik-baik ya! Kakak bersumpah demi Allah, kakak 
sungguh-sungguh hendak menikahimu secepatnya. Kakak tidak mungkin bisa 
hidup tanpa dirimu disamping kakak. Kakak sangat mencintaimu. Dan kakak 
tidak pernah dan tidak akan pernah mencintai wanita selain Umi dan 
dirimu. Kakak ingin kau menjadi istri kakak, menjadi pendamping kakak 
mengarungi hidup ini, berlayar menuju ridha Ilahi. Dan kakak ingin 
kaulah yang melahirkan, mendidik dan membesarkan anak-anak kakak. Kakak 
berjanji akan membawamu ke istana kebahagiaan semampu kakak. Ini bukan 
sandiwara lagi. Ini serius. Apakah kau ragu untuk melangkah ke 
pernikahan, mengarungi hidup dengan kakak, Adikku?” Kali ini Faiq 
menjawab dengan segenap perasaannya. Kedua matanya basah.
Mendengar
 kalimat-kalimat yang keluar dari lisan Faiq dengan penuh kesungguhan 
itu, Niyala merasa ada hawa dingin yang turun dari langit. Hawa dingin 
itu merasuk di ubun-ubunnya lalu menjalar ke seluruh tubuhnya. Hatinya 
merasakan kesejukan yang luar biasa. Tetesan air matanya semakin deras.
”Adik
 ikut kakak. Adik sepenuhnya percaya pada kakak.” Pelan Niyala sambil 
menunduk. Perasaan haru, bahagia, cinta, optimis dan surprise membaur 
jadi satu dan berpendar-pendar dalam dadanya. Ia belum pernah merasakan 
perasaan seindah itu sebelumnya.
”Semuanya
 sudah terang. Jadi dalam rencanamu, kapan akadnya akan dilangsungkan, 
Anakku? Tanya Umi sambil memandang wajah Faiq lekat-lekat.
”Ananda berharap tidak ada yang kaget. Akad nikah akan kami laksanakan malam ini juga!”
Tak ayal Niyala, Umi, Pak Rusli dan Herman kaget mendengarnya.
”Ini bukan lelucon Anakku!” Seru Umi.
”Ananda
 serius, Umi. Ananda tidak main-main. Untuk sebuah acara sakral yang 
cuma sekali dilaksanakan dalam hidup, apa ananda akan main-main? Ananda 
sudah mempersiapkan semuanya dengan matang. Ananda sudah mengontak KUA 
dan membereskan administrasinya. Ananda juga sudah mengundang 
tokoh-tokoh masyarakat, remaja masjid dan masyarakat sekitar sini. 
Ananda sudah mengundang Pak Kiai Imam Jazuli. Ananda juga sudah 
mempersiapkan katering dan handycamnya. Semua sudah ananda persiapkan di
 Aula Islamic Centre, Umi. Setengah jam lagi acaranya akan dimulai. 
Orang-orang sudah menunggu disana. Dua puluh menit lagi akan ada dua 
mobil datang kemari. Sekarang sebaiknya Niyala, Umi, Pak Rusli, dan Mas 
Herman bersiap-siap. Adik Niyala, kau cucilah mukamu. Berdandanlah yang 
anggun dan jangan berlebihan, namun jangan juga sampai ada guratan 
kesedihan di wajahmu. Kakak ingin kau bahagia. Gaun pengantin khas Turki
 yang kakak berikan tadi pagi pakailah. Sementara kakak juga akan 
bersiap-siap. Kalau begitu, kita tutup dulu musyawarah ini dengan doa kafaratul majlis. Lalu kita semua bersiap-siap.”
Setelah ditutup dengan doa. Empat orang itu sibuk mempersiapkan diri untuk sebuah acara sakral yang tidak terduga-duga.
***
Niyala membasuh wajahnya dengan lotion pembersih wajah. Lalu mengambil air wudhu. Di
 kamarnya ia menyempatkan untuk shalat dua rakaat meminta ketenangan dan
 kebahagiaan. Setelah itu ia berdandan seperti yang diminta kakak angkat
 yang sangat ia kagumi dan ia cintai, yang kini tiba-tiba menjadi calon 
suaminya. Ia memakai gaun pengantin khas Turki. Kepalanya ditutupi 
jilbab sutera Turki. Ia berdandan dengan cepat namun hasilnya tetap luar
 biasa. Tanpa berdandan pun Niyala sudah cantik mempesona. Di luar 
terdengar suara derum mobil.
Faiq
 keluar dari kamarnya dengan pakaian biru telur yang menawan. Peci hitam
 bersulam emas membuat dia semakin tampan. Lalu Niyala keluar dati 
kamarnya. Keduanya berpandangan sesat lalu saling menunduk. Hati 
keduanya berbunga-bunga. Baru kali ini mereka berpandangan namun 
disertai perasaan sangat indah yang belum pernah mereka rasakan 
sebelumnya. Tak lama kemudian Umi, Pak Rusli dan Herman sudah siap. 
Merekapun meluncur menuju Islamic Centre. Di sana semuanya telah siap. 
Lampu hias menyala gemerlapan. Para tetangga, para pemuda dan 
tokkoh-tokoh masyarakat sudah memenuhi ruangan.
Malam
 itu, akad nikah antara Niyala Binti Rusli Hasibuan dan Muhammad Faiq 
Bin Saiful Anam berlangsung dengan penuh khidmat, dan dalam acara yang 
sakral itu Faiq kembali memberikan kejutan yang membuat Niyala dan 
ayahnya juga seluruh yang hadir terkesima. Faiq memberikan mahar sebuah 
mushaf cantik yang ia beli di Cairo, uang tunai senilai 85 juta rupiah 
dan hafalan surat Ar-Rahman.
Saat
 Faiq membaca surat Ar-Rahman dengan nada penuh penghayatan, keindahan 
suaranya mampu membuat semua yang hadir meitikkan air mata. Setiap kali 
Faiq melantunkan ayat ”Fa bi ayyi aalai Rabbikuma tukadzdzibaan (artinya
 :”Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan ?”). Dengan 
diiringi isak tangisnya, semua yang hadir ikut terisak menangis. Dan 
diantara sekian banyak orang menangis, yang paling dalam tangisannya 
sampai kerelung jiwa adalah Niyala. Pintu hatinya terasa terbuka 
bagaikan melihat keagungan Tuhannya. Saat itulah ia merasakan bahwa 
Allah benar-benar Maha Pengasih dan Penyayang. Ia merasakan betapa 
agungnya nikmat Allah yang dilimpahkan kepadanya.
Setelah
 khutbah nikah dan do’a, acara dilanjutkan dengan pesta walimah yang 
cukup meriah. Grup rebana dan shalawat remaja mesjid tampil memukau. 
Seorang anak TPA berjilbab merah jambu dan berpakaian merah jambu 
membacakan sebuah puisi berjudul ’Bidadariku’. Suaranya yang jernih dan 
merdu mampu menyihir seluruh manusia yang ada dalam aula itu. Pesan 
puisi itu tersampaikan dengan dahsyat :
”Mas kawin untuk bidadariku
Adalah sekuntum bunga melati
Yang aku petik dari sujud sembahyangku
Setiap hari
Buah cintaku dengan bidadariku
Adalah lahirnya sejuta generasi teladan 
Yang menggendong tempayan-tempayan kemanfaatan
Bagi manusia dan kemanusiaan
Pada setiap tempat, pada setiap zaman
Mereka lahir demi kesejatian sebuah pengabdian
Dalam abad-abad yang susah,
Abad-abad yang tidak mengenal Tuhan
Abad-abad hilang naluri kemanusiaan
 Abad-abad berkuasa rezim-rezim kemungkaran
Dan mereka tetap kekar dan setia membela kebenaran
Dan keadilan
Estafet perjuangan kami berelanjutan 
Sambung-menyambung pada setiap generasi
Tak berpenghabisan dan terus bergerak
Mengaliri ladang-ladang peradaban
Seperti cintaku pada bidadariku
Yang terus tumbuh semakin subur
Dari hari ke hari
Laksana kalimat suci
Di hati para salehin
Di hati para Nabi”
Niyala
 sangat tersebtuh mendengar puisi itu. Ia berkata dalam hati, ’Oh puisi 
yang indah! Siapakah dia gerangan yang mencintai istrinya dengan begitu 
indah dan sucinya ? Siapakah dia yang cintanya pada istrinya yang tak 
berpenghabisan, yang terus tumbuh semakin subur, dari hari ke hari, laksana kalimat-kalimat suci, di hati para salehin, di hati  para nabi ? Siapakah dia yang menulis puisi itu ? Kenapa anak itu tidak lebih dahulu memperkenalkan siapakah pembuatnya?”
’Tiga detik kemudian pertanyaan Niyala terjawab. Usai membaca puisi gadis berjilbab merah jambu  itu berkata,
bapak-bapak,
 ibu-ibu dan hadirin sekalian yang dirahmati Allah. Puisi ini ditulis 
dengan segenap tetesan jiwa oleh kakak Muhammad Faiq saat masih kuliah 
di Mesir untuk seorang bidadari impiannya. Yan saat itu dia belum tahu 
siapa bidadrinya? Dan ternyata bidadarinya yang sangat dicintainya 
adalah Mbak Niyala yang cantik jelita!”
Tak
 ayal, tepuk tangan langsung bergemuruh membahana. Beberapa ibu tampakk 
mengusap ujung matanya dengan sapu tangan. Hati Niyala berdesir kencang.
 Ia merasakan kesejukan luar biasa. Tiada henti-hentinya mendengdangkan hamdalah. Entah dari mana datangnya tiba-tiba ia teringat potongan sajak ”mendalam” Armin Pane :
Kasih lari mendatang,
Bersua pantai tujuan sayang.
Memecah menghebat gembira,
Melama, damai, kasih mendalam.
* * *
Acara
 akad nikah yang indah itu selesai tepat pukul dua belas kurang sepuluh 
menit. Setelah semua hadirin memberi ucapan selamat, dua pengantin dan 
keluarganya kembali ke rumah. Mereka tidak langsung istirahat. Tapi 
berbincang-bincang di ruang tamu dengan wajah berhias bahagia. Niyala 
masih mengenakan gaun pengantinnya. Dan Faiq belum mengganti pakaiannya.
”Faiq anakku, Umi sangat bangga padamu, Nak. Kalau boleh ibu tanya dari mana kau dapatkan biaya sebanayak itu?”
Faiq yang duduk di sofa panjang di samping Niyala mengambil nafas panjang. Lalu menjawab,
”Anandalah
 yang semestinya bangga memiliki seorang ibu seperti Umi. Umilah yang 
berkorban dan pontang-panting mencarikan biaya agar ananda bisa kuliah 
ke Mesir. Kalau bukan karena umi, Faiq tidak akan menjadi seperti 
sekarang. Faiq juga tidak akan punya biaya sebanyak itu. Itu selalu 
mengajarkan agar ulet, sabar dan tidak menyerah. Dan itulah yang Faiq 
kerjakan. Umi juga sering mewanti-wanti agar Faiq hidup bersahaja dan 
hemat, itu j uga yang Faiq kerjakan. Dulu Faiq pernah kirim uang 
beberapa ratus dolar pada Umi tapi Umi menginginkan agar Faiq 
menyimpannya untuk hari depan Faiq. Dan semua nasihat Umi Faiq indahkan.
 Alhamdulillah berkat do’a restu Umi, Ananda dapat 
beasiswa S2 di London. Beasiswa itu hanaya cukup buat memenuhi kebutuhan
 ananda. Namun ananda bisa bekerja part time di sebuah 
toko. Gajinya ananda tabung. Setelah itu ananda mendapat tawaran untuk 
mengajar bahasa Arab di Islamic Centre. Ananda pun tinggal di sana jadi 
uang sewa apartemen bisa ananda tabung. Alhamdulillah dengan
 itu semua ananda bisa membiayai pernikahan ini. Dan saat ini ananda 
massih punya sisa tabungan sebesaar 15 ribu pounsterling. Insya Allah  cukup untuk membiayai Dik Niyala untuk mengambil Specialis.”
Bagaimana kau melakukan ini? Apakah telah benar-benar kau persiapkan jauh-jauh hari? Tanya Umi lagi.
”Tidak
 Umi semuanya faiq siapakan tadi pagi sepulang dari Pulo Gadung. Umi apa
 lupa, dulu kan Faiq Ketua Remaja Masjid dan Humas Karang Taruna. Jadi, 
semuanya mudah saja. Terus, kepala KUA nya itu kan teman satu bangku 
Faiq waktu SD. Yang jelas, semuanya alhamdulillah berjalan
 dengan baik. Namun, Faiq minta maaf pada Umi, Pak Rusli dan Mas Herman.
 Dalam musyawarah tadi Faiq telah berbohong. Faiq minta maaf.”
”Apa itu Anakku kalau boleh Umi tahu?”
”Faiq
 mengatakan telah menjalin cinta dengan Dik Niyala sejak SMP itu 
sebenarnya Faiq berbohong. Maafkan Faiq. Yang benar, sejak dulu Faiq 
menganggap Niyala seperti adik sendiri. Dan sebetulnya Faiq mulai merasa
 mencintai Dik Niya bukan sebagai adik adalah sejak tadi pagi. Sejak Umi
 mengungkapkan rasa tidak bisa berpisah dengan Dik Niya. Sejak Umi 
merasa tidak ada perempuan yang bisa memahami dan mencintai Umi melebihi
 Dik Niya. Sejak itulah Faiq meraba hati Faiq, ternyata Faiq juga berat 
berpisah dengan Dik Niya. Dan setelah Dik Niya minta pada Faiq untuk 
membantu menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya, maka Faiq 
langsung mempersiapkan segalanya.”
Umi, Pak Rusli dan Herman manggut-manggut mendengar pengakuan Faiq. Mata mereka semua berkaca-kaca.
”Kalau
 kau Niya sejak kapan cintamu pada kakak angkatmu berubah menjadi cinta 
seorang gadis pada pemuda pujaannya?” celetuk Herman.
”Kalau
 dia kayaknya saat pertama kali lihat aku dulu, sejak masih 
ingusan,hehehe...” Serobot Faiq sambil tertawa renyah. Semua ikut 
tertawa kecuali Niyala.
”Ih, kakak nakal! Main tuduh sembarangan!” Sewot Niyala.
”Lalu sejak kapan?”
”Sejak
 musyawarah tadi. Sejak kakak meyakinkan pada Niya, bahwa kakak tidak 
sedang bersandiwara, tapi kakak bersungguh-sungguh. Sejak itulah rasa 
kagumku pada kakak berubah menjadi rasa cinta.”
Umi menitikkan air mata mengetahui kisah cinta dua anak yang disayanginya itu. Ia hanya bisa mengucapkan Subhanallah dalam hati.
”Emm...Nak
 Faiq, maharnya apa tidak terlalu besar?” Sahut Pak Rusli dengan mata 
basah dan tangan bergetar memegang tas kecil berisi uang tunai 85 juta 
rupiah.
”Masya Allah.
 Mahar itu tidak ada nilainya untuk seorang gadis shalehah seperti 
Niyala. Dunia seisi ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan seorang
 istri shalehah. Bagi Faiq, Dik Niyala tidak bisa dinilai dengan 
materi.”
Niyala
 menunduk dengan air mata kembali menetes mendengar perkataan suaminya. 
Ia merasa dirinya sangat dihargai dan dimuliakan. Hatinya tiada henti 
memuji keagungan Allah. Ia berjanji akan benar-benar menjadi istri yang 
shalehah untuknya dan akan menjadi ibu yang baik untuk anak-anaknya 
kelak.
”Apakah masih ada yang perlu dibicarakan? Saya capek sekali. Saya perlu istirahat.” Ucap Faiq.
”Memang sudah malam. Saatnya istirahat. Apalagi besok pagi kita ada acara menghadiri wisuda Niyala.”
Umi
 bangkit dari duduknya diikuti pak Rusli dan Herman. Faiq berbisik manja
 di telinga Niyala, ”Faiq malam ini tidur dimana Bu Dokter? Kamar Faiq 
ditempati ayah sama kakakmu. Masak Faiq harus tidur di ruang tamu? 
Bolehkah Faiq tidur di kamar Bu Dokter?”
Niyala
 tidak menjawab. Ia meraih kepala Faiq dan hendak menciumnya. Faiq 
meletakkan telunjuk tangan kanannya di depan bibirnya. ”Sst jangan 
disini”. Dengan gerakan cepat Faiq membopong Niyala ke kamar. Umi, Pak 
Rusli dan Herman menyaksikan itu dengan tersenyum geli.
Sampai
 di kamar, Faiq meletakkan Niyala dan mendudukkannya perlahan di sisi 
ranjang. Faiq mengamati wajah istrinya itu lekat-lekat. Maha suci Allah 
yang telah mengukir wajah seindah ini. Bisiknya dalam hati.
”Kakak capek?” Lirih Niyala
”He eh.”
”Mau dipijit?”
”He eh.”
”Kak, boleh Adik minta sesuatu?”
”Boleh.”
”Adik
 tahu kakak capek. Tapi adik minta, malam ini juga wisudalah adik 
menjadi seorang perempuan yang paling berbahagia di dunia, sebelum besok
 adik di wisuda menjadi sarjana Kedokteran.”
”Maksud Adik?”
Niyala mengerdipkan mata.
Faiq
 tersenyum dan berkata, ”Baiklah, kakak mengerti maksudmu. Tapi tolong 
kakak dipijitin dulu donk, biar segar. Kakak capek banget. Setelah 
segar, kita shalat bareng dua rakaat. Bermunajat kepada Allah yang telah
 memberikan nikmat maha agung kepada kita berdua. Barulah kakak akan 
mewisudamu dan membawamu ke taman surga.”
”Tapi nanti saat shalat jangan baca surat yang panjang ya kak? Membaca surat yang pendek saja.”
”Lho justru nanti rakaat pertama kakak mau membaca Al-Baqarah sampai selesai. Rakaat kedua mau membaca Ali-Imran.”
“Jangan kak!” Rengek Niyala manja.
“Kenapa?”
“Ah kakak, nanti keburu pagi.”
Faiq tersenyum.
Niyala menatapnya dengan penuh cinta.
Di
 luar kamar purnama memancar terang. Sinarnya yang keperakan menyepuh 
genting dan pepohonan. Angin mengalir sepoi-sepoi. Langit cerah. Hawa 
sejuk perlahan mengirim embun pada rerumputan. Bintang-bintang 
bertaburan. Sepasang kunang-kunang menari-nari di angkasa. Di iringi 
tasbih alam, keduanya tampak begitu indah memadu cinta.
TAMAT
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar