BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Menurut
idealisme, bila seorang belajar pada tahap awal berarti ia telah memahami “aku”
nya sendiri, lantas bergerak keluar untuk memahami dunia objektif dari
mikro-kosmos menuju makro-kosmos. Sama halnya yang dijelaskan oleh Kant
(1942-1804), bahwa segala pengetahuan yang dicapai manusia lewat indera
memerlukan unsur apriori yang tidak diketahui oleh pengalaman terlebih
dahulu. Bila seseorang berhadapan dengan
benda-benda, tidaklah berarti bahwa mereka mempunyai bentuk, ruang dan ikatan
waktu, tetapi ruang dan waktu itu sudah ada dalam ide atau budi manusia (innate
ideas) sebelum ada pengalaman dan pengamatan. Jadi, apriori yang terarah
itu bukanlah budi pada benda, melainkan benda-benda itulah yang terarah pada
budi. Budi membentuk dan mengatur dalam ruang dan waktu. Dengan mengambil
landasan berpikir di atas, belajar dapat didifinisikan sebagai jiwa yang berkembang pada dirinya sendiri
sebagai substansi spiritual. Jiwa membina dan menciptakan dirinya sendiri
(Pudjawijatno, 1964: 120-121).
Seorang
filsuf dan sosiolog, L. Finney menjelaskan, bahwa mental adalah kondisi rohani
yang pasif, yang berarti bahwa manusia pada umumnya menerima apa saja yang
ditentukan oleh peraturan alam (determinsm).
Ini berarti bahwa pendidikan adalah proses reproduksi dari apa yang terdapat
dalam kehidupan sosial. Dengan demikian, belajar adalah menerima dengan sesungguhnya nilai-nilai sosial oleh
angkatan baru yang timbul untuk ditambah dan dikurangi dan diteruskan oleh
angkatan berikutnya. Pandangan realisme ini menceriminkan adanya dua
jenis determinisme, yaitu determinisme mutlak dan determinisme terbatas. Yang
mutlak menunjukkan bahwa belajar adalah mengenai hal-hal yang tak dapat
dihalang-halangi adanya, jadi harus ada. Sedangkan dengan determinisme terbatas
adalah memberikan gambaran kurangnya sifat pasif mengenai belajar.
Teori belajar sosial merupakan perluasan dari teori belajar perilaku (behavioristik). Teori belajar sosial ini dikembangkan oleh Albert Bandura (1986). Teori ini menerima sebagian besar dari prinsip teori belajar perilaku, tetapi memberikan lebih banyak penekanan pada kesan dan isyarat perubahan perilaku, dan pada proses mental internal. Jadi dalam teori belajar sosial kita akan menggunakan penjelasan penguatan (reinforcement) eksternal dan penjelasan kognitif internal untuk memahami bagaimana belajar dari orang lain. Dalam pandangan belajar sosial manusia itu tidak hanya didorong oleh kekuatan dari dalam saja, tetapi juga dipengaruhi oleh stimulus lingkungan.
Teori belajar sosial merupakan perluasan dari teori belajar perilaku (behavioristik). Teori belajar sosial ini dikembangkan oleh Albert Bandura (1986). Teori ini menerima sebagian besar dari prinsip teori belajar perilaku, tetapi memberikan lebih banyak penekanan pada kesan dan isyarat perubahan perilaku, dan pada proses mental internal. Jadi dalam teori belajar sosial kita akan menggunakan penjelasan penguatan (reinforcement) eksternal dan penjelasan kognitif internal untuk memahami bagaimana belajar dari orang lain. Dalam pandangan belajar sosial manusia itu tidak hanya didorong oleh kekuatan dari dalam saja, tetapi juga dipengaruhi oleh stimulus lingkungan.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa yang di
maksud dengan teori belajar social menurut Albert Bandura?
2. Apa yang
dimaksud dengan teori belajar menurut Ivan Pavlov?
3. Apa yang
dimaksud dengan teori belajar menurut David A. Kolb?
C.
Tujuan
1. Untuk mengetahui
maksud dari teori belajar social Albert Bandura.
2. Untuk mengetahui
maksud dari teori belajar menurut Ivan Pavlov.
3. Untuk mengetahui
maksud dari teori belajar menurut David A. Kolb
D.
Sistematika
Penulisan
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
B. Rumusan
Masalah
C. Tujuan
D. Sistematika
Penulisan
BAB II
PEMBAHASAN
I. Teori Belajar Sosial Albert
Bandura
a.
Latar Belakang Tokoh
b.
Teori Pembelajaran Sosial
d.
Ciri-ciri Teori Peniruan Albert Bandura
e.
Eksperimen Albert Bandura
f.
Kelemahan dan Kelebihan Teori Belajar Sosial
g. Contoh Aplikasi
Teori Belajar Sosial dalam Kehidupan
h.
Aplikasi Teori Belajar Sosial Terhadap Pembelajaran
II. Teori
Belajar Menurut Ivan Pavlov
a.
Makna Belajar Ivan Pavlov
b.
Eksperimen Ivan Pavlov
c.
Prinsip Utama dalam Eksperimen
d.
Kelemahan dan Kelebihan Teori Belajar Ivan Pavlov
e.
Aplikasi Teori Belajar Ivan Pavlov dalam Pembelajaran
III. Teori
Belajar Menurut David A. Kolb
a.
Gaya Belajar Menurut David A. Kolb
b.
Aplikasi Teori Belajar Humanistik Menurut David A.
Kolb
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB
II
PEMBAHASAN
I.
Teori Belajar
Sosial Albert Bandura
A. Latar Belakang Tokoh
Albert Bandura dilahirkan di Mundare
Northern Alberta Kanada, pada 04 Desember 1925. Masa kecil dan remajanya
dihabiskan di desa kecil dan juga mendapat pendidikan disana. Pada tahun 1949
beliau mendapat pendidikan di University of British Columbia, dalam jurusan
psikologi. Dia memperoleh gelar Master didalam bidang psikologi pada tahun 1951
dan setahun kemudian ia juga meraih gelar doctor (Ph.D). Bandura menyelesaikan
program doktornya dalam bidang psikologi klinik, setelah lulus ia bekerja di
Standford University.Beliau banyak terjun dalam pendekatan teori pembelajaran
untuk meneliti tingkah laku manusia dan tertarik pada nilai eksperimen.Pada
tahun 1964 Albert Bandura dilantik sebagai professor dan seterusnya menerima
anugerah American Psychological Association untuk Distinguished scientific
contribution pada tahun 1980.
Pada tahun
berikutnya, Bandura bertemu dengan Robert Sears dan belajar tentang pengaruh
keluarga dengan tingkah laku sosial dan proses identifikasi. Sejak itu Bandura
sudah mulai meneliti tentang agresi pembelajaran sosial dan mengambil Richard
Walters, muridnya yang pertama mendapat
gelar doctor sebagai asistennya. Bandura berpendapat, walaupun prinsip belajar
cukup untuk menjelaskan dan meramalkan perubahan tingkah laku, prinsip itu
harus memperhatikan dua fenomena penting yang diabaikan atau ditolak oleh
paradigma behaviorisme. Albert Bandura sangat terkenal dengan teori
pembelajaran sosial, salah satu konsep dalam aliran behaviorime yang menekankan
pada komponen kognitif dari pemikiran, pemahaman, dan evaluasi.
B. Teori Pembelajaran Sosial
Teori
Pembelajaran Sosial atau disebut juga
Teori Observasional atau Teori belajar dari model. Teori belajar ini relatif
masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya dan merupakan
perluasan dari teori belajar perilaku (behavioristik). Teori pembelajaran sosial ini dikembangkan
oleh Albert Bandura (1986). Berbeda dengan penganut Behaviorisme lainnya,
Bandura memandang Perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis atas
stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil
interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip
dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam
belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan
penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih memandang
pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment,
seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang
perlu dilakukan.
Teori ini
menerima sebagian besar dari prinsip-prinsip, teori-teori belajar perilaku,
tetapi memberikan lebih banyak penekanan pada kesan dan isyarat-isyarat
perubahan perilaku, dan pada proses-proses mental internal. Jadi dalam teori
pembelajaran sosial kita akan menggunakan penjelasan-penjelasan reinforcement
eksternal dan penjelasan-penjelasan kognitif internal untuk memahami bagaimana
belajar dari orang lain. Dalam pandangan belajar sosial “ manusia “ itu tidak
didorong oleh kekuatan-kekuatan dari dalam dan juga tidak dipengaruhi oleh
stimulus-stimulus lingkungan.
Teori
belajar sosial menekankan bahwa lingkungan – lingkungan yang dihadapkan pada
seseorang secara kebetulan ; lingkungan – lingkungan itu kerap kali dipilih dan
diubah oleh orang itu melalui perilakunya sendiri. Menurut Bandura, sebagaimana
dikutip oleh (Kard,S,1997:14) bahwa “sebagian besar manusia belajar melalui
pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah laku orang lain”. Inti dari
pembelajaran sosial adalah pemodelan (modelling), dan pemodelan ini merupakan
salah satu langkah paling penting dalam pembelajaran terpadu.
Bandura
mencatat bahwa penekanan Skinner pada dampak konsekuensi prilaku sebagian besar
mengabaikan fenomena pembelajaran peniruan (modeling)
mencontoh prilaku orang lain dan pengalaman tidak langsung, keberhasilan atau
kegagalan orang lain. Bandura merasa bahwa banyak pembelajaran manusia tidak di
bentuk oleh konsekuensinya tetapi dipelajari dengan lebih efisien langsung dari
suatu model (Bandura, 1986;Schunk,2000). Sebagai contoh guru pendidikan Jasmani
memperagakan lompatan dan siswa menirunya. Bandura menyebut ini sebagai
pembelajaran tanpa uji coba karena siswa tidak perlu mengalami proses pembentukan
tetapi dapat mereproduksi tanggapan yang tepat dengan segera.
1. Model hidup,
yang melibatkan seorang individu yang sebenarnya mendemonstrasikan atau
bertindak keluar perilaku.Bandura mengidentifikasi tiga model dasar pembelajaran observasional:
2. Sebuah model
pembelajaran verbal, yang melibatkan deskripsi dan penjelasan perilaku.
3. Model
simbolik, yang melibatkan karakter nyata atau fiksi menampilkan perilaku dalam
buku-buku, film, program televisi, atau media online.
Prinsip-Prinsip yang Mendasari Teori Belajar Sosial
Adapun prinsip-prinsip yang mendasari teori belajar sosial yang
dikemukakan oleh Bandura, yaitu:
1.
Prinsip
faktor-faktor yang saling menentukan
Bandura menyatakan bahwa diri seorang manusia pada
dasarnya adalah suatu sistem (sistem diri / self
system). Sebagai suatu sistem bermakna bahwa prilaku, berbagai factor pada
diri seseorang, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam lingkngan orang
tersebut, secara bersama-sama saling bertindak sebagai penentu atau penyebab
yang satu terhadap yang lainnya. Berikut
ini di jelaskan interaksi berbagai factor pembentuk system diri.
Keterangan :
B = Singkatan dari Berhavior atau perilaku seseorang
P = Singkatan dari Personal atau kepribadian seseorang
E
= Singakatan dari Environment atau
lingkungan luar
Sistem yang saling terkait seperti yang ditampilkan dalam bagan di atas
menggambarkan ketiga faktor yaitu: faktor kepribadian (Personal), faktor perilaku (Behavior),
dan faktor lingkungan (Environment).
Sepasang anak panah yang berlawanan arah pada setiap faktor tersebut
menunjukkan bahwa setiap faktor tersebut dapat mempengaruhi atau dapat bersifat
sebagai penentu terhadap faktor-faktor lainnnya secara timbal balik.
Sebagai contoh, Seorang anak bernama Andi adalah pribadi yang memiliki
harapan-harapan dan nilai-nilai di samping gaya pribadi atau kepribadian
tertentu, suka tantangan-tantangan intelektual atau berinteraksi dengan orang
disekitarnya (P/Personal).
Sebagai konsekuensinya Andi melanjutkan pendidikan di sebuah universitas.
Karena Andi suka dengan perkuliahan di universitas tersebut, maka Andi
menunjukkan prilaku (B/Behavior) yang
positif dan penuh semangat dalam mempelajari dan mempraktekkan berbagai mata
kuliah yang ia ambil. Rekan-rekan yang ada di tempat kerja Andi dan kelompok
tutorial, juga keluarga serta orang-orang di sekitar Andi yang mengetahui
kepribadian Andi (P/Personal) akan
bereaksi dengan reaksi-reaksi tertentu (E/Environment),
misalnya keramahan serta kekaguman akan kemampuan Andi membagi waktu antara
kerja, rumah tangga, kuliah, dan bermasyarakat. Mereka juga
bereaksi (E/Environment) terhadap
perilaku Andi (B/Behavior).
Jika Andi melakukan suatu perbuatan aneh atau yang tidak disangka-sangka (B/Behavior), maka mereka akan bereaksi
terhadap perbuatan Andi itu. Reaksi mereka itu (E/Environment), secara timbal balik mempengaruhi prilaku Andi (B/Behavior), disamping berdampak pada
kepribadian Andi (P/Personal). Jika
mereka berhenti bersikap ramah terhadap andi (E/Environment), misalnya karena Andi terlalu sibuk belajar dan
bekerja sehingga ia melupakan keluarga atau teman-temannya, Andi mungkin akan
menjadi murung (P/Personal), karena keluarga
atau teman/tetangganya mulai acuh karena tidak diperhatikan. Jadi, diri Andi
adalah suatu sistem dan faktor-faktor di dalam atau di luar dirinya (pribadi,
prilaku, lingkungan), berdampak satu terhadap lainnya.
2. Kemampuan untuk membuat atau
memahami symbol/tanda/lambang
Bandura menyatakan bahwa orang memahami
dunia secara simbolis melalui gambar-gambar kognitif, jadi orang lebih bereaksi
terhadap gambaran kognitif dari dunia sekitar dari pada dunia itu sendiri.
Artinya, karena orang memiliki kemampuan berfikir dan memanfaatkan bahasa
sebagai alat untuk berfikir, maka hal-hal yang telah berlalu dapat disimpan
dalam ingatan dan hal-hal yang akan datang dapat pula “diuji” secara simbolis
dalam pikiran. Perilaku-perilaku yang mungkin diperlihatkan akan dapat diduga,
diharapkan, dikhawatirkan, dan diuji cobakan terlebih dahulu secara simbolis,
dalam pikiran, tanpa harus mengalaminya secara fisik terlebih dahulu. Karena
pikiran-pikiran yang merupakan simbul atau gambaran kognitif dari masa lalu
maupun masa depan itulah yang mempengaruhi atau menyebabkan munculnya perilaku
tertentu.
3.
Kemampuan
berfikir ke depan
Selain dapat digunakan untuk mengingat
hal-hal yang sudah pernah dialami, kemampuan berpikir atau mengolah simbol
tersebut dapat dimanfaatkan untuk merencanakan masa depan. Orang dapat menduga
bagaimana orang lain bisa bereaksi terhadap seseorang, dapat menentukan tujuan,
dan merencanakan tindakan-tindakan yang harus diambil untuk mencapai
tujuan-tujuan tersebut. Inilah yang disebut dengan pikiran ke depan, karena
biasanya pikiran mengawali tindakan.
4.
Kemampuan
untuk seolah-olah mengalami apa yang dialami oleh orang lain
Orang-orang, terlebih lagi anak-anak
mampu belajar dengan cara memperhatikan orang lain berperilaku dan
memperhatikan konsekuensi dari perilaku tersebut. Inilah yang dinamakan belajar dari apa yang dialami orang
lain.
5.
Kemampuan mengatur diri sendiri
Prinsip
berikutnya dari belajar sosial adalah orang umumnya memiliki kemampuan untuk
mengendalikan perilaku mereka sendiri. Seberapa giat orang bekerja dan belajar,
berapa jam orang tidur, bagaiamana bersikap di muka umum, apakah orang
mengerjakan pekerjaan kuliah dengan teratur, dsb, adalah contoh prilaku yang
dikendalikan. Perilaku ini tidak dikerjakan tidak selalu untuk memuaskan orang
lain, tetapi berdasarkan standar dan motivasi yang ditetapkan diri sendiri.
Tentu saja orang akan berpengaruh oleh perilaku orang lain, namun tanggung
jawab utama tetap berada pada diri sendiri.
Prinsip terakhir ini menerangkan bahwa kebanyakan orang sering melakukan refleksi atau perenungan untuk memikirkan kemampuan diri mereka pribadi. Mereka umumnya mampu memantau ide-ide mereka dan menilai kepantasan ide-ide tersebut sekaligus menilai diri mereka sendiri. Dari semua penilaian diri sendiri itu, yang paling penting adalah penilaian terhadap beberapa komponen atau seberapa mampu mereka mengira diri mereka dapat mengerjakan suatu tugas dengan sukses. Kemampuan untuk berefleksi
Prinsip terakhir ini menerangkan bahwa kebanyakan orang sering melakukan refleksi atau perenungan untuk memikirkan kemampuan diri mereka pribadi. Mereka umumnya mampu memantau ide-ide mereka dan menilai kepantasan ide-ide tersebut sekaligus menilai diri mereka sendiri. Dari semua penilaian diri sendiri itu, yang paling penting adalah penilaian terhadap beberapa komponen atau seberapa mampu mereka mengira diri mereka dapat mengerjakan suatu tugas dengan sukses. Kemampuan untuk berefleksi
C. Teori Peniruan
Pada tahun 1941, dua orang ahli psikologi, yaitu Neil
Miller dan John Dollard dalam laporan hasil eksperimennya mengatakan bahwa
peniruan ( imitation ) merupakan hasil proses pembelajaran yang ditiru dari
orang lain. Proses belajar tersebut dinamakan “ social learning” atau “pembelajaran social”. Perilaku peniruan
manusia terjadi karena manusia merasa telah memperoleh tambahan ketika kita meniru
orang lain, dan memperoleh hukuman ketika kita tidak menirunya. Menurut
Bandura, sebagian besar tingkah laku manusia dipelajari melalui peniruan maupun
penyajian, contoh tingkah laku ( modeling ). Dalam hal ini orang tua dan guru
memainkan peranan penting sebagai seorang model atau tokoh bagi anak – anak
untuk menirukan tingkah laku membaca.
Dua puluh tahun berikutnya ,” Albert Bandura dan
Richard Walters ( 1959, 1963 ) telah melakukan eksperimen pada anak – anak yang
juga berkenaan dengan peniruan. Hasil eksperimen mereka mendapati, bahwa
peniruan dapat berlaku hanya melalui pengamatan terhadap perilaku model (orang yang
ditiru) meskipun pengamatan itu tidak dilakukan terus menerus. Proses belajar
semacam ini disebut "observationallearning" atau pembelajaran melalui
pengamatan. Bandura (1971), kemudian menyarankan agar teori pembelajaran sosial
diperbaiki memandang teori pembelajaran sosial yang sebelumnya hanya
mementingkan perilaku tanpa mempertimbangan aspek mental seseorang.
Perkembangan kognitif anak-anak menurut
pandangan pemikir islam yang terkenal pada abad ke-14 yaitu Ibnu Khaldun
perkembangan anak-anak hendaklah diarahkan dari perkara yang mudah kepada
perkara yang lebih susah yaitu mengikut peringkat-peringkat dan anak-anak
hendaklah diberikan dengan contoh-contoh yang konkrit yang boleh difahami
melalui pancaindera. Menurut Ibnu Khaldun, anak-anak hendaklah diajar atau
dibentuk dengan lemah lembut dan bukannya dengan kekerasan. Selain itu, beliau
juga mengatakan bahwa anak-anak tidak boleh dibebankan dengan perkara-perkara yang di luar kemampuan mereka. Hal ini akan
menyebabkan anak-anak tidak mau belajar dan memahami pengajaran yang disampaikan.
D. Ciri-Ciri Teori Pemodelan Albert Bandura
Ciri- ciri teori pemodelan
bandura, diantaranya:
1.
Unsur pembelajaran utama ialah perhatian dan peniruan
2.
Tingkah laku model boleh dipelajari melalui bahasa, teladan, nilai dan
lain- lain
3. Pelajar
meniru suatu kemampuan dari kecakapan yang didemonstrasikan guru sebagai model
4.
Pelajar memperoleh kemampuan jika memperoleh kepuasan dan penguatan yang
positif
5. Proses
pembelajaran meliputi perhatian, mengingat, peniruan, dengan tingkah laku atau
timbal balik yang sesuai, diakhiri dengan penguatan yang positif.
Lebih lanjut menurut Bandura (1982)
penguasaan skill dan pengetahuan yang kompleks tidak hanya bergantung pada
proses perhatian, retensi, motor reproduksi dan motivasi, tetapi juga sangat
dipengaruhi oleh unsur-unsur yang berasal dari diri pembelajar sendiri yakni “sense
of self Efficacy” dan “self – regulatory system”. Sense of self efficacy adalah
keyakinan pembelajar bahwa ia dapat menguasai pengetahuan dan keterampilan
sesuai standar yang berlaku.
Self regulatory adalah menunjuk kepada: 1) struktur kognitif yang memberi referensi tingkah laku dan hasil belajar, 2) sub proses kognitif yang merasakan, mengevaluasi, dan pengatur tingkah laku kita (Bandura, 1978). Dalam pembelajaran sel-regulatory akan menentukan “goal setting” dan “self evaluation” pembelajar dan merupakan dorongan untuk meraih prestasi belajar yang tinggi dan sebaliknya. Menurut Bandura agar pembelajar sukses instruktur/guru/dosen/guru harus dapat menghadirkan model yang mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pembelajar, mengembangkan “self of mastery”, self efficacy, dan reinforcement bagi pembelajar.
Self regulatory adalah menunjuk kepada: 1) struktur kognitif yang memberi referensi tingkah laku dan hasil belajar, 2) sub proses kognitif yang merasakan, mengevaluasi, dan pengatur tingkah laku kita (Bandura, 1978). Dalam pembelajaran sel-regulatory akan menentukan “goal setting” dan “self evaluation” pembelajar dan merupakan dorongan untuk meraih prestasi belajar yang tinggi dan sebaliknya. Menurut Bandura agar pembelajar sukses instruktur/guru/dosen/guru harus dapat menghadirkan model yang mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pembelajar, mengembangkan “self of mastery”, self efficacy, dan reinforcement bagi pembelajar.
Berikut Bandura mengajukan usulan untuk mengembangkan strategi proses pembelajaran yaitu sebagai berikut :
a. Apakah
karakter dari tingkah laku yang akan dijadikan model itu berupa konsep, motor
skill atau afektif?
b.
Bagaimanakah urutan dari tingkah laku tersebut?
c. Dimanakah letak hal-hal yang
penting (key point) dalam urutan atau rangkaian tersebut?
2. Tetapkan
fungsi nilai dari tingkah laku dan pilihlah tingkah laku tersebut sebagai
model.
a. Apakah tingkah laku (kemampuan
yang dipelajari) merupakan hal yang penting dalam kehidupan dimasa datang?
(success prediction)
b. Bila tingkah laku yang dipelajari
kurang memberi manfaat (tidak begitu penting) model manakah yang lebih penting?
c. Apakah
model harus hidup atau simbol?
Pertimbangan soal biaya, pengulangan demonstrasi dan
kesempatan untuk menunjukkan fungsi nilai dan tingkah laku.
d. Apakah
reinforcement yang akan didapat melalui model yang dipilih?
3. Pengembangan urutan atau rangkaian (sekuen)
instruksional
Untuk mengajar motor skill, bagaimana cara
mengerjakan pekerjaan/kemampuan yang dipelajari :how to do this” dan bukannya
“not this”.Langkah-langkah manakah menurut urutan atau rangkaian (sekuen)yang
harus dipresentasikan secara perlahan-lahan
4.
Implementasi pengajaran untuk menuntut proses kognitif dan motor reproduksi.
a. Motor
skill
1) Hadirkan model
2) Beri
kesempatan kepada tiap-tiap pembelajar untuk latihan secara simbolik
3) Beri kesempatan kepada pembelajar untuk
latihan dengan umpan balik visual
b. Proses kognitif
2) Beri kesempatan kepada pembelajar untuk membuat ihtisar atau summary
3) Jika yang dipelajari adalah pemecahan masalah atau strategi penerapan beri kesempatan pembelajar untuk berpartisipasi secara aktif
4) Beri kesempatan pembelajar untuk membuat generalisasi ke berbagai siatuasi.
E. Eksperimen Albert Bandura
Studi Boneka Bobo Klasik
Dalam
sebuah eksperimen yang dilakukan Bandura (1965) mengilustrasikan bagaimana
pembelajaran dapat dilakukan hanya dengan mengamati model yang bukan sebagai
penguat atau penghukum.Dalam eksperimen ini, anak – anak meniru seperti perilaku agresif dari
orang dewasa disekitarnya.Eksperimen ini juga
mengilustrasikan perbedaan antara pembelajaran dan kinerja
(performance).Sejumlah anak taman kanak-kanak secara acak ditugaskan utuk
melihat tiga film dimana ada seseorang (model) sedang memukuli boneka plastik
seukuran orang dewasa yang dinamakan boneka Bobo.
Dalam film pertama, penyerangnya diberi permen,
minuman ringan dan dipuji karena melakukan tindakan agresif.Dalam film kedua,
si penyerang ditegur dan ditampar karena bertindak agresif.Dalam film ketiga,
tidak ada konsekuensi atas si penyerang boneka.Kemudian masing-masing anak
dibiarkan sendiri berada. Poin penting kedua dalam studi ini difokuskan pada
perbedaan antara pembelajaran dan kinerja.Karena murid tidak melakukan respons
bukan berarti mereka tidak mempelajarinya. Dalam sudi Bandura, saat anak diberi
insentif ( dengan stiker atau jus buah)
untuk meniru model, perbedaan dalam perilaku imitatif anak dalam tiga kondisi
itu hilang. Bandura percaya bahwa ketika anak mengamati perilaku tetapi tidak
memberikan respons yang dapat diamati, anak itu mungkin masih mendapatkan
respons model dalam bentuk kognitif.di ruangan penuh mainan,
termasuk boneka Bobo.Perilaku anak diamati melalui cermin satu arah.Anak yang
menonton film dimana perilaku penyerang diperkuat atau tidak dihukum apapun
lebih sering meniru tindakan model ketimbang anak yang menyaksikan si penyerang
dihukum.Seperti yang diduga, anak lelaki lebih agresif ketimbang anak
perempuan.Namun, poin penting dalam studi ini adalah bahwa pembelajaran
observasional terjadi sama ekstensifnya baik itu ketika perilaku agresif
diperkuat maupun tidak diperkuat.
Studi
ini menarik karena ia menunjukkan bahwa perilaku anak dipengaruhi oleh
pengalaman tak lansung atau pengalaman pengganti. Dengan kata lain, apa yang
mereka lihat dilakukan atau dialami orang lain akan mempengaruhi perilaku
mereka. Anak-anak di kelompok pertama mendapatkan penguatan dari pengamatan
(vicarious reinforcement) dan mereka difasilitasi untuk keagresifan mereka.
Sedangkan anak-anak di kelompok kedua mendapatkan ancaman pengamatan (vicarious
punishment), dan mereka dihalangi perilaku agresifnya. Meskipun anak-anak tidak
mendapatkan pengalaman penguatan maupun ancaman secara langsung, mereka
memodifikasi perilakunya secara sama (Hergenhahn dan Olson, 1997).
Determinisme Resiprokal (Reciprocal
Determinism)
Bandura mengembangkan model Determinisme Resiprokal yang terdiri dari tiga faktor utama, yaitu
perilaku, person / kognitif, dan lingkungan. Seperti dalam gambar,
faktor-faktor ini bisa saling berinteraksi untuk mempengaruhi pembelajaran,
yakni faktor lingkungan memengaruhi perilaku, perilaku memengaruhi lingkungan,
faktor person (orang/kognitif) memengaruhi perilaku dan sebagainya.Bandura
menggunakan istilah person, tapi memodifikasi menjadi person (cognitive) karena banyak faktor orang yang dideskripsikannya adalah faktor kognitif.
Dalam
model pembelajaran Bandura, faktor person (kognitif) memainkan peran penting.
Faktor person (kognitif) yang ditekankan Bandura (1997,2001) pada masa
belakangan ini adalah self-efficiacy, yakni
keyakinan bahwa seseorang bisa menguasai situasi dan menhasilkan hasil positif.
Bandura mengatakan bahwa self-efficiacy berpengaruh
besar terhadap perilaku. Misalnya, seorang murid yang self-efficiacy-nya rendah mungkin tidak mau berusaha belajar untuk
mengerjakan ujian karena dia tidak percaya bahwa belajar akan bisa membantunya
mengerjakan soal. Adapun
konsep utama dari teori belajar Albert Bandura adalah sebagai berikut :
a.
Pemodelan
Pemodelan merupakan konsep dasar
dari teori belajar sosial Albert Bandura. Menurut Bandura sebagian besar
manusia belajar melalui pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah laku
orang lain. (Arends, 1997:67).
Seseorang belajar menurut teori ini
dilakukan dengan mengamati tingkah laku orang lain (model), hasil pengamatan
itu kemudian dimantapkan dengan cara menghubungkan pengalaman baru dengan
pengalaman sebelumnya atau mengulang-mengulang kembali. Dengan jalan ini
memberi kesempatan kepada orang tersebut untuk mengekspresikan tingkah laku
yang dipelajari.
Berdasarkan pola prilaku tersebut,
selanjutnya Bandura(1986) mengkalsifikasikan
empat fase dari tahap dalam peniruan, yaitu:
1.
Tahap Perhatian (Attention)
Fase
pertama dalam belajar pemodelan adalah memberikan perhatian pada suatu
model.Pada umumnya seseorang memberikan perhatian pada model-model yang menarik, popular atau yang dikagumi. Dalam pembelajaran guru yang bertindak sebagai model bagi
siswanya harus dapat menjamin agar siswa dapat memberikan perhatian kepada
bagan-bagian penting dari pelajaran. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menyajikan
materi pelajaran secara jelas dan menarik, memberikan penekanan pada
bagian-bagian penting, atau dengan mendemonstrasikan suatu kegiatan. Di samping
itu suatu model harus memiliki daya tarikn (Woolfolk, 1993).Misalnya untuk
menjelaskan bagian-bagian bola mata guru seharusnya menggunakan gambar model
mata, dengan variasi warna yang bermacam-macam sehingga bagian-bagian mata
tersebut tampak jelas dan siswa termotivasi untuk mempelajarinya.
2. Tahap
pengingatan (Retention)
Menurut Gredler, (dalam Sudibyo, E. 2001:5), fase ini
bertanggung jawab atas pengkodean tingkah laku model dan menyimpan kode-kode
itu di dalam ingatan (memori jangka panjang). Pengkodean adalah proses
pengubahan pengalaman yang diamati menjadi kode memori. Arti penting dari fase
ini adalah bahwa si pengamat tidak akan dapat memperoleh manfaat dari tingkah
laku yang diamati ketika model tidak hadir, kecuali apabila tingkah laku itu
dikode dan disimpan dalam ingatan untuk digunakan pada waktu kemudian.
Untuk memastikan terjadinya retensi jangka panjang guru dapat menyediakan waktu pelatihan, yang memungkinkan siswa mengulang keterampilan baru secara bergiliran, baik secara fisik maupun secara mental.Misalnya mereka dapat menvisualisasikan sendiri tahap-tahap yang telah didemonstrasikan dalam menggunakan busur, atau penggaris sebelum benar-benar melakukannya.
Untuk memastikan terjadinya retensi jangka panjang guru dapat menyediakan waktu pelatihan, yang memungkinkan siswa mengulang keterampilan baru secara bergiliran, baik secara fisik maupun secara mental.Misalnya mereka dapat menvisualisasikan sendiri tahap-tahap yang telah didemonstrasikan dalam menggunakan busur, atau penggaris sebelum benar-benar melakukannya.
3.
Reproduksi (Reproduction)
Dalam
fase ini kode-kode dalam memori membimbing penampilan yang sebenarnya dari
tingkah laku yang baru diamati. Derajat ketelitian yang tertinggi dalam belajar
mengamati adalah apabila tindakan terbuka mengikuti pengulangan secara mental.
Fase reproduksi dipengaruhi oleh tingkat perkembangan individu. Fase
reproduksi mengizinkan model untuk melihat apakah komponen-komponen urutan tingkah laku sudah dikuasai oleh si pengamat (pebelajar).Pada fase ini juga si model hendaknya memberikan umpan balik terhadap aspek-aspek yang sudah benar ataupun pada hal-hal yang masih salah dalam penampilan.
4. Tahap motivasi
Pada fase ini si pengamat
akan termotivasi untuk meniru model, sebab mereka merasa bahwa dengan berbuat
seperti model, mereka akan memperoleh penguatan. Memerikan penguatan untuk
suatu tingkah laku tertentu akan memotivasi pengamat (pebelajar) untuk berunjuk
perbuatan. Aplikasi fase motivasi di dalam kelas dalam pembelajaran pemodelan
sering berupa pujian atau pemberian nilai. Menurut
Bandura, ada beberapa jenis motivasi yaitu:
· Dorongan
masa lalu, yaitu dorongan-dorongan sebagaimana yang dimaksud kaum behavioris
tradisional
·
Dorongan yang dijanjikan (insentif) yaitu yang bisa
kita bayangkan
·
Dorongan-dorongan yang tampak jelas yaitu seperti
melihat atau teringat akan model-model yang patut ditiru
b. Belajar Vicarious
Sebagian
besar belajar observasional termotivasi oleh harapan bahwa meniru model dengan
baik akan menuju pada pada reinforcement. Akan tetapi, akan ada orang yang
belajar dengan melihat orang diberi reinforcement atau dihukum waktu terlibat
dalam perilaku-perilaku tertentu. Inilah yang disebut belajar “vicarious”.
Guru-guru dalam kelas selalu menggunakan prinsip belajar vicarious. Bila
seorang murid berkelakuan tidak baik, guru memperhatikan anak-anak yang bekerja
dengan baik dan memuji mereka karena pekerjaan mereka yang baik itu. Anak yang
nakal itu melihat bahwa bekerja memperoleh reinforcement sehingga ia pun
kembali.
c. Perilaku Diatur Sendiri (Self Regulated Behavior)
c. Perilaku Diatur Sendiri (Self Regulated Behavior)
Bandura mengatakan bahwa perilaku manusia sebagian besar merupakan
perilaku yang diatur oleh dirinya sendiri (self-regulated
behavior). Manusia belajar suatu standar performa (performance standards), yang menjadi dasar evaluasi diri. Apabila
tindakan seseorang bisa sesuai atau bahkan melebihi standar performa, maka ia
akan dinilai positif, tetapi sebaliknya, bila dia tidak mampu berperilaku
sesuai standar, dengan kata lain performanya dibawah standar, maka ia akan
dinilai negatif.
Bandura
berhipotesis bahwa manusia mengamati perilakunya sendiri, mempertimbangkan
perilaku terhadap kriteria yang disusunnya sendiri, kemudian memberi
reinforcement atau hukuman pada dirinya sendiri.Kita semua mengetahui bila kita
berbuat kurang daripada yang sebenarnya.Untuk dapat membuat
pertimbangan-pertimbangan ini, kita harus mempunyai harapan tentang penampilan
kita sendiri. Seorang siswa mungkin sudah merasa senang sekali memperoleh 90%
betul dalam suatu tes, tetapi anak yang lain mungkin masih kecewa.
Hal yang menjadi
pertanyaan ialah dimana kita memperoleh kriteria yang kita gunakan untuk mempertimbangkan
penampilan kita?Kadang-kadang pertimbangan-pertimbangan ini kelihatannya timbul
sendiri, seperti seorang pelukis, seorang penulis, atau seorang guru, bekerja
berulang kali untuk memperoleh sebuah lukisan, suatu karangan, atau suatu pelajaran
yang baik.Namun, teori belajar sosial mengemukakan bahwa sebagian besar dari
kriteria yang kita miliki untuk penampilan kita, kita pelajari, seperti banyak
hal-hal yang lain, dari model-model dalam dunia sosial kita.
Kita belajar
banyak dengan dihadapkan pada model-model. Bila kita memperhatikan perilaku
model, dan menciptakan kode-kode verbal atau kode-kode khayalan bagi apa yang
telah kita amati, kita akan belajar dari model itu. Baik pengulangan terbuka
maupun pengulangan tertutup menolong kita untuk dapat memiliki perilaku baru
yang kita pelajari.Pada suatu saat kita harus mencoba mereproduksi perilaku
model itu.Umpan balik untuk memperbaiki diberikan jauh sebelum fase reproduksi
belajar dari model-model, memunyai efek yang kuat terhadap perilaku. Reinforcement
dan hukuman yang ditimbulkan sendiri secara lansung dan dialami secara vicarious, menentukan sejauh mana perilaku yang baru ituakan ditampilkan.
Respon-respon
kognitif kita terhadap perilaku kita sendiri mengizinkan kita untuk mengatur perilaku
kita sendiri.Dengan mengamati, kita mengumpulkan data tentang respons-respons
kita.Melalui standar-standar penampilan yang sudah diinternalisasi, kerap kali
dipelajari melalui observasi, kita pertimbangkan perilaku kita.Dengan memberi
hadiah atau menghukum kita sendiri, kita dapat mengendalikan perilaku kita
secara efektif.Kita tidak perlu dikendalikan oleh kekuatan lingkungan atau
keinginan yang dating dari dalam.Kita dapat belajar menjadi manusia sosial yang
berkepribadian.Dengan menerapkan gagasan-gagasan teori belajar sosial pada diri
kita sendiri, kita dapat menjadi guru dan siswa yang lebih baik.
Selain itu, anggapan mengenai kecakapan
diri (perceived self-efficacy) juga berperan besar dalam perilaku
yang diatur sendiri.Anggapan tentang kecakapan diri ini adalah keyakinan
seseorang bahwa dia mampu untuk melakukan sesuatu.Dari anggapan ini, muncul
motivasi orang untuk berprestasi (apabila anggapannya positif) atau bahkan
dimotivasi untuk melakukan suatu hal (apabila anggapannya negatif). Terkadang,
anggapan mengenai kecakapan diri seseorang tidak sesuai dengan kecakapan diri
sesungguhnya (real self-efficacy).Seseorang terlalu yakin dia dapat melakukan
sesuatu, tetapi pada kenyataannya sebenarnya dia tidak mampu. Bila hal ini
terjadi, maka orang akan merasa frustasi dan rendah diri.
Jadi
dapat disimpulkan bahwa teori belajr sosial merupakan perluasan teori belajar
prilaku. Prinsip belajar Bandura adalah usaha menjelaskan belajar dalam situasi
alami. Teroi belajar social disebut juga teori pembelajaran observasional yang
mengandung pengertian bahwa pembelajaran social merupakan pembelajaran yang
dilakukan ketika seseorang mengamati dan meniru prilaku orang lain.
F. Kelemahan dan Kelebihan Teori Belajar Sosial Albert Bandura
F. Kelemahan dan Kelebihan Teori Belajar Sosial Albert Bandura
a. Kelemahan Teori Belajar Sosial Albert Bandura
Teori pembelajaran Sosial Bandura sangat sesuai jika diklasifikasikan
dalam teori behavioristik. Ini karena, teknik pemodelan Albert Bandura adalah
mengenai peniruan tingkah laku dan adakalanya cara peniruan tersebut memerlukan
pengulangan dalam mendalami sesuatu yang ditiru. Selain itu juga, jika manusia
belajar atau membentuk tingkah lakunya dengan hanya melalui peniruan ( modeling
), sudah pasti terdapat sebagian individu yang menggunakan teknik peniruan ini
juga akan meniru tingkah laku yang negative , termasuk perlakuan yang tidak
diterima dalam masyarakat.
b. Kelebihan Teori Belajar Sosial Albert Bandura
Teori Albert Bandura lebih lengkap dibandingkan teori belajar sebelumnya
, karena itu menekankan bahwa lingkungan dan perilaku seseorang dihubungkan melalui
system kognitif orang tersebut. Bandura memandang tingkah laku manusia bukan
semata – mata reflex atas stimulus ( S-R bond), melainkan juga akibat reaksi
yang timbul akibat interaksi antara lingkungan dengan kognitif manusia itu
sendiri.
Pendekatan
teori belajar social lebih ditekankan pada perlunya conditioning ( pembiasan
merespon ) dan imitation ( peniruan ). Selain itu pendekatan belajar social
menekankan pentingnya penelitian empiris dalam mempelajari perkembangan anak –
anak. Penelitian ini berfokus pada proses yang menjelaskan perkembangan anak –
anak, faktor social dan kognitif.
H. Aplikasi Teori
Belajar Sosial Terhadap Pembelajaran
1.
Pembelajaran
Matematika
Dalam
mengajarkan tentang penjumlahan dan pengurangan garis bilangan bulat, guru bisa
memberikan materi dengan menggunakan media pola lantai yang diperagakan oleh
gurunya. Disini guru memperagakan cara untuk menjumlahkan atau mengurangi
bilangan dengan jelas kepada siswa. Selain itu, guru juga dapat mengajak siswa
untuk melakukan hal yang sama yang di contohkan oleh gurunya. Dalam hal ini
guru dapat mengajak siswa belajar sambil bermain.
2.
Pembelajan
IPA
Dalam
materi pembiasan cahaya, guru dapat mendemonstrasikan bahwa cahaya itu dapat
dibiaskan. Guru mencotohkan dengan cara membiaskan cahaya menyediakan gelas
yang berisikan air dan didalamnya diberi batang pensil, kemudian gelas tersebut disimpan di bawah
sinar matahari. Setelah itu siswa diajak untuk mengamati apa yang terjadi. Dari
kegiatan tersebut, siswa bisa mengetahui dan mengalami sendiri materi mengenai
pembiasan cahaya.
3.
Pembelajaran
IPS
Dalam
pelajaran sejarah misalnya dalam materi ”Manusia Purba”, guru dapat mengajak
siswa ke museum sejarah. Di museum guru dapat memberi tahu dan mengajarkan
kepada siswa tentang asal usul manusia purba dengan melihat langsung
peninggalan-peninggalan yang ada. Dari kegiatan tersebut, siswa dapat
mempelajari mengenai materi yang diajarkan dengan melihat langsung kejadian asal-usulnya
manusia purba, sehingga siswa dapat merasakan atau mengalami secara langsung
dan lebih bermakna.
4.
Pembelajaran
PKn
Dalam materi ”gemar menabung” guru atau
orang tua bisa mengajarkan atau membiasakan peserta didik untuk gemar menabung
baik di rumah maupun di sekolah. Dengan membiasakan gemar menabung, siswa akan
terbiasa untuk hidup hemat dalam kehidupan sehari-hari.
5.
Pembelajaran
5. Pembelajaran Bahasa Indonesia
Ketika
membahas materi mengenai pidato, guru dapat meminta siswa untuk membacakan
pidato di depan teman-temannya. Disini guru meminta siswa untuk memperhatikan
temannya yang sedang membacakan pidato didepan, kemudian guru mengajak siswa
untuk menganalisis mengenai pidato yang di bacakan temannya. Setelah itu guru
meminta siswauntuk bergiliran membacakan pidato.
II. Teori Balajar Ivan Pavlov
II. Teori Balajar Ivan Pavlov
A. Makna Teori Belajar Pavlov
Pada dasarnya teori pembelajaran sosial merupakan
perluasan dari teori belajar behaviourisme. Teori pembelajaran sosial juga di
dasarkan pada pengakuan penting pembelajaran pengamatan dan pembelajaran
pengaturan diri. Hal tersebut sangat berkaitan erat dengan teori belajar
behaviouristik (behavioral learning
theorities) yang terpusat pada cara yang dengan cara itu konsekuensi
prilaku yang menyenangkan atau tidak menyenangkan mengubah prilaku seseorang
lama-kelamaan dan cara ketika seseorang mencontohkan prilakunya kepada orang
lain. Teori behavioristic ini tentnya akan berpengaruh terhadap teori
pembelajaran social yang lebih menekankan kepada teori pengkondisian yang
pertama kali sangat terkenla yaitu teori pengkondisian klasik yang di
perkenalkan oleh ilmuan Rusia Ivan Pavlov pada akhir tahun 1800-an dan awal
1900-an.
Saat
itu Pavlov mengadakan riset mempelajari proses pencernaan anjing. Pavlov
memperhatikan perubahan waktu dan kadar pengeluaran air liru hewan ini. Dia
mengamati bahwa, jika tepung daging di letakan didalam atau dekat mulut anjing
yang lapar, hewan tersebut akan mengeluarkan air liur. Karena tepung daging
membangkitkan tanggapan ini dengan otomatis, tanpa satupun pelatihan atau
pengkondisian sebelumnya, maka tepung daging tersebut disebut rangsangan tanpa
pengkondisian. Sama halnya, karena pengeluaran air liru terjadi otomatis dengan
kehadiran daging, yang juga tanpa memerlukan sedikitpun pelatihan atau
pengalaman, tanggapan pengeluaran air liur ini disebut tanggapan tanpa
pengkondisian.
Sementara
daging tersebut akan menghasilkan air liur tanpa sedikitpun pengalaman atau
pelatihan sebelumnya, seperti lonceng, tidak akan menghasilkan air liur. Karena
tidak mempunyai dampak pada tanggapan tersebut, rangsangan ini disebut
rangsangan netral. Eksperimen Pavlov memperlihatkan bahwa apabila rangsangan
netral sebelumnya dipasangkan dengan rangsangan tanpa pengkondisian, rangsangan
netral tersebut menjadi rangsangan pengkondisian dan memperoleh kekuatan untuk
mendorong tanggapan yang mirip dengan apa yang dihasilkan rangsangan tanpa
pengkondisian tadi. Dengan kata lain setelah lonceng dan anjing mengeluarkan
air liur. Proses ini disebut pengkondisian klasik.
B. Eksperimen Pavlov
Berikut adalah tahap-tahap
eksperimen dan penjelasan dari gambar diatas:
Gambar pertama. Dimana anjing, bila diberikan sebuah makanan (UCS)
maka secara otonom anjing akan mengeluarkan air liur (UCR).
Gambar kedua. Jika anjing dibunyikan sebuah bel maka ia tidak
merespon atau mengeluarkan air liur.
Dalam ekperimen ini bagaimana cara
untuk membentuk perilaku anjing agar ketika bunyi bel di berikan ia akan merespon
dengan mengeluarkan air liur walapun tanpa diberikan makanan. Karena pada
awalnya (gambar 2) anjing tidak merespon apapun ketika mendengar bunyi bel. Jika
anjing secara terus menerus diberikan stimulus berupa bunyi bel dan kemudian
mengeluarkan air liur tanpa diberikan sebuah hadiah berupa makanan. Maka
kemampuan stimulus terkondisi (bunyi bel) untuk menimbulkan respons (air liur)
akan hilang. Hal ini disebut dengan extinction atau penghapusan.
Pavlov mengemukakan empat peristiwa
eksperimental dalam proses akuisisi dan penghapusan sebagai berikut:
- Stimulus tidak terkondisi (UCS), suatu peristiwa lingkungan yang melalui kemampuan bawaan dapat menimbulkan refleks organismik. Contoh: makanan
- Stimulus terkondisi (CS), Suatu peristiwa lingkungan yang bersifat netral dipasangkan dengan stimulus tak terkondisi (UCS). Contoh: Bunyi bel adalah stimulus netral yang di pasangkan dengan stimulus tidak terkondisi berupa makanan.
- Respons tidak terkondisi (UCR), refleks alami yang ditimbulkan secara otonom atau dengan sendirinya. Contoh: mengeluarkan air liur
- Respos terkondisi (CR), refleks yang dipelajari dan muncul akibat dari penggabungan CS dan US. Contoh: keluarnya air liur akibat penggabungan bunyi bel dengan makanan.
Kesimpulan yang didapat dari
percobaan ini adalah bahwa tingkah laku sebenarnya tidak lain daripada
rangkaian refleks berkondisi, yaitu refleks-refleks yang terjadi setelah adanya
proses kondisioning (conditioning process) di mana refleks-refleks yang tadinya
dihubungkan dengan rangsang-rangsang tak berkondisi lama-kelamaan dihubungkan
dengan rangsang berkondisi. Dengan kata lain, gerakan-gerakan refleks itu dapat dipelajari, dapat berubah karena mendapat latihan. Sehingga dengan demikian dapat dibedakan dua macam refleks, yaitu refleks wajar (unconditioned refleks)-keluar air liur ketika melihat makanan yang lezat dan refleks bersyarat atau refleks yang dipelajari (conditioned refleks)-keluar air liur karena menerima atau bereaksi terhadap suara bunyi tertentu.
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov
terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya:
- Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
- Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun
Demikianlah maka menurut teori conditioning
belajar itu adalah suatu proses perubahan yang terjadi karena adanya
syarat-syarat (conditions) yang kemudian menimbulkan reaksi (response).
Untuk menjadikan seseorang itu belajar haruslah kita memberikan syarat-syarat
tertentu. Yang terpenting dalam belajar menurut teori conditioning ialah
adanya latihan-latihan yang continue (terus-menerus). Yang diutamakan
dalm teori ini adalah hal belajar yeng terjadi secara otomatis.
C. Prinsip Utama dalam Eksperimen Ivan Pavlov
Ada empat prinsip utama dalam eksperimen Ivan Pavlov,
antara lain:
- Fase Akuisisi
Fase akuisisi merupakan fase belajar
permulaan dari respons kondisi.
Sebagai contoh, anjing ‘belajar’
mengeluarkan air liur
karena pengkondisian suara
lonceng. Beberapa faktor dapat mempengaruhi kecepatan conditioning
selama fase akuisisi. Faktor yang paling penting adalah urutan dan waktu
stimuli. Conditioning terjadi paling cepat ketika stimulus kondisi
(suara lonceng) mendahului stimulus utama (makanan) dengan selang waktu setengah detik. Conditioning memerlukan waktu lebih lama dan respons yang terjadi lebih lemah bila dilakukan penundaan yang lama antara pemberian stimulus kondisi dengan stimulus utama. Jika stimulus kondisi mengikuti stimulus utama, sebagai contoh, jika anjing menerima makanan sebelum lonceng berbunyi maka conditioning jarang terjadi.
- Fase Eliminasi (Extintion)
Dalam ekperimen
ini bagaimana cara untuk membentuk perilaku anjing agar ketika bunyi bel di
berikan ia akan merespon dengan mengeluarkan air liur walapun tanpa diberikan
makanan. Karena pada awalnya, anjing tidak merespon apapun ketika mendengar
bunyi bel. Jika anjing secara terus menerus diberikan stimulus berupa bunyi bel
dan kemudian mengeluarkan air liur tanpa diberikan sebuah hadiah berupa
makanan. Maka kemampuan stimulus terkondisi (bunyi bel) untuk menimbulkan
respons (air liur) akan hilang. Hal ini disebut dengan extinction atau penghapusan.
3. Fase Generalisasi
Setelah seekor hewan
telah ‘belajar’ respons kondisi
dengan satu stimulus, ada
kemungkinan juga ia merespons stimuli yang sama tanpa latihan lanjutan. Jika
seorang anak digigit oleh seekor anjing hitam besar, anak
tersebut bukan hanya takut
kepada anjing tersebut, namun juga takut kepada anjing yang lebih besar.
Fenomena ini disebut generalisasi.
Stimuli yang kurang intens biasanya menyebabkan generalisasi yang kurang
intens. Sebagai contoh, anak
tersebut ketakutannya
menjadi berkurang terhadap anjing yang lebih kecil.
4. Fase Diskriminasi
Kebalikan dari generalisasi adalah
diskriminasi. Kalau
generalisasi merujuk pada tendensi untuk merespons sejumlah stimuli yang
terkait dengan respons yang dipakai selama training. Diskriminasi mengacu pada tendensi untuk merespons sederetan stimuli
yang amat terbatas atau hanya pada stimuli yang digunakan selama training saja.
Ketika seorang individu belajar
menghasilkan respons kondisi pada satu stimulus dan tidak dari stimulus
yang sama namun kondisinya berbeda. Sebagai contoh, seorang anak memperlihatkan respons takut pada anjing galak yang bebas, namun mungkin memperlihatkan rasa tidak takut ketika seekor anjing galak diikat atau terkurung dalam kandang.
D. Kelebihan dan Kelemahan Teori
Belajar Pavlov
Kelebihan dari teori Ivan Pavlov ini adalah individu tidak menyadari
bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya. Hal ini
sangat membantu dan memudahkan pendidik dalam dunia pendidikan untuk melakukan pembelajaran
terhadap peserta didiknya.
Kelemahan
dari teori Ivan Pavlov ini ialah,
teori ini menganggap bahwa belajar itu hanyalah terjadi secara otomatis,
keaktifan dan penentuan pribadi dalam tidak dihiraukannya. Peranan
latihan/kebiasaan terlalu ditonjolkan. Sedangkan kita tahu bahwa dalam
bertindak dan berbuat sesuatu, manusia tidak semata-mata tergantung kepada
pengaruh dari luar. Aku atau pribadinya sendiri memegang peranan dalam memilih
dan menentukan perbuatan dan reaksi apa yang akan dilakukannya. Teori
Conditioning ini memang tepat kalau kita hubungkan dengan kehidupan binatang.
Pada manusia, teori ini hanya dapat kita terima dalam hal-hal belajar tertentu
saja. Umpamanya dalam belajar yang mengenai skills (kecekatan-kecekatan)
tertentu dan mengenai pembiasaan pada anak-anak kecil.
E. Aplikasi
Teori Belajar Pavlov dalam Pembelajran
1. Pembelajaran IPA
Dalam pembelajaran IPA,
sesedah menggunakan kelas untuk kegiatan belajar, guru dapat membagi kelompok
piket kelas secara bergiliran. Berdasarkan hal tersebut, guru telah membiasakan
siswa untuk menjaga kebersihan kelas. Dengan begitu, siswa akan terbiasa membersihkan
kelas setelah kegiatan belajar berlangsung.
2. Pembelajaran PKn
2. Pembelajaran PKn
Dalam mengajarkan kedisiplinan kepada siswa, sebelum memasuki
kelas guru dapat membiasakan siswa untuk perikasa kedisiplinan terlebih dahulu
seperti membiasakan memerikasa kuku siswa, pakaian dan lain sebagainya. Dengan
kegiatan seperti itu siswa akan termotivasi untuk hidup bedisiplin.
3. Pembelajaran B.Indonesia
Dalam pembelajaran materi mengenai “Puisi” biasanya siswa sulit untuk
membuat puisi. Berdasarkan hal tersebut, guru bisa membawa siswa ke lingkungan
luar atau alam, dengan kegiatan tersebut guru bisa mengarahkan siswa untuk mau
mengembangkan inspirasinya dalam membuat puisi.
4. Pembelajaran IPS
Dalam pembelajaran IPS, siswa bisa dibiasakan untuk
berdiskusi dalam menyelesaikan permasalahan kehidupan sehari-hari atau dalam
bermusyawarah. Dengan demikian siswa akan mampu terbiasa dengan hal tersebut.
Hal-hal yang harus diperhatikan
dalam menerapkan teori belajar menurut Pavlov adalah ciri-ciri kuat yang
mendasarinya yaitu:
- Mementingkan pengaruh lingkungan
- Mementingkan bagian-bagian
- Mementingkan peranan reaksi
- Mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar melalui prosedur stimulus respon
- Mementingkan peranan kemampuan yang sudah terbentuk sebelumnya
- Mementingkan pembentukan kebiasaan melalui latihan dan pengulangan
- Hasil belajar yang dicapai adalah munculnya perilaku yang diinginkan.
Sebagai konsekuensi teori ini, para
guru yang menggunakan paradigma Pavlov akan menyusun bahan pelajaran dalam
bentuk yang sudah siap, sehingga tujuan pembelajaran yang harus dikuasai siswa
disampaikan secara utuh oleh guru. Guru tidak banyak memberi ceramah, tetapi
instruksi singkat yng diikuti contoh-contoh baik dilakukan sendiri maupun
melalui simulasi. Bahan pelajaran disusun secara hierarki dari yang sederhana
sampai pada yang kompleks.
Tujuan pembelajaran dibagi dalam
bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu keterampilan tertentu.
Pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati. Kesalahan
harus segera diperbaiki. Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang
diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori
belajar Pavlov ini adalah tebentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku
yang diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai
mendapat penghargaan negatif.Evaluasi atau penilaian didasari atas perilaku yang tampak. Kritik terhadap teori belajar Pavlov adalah pembelajaran siswa yang berpusat pada guru, bersifaat mekanistik, dan hanya berorientasi pada hasil yang dapat diamati dan diukur.
Kritik ini sangat tidak berdasar
karena penggunaan teori Pavlov mempunyai persyaratan tertentu sesuai dengan
ciri yang dimunculkannya. Tidak setiap mata pelajaran bisa memakai metode ini,
sehingga kejelian dan kepekaan guru pada situasi dan kondisi belajar sangat
penting untuk menerapkan kondisi behavioristik.
Metode Pavlov ini sangat cocok untuk perolehan
kemampuan yang membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur
seperti: kecepatan, spontanitas, kelenturan, reflek, daya tahan dan sebagainya,
contohnya: percakapan bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan komputer,
berenang, olahraga dan sebagainya. Teori ini juga cocok diterapkan untuk
melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi peran orang dewasa, suka
mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk
penghargaan langsung seperti diberi permen atau pujian.
III. Teori Belajar David A.
Kolb
A. Gaya Belajar Menurut
David A. Kolb
David A Kolb adalah seorang filosof
yang beraliran humanistic. Dimana aliran ini lebih melihat pada sisi
perkembangan manusia. Pendekatan ini melihat kejadian, yaitu bagaimana manusia
membangun dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan yang bersifat
positif ini yang di sebut dengan potensi manusia. Para pendidik yang beraliran
humanism biasanya memfokuskan pengajaran pada pembangunan kemampuan positif
ini. Kemampuan positif ini erat kaitannya dengan pengembangan emosi positif
yang terdapat dalam domain afektif.
David Kolb mengemukakan adanya empat kutub yang terlihat diatas, antara lain:
David Kolb mengemukakan adanya empat kutub yang terlihat diatas, antara lain:
a.
Kutub Perasaan/feeling (Concrete Experience)
Anak belajar melalui perasaan, dengan menekankan segi-segi pengalaman
kongkret, lebih mementingkan relasi dengan sesama dan sensitivitas terhadap perasaan orang lain. Dalam proses belajar, anak cenderung lebih terbuka dan
mampu beradaptasi terhadap perubahan yang dihadapinya.
b. Kutub
Pemikiran/thinking (Abstract
Conceptualization)
Anak belajar
melalui pemikiran dan lebih terfokus pada analisis logis dari ide-ide,
perencanaan sistematis, dan pemahaman intelektual dari situasi atau perkara
yang dihadapi. Dalam proses belajar, anak akan mengandalkan perencanaan
sistematis serta mengembangkan teori dan ide untuk menyelesaikan masalah yang
dihadapinya.
c. Kutub
Pengamatan/watching (Reflective
Observation)
Anak belajar
melalui pengamatan, penekanannya mengamati sebelum menilai, menyimak suatu
perkara dari berbagai perspektif, dan selalu menyimak makna dari hal-hal yang
diamati. Dalam proses belajar, anak akan menggunakan pikiran dan perasaannya
untuk membentuk opini/pendapat.
d. Kutub Tindakan/doing (Active Experimentation)
Anak belajar
melalui tindakan, cenderung kuat dalam segi kemampuan melaksanakan tugas,berani
mengambil resiko, dan mempengaruhi orang lain lewat perbuatannya. Dalam proses
belajar, anak akan menghargai keberhasilannya dalam menyelesaikan pekerjaan,
pengaruhnya pada orang lain, dan prestasinya.
Menurut Kolb, tidak ada individu yang gaya belajarnya secara mutlak
didominasi oleh salah satu saja dari kutub tadi. Yang biasanya terjadi adalah
kombinasi dari dua kutub dan membentuk satu kecenderungan atau orientasi
belajar. Empat kutub di atas membentuk empat kombinasi gaya belajar. Pada model
di atas, empat kombinasi gaya belajar diwakili oleh angka I hingga IV, dengan penjelasan seperti di
bawah ini:
1. Gaya Diverger
1. Gaya Diverger
Kombinasi
dari perasaan dan pengamatan (feeling and watching). Anak dengan tipe
Diverger unggul dalam melihat situasi kongkret dari banyak sudut pandang yang
berbeda. Pendekatannya pada setiap situasi adalah "mengamati" dan
bukan "bertindak". Anak seperti ini menyukai tugas belajar yang
menuntutnya untuk menghasilkan ide-ide (brainstorming), biasanya juga menyukai
isu budaya serta suka sekali mengumpulkan berbagai informasi.
2.
Gaya Assimillator
Kombinasi
dari berpikir dan mengamati (thinking and watching). Anak dengan tipe
Assimilator memiliki kelebihan dalam memahami berbagai sajian informasi serta
merangkumkannya dalam suatu format yang logis, singkat, dan jelas. Biasanya
anak tipe ini kurang perhatian pada orang lain dan lebih menyukai ide serta
konsep yang abstrak, mereka juga cenderung lebih teoritis.
3. Gaya
Converger
Kombinasi
dari berfikir dan berbuat (thinking and doing). Anak dengan tipe
Converger unggul dalam menemukan fungsi praktis dari berbagai ide dan teori.
Biasanya mereka punya kemampuan yang baik dalam pemecahan masalah dan
pengambilan keputusan. Mereka juga cenderung lebih menyukai tugas-tugas teknis
(aplikatif) daripada masalah sosial atau hubungan antar pribadi.
4.
Gaya Accomodator
Kombinasi
dari perasaan dan tindakan (feeling and doing). Anak dengan tipe
Accommodator memiliki kemampuan belajar yang baik dari hasil pengalaman nyata
yang dilakukannya sendiri. Mereka suka membuat rencana dan melibatkan dirinya dalam berbagai
pengalaman baru dan menantang. Mereka cenderung untuk bertindak berdasarkan
intuisi/dorongan hati daripada berdasarkan analisa logis. Dalam usaha
memecahkan masalah, mereka biasanya mempertimbangkan faktor manusia (untuk
mendapatkan masukan/informasi) dibanding analisa teknis.
Menyimak berbagai gaya belajar di atas, sebagai guru perlu kiranya kita
tetap sensitif terhadap strategi belajar kita sendiri, yang mungkin sama atau
sama sekali berbeda dengan orientasi belajar peserta didik di kelas. Perbedaan
itu dapat menimbulkan kesulitan dalam kegiatan belajar-mengajar (dalam
interaksi, komunikasi, kerjasama, dan penilaian). Jika mengajar kita pahami
sebagai kesempatan membantu peserta didik untuk belajar, maka kita harus
berusaha membantu mereka memahami "Style of Learning"nya,
dengan tujuan meningkatkan segi-segi yang kuat dan memperbaiki sisi-sisi yang
lemah dari padanya.
Pada tahap paling dini dalam proses belajar, seorang siswa hanya mampu
sekedar ikut mengalami suatu kejadian. Dia belum mempunyai kesadaran tentang
hakikat kejadian tersebut. Dia pun belum mengerti bagaimana dan mengapa suatu
kejadian harus terjadi seperti itu. Ini lah yang terjadi pada tahap pertama
proses belajar. (Hamzah B.
Uno, 2008:15).
Pada tahap kedua, siswa tersebut lambat laun mampu mengadakan observasi
aktif terhadap kejadian itu, serta mulai berusaha memikirkan dan memahaminya.
Inilah yang kurang lebih terjadi pada tahap pengamatan aktif dan
reflektif. (Hamzah B. Uno, 2008:15).
Pada tahap ketiga, siswa mulai belajar untuk membuat abstraksi atau ”teori”
tentang suatu hal yang pernah diamatinya. Pada tahap ini, siswa diharapkan
sudah mampu untuk membut aturan-aturan umum (generalisasi) dari berbagai contoh
kejadian yang meskipun tampak berbeda-beda, tetapi mempunyai landasan aturan
yang sama. (Hamzah B. Uno,
2008:15).
Pada tahap akhir (eksperimentasi aktif), siswa sudah mampu mengaplikasikan
suatu aturan umum ke situasi yang baru. Dalam dunia matematika misalnya, siswa
tidak hanya memahami ”asal-usul” sebuah rumus, tetapi ia juga mampu memakai
rumus tersebut untuk memecahkan suatu masalah yang belum ia temui
sebelumnya. (Hamzah B. Uno, 2008:15). Menurut David A. Kolb, siklus belajar semacam itu terjadi secara berkesinambungan dan
berlangsung diluar kesadaran siswa. Dengan kata lain, meskipun dalam teorinya
kita mampu membuat garis tegas antara tahap satu dengan tahap lainnya, namun
dalam praktik peralihan dari satu tahap ke tahap lainnya itu seringkali begitu
saja, sulit kita tentukan kapan beralihnya. (Hamzah B. Uno, 2008:15). Dari
teori yang diungkapkan oleh Kolb menunjukkn bahwa anak dapat melakukan proses
pemahaman terhadap teks dan konteks yang ada dihadapannya dapat diserap dengan
baik, bila teks dan konteks yang disodorkan semakin konkrit.
B. Aplikasi
Teori Belajar A. Kolb dalam Pembelajaran
1.
Pembelajaran PKn
Dalam
pembelajaran di kelas guru membiasakan anak untuk menerapkan 3S (senyum, salam
dan sapa) baik itu ketika bertemu dengan guru baik itu dilingkungan sekolah
maupun di luar lingkungan sekolah.
2.
Pembelajaran IPS
Contohnya
didalam satu kela, ada anak yang berasal dari keluarga berada dan anak yang
berasal dari keluarga yang kurang mampu. Peran seorang guru disini harus
menanamkan sikap pada diri anak. Bahwa dalam bergaul kita tidak boleh memandang
status social dalam arti membeda-bedakan. Kita harus bersikap baik kepada
sesame, diharapkan nantinya anak dapat mengerti bagaimana bermasyarakat yang
baik.
Teori
belajar David A. Kolb lebih melihat pada sisi perkembangan manusia. Teori ini
dapat diaplikasikan dengan bidang studi IPS, PKn, IPAdimana dalam pembelajaran
anak dapat melihat sekitar lingkungannya baik itu dalam hal ekonomi, social dan
kependudukan. Dalam bidang PKn, mendidik anak menjadi warga masyarakat yang
baik dapat dilakukan dari berbagai media massa, internet dan didikan keluarga
yang positif agar dapat memudhkan anak dalam mengikuti arus globalisasi. Dalam
bidang IPS menjadikan anak melakukan hal-hal yang positif pada dirinya dapat
dilakukan dengan cara melihat kejadian-kejadia yang terjadi di masyarakat yang
mengajarkan artinya persaudaraan, bermasyarakat yang baik, dan berinteraksi
dengan sesama manusia. Dalam bidang IPA, anak dapat diajak melihat kejadian
bencana banjir secara langsung. Dalam hal ini guru harus menuntun siswaagar
siswa mampu berfikir kritis hal apa sajakah yang dapat menyebabkan banjir itu
terjadi. Sehingga anak akan mengetahui sendiri penyebab dari kejadian tersebut.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Teori
belajr sosial merupakan perluasan teori belajar prilaku. Prinsip belajar
Bandura adalah usaha menjelaskan belajar dalam situasi alami. Teroi belajar
social disebut juga teori pembelajaran observasional yang mengandung pengertian
bahwa pembelajaran social merupakan pembelajaran yang dilakukan ketika
seseorang mengamati dan meniru prilaku orang lain. Menurut teori belajar social,
belajar merupakan interaksi segitiga yang saling berpengaruh dan mengikat
antara lingkungan, factor-faktor personal dan tingkah laku yang meliputi
proses-proses kognitif belajar.
2.
Menurut teori belajar Pavlov (conditioning), belajar adalah suatu
perubahan yang terjadi karena adanya syarat-syarat (condition) yang kemudian menimbulkan reaksi (respons). Dengan kata lain, untuk menjadikan seseorang itu belajar
haruslah kita memberikan syarat-syarat tertentu. Yang terpenting menurut teori
ini adalah adanya latihan-latihan yang continue
(terus-menerus), dan belajar terjadi secara otomatis.
3.
Teori belajar David A. Kolb
menekankan bahwa belajar itu terdiri dari empat kutub yaitu: perasaan,
pemikiran, pengamatan dan tindakan. Dalam belajar, biasanya terjadi kombinasi
dari dua kutub dan membentuk suatu kecenderungan atau orientasi belajar. Empat
kutub tersebut, kemudian membentuk empat kombinasi gaya beajar.
B. Saran
Sebagai seorang pendidik tentunya kita harus bias mengenal karakteristik pesera didik kita agar dapat dengan mudah kita mengetahui tipe pembelajaran yang seperti apa yang sebaiknya digunakan oleh peserta didik kita. Selain itu berdasarkan teori pembelajar social, tentunya seorang pendidik haus bias mengkolaborasikan berbagai teori belajar yang ada. Karena pada hakikatnya teori belajar social merupakan perluasan dari berbagai teori-teori belajar social lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Endriani, Ani S.Pdi, MA. 2011. Faktor-Mempengaruhi-Sikap-Sosial.
http://aniendriani.blogspot.com.
Diakses pada tanggal 3 februari 2015.
Anonim. 2010. Teori Belajar Sosial.http://depe.blog.uns.ac.id.Diakses pada
tanggal 3 Februari 2015.
Mutmainah, Latief. 2012. Teori Belajar Sosial. https://mutmainnahlatief.wordpress.com/2012/01/17/teori-belajar-sosial/. Diakses tanggal 3 Februari 2015.
Anonim. 2013. Teori
Belajar Sosial Albert Bandura. http://psycholocious.blogspot.com/2013/02/teori-belajar-sosial-albert-bandura.html. Diakses pada tanggal 3Februari 2015.