Berbagi Pengetahuan
Semoga Bermanfaat :)
Sabtu, 16 Juli 2022
Selasa, 12 Oktober 2021
IMPLEMENTASI KARAKTER BERPIKIR ARGUMENTATIF DI SEKOLAH
Selain itu, pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila (Wathoni, 2011, hlm. 141; Alawiyah, 2012, hlm. 89). Salah satu nilai yang terdapat dalam pendidikan karakter adalah karakter berpikir argumentatif. Menurut Reason dalam Sanjaya (2014) berpikir (thinking) adalah proses mental seseorang yang lebih dari sekedar mengingat
(remembering) dan memahami (comprehending). Sedangkan menurut Keraf (2007) dalam Syaifudin (2011) Argumentasi adalah suatu bentuk retorika yang berusaha untuk mempengaruhi sikap dan pendapat orang lain, agar mereka itu percaya dan akhirnya bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pembicara. Sehingga dapat disimpulkan bahwa berpikir argumentatif adalah proses berkembangnya suatu ide, konsep, pemikiran yang baru yang keluar dari dalam diri seseorang yang berusaha mempengaruhi orang lain agar bertindak sesuai dengan yang diintruksikan.
Berpikir argumentatif didasari dari sifat kritis dan logis. Artinya ketika berpikir argumentatif dibarengi berpikir secara kritis yaitu penilaian yang bertujuan untuk menghasilkan penafsiran, analisa, evaluasi dan kesimpulan, serta penjelasan atas bukti, konsep, metodologi dan kriteria atau pertimbangan-pertimbangan yang menjadi dasar dari penilaian tadi (Facione, 1990). Berpikir argumentatif dapat diterapkan di sekolah dalam berbagai pembelajaran. Tujuannya agar siswa dapat terbiasa untuk memecahkan berbagai persoalan dengan kemampuan nalar mereka. Bertemali dengan berbagai permasalahan yang telah dibahas pada paragraf sebelumnya, maka penulis mencoba menelusuri akar dari permasalahan yang terjadi saat ini khususnya mengenai implementasi karakter argumentatif di sekolah.
1.2 Rumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka yang menjadi fokus masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana implementasi karakter berpikir argumentative di sekolah?”
Untuk menjawab masalah umum di atas maka perlu solusi pemecahan masalah melalui rumusan masalah khusus sebagai berikut:
1. Bagaimanakah konsep dari karakter?
1.3 Tujuan Penelitian
Mengacu pada rumusan masalah, maka tujuan umum yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk memotret situasi dan memperoleh gambaran secara menyeluruh, luas, dan mendalam tentang integrasi pribadi religius di sekolah dasar.
Tujuan khusus penelitian ini adalah menemukan hasil dari integrasi pribadi religius di sekolah dasar yang meliputi:
2. Konsep dari berpikir argumentatif.
3. Implementasi berpikir argumentatif di sekolah.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
a. Teoritis
b. Praktis
1) Bagi guru, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu cara dalam implementasi karakter berpikir argumentatif di sekolah.
1. Religius
Religius adalah sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
2. Jujur
3. Toleransi
4. Disiplin
5. Kerja keras
6. Kreatif
7. Mandiri
Mandiri adalah sikap dan perilaku yang tidak mudah bergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
8. Demokratis
9. Rasa ingin tahu
10. Semangat Kebangsaan
11. Cinta Tanah Air
12. Menghargai Prestasi
13. Bersahabat/Komunikatif
14. Cinta Damai
15. Gemar Membaca
16. Peduli lingkungan
17. Peduli sosial
18. Tanggung jawab
2.2 Berpikir Argumentatif
Berpikir adalah satu keaktifan pribadi manusia yang mengakibatkan penemuan yang terarah kepada suatu tujuan. Berpikir erat hubungannya dengan daya-daya jiwa yang lain, seperti dengan tanggapan, ingatan, pengertian, dan perasaan. Tanggapan memberikan peranan penting dalam berpikir, meskipun adakalanya dapat mengganggu jalannya berpikir. Ingatan merupakan syarat pengalaman dari pengamatan yang telah lampau. Pengertian, meskipun merupakan hasil berpikir dapat memberi bantuan yang besar pula dalam suatu proses berpikir. Perasaan selalu menyertai pula, ia merupakan dasar yang mendukung suasana hati, atau sebagai pemberi keterangan dan ketekunan yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah atau persoalan Hamzah, & Muhlisrarini (2014).
Sedangkan Argumentasi menurut Keraf (2007) dalam Syaifudin (2011) adalah suatu bentuk retorika yang berusaha untuk mempengaruhi sikap dan pendapat orang lain, agar mereka itu percaya dan akhirnya bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pembicara. Sebuah argumentasi yang baik dan lengkap bukan sekadar sebuah pernyataan, tetapi menuntut sebuah alasan dengan mengemukakan bukti-bukti dan contoh-contoh. Argumentasi harus selalu berorientasi pada data, fakta atau bukti-bukti yang objektif sehingga dapat diterima kebenarannya. Oleh karenanya untuk berargumentasi seseorang akan melakukan kegiatan analisis dan berpikir kritis. Lebih jauh lagi argumentasi juga memiliki sifat persuasif atau dapat mengubah mau pun mempengaruhi pikiran orang lain. Hal ini sejalan dengan pendapat Driver, dkk (2000) bahwa argumentasi adalah proses yang digunakan seseorang untuk menganalisis informasi kemudian dikomunikasikan kepada orang lain. Sehingga dapat disimpulkan bahwa berpikir argumentatif adalah proses berkembangnya suatu ide, konsep, pemikiran yang baru yang keluar dari dalam diri seseorang yang berusaha mempengaruhi orang lain agar bertindak sesuai dengan yang diintruksikan.
Dasar dari berpikir argumentatif adalah kritis dan logis. Hal tersebut menjadikan sebuah argumentasi harus didasarkan pada fakta-fakta yang logis (Syaifudin, 2011). Menurut Keraf dalam Syaifudin (2011) menyatakan bahwa penalaran harus menjadi landasan sebuah tulisan argumentasi. Penalaran adalah suatu proses berpikir yang berusaha menghubungkan fakta-fakta atau evidensi-evidensi yang diketahui menuju kepada suatu kesimpulan. Berpikir yang berusaha menghubungkan untuk mencapai suatu kesimpulan yang logis. Evidensi adalah semua fakta yang ada, semua kesaksian, semua informasi, atau autoritas, dan sebagainya yang dihubung-hubungkan untuk membuktikan suatu kebenaran.
2.2.1 Kritis dan logis
Dalam berpikir argumentatif dibutuhkan sifat kritis dan logis. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) kritis adalah dalam keadaan yang paling menentukan berhasil atau gagalnya suatu usaha. Pendapat lain dikemukakan oleh Halpern (1998), Larsson (2017) dalam Sulaiman, & Syakarofath (2018) yakni kritis dapat diartikan sebagai upaya seseorang untuk memeriksa kebenaran dari suatu informasi menggunakan ketersediaan bukti, logika, dan kesadaran akan bias. Berpikir kritis merujuk pada penilaian yang bertujuan untuk menghasilkan penafsiran, analisa, evaluasi dan kesimpulan, serta penjelasan atas bukti, konsep, metodologi dan kriteria atau pertimbangan-pertimbangan yang menjadi dasar dari penilaian tadi (Facione, 1990). Berpikir kritis, yaitu aktivitas mental yang dilakukan menggunakan langkah-langkah dalam metode ilmiah, yaitu: memahami dan merumuskan masalah, mengumpulkan dan menganalisis informasi yang diperlukan dan dapat dipercaya, merumuskan praduga dan hipotesis, menguji hipotesis secara logis, mengambil kesimpulan secara hati-hati, melakukan evaluasi dan memutuskan sesuatu yang akan diyakini atau sesuatu yang akan dilakukan, serta meramalkan konsekuensi yang mungkin terjadi (Abdullah, 2013). Berpikir kritis sangat diharapkan setia individu untuk menyikapi permasalahan kehidupan yang dihadapi. Aktivitas berpikir kritis akan mendorong setiap individu untuk dapat mengatur, menyesuaikan, mengubah, atau memperbaiki pikirannya sehinga dapat bertindak secara tepat.
Sedangkan sifat logis diperlukan karena semua yang dipikirkan harus masuk akal. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) logis adalah sesuai dengan logika; benar menurut penalaran; masuk akal. Menurut Mukhayat (2004) dalam Saragih (2017) kata logis mengandung makna besar atau tepat berdasarkan aturan-aturan berpikir dan kaidah-kaidah atau patokan-patokan umum yang digunakan untuk dapat berpikir tepat. Berpikir logis tidak terlepas dari dasar realitas, sebab yang dipikirkan adalah realitas, yaitu hukum realitas yang selaras dengan aturan berpikir. Dari dasar realitas yang jelas dan dengan menggunakan hukum-hukum berpikir akhirnya akan dihasilkan putusan yang dilakukan. Menurut Albrecht (1992) dalam Saragih (2017), agar seseorang sampai pada berpikir logis, dia harus memahami dalil logika yang merupakan peta verbal yang terdiri dari tiga bagian dan menunjukkan gagasan progresif, yaitu: (1) dasar pemikiran atau realitas tempat berpijak, (2) argumentasi atau cara menempatkan dasar pemikiran bersama, dan (3) simpulan atau hasil yang dicapai dengan menerapkan argumentasi pada dasar pemikiran.
2.3 Implementasi berpikir argumentatif di sekolah
Dengan berpikir argumentatif disertai kritis dan logis, siswa akan mampu mengidentifikasi, mengevaluasi, dan mengkontruksi argumen serta mampu memecahkan masalah dengan tepat (Nugraha, & Mahmudi, 2015). Pekerjaan mendasar bagi guru dewasa ini adalah mengembangkan proses pembelajaran yang mampu menfasilitasi terbentuknya situasi belajar yang menyenangkan sehingga siswa dapat mengembangkan daya berpikir argumentatif, kritis dan memiliki penalaran logis. Menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan, dengan semangat kerjasama yang bijaksana dan kreatif dapat dilakukan melalui pembelajaran. Contoh soal:
· Diketahui garis dengan persamaan y = 2x melalui titik pusat koordinat.
Berdasarkan hasil analisis, temuan, dan pembahasan yang telah diuraikan dan dibahas pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.
1. Karakter adalah cara berpikir dan berprilaku yang khas tiap individu untuk hidup bekerjasama, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
2. Berpikir argumentatif adalah proses berkembangnya suatu ide, konsep, pemikiran yang baru yang keluar dari dalam diri seseorang yang berusaha mempengaruhi orang lain agar bertindak sesuai dengan yang diintruksikan.
3. Implementasi karakter berpikir argumentatif di sekolah salah satunya melalui mata pelajaran matematika, dimana siswa dituntun untuk dapat berpikir argumentatif disetai kritis dan logis agar mampu menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi.
3.2 Implikasi
Hasil penelitian, pembahasan, dan kesimpulan menunjukkan bahwa implementasi karakter berpikir argumentatif di sekolah merupakan kegiatan yang dapat membentuk karakter siswa menjadi lebih baik dan manusia yang berwawasan dan berpengetahuan dengan didasari kemampuan berpikir tingkat tinggi.
3.3 Rekomendasi
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan, secara keseluruhan hasil penelitian ini memberikan beberapa rekomendasi yang dapat dijadikan pertimbangan bahwa integrasi pribadi religius merupakan salah satu upaya
menginternalisasikan nilai karakter di sekolah. Melalui hasil penelitian, secara khusus rekomendasi juga diberikan sebagai berikut.
1. Bagi Program Studi Pendidikan Umum dan Karakter
2. Bagi Sekolah
3. Bagi guru
4. Bagi peneliti berikutnya
melalui Pendidikan di Indonesia: Aspirasi, 3 (1), 87-101.
Driver, R., dkk. (2000). Establishing the norms of scientific argumentation in
Classrooms. Science Education, 84(3), 287-312. https://doi.org/10.1002/(SICI)1098-237X(200005)84:3%3C287::AID-SCE1%3E3.0.CO;2-A.
Facione, P. A. (1990). Critical Thinking: A Statement of Expert Consensus
for Purposes of Educational Assessment andInstruction. Research Findings and Recommendations. [Online]. Tersedia di: https://www.researchgate.net/profile/Peter_Facione/publication/242279575_Critical_Thinking_A_Statement_of_Expert_Consensus_for_Purposes_of_Educational_Assessment_and_Instruction.
Faqihi, dkk. (2015) Eksperimentasi Model Pembelajaran Problem Based Learning
(PBL) dan Kooperatif Tipe Group Investigasi (GI) Pada Materi Peluang Ditinjau Dari Kemandirian Belajar Siswa. Jurnal Elektronik Pembelajaran Matematika, 3 (10), 1048-1056.
Hamzah, A., & Muhlisrarini. (2014). Perencanaan dan Strategi Pembelajaran
Jurnal Pendidikan Islam, 6 (2), 176-192.
Dinamika Ilmu Vol. 14. No.1, hlm. 47-63
Jakarta: Esensi.
Nani, K. L. (2016). Pengembangan Pembelajaran Kooperatif Dalam
Mengkonstruksi Kemampuan Berpikir Kritis Dan Penalaran Logis Matematis Siswa. Delta-Pi: Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika, 5 (2), 79-89.
Nugraha, T. S., & Mahmudi, A. (2015). Keefektifan Pembelajaran Berbasis
Masalah Dan Problem Posing Ditinjau Dari Kemampuan Berpikir Logis Dan Kritis. Jurnal Riset Pendidikan Matematika, 2 (1), 107-120.
Purwanto, N. (2010). Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sanjaya, W. (2014). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses
Terhadap Kemampuan Menulis Argumentasi. Jurnal Pendidikan
terhadap Matematika melalui Pendekatan Matematika Realistik.
[Online]. Tersedia di:
https://www.researchgate.net/publication/255671760.
Sulaiman, A., & Syafarofath, N. A. (2018). Berpikir Kritis: Mendorong Introduksi
dan Reformulasi Konsep dalam Psikologi Islam. Buletin Psikologi
Tertib Sekolah : Jurnal Riset dan Konseptual, 2 (4), 522-533.
Syaifudin, A. (2011). Penalaran Argumen Siswa Dalam Wacana Tulis
Argumentatif Sebagai Upaya Membudayakan Berpikir Kritis Di SMA. Lingua Jurnal Bahasa dan Sastra, VII (1), 65-76.
Senin, 21 Desember 2020
implementasi kebijakan mata kuliah Pendidikan Agama Islam sebagai pendidikan karakter
BAB
I
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
pengertian pendidikan karakter?
2.
Bagaimana
pendidikan karakter menurut perspektif agama Islam?
3.
Apa
kebijakan pendidikan agama Islam?
4.
Bagaimana
implementasi kebijakan mata kuliah Pendidikan Agama Islam sebagai pendidikan
karakter?
C.
Tujuan
Masalah
D.
Metode
dan Teknik Pemecahan Masalah
6.Mendidik
dengan mengambil ‘ibrah(pelajaran) dan mau’izhah (peringatan).
7. Mendidik dengan Targhib (membuat senang)
dan Tarhib (membuat takut)
A.
Pendidikan
karakter
d.
Karakter
adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu
untuk hidup dan bekerja sama baik keluarga, masyarakat atau bangsa
Berdasarkan
Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa (2010) merumuskan definisi
karakter sebagai nilai-nilai yang khas-baik (tahu nilai kebaikan, mau berbuat
baik, nyata berkehidupan baik, dan berdampak baik terhadap lingkungan) yang
terpatri dalam diri dan terejawantahkan dalam perilaku.
Pendidikan
karakter dimaknai sebagai pendidikan yang mengem-bangkan nilai-nilai karakter pada diri peserta didik sehingga
mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan
nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat dan
warganegara yang religius, nasionalis, produktif, dan kreatif (Pusat Kurikulum,
2010). Sedangkan menurut Lickona, karakter berkaitan dengan konsep moral (moral
knowing), sikap moral (moral feeling), dan perilaku moral (moral behavior)
Menurut
Samani (2011:41) mengemukakan bahwa karakter dapat dimaknai sebagai cara
berpikir dan berperilaku yang khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama,
baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, maupun bangsa dan negara. Individu
yang berkarakter baik adalah individu yang dapat membuat keputusan dan siap
mempertanggungjawabkan setiap akibat dari keputusannya.
Pendidikan
Karakter adalah pendidikan yang mendukung perkembangan sosial, emosional, dan
etis siswa. Dirjen Dikti (dalam Barnawi & Arifin, 2013) menyebutkan bahwa
pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi
pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan
kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa
yang baik, mewujudkan, dan menebar kebaikan itu dalam kehidupan seharihari
dengan sepenuh hati. Semantara secara sederhana pendidikan karakter dapat
dimaknai sebagai hal postif apa saja yang dilakukan guru.
Menurut
Hasanah pendidikan karakter adalah pemberian pandangan mengenai berbagai jenis
nilai hidup yang akan menunjukkan jati diri sebagai manusia yang sadar diri sebagai
makhluk, warga negara, dan pria atau wanita. Karakter seseorang merupakan
ukuran martabat dirinya sehingga berpikir objektif, terbuka, kritis, serta
memiliki harga diri yang tidak mudah diperjualbelikan
B.
Pendidikan
Agama Islam.
Pendidikan
Agama Islam merupakan salah satu materi yang bertujuan meningkatkan akhlak
mulia serta nilai-nilai spiritual dalam diri anak. Hal ini menunjukkan bahwa
pendidikan agama mempunyai peranan yang penting dalam melaksanakan pendidikan
karakter disekolah. Oleh karena itu Pendidikan agama menjadi salah satu mata
pelajaran wajib baik dari sekolah tingkat dasar, menengah dan perguruan tinggi.
Maka sekolah harus mampu menyelenggarakan pendidikan agama secara optimal
dengan cara mengaplikasikan nilainilai agama dalam lingkungan sekolah yang
dilakukan oleh seluruh guru dan peserta didik secara bersama-sama serta
berkesinambungan.
Kemudian
masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama. Oleh karena itu, kehidupan
individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama dan
kepercayaannya. Secara politis, kehidupan kenegaraan pun didasari pada
nilai-nilai yang berasal dari agama. Atas dasar pertimbangan itu, maka
nilainilai pendidikan karakter harus
didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah yang berasal dari agama.
Selanjutnya
berdasarkan betapa pentingnya akhlak atau karakter dalam pendidikan sehingga
Allah mengabadikannya dalam al-Qur’an surah Al-Qalam: 4 yang terjemahnya: “Dan
Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al-Qalam: 4).
Ayat tersebut menjadi kunci betapa Allah sangat menekankan kepada ummat manusia
untuk memiliki akhlak atau karakter dalam berbagai aspek kehidupan, hal ini
terbukti dengan diutusnya Nabi Muhammad SAW untuk menyempurnakan akhlak
manusia, dan dalam praktik kehidupan beliau dikenal sebagai berakhlak yang
agung dan pantas untuk diteladani.
Menurut Sukro Muhab yang dikutip oleh Anas
Salahudin dalam bukunya Pendidikan Karakter, Oleh karena keteladanan dan akhlak
Nabi Muhammad SAW ini sampai menggugah seorang Mahatma Gandi dengan
menyatakan:“Saya lebih dari yakin bukanlah pedang yang memberikan kesadaran
pada Islam pada masanya, Tapi, ia datang dari kesederhanaan, kebersahajaan,
kehati-hatian Muhammad serta pengabdian luar biasa kepada teman dan
pengikutnya, tekadnya, keberaniannya serta keyakinannya pada Tuhan dan tugasn
Selanjutnya
Menurut An-Nahlawi (1996: 41) pendidikan Islam adalah penataan individual dan
sosial yang dapat menyebabkan seseorang tunduk taat pada Islam dan
menerapkannya secara sempurna di dalam kehidupan individu dan masyarakat.
Selain itu menurut Imam Al-Ghazali menganggap karakter lebih dekat kepada
akhlak, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap, atau melakukan perbuatan yang
telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan
lagi.
Berdasarkan
konsep tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan karakter sangat erat
berkaitan dengan pendidikan Islam, bahwasanya kekayaan pendidikan Islam dengan
ajaran initinya tentang moral akan sangat menarik untuk dijadikan content dari
konsep pendidikan karakter. Namun demikian, pada tataran operasional,
pendidikan Islam belum mampu mengolah content ini menjadi materi yang menarik
dengan metode dan teknik yang efektif (Majid dan Andayani, 2012: 59).
Hal
tersebut mengisyaratkan bahwa ada keterkaitan bahkan kesamaan antara pendidikan
karakter dengan pendidikan Islam. Hal ini terlihat dari pilar-pilar dalam
pendidikan karakter menjadi indikator keberhasilan yang harus dicapai dalam
pendidikan Islam.
Pendidikan
Islam sebagai sebuah sistem tentunya memiliki ruang lingkup tersendiri yang
dapat membedakannya dengan sistem-sistem yang lain. Ruang lingkup kependidikan
Islam adalah mencakup segala bidang kehidupan manusia di dunia di mana manusia
mampu memanfaatkan sebagai tempat menenm benih-benih amaliah yang buahnya akan
dipetik di akhirat nanti, maka pembentukan sikap dan nilai-nilai amaliah dalam
pribadi manusia baru dapat efektif bilamana dilakukan melalui proses
kependidikan yang berjalan di atas kaidah-kaidah ilmu pengetahuan kependidikan
(Uhbiyati, 2005: 18).
Lebih
lanjut, Uhbiyati (2005: 14-15) menyebutkan bahwa ruang lingkup pendidikan Islam
adalah sebagai berikut: a. Perbuatan mendidik b. Anak didik c. Dasar dan tujuan
pendidikan Islam d. Pendidik e. Materi pendidikan Islam f. Metode pendidikan
Islam g. Evaluasi pendidikan h.
Alat-alat pendidikan Islam i. Lingkungan sekitar atau milieu pendidikan Islam.
Para
filsuf muslim sedari awal telah mengemukakan pentingnya pendidikan karakter.
Ibnu Maskawih menulis buku khusus tentang akhlak dan mengemukakan rumusan
karakter utama seorang manusia. Demikian pula Al-Ghazali, Ibnu Sina, Al-Farabi,
dan banyak filsuf lainnya. Sebelum hasil penelitian para ulama Islam terhadap
Al-Qur’an dan Al-Hadits menunjukkan bahwa hakikat agama Islam adalah akhlak dan
mental spiritual (Nata, 1996)
Menurut
Arifin (2006: 162) sasaran pendidikan Islam secara garis besar meliputi empat
kemampuan dasar anak didik, yaitu: 1. Sikap dan pengamalan pribadinya,
hubungannya dengan Tuhan; 2. Sikap dan pengamalan dirinya, hubungannya dengan
masyarakat.; 3. Sikap dan pengamalan kehidupannya, hubungannya dengan alam
sekitar; 4. Sikap dan pandangannya terhadap dirinya sendiri selaku hamba Allah
dan selaku anggota masyarakatnya, serta selaku khalifah di muka bumi.
Dari
pembahasan tersebut terlihat jelas bahwa manusia itu dididik agar
memilikikarakter yang baik dalam berbagai bidang. Bukan hanya terhadap Tuhannya
saja melainkan juga terhadap sesama makhluk yang berada di bumi ini.
C.
Kebijakan
Mata kuliah Pendidikan Agama Islam
Para
pendiri bangsa telah menetapkan kebijakan arah pendidikan bangsa sejak
ditetapkannya Undang-Undang Dasar 1945 sebagai undang-undang dasar Negara
Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945. Kebijakan arah
pendidikan bangsa Indonesia dirumuskan sebagai salah satu tujuan dibentuknya
Negara Indonesia merdeka seperti yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 alinea
keempat yaitu: “mencerdasakan kehidupan bangsa … yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pola kebijakan pendidikan di Indonesia
harus didasarkan pada nilainilai luhur bangsa Indonesia seperti yang tertuang
pada Pancasila.
Pendidikan
di Indonesia harus diarahkan untuk menghasilkan sumber daya manusia Indonesia
yang berilmu dan cakap yang dilandasi kepribadian yang kuat, berakhlak mulia,
serta beriman dan bertakwa kepa Tuhan Yang Maha Esa. Pasal 31 ayat (3) UUD 1945
hasil amandemen mempertegas kebijakan arah pendidikan bangsa Indonesia yaitu,
“Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional,
yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa.” Surakhmad (2009: 188) mengatakan, “Pendidikan
nasional diciptakan … untuk menjadi kekuatan yang menentukan dalam membangun
bangsa berdasarkan cita-cita berbangsa sesuai dengan amanah Pancasila dan UUD
1945.”
Berdasarkan
hal tersebut, maka sudah jelas bahwa arah pendidikan yang harus dikembangkan di
Indonesia yaitu pendidikan yang tidak hanya sekedar menghasilkan sumber daya
manusia yang cerdas intelektualnya saja, melaikan juga harus disertai dengan
cerdas sosial, cerdas pribadi (kejiwaan), dan cerdas spiritualnya. Untuk maksud
ini, Muhyidin (2012) mengatakan, Dalam menjalankan sistem pendidikan nasional
haruslah dirancang mekanisme yang baik, terencana, terarah dan terintegrasi
dalam misi peningkatan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia, atau
pembangunan moral. Jadi kebijakan arah pendidikan nasional bangsa Indonesia
yaitu untuk meningkatkan kualitas akhlak mulia serta keimanan dan ketakwaan
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Berdasarkan
kebijakan arah pendidikan tersebut, selanjutnya dalam UndangUndang nomor 20
tahun 2003 tentang sisdiknas ditetapkan tujuan pendidikan nasional bangsa
Indonesia. Pasal 3 Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 menyebutkan, “Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan yang Masa Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, menjadi warga Negara yang demokratis, dan bertanggung jawab.”
Kesembilan
karakter manusia Indonesia ini telah mencakup kelima ranah/potensi pendidikan.
Pengembangan potensi pikir (kecerdasan intelektual) yaitu ditandai dengan
dihasilkannya sumber daya manusia Indonesia yang berilmu dan kreatif.
Pengembangan potensi rasa (kecerdasan sosial) ditandai dengan dihasilkannya
sumber daya manusia Indonesia yang berakhlak mulia dan menjadi warga Negara yang
demokratis. Pengembangan potensi karsa (kecerdasan psikis/jiwa) ditandai dengan
dihasilkannya sumber daya manusia Indonesia yang mandiri dan bertanggung jawab.
Pengembangan potensi religi (kecerdasan spiritual) ditandai dengan
dihasilkannya sumber daya manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan yang Maha Esa. Pengembangan potensi raga (kecerdasan kinestetik) ditandai
dengan dihasilkannya sumber daya manusia Indonesia yang sehat dan cakap.
Kurikulum
merupakan bagian dari sistem pembelajaran yang berfungsi untuk mewujudkan
tujuan pendidikan nasional. oleh karena itu didalam undang-undang no 20 tahun
2003 pasal 36 kurikulum di Indonesia disusun dalam kerangka peningkatan iman
dan takwa, peningkatan akhlak mulia,peningkatan potensi, kecerdasan,dan minat
peserta didik, keragaman potensi, daerah dan lingkungan, tuntutan pembangunan
daerah dan nasional, tuntutan dunia kerja, tuntutan iptek dan seni,agama,
dinamika perkembangan global, persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
Untuk
mendukung keterlaksanaan kerangka kurikulum tersebut diatas, maka dalam pasal
selanjutnya (UU No. 20 tahun 2003 pasal 37) dijelaskan bahwa didalam kurikulum
wajib memuat: pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika,
ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan
jasmani dan olahraga,ketrampilan/kejuruan, muatan lokal.
Muatan
kurikulum pendidikan agama dijelaskan dalam Lampiran UU no 22 tahun 2006,
termasuk didalamnya kurikulum pendidikan agama Islam dengan tujuan pembelajarannya
adalah menghasilkan manusia yang selalu berupaya menyempurnakan iman, takwa,
dan akhlak, serta aktif membangun peradaban dan keharmonisan kehidupan,
khususnya dalam memajukan peradaban bangsa yang bermartabat. Manusia seperti
itu diharapkan tangguh dalam menghadapi tantangan, hambatan, dan perubahan yang
muncul dalam pergaulan masyarakat baik dalam lingkup lokal, nasional, regional
maupun global. Selanjutnya ruang lingkup dari pendidikan agama Islam meliputi
aspek-aspek sebagai berikut: Al-Qur’an dan Hadis, Aqidah, Akhlak, Fiqih, Tarikh
dan Kebudayaan Islam.
Keluarnya
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan
pendidikan keagamaan, diharapkan dapat membawa perubahan pada sisi menajerial
dan proses pendidikan Islam. PP tersebut secara eksplisit mengatur bagaimana
seharusnya pendidikan keagamaan Islam (bahasa yang digunakan PP untuk menyebut
pendidikan Islam), dan keagamaan lainnya diselenggarakan.
Dalam
pasal 9 ayat (1) disebutkan, “Pendidikan keagamaan meliputi pendidikan
keagamaan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu.” Pasal ini
merupakan pasal umum untuk menjelaskan ruang lingkup pendidikan keagamaan.
Selanjutnya pada ayat (2) pasal yang sama disebutkan tentang siapa yang menjadi
pengelola pendidikan keagamaan baik yang formal, non-formal dan informal
tersebut, yaitu Menteri Agama.
Untuk
jenjang pendidikan dasar dan menengah, lembaga penyelenggara pendidikan
keagamaan Islam adalah MI, MTs dan MA. Meski sebenarnya penyebutan
lembagalembaga tersebut tidak secara eksplisit, namun sebagai penjelasan
tentang kemungkinan perpindahan peserta didik dalam jenjang pendidikan yang
setara (Pasal 11). Dalam UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 Pasal 17 ayat (2)
juga memang disebutkan untuk jenjang pendidikan dasar, yaitu MI, MTs, dan Pasal
18 ayat (3) jenjang pendidikan menengah bagi pendidikan Islam adalah MA dan
MAK. Hanya saja khusus untuk pendidikan keagamaan, baik dalam UU Sisdiknas
Pasal 30 ayat (4) ataupun PP No. 55 pasal 14 ayat (1) berbentuk pendidikan
diniyah, dan pesantren. Ayat (2) dan ayat (3) menjelaskan bahwa kedua model
pendidikan tersebut dapat diselenggarakan pada jalur formal, nonformal dan
informal.
Kemudian
pada pasal 16 UU Sisdiknas disebutkan bentuk kelembagaan dari proses pendidikan
diniyah juga menggunakan nama MI, MTs dan MA/ MAK untuk menyebut pendidikan
diniyah dasar, dan pendidikan diniyah menengah. Tema menarik lain dalam PP 55
tahun 2007 ini adalah kemandirian dan kekhasan pendidikan keagamaan sebagaimana
tercantum dalam pasal 12 ayat (2) yaitu: “Pemerintah melindungi kemandirian dan
kekhasan pendidikan keagamaan selama tidak bertentangan dengan tujuan
pendidikan nasional”. Sejak dahulu kekhasan pendidikan diniyah dan pesantren
adalah hanya mengajarkan materi agama Islam saja, dan tidak materi lain.
Dari
sini jelas bahwa tanggungjawab dalam proses pembinaan dan pengembangan
pendidikan Islam/dan atau keagamaan Islam menjadi tanggungjawab menteri agama.
Tentunya mengingat posisi menteri agama bukan hanya untuk kalangan Islam saja,
maka beban menteri agama juga melebar pada penyelenggaraan pendidikan agama
lain non Islam, di samping beban administratif lain terkait dengan ruang
lingkup penyelenggaraan agama dan prosesi keagamaan untuk seluruh agama-agama
yang diakui di Indonesia.
D.
Implementasi
Kebijakan Mata Kuliah Sebagai Pendidikan Karakter
Muhyiddin
(2012) menyatakan, “Dalam prakteknya, arah pendidikan nasional yang sudah
berjalan selama ini 95% hanya menitik beratkan pada unsur kepandaian dan
intelektual saja, sedangkan unsur pembangunan moral hanya menjadi pendidikan
skunder belaka.” Pendidikan yang terjadi dan dilakukan di sekolah masih
timpang. Pengembangan ranah pikir (kognitif) lebih mendapat perhatian dan porsi
yang lebih besar, sementara ranah rasa, karsa dan religi terabaikan. Terlebih
lagi dengan adanya sistem ujian nasional untuk beberapa mata pelajaran pada
tingkat sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengaha atas
atau sederajat. Secara tidak sadar, keberadaan ujian nasional telah menggiring
para peserta didik, guru, atau masyarakat (orang tua) untuk mengutamakan olah
pikir atau pengembangan intelektualitas (kognitif) semata dalam
pendidikan.
Dalam
upaya mengimplementasikan kebijakan arah pendidikan nasional seperti yang
tertuang dalam UUD 1945 dan undang-undang sisdiknas nomor 20 tahun 2003, perlu
dilakukan pengakajian keilmuan yang tepat dalam pengembangan persekolahan untuk
level pendidikan menengah dan tinggi. Pembukaan dan pengembangan SMK dan
program studi di perguruan tinggi harus disesuaikan dengan kebutuhan dan
potensi daerah.
Ada
beberapa pendekatan dalam pendidikan karakter. Pendekatan tersebut dalam rangka
memudahkan untuk mengembangkan pendidikan karakter sehingga memberikan hasil
yang baik. Daryanto dan Suryatri Darmiatun dalam bukunya “Implementasi Pendidikan
Karakter di Sekolah” mengembangkan pendidikan karakter dengan 4 pendekatan,
yaitu keteladanan, pembelajaran, pemberdayaan dan pembudayaan, penguatan.
Pendidikan karakter di perguruan tinggi bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter diharapkan mahasiswa mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.
A.
Pengertian
Pendidikan Karakter
Pendidikan
karakter bukanlah berupa materi yang hanya bisa dicatat dan dihafalkan serta
tidak dapat dievaluasi dalam jangka waktu yang pendek, tetapi pendidikan
karakter merupakan sebuah pembelajaran yang teraplikasi dalam semua kegiatan
siswa baik disekolah, lingkungan masyarakat dan dilingkungan dirumah melalui
proses pembiasaan, keteladanan, dan dilakukan secara berkesinambungan. Oleh
karena itu keberhasilan pendidikan karakter ini menjadi tanggung jawab bersama
antara sekolah, masyarakat dan orangtua. Pendidikan karakter telah menjadi
perhatian berbagai negara dalam rangka mempersiapkan generasi yang berkualitas,
bukan hanya untuk kepentingan individu warga negara, tetapi juga untuk warga
masyarakat secara keseluruhan.
Kemudian
pengertian karakter banyak dikaitkan dengan pengertian budi pekerti, akhlak
mulia, moral, dan bahkan dikaitkan dengan kecerdasan ganda (meliputi kecerdasan
intelektual, kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan
sosial). Karakter bukan terbentuk dengan sendirinya, melainkan sejauh mana
lingkungan keluarga, masyarakat, dan sekolah mampu mempengaruhi diri seseorang.
Pembentukan karakter seorang anak sangat dipengaruhi oleh peran orang tua
sebagai pendidik di dalam lingkungan keluarga serta peran pendidik di dalam lingkungan
institusi pendidikan.
Evaluasi
dari Keberhasilan pendidikan karakter ini tentunya tidak dapat dinilai dengan
tes formatif atau sumatif yang dinyatakan dalam skor. Tetapi tolak ukur dari
keberhasilan pendidikan karakter adalah terbentuknya peserta didik yang
berkarakter; berakhlak, berbudaya, santun, religius, kreatif, inovatif yang
teraplikasi dalam kehidupan disepanjang hayatnya. Oleh karena itu tentu tidak
ada alat evaluasi yang tepat dan serta merta dapat menunjukkan keberhasilan
pendidikan karakter.
Lebih
lanjut Majid dan Andayani (2012: 31-36) menyatakan bahwa pendidikan karakter
memiliki beberapa pilar antara lain:
1.
Moral
knowing
Moral knowing
sebagai aspek pertama memiliki enam unsur yaitu:
a. Kesadaran
moral (moral awareness);
b. Pengetahuan
tentang nilai-nilai moral (knowing moral values);
c. Penetuan
sudut pandang (perspective taking);
d. Logika moral
(moral reasoning);
e. Kebenaran
mengambil menentukan sikap (dicision making);
f. Dan pengenalan diri (self knowledge);
2.
Moral loving atau moral feeling
Moral
loving merupakan penguatan aspek emosi siswa untuk menjadi manusia berkarakter.
Penguatan ini berkaitan dengan bentuk-bentuk sikap yang harus dirasakan oleh
siswa, yaitu kesadaran akan jati diri yaitu:
a.
Percaya diri (self esteem);
b.
Kepekaan terhadap derita orang lain (emphaty);
c.
Cinta kebenaran (loving the good);
d.
Pengendalian diri (self control);
e.
Kerendahan hati (humility)
3.
Moral doing/ Acting
Moral
acting sebagai outcome akan dengan mudah muncul dari para siswa setelah dua
pilar di atas terwujud. Moral acting menunjukan kesempuranaan daripada
kompetensi yang dimiliki oleh siswa setelah melalui proses pembelajaran.
Kemampuan yang dimiliki para siswa bukan hanya bermanfaat bagi dirinya
melainkan mampu memberikan manfaat kepada orang lain yang berada disekitarnya.
Bagaimana
cara menumbuhkan karakter yang baik dalam diri anak-anak disimpulkannya menjadi
tujuh cara yang harus dilakukan anak untuk menumbuhkan kebajikan utama
(karakter yang baik), yaitu empati, hati nurani, kontrol diri, rasa hormat,
kebaikan hati, toleransi, dan keadilan. Ketujuh macam kebajikan inilah yang
dapat membentuk manusia berkualitas di mana pun dan kapan pun. Meskipun sasaran
buku ini adalah anak-anak, namun bukan berarti tidak berlaku untuk orang
dewasa, termasuk para siswa di SD hingga SMA. Dengan kata lain, tujuh kebajikan
yang ditawarkan oleh Michele Borba ini berlaku untuk siapa pun dalam rangka
membangun kecerdasan moralnya.
Karakter
seseorang tidak terlepas dari pendidikan
dan pola asuh orang tua di rumah. Karakter seseorang dibentuk dari apa
yang dipelajarinya di sekolah, dalam keluarga di rumah, dan di masyarakat.
Ketiga wilayah tersebut merupakan sebuah
sistem. Seseorang siswa tidak akan memiliki karakter yang baik jika
salah satu dari tempat beraktualisasinya bermasalah. Sekolah yang kondusif
dalam penyemaian pendidikan karakter tidak akan efektif membentuk karakter siswa jika situasi rumah
tidak kondusif dan terjadi chaos moral masyarakat. Seseorang yang berasal dari
keluarga yang baik berpotensi rusak karakternya jika lingkungan sekolah kacau
dan teman bergaul salah, begitu juga dengan kondisi yang lain yang tidak saling
bersinergi dalam penyemaian karakter anak.
Untuk
tulah pembudayaan dan pemberdayaan
menjadi hal yang penting untuk dilaksanakan secara bersama. Proses
pembudayaan yang dilakukan oleh pihak luar terhadap seseorang sejatinya sebuah
intervensi. Intervensi mutlak diperlukan untuk menghindari kesalahan tafsir dan
dalam mempermudah dan mempercepat pendidikan karakter.
B.
Pendidikan
Agama Islam
Pendidikan
agama Islam merupakan salah satu materi yang bertujuan meningkatkan akhlak
mulia serta nilai-nilai spiritual dalam diri anak. Hal ini menunjukkan bahwa
pendidikan agama mempunyai peranan yang penting dalam melaksanakan pendidikan
karakter disekolah. Oleh karena itu Pendidikan agama menjadi salah satu mata
pelajaran wajib baik dari sekolah tingkat dasar, menengah dan perguruan tinggi.
Maka sekolah harus mampu menyelenggarakan pendidikan agama secara optimal
dengan cara mengaplikasikan nilainilai agama dalam lingkungan sekolah yang
dilakukan oleh seluruh guru dan peserta didik secara bersama-sama serta
berkesinambungan.Dari pembahasan tersebut terlihat jelas bahwa manusia itu
dididik agar memiliki karakter yang baik dalam berbagai bidang. Bukan hanya
terhadap Tuhannya saja melainkan juga terhadap sesama makhluk yang berada di
bumi ini.
Kemudian
adanya mata kuliah Pendidikan Agama Islam untuk menumbuhkan kepribadian manusia
yang seimbang dalam berbagai aspek, dan mampu mengantarkan manusia untuk
menyerahkan diri kepada Allah baik
secara individual ataupun kolektif. Adapun kurikulum (subject matter)
dapat dipahami sebagai kurikulum atau dalam makna yang lebih sempit adalah mata
pelajaran/mata kuliah yang diberikan kepada peserta didik.
Pendidikan
Agama Islam diharapkan menghasilkan manusia yang selalu berupaya menyempurnakan
iman, taqwa dan ahlak, serta aktif membangun peradaban dan keharmonisan
kehidupan, khususnya dalam memajukan peradaban bangsa yang bermartabat. Manusia
seperti itu diharapkan tangguh dalam menghadapi tantangan, hambatan dan
perubahan yang muncul dalam pergaulan masyarakat baik dalam lingkup lokal,
regional maupun global.
Pendidik
diharapkan dapat mengembangkan metode pembelajaran sesuai dengan standar
kompetensi dan kompetensi dasar. Pencapaian seluruh kompetensi dasar perilaku
terpuji dapat dilakukan tidak beraturan. Peran semua unsur sekolah, orangtua
siswa, dan masyarakat sangat penting dalam mendukung keberhasilan pencapaian tujuan
Pendidikan Agama Islam.
Dalam
Islam, tidak ada disiplin ilmu yang terpisah dari etika-etika Islam. Dan
pentingnya komparasi antara akal dan wahyu dalam menentukan nilai-nilai moral
terbuka untuk diperdebatkan. Bagi kebanyakan muslim segala yang dianggap halal
dan haram dalam Islam, dipahami sebagai keputusan Allah tentang benar dan baik.
Dalam Islam terdapat tiga nilai utama, yaitu akhlak, adab, dan keteladanan.
Akhlak merujuk kepada tugas dan tanggung jawab
selain syari'ah dan ajaran Islam secara umum. Sedangkan term adab merujuk
kepada sikap yang dihubungkan dengan tingkah laku yang baik. Dan keteladanan
merujuk kepada kualitas karakter yang ditampilkan oleh seorang muslim yang balk
yang mengikuti keteladanan Nabi Muhammad SAW. Ketiga inilai inilah yang menjadi
pilar pendidikan karakter dalam Islam
Sebagai
usaha yang identik dengan ajaran agama, pendidikan karakter dalam Islam
memiliki keunikan dan perbedaan dengan pendidikan karakter di dunia Barat.
Perbedaan-perbedaan tersebut mencakup penekanan terhadap prinsip-prinsip agama
yang abadi, aturan dan hukum dalam memperkuat moralitas, perbedaan pemahaman
tentang kebenaran, penolakan terhadap otonomi moral sebagai tujuan pendidikan
moral, dan penekanan pahala di akhirat sebagai motivasi perilaku bermoral. Inti
dari perbedaan-perbedaan ini adalah keberadaan wahyu Ilahi sebagai sumber dan
rambu-rambu pendidikan karakter dalam Islam. Akibatnya, pendidikan karakter
dalam Islam lebih sering dilakukan secara doktriner dan dogmatis, tidak secara
demokratis dan logis.
Keberhasilan
pembelajaran PAI disekolah salah satunya juga ditentukan oleh penerapan metode
pembelajaran yang tepat. Sejalan dengan hal ini Abdullah Nasih Ulwan memberikan
konsep pendidikan inluentif dalam pendidikan akhlak anak yang terdiri dari 1)
Pendidikan dengan keteladanan, 2) Pendidikan dengan adat kebiasaan, 3)
Pendidikan dengan nasihat,4) pendidikan dengan memberikan perhatian, 5)
pendidikan dengan memberikan hukuman.
C.
Kebijakan
mata kuliah pendidikan agama Islam
Pendidikan
formal tidak pernah lepas dari kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Salah
satu kebijakan tersebut adalah mengenai struktur kurikulum, kompetensi yang
harus dicapai, sistem evaluasi, dan lain sebagainya. Berkaitan dengan
pendidikan karakter, ada beberapa kebijakan yang diundangkan sebagai pijakan
hukum pelaksanaan pendidikan karakter di tanah air.
Kurikulum
merupakan bagian dari sistem pembelajaran yang berfungsi untuk mewujudkan
tujuan pendidikan nasional. oleh karena itu didalam undang-undang no 20 tahun
2003 pasal 36 kurikulum di Indonesia disusun dalam kerangka peningkatan iman
dan takwa, peningkatan akhlak mulia,peningkatan potensi, kecerdasan,dan minat
peserta didik, keragaman potensi, daerah dan lingkungan, tuntutan pembangunan
daerah dan nasional, tuntutan dunia kerja, tuntutan iptek dan seni,agama,
dinamika perkembangan global, persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
Untuk mendukung keterlaksanaan kerangka kurikulum tersebut diatas, maka dalam
pasal selanjutnya (UU No. 20 tahun 2003 pasal 37) dijelaskan bahwa didalam
kurikulum wajib memuat: pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa,
matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, seni dan budaya,
pendidikan jasmani dan olahraga,ketrampilan/kejuruan, muatan lokal.
Di
era kurikulum 2004-2008 yang menggunakan kurikulum KBK dan KTSP, pembelajaran
lebih mendapatkan penegasan pada kewenangan guru untuk menentukan indikator,
pengalaman belajar, dan rangkaian belajar yang bisa mengantarkan tercapainya
Kompetensi Dasar dan Standar Kompetensi yang sudah dibuat oleh pemerintah
pusat. Bahkan pendidikan agama (PAI) dan pendidikan kewarganegaraan sudah
mendapatkan pembobotan yang jelas, yakni PAI dengan akhlak mulia atau budi
pekerti dan PPKN terkonsentrasi pada kepribadian. Kalau saja mata pelajaran ini
bisa diturunkan dalam pembelajaran nyata di sekolah/madrasah, dengan fokus dan
pendekatan yang jelas pada akhlak mulia, budi pekerti, dan kepribadian,
seharusnya sudah bisa memberi harapan yang jauh lebih baik untuk memperbaiki
akhlak siswa dibanding dengan harapan pada kurikulum sebelumnya. Namun untuk
melakukan penguatan bagi perubahan perilaku peserta didik yang semakin
berakhlak yang mengarah pada perolehan nilai-nilai hidup, bukan semata-mata
nilai angka yang hanya menggambarkan prestasi akademik, bukan belajar untuk
berprestasi dalam kehidupan.
Jika
memang ada keinginan pemerintah untuk memberi pilihan kemandirian dan kekhasan
pada “sekolah” di lingkup pendidikan Islam, tentunya tidak akan ada lagi narasi
sebagaimana pada pasal 18 ayat (1). Di sinilah terjadi benturan yang perlu
disikapi secara lebih bijak. Sebab, sejak awal hadirnya pendidikan Islam
tampaknya lebih kuat ke arah pendidikan non-formal, dan bukan formal
sebagaimana pada pasal-pasal di atas. Selain itu, materi yang banyak diajarkan
adalah berkisar tema-tema agama, dan tidak membicarakan mata pelajaran
sebagaimana yang dimaksud.
Jika
yang dimaksud adalah MI, MTs, dan MA/MAK sebagai wujud dari sekolah formal
pendidikan Islam, maka sejarah telah mencatat saat ini proporsi kurikulum bidang
agama dengan kurikulum bidang kajian umum di madrasah dapat dinyatakan telah
meninggalkan ciri madrasah sebagai pendidikan keagamaan Islam. Proporsi 70%
bidang umum dan 30% bidang agama, lebih dimaksudkan untuk penyetaraan
pendidikan di madrasah dengan sekolah pada jenjang yang sama.
Sejak
mula hadir sebenarnya madrasah lebih berfokus pada pendidikan keagamaan dan
keislaman. Dengan perubahan orientasi tersebut justru madrasah saat ini
kehilangan jati dirinya, dan lebih parah lagi kesulitan pula untuk merebut
peran dalam konteks pendidikan nasional, jika dibandingkan dengan
sekolah-sekolah umum di bawah pembinaan Kementerian Pendidikan Nasional.
Di
lihat dari sisi manapun, pendidikan Islam memiliki peran dalam konteks
pendidikan nasional. Hanya saja harus pula dimaklumi dan dipahami jika hingga
hari ini secara kelembagaan pendidikan Islam kerap menempati posisi kedua dalam
banyak situasi. Sebagai misal, jurusan yang menawarkan pendidikan Islam kurang
banyak peminatnya jika dibandingkan dengan jurusan lain yang dianggap memiliki
orientasi masa depan yang lebih baik. Dalam hal pengembangan kelembagaan akan
pula terlihat betapa program studi/ sekolah yang berada di bawah pengelolaan
dan pengawasan Kementerian Agama tidak selalu yang terjadi di bawah pembinaan
Kementerian Pendidikan Nasional, bahkan harus dengan tertatih untuk
menyesuaikan dengan yang terjadi di sekolah-sekolah umum tersebut.
Pada
masa-masa yang akan datang, dalam hal pengembangan kurikulum, tampaknya
madrasah masih akan terus dihadapkan pada dilema dikotomi keilmuan. Setia
dengan tujuan awal hadirnya sebagai pengembang ilmu-ilmu keislaman, atau sesuai
dengan tuntutan kebutuhan pasar untuk melakukan perubahan kurikulum yang
ukurannya adalah pragmatism sebagai upaya pemenuhan kebutuhan hidup peserta
didik. Tentu saja , pilihan atas itu semua akan memiliki resiko yang tidak sama
dalam pengembangan materi pembelajaran, orientasi serta proses pembelajarannya.
D.
Implementasi
kebijakan mata kuliah Pendidikan Agama Islam sebagai pendidikan karakter.
Implementasi
pendidikan karakter di perguruan tinggi harus disesuaikan dengan visi dan misi
perguruan tinggi tersebut dengan berbasis jurusan dan atau program studi.
Penyelenggaraan pendidikan karakter di perguruan tinggi dilakukan secara
terpadu melalui tiga jalur, yaitu pembelajaran, manajemen perguruan tinggi, dan
kegiatan kemahasiswaan. Nilai-nilai karakter yang diterapkan adalah dengan
memilih nilai-nilai inti (core values) yang akan dikembangkan dan
diimplementasikan pada masing-masing jurusan atau program studi tersebut.
Menurut
Riyanto (2010), Dalam rangka mengimplementasikan pendidikan karakter di sekolah
terdapat empat (4) tawaran model penerapan, yaitu : a) Model otonomi dengan
menempatkan pendidikan karakter sebagai mata pelajaran tersendiri, b) Model integrasi
dengan menyatukan nilai-nilai dan karakterkarakter yang akan dibentuk dalam
setiap mata pelajaran, c) Model ekstrakurikuler melalui sebuah kegiatan
tambahan yang berorintasi pembinaan karakter siswa, d) Model kolaborasi dengan
menggabungkan ketiga model tersebut dalam seluruh kegiatan sekolah.
Islam
selalu memposisikan pembentukan akhlak atau karakter anak pada pilar utama
tujuan pendidikan. Untuk mewujudkanpembentukan akhlak pada anak al Ghazali
menawarkan sebuah konsep pendidikan yang bertujuan mendekatkan diri kepada
Allah. Menurutnya mendekatkan diri kepada Allah merupakan tolak ukur
kesempurnaan manusia, dan untuk menuju kesana ada jembatan yang disebut ilmu
pengetahuan. Ibn miskawaih menambahkan tidak ada materi yang spesfik untuk mengajarkan
akhlak, tetapi materi dalam pendidikan akhlak dapat diimplementasikan ke dalam
banyak ilmu asalkan tujuan utamanya adalah sebagai pengabdian kepada Tuhan.
Implementasi nilai-nilai karakter tersebut diatas, dimulai dari nilai esensial, sederhana dan mudah dilaksanakan sesuai kondisi pada masing-masing perguruan tinggi. Pendidikan karakter perlu dimplementasikan dan dimantapkan di perguruan tinggi sebagai pendidikan berkelanjutan, dari pendidikan tingkat menengah dan merupakan pilihan yang tepat untuk memantapkan karakter bangsa. Perguruan tinggi diharapkan mampu mencetak mahasiswa yang memiliki integritas, kejujuran, kreativitas, dan perbuatan yang menunjukkan produktivitas. Pendidikan yang dapat meningkatkan semua potensi kecerdasan anak bangsa yang dilandasi oleh pendidikan karakter diharapkan mampu menjadi pilar kebangkitan bangsa.
BAB
IV
PENUTUP
A.
Simpulan
Berdasarkan
pemaparan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut:
a.
Pendidikan
karakter merupakan pemberian pandangan mengenai berbagai jenis nilai hidup yang
akan menunjukkan jati diri sebagai manusia yang sadar diri sebagai makhluk,
warga negara, dan pria atau wanita. Karakter seseorang merupakan ukuran
martabat dirinya sehingga berpikir objektif, terbuka, kritis, serta memiliki
harga diri yang tidak mudah diperjualbelikan
b.
Pendidikan
Agama Islam merupakan penataan individual dan sosial yang dapat menyebabkan
seseorang tunduk taat pada Islam dan menerapkannya secara sempurna di dalam
kehidupan individu dan masyarakat.
c.
Kebijakan
mata kuliah Pendidikan Agama Islam salah satunya Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan,
diharapkan dapat membawa perubahan pada sisi menajerial dan proses pendidikan
Islam.
d.
Implementasi
Kebijakan mata kuliah Pendidikan Agama Islam sebagai pendidikan karakter. Kekayaan
pendidikan Islam dengan ajaran initinya tentang moral akan sangat menarik untuk
dijadikan content dari konsep pendidikan karakter karena islam selalu
memposisikan pembentukan akhlak atau karakter anak pada pilar utama tujuan
pendidikan.
B.
Saran
Demikian makalah ini saya buat semoga dapat bermanfaat bagi pembaca
khususnya rekan-rekan mahasiswa dalam mempelajari mata kuliah Wirausaha Jasa
Pendidikan ini, sebagai acuan atau referensi ilmu bagi kita semua.
Kemudian jika dalam penulisan baik secara isi atau kontennya masih
ada yang keliru, mohon maaf sebesar-besarnya. Demi memperbaiki makalah ini saya
meminta kritik dan sarannya. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.
DAFTAR
PUSTAKA
Lickona, Thomas.
2012. Mendidik untuk membentuk Karakter. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Zubaedi. 2011. Desain
Pendidikan Karakter. Jakarta: Prenamedia Group.
Sudewo, Erie.
2011. Best Practice Character Building. Jakarta: Republika Penerbit.
Supardi. 2011. Arah
Pendidikan di Indonesia dalam Tataran Kebijakan dan Implementasi. Jurnal
Formatif.
Judiani, Sri.
2010. Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar Melalui Penguatan
Pelaksanaan Kurikulum. Jurnal pendidikan.
Maesaroh, Siti.
2013. Peranan Metode Pembelajaran terhdap Minat dan Prestasi Belajar
Pendidikan Agama Islam. Jurnal kependidikan.
Dalyon,
Bambang. 2017. Implementasi Penguatan Pendidikan Karakter di Sekolah.
Jurnal pendidikan.
Sudrajat, Ajat.
2013. Pembentukan Karakter Terpuji di Sekolah dasar Muhammadiyah
Condongcatur. Jurnal pendidikan karakter.
Mardlotillah,
Faridatul. 2013. Implementasi Kebijakan Sekolah dalam Upaya Pengembangan
Pendidikan Karakter melalui Program Pembiasaan
Membaca Al-Qur’an. Jurnal Kebijakan dan Pengembangan Pendidikan.
Azizah,Nur.2005.Perilaku Moral dan Religiusitas Siswa
Berlatar Belakang Pendidikan Umum dan Agama.
Jurnal Psikologi.
Akhwan,
Muzhoffar. 2014. Pendidikan Karakter: Konsep dan Implementasinya Dalam
Pembelajaran di Sekolah/Madrasah. Jurnal pendidikan.
Setiawan, Agus.
2014. Prinsip Pendidikan Karakter dalam Islam. Jurnal Pendidikan
Marzuki, M.
Murdiono, dan Samsuri. 2010. Pembinaan Karakter Siswa Berbasis Pendidikan Agama
di Sekolah dasar dan Menengah Pertama di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal
Pendidikan.
Ainissyifa,
Hilda. 2014. Pendidikan Karakter dalam Perspektif Pendidikan Islam.
Jurnal Pendidikan.
Ainiyah, Nur.
2013. Pembentukan Karakter Melalui Pendidikan Agama Islam. Jurnal
Pendidikan.
Nur Aeni, Ani.
2014. Pendidikan Karakter untuk Siswa SD dalam Perspektif Islam. Jurnal
Pendidikan.
Marzuki, M.
Murdiono, Samsur. 2014. Pembinaan Karakter Siswa Berbasis Pendidikan Agama.
Jurnal Kependidikan.